Salurkan Zakat, Infaq, Shadaqah dan Wakaf anda ke ZISWAF al-Muhajirin

Panitia Renovasi Masjid Al-Muhajirin

renovasi Masjid Al-Muhajirin ke Bank Syariah Mandiri KCP Jatinangor an. Panitia Renovasi Al Muhajirin Nomor Rekening 1000-555-777

iklan

jazakamullah ahsanal jaza' semoga Allah SWT akan membalas kalian dengan balasan yang terbaik. aamiin yaa robbal 'alamiin...

Senin, 25 November 2013

Istiqomah Dalam Shalat Berjama’ah


Istiqomah Dalam Shalat Berjama’ah
Oleh:
  Ust. Memet Casmat
Berbahagialah kaum Muslimin dan muslimat di Indonesia, karena setiap masuk waktu shalat lima waktu selalu terdengar suara adzan, bahkan 5-10 menit sebelum masuk waktu shalat, takmir masjid sudah mengumumkannya,
“Kaum Muslimin dan Muslimat, waktu untuk melaksanakan shalat berjamaah tinggal 10 menit lagi, kami tunggu kehadirannya di Masjid Al-Muhajirin, untuk bersama-sama melaksanakan shalat berjamaah”, demikian pengumuman yang selalu diungkapkan oleh takmir Masjid Al-Muhajirin, tempat sholat berjamaah penulis selama ini, karena memang lokasinya dekat dengan tempat tinggal penulis di Komplek Griya Mitra Posindo Cinunuk Cileunyi Bandung..  Lalu, tidak lama kemudian terdengar ta’mir Masjid membaca Al-Qur’an, dan ketika sudah masuk waktu shalat, terdengar suara adzan, bersahut-sahutan di antara Masjid yang satu dengan Masjid yang lain.
Selain itu, setiap Rukun Warga (RW) atau bahkan di beberapa Rukun Tetangga (RT) tersedia Masjid atau Mushola, sehingga kaum Muslimin di Indonesia tidak ada kesulitan untuk melaksanakanshalat berjamaah di Masjid.
Kebiasaan seperti itu tidak terjadi di Australia, untuk mengetahui telah masuk waktu untuk shalat, kita harus melihat keadaan lingkungan, karena jam 20.00 waktu Adelaide, kota tempat penulis tinggal saat ini, cahaya matahari masih bersinar. Selain itu, untuk dapat melaksanakan shalat berjamaah  sangat sulit, karena di Australia kesulitan untuk menemukan masjid.
Ketika penulis bertanya kepada Dorothi (Ibu kos), “Doc, where is the Mosque?”. “Sorry, very far from here”, begitu jawabanya. Untungnya, kami bertiga yang home stay di rumah pasangan Jim dan Dorothy ada yang muslim, Chaedar dan Muslim namanya (dari Saudi Arabia), sehingga kami bisa  shalat berjamaah menggunakan ruang keluarga.
Sehingga, hikmah yang bisa diambil adalah,  sebaiknya, gunakanlah waktu yang kita miliki untuk pergi ke masjid, untuk melaksanakan shalat lima waktu secara berjama’ah. Adapun soal pahalanya, kita serahkan saja kepada Allah SWT. “Barangsiapa yang membela agama Allah, maka Allah juga akan membela kita”. Insya Allah.
·      Penulis adalah jamaah Masjid Al-Muhajirin (Griya Mitra Posindo Blok C2 No.1 (Depot Air Minum Higienis Mitra QUA), sekarang ini sedang menimba ilmu pada Program PhD di Adelaide University South of Australia.
·      dapat dihubungi di alamat email;memetcasmat@yahoo.com


