Salurkan Zakat, Infaq, Shadaqah dan Wakaf anda ke ZISWAF al-Muhajirin

Panitia Renovasi Masjid Al-Muhajirin

renovasi Masjid Al-Muhajirin ke Bank Syariah Mandiri KCP Jatinangor an. Panitia Renovasi Al Muhajirin Nomor Rekening 1000-555-777

iklan

jazakamullah ahsanal jaza' semoga Allah SWT akan membalas kalian dengan balasan yang terbaik. aamiin yaa robbal 'alamiin...

Selasa, 03 Juni 2014

HAFIDZUN ALIMUUN



HAFIDZUN ALIMUUN

Oleh:

 Abdul Wahid

قَالَ اجْعَلْنِي عَلَى خَزَائِنِ الْأَرْضِ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ

Artinya: ''BerkataYusuf, 'Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir), sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga (hafidzun), lagi berpengetahuan (alimun).'' (QS Yusuf [12]: 55).

Islam memberikan perhatian besar dalam masalah kepemimpinan. Rasulullah SAW memerintahkan untuk memilih seorang pemimpin jika ada tiga orang yang bepergian. Dalam sebuah riwayat dinyatakan; ''Jika tiga orang bepergian, mereka wajib menunjuk salah seorang di antara mereka sebagai pemimpinnya.'' (HR. Abu Dawud).
Salah satu panduan bagi kita adalah firman Allah dalam  Q.S. Yusuf ayat 55 yang  mengisyaratkan tentang dua kriteria mendasar yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin.
Pertama, hafidzun (yang pandai menjaga). Seorang pemimpin harus mampu menjaga agamanya dengan selalu menjaga hubungan dengan Allah SWT (hablumminallah). Seorang pemimpin juga harus mampu menghadirkan Allah SWT dalam setiap aktivitas dan perilakunya (muraqabatullah).
Melalui  hablumminallah dan  muraqabatullah ini, seorang pemimpin tidak akan menjatuhkan dirinya kedalam perilaku negatif,  seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Ia akan bekerja dengan amanah, jujur, memiliki integritas, dan komitmen terhadap kemajuan bangsa dan negara.
Kedua,  'alimun  (berpengetahuan). Seorang pemimpin harus memiliki dan menguasai beragam disiplin ilmu untuk menunjang keberhasilan kepemimpinannya. Di antara ilmu itu adalah ilmu agama, manajerial dan  leadership, ketatanegaraan, pengetahuan tentang problematika masyarakat, dan ilmu kepemimpinan lainnya. Dengan kekuatan keilmuan yang dimilikinya, seseorang dapat memimpin secara profesional, sehingga kebijakan yang dibuatnya akan berorientasi pada kemaslahatan rakyat yang dipimpinnya.
Rakyat Indonesia, terutama umat Islamnya, yang saat ini sedang berada dalam suasana hiruk pikuk pemilihan presiden, seyogyanya mampu untuk mengedukasi dirinya sehingga menjadi pemilih yang cerdas, yaitu pemilih yang bebas dari berbagai tekanan dan iming-iming materi. Ingatlah salah dalam memilih pemimpin dan wakil rakyat akan berakibat fatal bagi masa depan bangsa ini.
Memang, sulit bagi kita untuk mendapati manusia yang sangat istimewa yang tidak memiliki kekurangan. Dengan mendasarkan pada keyakinan bahwa manusia adalah mahluk yang pasti melakukan kesalahan dan dosa, maka, tindakan calon pemilih seperti kita adalah menentukan mana diantara calon pemimpin itu yang paling sedikit memiliki cela dan paling banyak memiliki kompetensi. Inipun tentunya akan sangat subyektif, tergantung dari sudut mana dan siapa yang melihatnya.
Saya mencoba untuk menganalogikan ‘kewajiban’ memilih ini sebagai upaya seorang muslim dalam berijtihad untuk menentukan sebuah kepastian hukum. Bukankah Rasulullah SAW dalam sebuah kesempatan dengan para sahabatnya pernah menyatakan bahwa dua pahala diberikan kepada yang benar dalam mengambil keputusan (ijtihad) dan satu pahala bagi yang keliru dalam mengambil keputusannya.
Peristiwa ini terjadi dalam konteks pelaksanaan sholat wajib lima waktu dalam perjalanan, yang kemudian para sahabat berbeda dalam memahami perintah  yang diungkapkan oleh rasul sebelum mereka pergi. Dari sini nampak betul bahwa rasul sangat menghargai keputusan yang diambil seseorang yang dilandasi atas niat baik untuk menjalankan perintah Allah dan rasulNya.
Begitupun dalam kaitannya dengan pemilihan presiden Republik Indonesia saat ini. Tentu menjadi masalah yang sulit bagi kita untuk mendapatkan pilihan yang sempurna. Masing-masing menawarkan dirinya sebagai calon pemimpin yang memiliki kapasitas, kapabilitas dan kompetensi yang mumpuni.
Dengan mengacu pada peristiwa sahabat rasul di atas, maka, kita harus berani untuk mengambil keputusan, apapun dan siapapun pilihannya. Sambil berharap agar pilihan kita yang terpilih nantinya, maka kita serahkan “ijtihad” kita tersebut kepada Allah SWT. Mudah-mudahan saja kita tetap mendapatkan pahala, seandainya nanti pilihan yang kita tentukan ternyata melenceng dari kesempurnaan sebagaimana sahabat Nabi yang berbeda dalam menjalankan sholat dalam perjalanan.
Dan, sebagai bekal kita dalam berijtihad  adalah kandungan makna dalam