Senin, 18 November 2013

Fiqhul Ikhtilaf Bag 2


FIQHUL IKHTILAF
Diadaptasi dari tulisan :  Ahmad Mudzoffar Jufri, MA
oleh :
Ust. Aminudin, M.Ag
 D. Bagaimana Menyikapi Ikhtilaf ?
  1. Membekali diri dan mendasari sikap sebaik-baiknya dengan ilmu, iman, amal dan akhlaq secara proporsional. Karena tanpa pemaduan itu semua, akan sangat sulit sekali bagi seseorang untuk bisa menyikapi setiap masalah dengan benar, tepat dan proporsional, apalagi jika itu masalah ikhtilaf atau khilafiyah.
  2. Memfokuskan dan lebih memprioritaskan perhatian dan kepedulian terhadap masalah-masalah besar ummat, daripada perhatian terhadap masalah-masalah kecil seperti masalah-masalah khilafiyah misalnya. Karena tanpa sikap dasar seperti itu, biasanya seseorang akan cenderung ghuluw (berlebih-lebihan) dan tatharruf (ekstrem) dalam menyikapi setiap masalah khilafiyah yang ada.
  3. Memahami ikhtilaf dengan benar, mengakui dan menerimanya sebagai bagian dari rahmat Allah bagi ummat. Dan ini adalah salah satu bagian dari ittibaa’us-salaf (mengikuti ulama salaf), karena memang begitulah sikap mereka, yang kemudian diikuti dan dilanjutkan oleh para ulama ahlus-sunnah wal-jama’ah sepanjang sejarah. Dan dalam konteks ini mungkin perlu diingatkan bahwa, nash (teks) ungkapan yang selama dikenal luas sebagai hadits, yakni yang berbunyi: Ikhtilafu ummati rahmatu (perselisihan ummatku adalah rahmat), bukanlah shahih sebagai hadits Nabi shallallahu ’alaihi wasallam. Karenanya bukanlah ”hadits” tersebut yang menjadi dasar sikap penerimaan ikhtilaf sebagai rahmat bagi ummat itu. Namun dasarnya adalah warisan sikap dari para ulama salaf dan khalaf yang hampir sepakat dalam masalah ini. Sampai-sampai ada ulama yang menulis kitab dengan judul: Rahmatul Ummah Fi-khtilafil Aimmah (Rahmat bagi Ummat dalam perbedaan pendapat para imam).
  4. Memadukan dalam mewarisi ikhtilaf para ulama terdahulu dengan sekaligus mewarisi etika dan sikap mereka dalam ber-ikhtilaf. Sehingga dengan begitu kita bisa memiliki sikap yang tawazun (proporsional). Sementara selama ini sikap kebanyakan kaum muslimin dalam masalah-masalah khilafiyah, seringkali lebih dominan timpangnya. Karena biasanya mereka hanya mewarisi materi-materi khilafiyah para imam terdahulu, dan tidak sekaligus mewarisi cara, adab dan etika mereka dalam ber-ikhtilaf, serta dalam menyikapi para mukhalif (kelompok lain yang berbeda madzhab atau pendapat).
  5. Mengikuti pendapat (ittiba’) ulama dengan mengetahui dalilnya, atau memilih pendapat yang rajih (kuat) setelah mengkaji dan membandingkan berdasarkan metodologi (manhaj) ilmiah yang diakui. Tentu saja ini bagi yang mampu, baik dari kalangan para ulama maupun para thullaabul-’ilmisy-syar’i (para penuntut ilmu syar’i). Sedangkan untuk kaum muslimin kebanyakan yang awam, maka batas kemampuan mereka hanyalah ber-taqlid (mengikuti tanpa tahu dalil) saja pada para imam terpercaya atau ulama yang diakui kredibelitas dan kapabelitasnya. Yang penting dalam ber-taqlid pada siapa saja yang dipilih, mereka melakukannya dengan tulus dan ikhlas, serta tidak berdasarkan hawa nafsu.
  6. Untuk praktek pribadi, dan dalam masalah-masalah yang bisa bersifat personal individual, maka masing-masing berhak untuk mengikuti dan memgamalkan pendapat atau madzhab yang rajih (yang kuat) menurut pilihannya. Meskipun dalam beberapa hal dan kondisi sangat afdhal pula jika ia memilih sikap yang lebih berhati-hati (ihtiyath) dalam rangka menghindari ikhtilaf (sesuai dengan kaidah ”al-khuruj minal khilaf mustahabb” – keluar dari wilayah khilaf adalah sangat dianjurkan).
  7. Sementara itu terhadap orang lain atau dalam hal-hal yang terkait dengan kemaslahatan umum, sangat diutamakan setiap kita memilih sikap melonggarkan dan bertoleransi (tausi’ah &  tasamuh). Atau dengan kata lain, jika kaidah dan sikap dasar dalam masalah-masalah khilafiyah yang bersifat personal individual, adalah melaksanakan yang rajih menurut pilihan masing-masing kita. Maka kaidah dan sikap dasar dalam masalah-masalah khilafiyah yang bersifat kebersamaan, kemasyarakatan, kejamaahan dan keummatan, adalah dengan mengedepankan sikap toleransi dan kompromi, termasuk sampai pada tahap kesiapan untuk mengikuti dan melaksanakan pendapat atau madzhab lain yang marjuh (yang lemah) sekalipun menurut kita.
  8. Menghindari sikap ghuluw (berlebih-lebihan) atau tatharruf (ekstrem), misalnya dengan memiliki sikap mutlak-mutlakan atau menang-menangan dalam masalah-masalah furu’ khilafiyah ijtihadiyah. Karena itu adalah sikap yang tidak logis, tidak islami, tidak syar’i dan tentu sekaligus tidak salafi (tidak sesuai dengan manhaj dan sikap para ulama salaf)!
  9. Tetap mengutamakan dan mengedepankan masalah-masalah prinsip yang telah disepakati atas masalah-masalah furu’ yang diperselisihkan. Atau dengan kata lain, kita wajib selalu mengutamakan dan mendahulukan masalah-masalah ijma’ atas masalah-masalah khilafiyah.
  10. Tidak menerapkan prinsip atau kaidah wala’ dan bara’ dalam bersikap terhadap fenomena ikhtilaf  dalam masalah-masalah furu’ ijtihadiyah. Karena bab wala’ dan bara’ bukanlah di sini tempatnya, melainkan di dalam masalah-masalah aqidah, tauhid dan keimanan, atau dalam masalah-masalah ushul (prinsip) pada umumnya.
  11. Menjadikan masalah-masalah ushul (prinsip) yang disepakati (masalah-masalah ijma’) – dan bukan masalah-masalah furu’ ijtihadiyah (masalah-masalah khilafiyah) – sebagai standar dan parameter komitmen dan keistiqamahan seorang muslim. Jadi tidak dibenarkan misalnya kita menilai seseorang itu istiqamah atau tidak dan komit atau tidak, berdasarkan standar masalah-masalah khilafiyah. Sehingga misalnya akan dinilai istiqamah dan komit jika ia mengikuti madzhab atau pendapat tertentu, sementara akan dinilai tidak istiqamah dan tidak komit jika menganut madzhab atau pendapat yang lain. Begitu pula misalnya akan dinilai istiqamah dan komit jika ia selalu berpegang teguh melaksanakan pendapat dan madzhab pilihannya serta tidak mau berubah sama sekali dalam kondisi apapaun. Sedangkan jika ia dalam kondisi-kondisi tertentu bertoleransi dan berkompromi dengan pendapat dan madzhab lain, maka akan dinilai sebagai orang plin-plan, tidak berpendirian, dan tidak istiqamah (?). Tidak. Itu semua tidak benar. Bahkan yang benar adalah bahwa, siapapun yang menjalankan ajaran Islam sesuai standar batasan prinsip, maka ia adalah orang Islam yang istiqamah dan komit, apapun madzhab atau pendapat di antara madzhab-madzhab atau pendapat-pendapat ulama mu’tabar, yang diikuti dan dianutnya. Dan demikian pula sikap bertoleransi dan berkompromi sesuai kaidah dalam masalah-masalah khilafiyah ijtihadiyah adalah merupakan bagian dari bentuk dan bukti komitmen dan keistiqamahan itu sendiri!
  12. Menjaga agar ikhtilaf (perbedaan) dalam masalah-masalah furu’ ijtihadiyah tetap berada di wilayah wacana pemikiran dan wawasan keilmuan, dan tidak masuk ke wilayah hati, sehingga berubah mejadi perselisihan perpecahan (ikhtilafut- tafarruq), yang akan merusak ukhuwah dan melemahkan tsiqoh (rasa kepercayaan) di antara sesama kaum mukminin.
  13. Menyikapi orang lain, kelompok lain atau penganut nadzhab lain sesuai kaidah berikut ini: Perlakukan dan sikapilah orang lain, kelompok lain dan penganut madzhab lain sebagaimana engkau, kelompok dan madzhabmu ingin diperlakukan dan disikapi! Serta janganlah memperlakukan dan menyikapi orang lain, kelompok lain dan pengikut madzhab lain dengan perlakuan dan penyikapan yang tidak engkau inginkan dan tidak engkau sukai untuk dirimu, kelompokmu atau madzhabmu!
E. Pelajaran dan Teladan dari Ulama Salaf
  1. Al-Imam Yahya bin Sa’id Al Anshari rahimahullah berkata : ”Para ulama adalah orang-orang yang memiliki kelapangan dada dan keleluasaan sikap, dimana para mufti selalu saja berbeda pendapat, sehingga (dalam masalah tertentu) ada yang menghalalkan dan ada yang mengharamkan. Namun toh mereka tidak saling mencela satu sama lain”. (Tadzkiratul Huffadz : 1/139 dan Jami’ Bayan al-’Ilmi wa Fadhlih 393).
  2. Al-Imam Yunus bin Abdul A’la Ash-Shadafi rahimahullah (salah seorang murid/sahabat Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah) berkata : ” Aku tidak mendapati orang yang lebih berakal (lebih cerdas) daripada Asy Syafi’i. Suatu hari pernah aku berdiskusi (berdebat) dengan beliau, lalu kami berpisah. Setelah itu beliau menemuiku dan menggandeng tanganku seraya berkata : ” Hai Abu Musa! Tidakkah sepatutnya kita tetap bersaudara, meskipun kita tidak sependapat dalam satu masalah pun ? (tentu diantara masalah-masalah ijtihadiyah) (Siyaru A’lam An-Nubala’ : 10/16-17).
  3. Ulama salaf (salah satunya adalah Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah) berkata, ”Pendapatku, menurutku, adalah benar, tetapi ada kemungkinan salah. Dan pendapat orang lain, menurutku, adalah salah, namun ada kemungkinan benar”.
  4. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata : ”Seandainya setiap kali dua orang muslim yang berbeda pendapat dalam suatu masalah itu saling menjauhi dan memusuhi, niscaya tidak akan tersisa sedikitpun ikatan ukhuwah diantara kaum muslimin” (Majmu’ Al-Fatawa : 24/173).
  5. Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah berkata,”Dalam masalah-masalah yang diperselisihkan diantara para ulama fiqih, aku tidak pernah melarang seorang pun diantara saudara-saudaraku untuk mengambil salah satu pendapat yang ada” (Al-Faqih wal Mutafaqqih : 2/69).
  6. Khalifah Abu Ja’far Al-Manshur rahimahullah (atau Harun Ar-Rasyid rahimahullah) pernah berazam untuk menetapkan kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik sebagai kitab wajib yang harus diikuti oleh seluruh ummat Islam. Namun Imam Malik sendiri justeru menolak hal itu dan meminta agar ummat di setiap wilayah dibiarkan tetap mengikuti madzhab yang telah lebih dahulu mereka anut” (Jami’ Bayan al-’Ilmi wa Fadhlih : 209-210, Al-Intiqa’ : 45).
  7. Khalifah Harun Ar-Rasyid rahimahullah berbekam lalu langsung mengimami shalat tanpa berwudhu lagi (mengikuti fatwa Imam Malik). Dan Imam Abu Yusuf rahimahullah (murid dan sahabat Abu Hanifah rahimahullah) pun ikut shalat bermakmum di belakang beliau, padahal berdasarkan madzhab Hanafi, berbekam itu membatalkan wudhu (Majmu Al-Fatawa : 20/364-366).
  8. Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah termasuk yang berpendapat bahwa berbekam dan mimisan itu membatalkan wudhu. Namun ketika beliau ditanya oleh seseorang,”Bagaimana jika seorang imam tidak berwudhu lagi (setelah berbekam atau mimisan), apakah aku boleh shalat di belakangnya?” Imam Ahmad pun menjawab,”Subhanallah! Apakah kamu tidak mau shalat di belakang Imam Sa’id bin Al-Musayyib rahimahullah dan Imam Malik bin Anas rahimahullah?” (karena beliau berdualah yang berpendapat bahwa orang yang berbekam dan mimisan tidak perlu berwudhu lagi) (Majmu’ Al-Fatawa : 20/364-366).
  9. Imam Abu Hanifah rahimahullah, sahabat-sahabat beliau, Imam Syafi’i, dan imam-imam yang lain, yang berpendapat wajib membaca basmalah sebagai ayat pertama dari surah Al-Fatihah, biasa shalat bermakmum di belakang imam-imam shalat di Kota Madinah yang bermadzhab Maliki, padahal imam-imam shalat itu tidak membaca basmalah sama sekali ketika membaca Al-Fatihah, baik pelan maupun keras ... (lihat: Al-Inshaf lid-Dahlawi : 109).
  10. Imam Asy-Syafi’i rahimahullah pernah shalat shubuh di masjid dekat makam Imam Abu Hanifah rahimahullah dan tidak melakukan qunut (sebagaimana madzhab beliau), dan itu beliau lakukan ”hanya” karena ingin menghormati Imam Abu Hanifah. Padahal Imam Abu Hanifah rahimahullah telah wafat tepat pada tahun Imam Asy-Syafi’i rahimahullah lahir (lihat: Al-Inshaf : 110).
Diceritakan dari Imam Abu Ya’la Al-Farra’ Al-Hambali rahimahullah bahwa, pernah ada seorang ulama fiqih yang datang kepada beliau untuk belajar dan membaca kitab fiqih berdasarkan madzhab Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah. Beliau (Imam Abu Ya’la rahimahullah) bertanya tentang negeri asalnya, dan iapun memberi tahukannya kepada beliau. Maka beliau berkata kepadanya: Sesungguhnya penduduk negerimu seluruhnya mengikuti madzhab Imam Asy-Syafi’i rahimahullah, lalu mengapakah engkau meninggalkannya dan ingin beralih ke madzhab kami? Ia menjawab: Saya meninggalkan madzhab itu karena saya senang dan tertarik denganmu. Selanjutnya Imam Abu Ya’la rahimahullah berkata: Ini tidak dibenarkan. Karena jika engkau di negerimu bermadzhab dengan madzhab Imam Ahmad rahimahullah, sedangkan seluruh masyarakat di sana mengikuti madzhab Imam Asy-Syafi’i rahimahullah, maka engkau tidak akan mendapatkan seorangpun yang beribadah (dalam madzhab Ahmad rahimahullah) bersamamu, dan tidak pula yang belajar denganmu. Bahkan sangat boleh jadi justru engkau akan membangkitkan permusuhan dan menimbulkan pertentangan. Maka statusmu tetap berada dalam madzhab Asy-Syafi’i rahimahullah  seperti penduduk negerimu adalah lebih utama dan lebih baik (lihat: Al-Muswaddah Fi Ushulil Fiqhi Li Aali Taimiyah hal. 483).

Senin, 11 November 2013

A L - F A T I H A H


A L - F A T I H A H
oleh:
Aris Saptiono
 
Surat ini turun di Mekkah, memiliki tujuh ayat, dua puluh lima kalimat dan seratus tiga belas huruf. Ibnu Katsir I:8. Selain itu surat ini memiliki beberapa nama sebagai berikut :
1.    Fatihatul Kitab. Dinamai Fatihatul Kitab atau yang dikenal surat Al Fatihah, karena Al Quranul Karim yang agung ini dimulai dengan suratAl Fatihah/Fatihatul Kitab yang artinya Pembuka. Dan perlu diketahui, penyusunan surat dalam Al Quran bukan ditentukan oleh sebab turunnya ayat terlebih dahulu, akan tetapi sudah ditentukan oleh Nabi Muhammad saw berdasarkan wahyu dari Allah swt.
2.    Ummul Kitab. Dinamai Ummul Kitab, yang berarti induk Al Quran, karena surat ini mencakup aspek global bagi Al Quran. Seperti didalamnya terdapat pujian bagi Allah Azza wa Jalla, penetapan tauhid, perintah ibadah serta larangan, permintaan hidayah serta ketetapan iman, menceritakan kisah umat-umat terdahulu dan lain sebagainya.
3.    As Sab’ul Matsani. Dinamai As Sab’ul Matsani yang bermakna tujuh ayat yang diulang, karena surat ini memiliki tujuh ayat yang selalu diulang-ulang dalam shalat. Seorang yang shalat harus membacanya disetiap rakaat dalam shalat. Dan ini relevan dengan sebuah riwayat dari sahabat Abu Hurairah, Ibnu Abbas dan Abu Zaid bin Abu Maryam, mereka menafsirkan ayat Quran surat Al Hijr ; 80 :
“Dan sesungguhnya Kami telah memberi padamu sab’an minal matsani.”
Yang dimaksud Sab’an minal Matsani pada ayat ini adalah Al Fatihah. Fathul Bari IX : 7 dan 294.
4.    Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin. Dinamai Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin karena Nabi saw sendirilah yang pernah menyebut hal itu. Beliau berkata kepada Abu Sa’id Al Mu’alla, ‘Pastilah aku ajarkan kepadamu satu surat yang paling agung dalam Quran. Belaiu bersabda, ‘Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin, dia adalah As Sab’ul Matsani dan Al Quranul ‘Adzim yang diberikan Allah kepadaku.” Fathul Bari IX:5
5.    Al Quranul ‘Adzim, 6. Ummul Quran, 7. Asyifa, 8. AlKafiyah, 9. Al Wafiya, 10. Al Asas, 11. As Shalat, 12. Ar Ruqyah, 13. Asy Syyukru, 14. Al Kanzu, 15. Ad Du’a, 16. Asy Syafiyah. Fathul Bari VIII:198, Ash Shabuni I:14, Al Qurthubi I:111-113.
Keutamaan Al Fatihah
Didalam hadis riwayat Al Bukhari diterangkan, Abu Sa’id Al Mu’alla ra. berkata, “(ketika) aku sedang shalat di masjid, Rasulullah saw memanggilku dan aku tidak menjawabnya hingga menyelesaikan shalatku. Kemudian aku menemuinya, lalu Rasulullah saw bersabda, ‘Apa yang menghalangimu untuk mendatangiku?’ Aku menjawab, ‘Ya Rasulullah, sesungguhnya aku sedang shalat.’ Beliau bersabda, ‘Bukankah Allah swt berfirman, ‘Hai orang-orang yang beriman jawablah/penuhilah Allah dan RasulNya apabila Ia memanggilmu, untuk sesuatu yang akan menghidupkanmu.’ (Q.S Al Anfal:24). Kemudian Nabi saw bersabda, “Aku akan mengajarkan satu surat yang paling agung dalm Quran sebelum kamu keluar dari masjid.” Kemudian beliau memegang tanganku dan tatkala beliau hendak keluar, aku berkata, ‘Bukankah engkau berkata bahwa aku (Nabi) akan mengajarkan satu surat yang paling agung dalam Quran’. Beliau pun menjawab,’Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin, dia adalah As Sab’ul Matsani, Alquranul ‘Adzim yang diberikan Allah kepadaku.” Fathul Bari IX:5, Al Musnad IV:122.
Yang dimaksud Alhamdulillah, As Sab’ul Matsani dan Al Quranul ‘Adzim pada hadis diatas adalah Al Fatihah.
Ahkamusy Syar’i
Apakah bismillahirrahmanirrahim  termasuk surat Al Fatihah?
Menurut hemat kami, bahwa bismillahirrahmanirrahim merupakan bagian dari Al Fatihah. Lihatlah keterangan-keterangan dibawah ini :
“Dari Qatadah ra. berkata,”Anas ditanya, “Bagaimana bacaan (qira’ah) Nabi saw itu?’ Ia menjawab, ‘Qira’ah Nabi itu mad (panjang), beliau memanjangkan Bismillah memanjangkan Ar Rahmaan dan memanjangkan Ar Rahiim. Fathul Bari IX:111.
Dari Ummu Salamah beliau berkata, “Rasulullah saw apabila membaca memotong bacaan satu ayat satu ayat : bismillahirrahmanirrahim, alhamdulillahirabbil ‘alamin, arrahmanirrahim, malikiyaumiddin”. H.R Ad Daruqutni I:313
Dari Abu Hurairah ra. dari Nabi saw, Sesungguhnya beliau bersabda, “Apabila kami membaca (surat) Alhamdulillahirabbil ‘alamin maka bacalah bismillahirrahmanirrahim. Karena Alhamdulillahirabbil ‘alamin adalah Ummul Quran,Ummul Kitab dan As Sab’ul Matsani. Sedangkan bismillahirrahmanirrahim adalah salah satu darinya.” H.R Ad Daruqutni I:312
Dengan keterangan diatas jelaslah bahwa bismillahirrahmanirrahim termasuk salah satu dari surat Al Fatihah, ia menyiakan ayat pertama, karena tidak mungkin Nabi saw memulai surat Al Fatihah dengan membaca bismillahirrahmanirrahim kalau bismillah itu tidak termasuk ayat dari surat Al Fatihah. Apalagi didalam riwayat Ath-Thabrani dan Ad-Daruqutni diterangkan bahwa Rasul menjaharkan bacaan bismillahirrahmanirrahim (dalam shalatnya).
Adapun diantara yang berpendapat bahwa bismillah itu tidak termasuk ayat Al Fatihah, berdasarkan dalil-dalil dibawah ini :
“Dari ‘Aisyah ra. ia mengatakan, Rasulullah saw memulai shalatnya dengan takbir dan qira’ahnya (bacaannya) dengan Alhamdulillahirabbil ‘alamin.” H.R Muslim
Dari Anas ra. ia mengatakan, “Saya shalat dibelakang Nabi saw, Abu Bakar, Umar dan Usman, mereka memulai bacaannya dengan Alhamdulillahirabbil ‘alamin.” H.R Al Bukhari dan H.R Muslim : 187
Hadis diatas tidak bisa dipaham atau tidak menunjukkan bahwa bismillah tidak termasuk Surat Al Fatihah, sebab surat Al Fatihah tidak akan dikatakan As Sab’ul Matsani (tujuh ayat yang diulang) kalau Bismillah tidak termasuk salah satunya. Fathul Bari, VIII:200
adapun maksud hadis diatas bahwa, beliau memulai bacaannya dengan Alhamdulillahirabbil ‘alamin maksudnya adalah Al Fatihah karena alhamdulillahhirabbil ‘alamin salah satu nama dari surat Al Fatihah.
Ada keterangan lain riwayat Muslim I:187, bahwa rasulullah saw mensirkan bacaan bismillah, tidak memperdengarkannya, tidak menyebut dan pernyataan Anas (ia tidak mendengarnya). Adanya keterangan-keterangan ini pun tidak menunjukkan dengan pasti bahwa Bismillah tidak termasuk surat Al Fatihah.
Dengan demikian tdak ada keterangan yang jelas dan sharih yang menerangkan bahwa Bismillah tidak termasuk surat Al Fatihah.
Kesimpulan
Hujah yang kuat bahwa Bismillah itu adalah bagian dari Al Fatihah, berdasarkan selain keterangan diatas, juga dengan ditetapkannya penulisannya pada mushaf atau Al Quran, yang kemudian naskah-naskah selanjutnya dibagikan oleh ketiga Khalifah ke berbagai negara.
Sesungguhnya, pada hakekatnya soal bismillah semacam ini tidak layak diperselisihkan lagi. Sebab, apabila Bismillah tidak diakui bagian dari Al Fatihah, berarti mengakui tambahan dalam Al Quran yang mestinya tidak ada.(Istifta Ust. Abdurrahman hal 31-32).
Bahasan tentang Bismillahirrahmanirrahim, Insya Allah akan disampaikan dengan kajian terpisah.
Wallahu a’lam Bish-shawab.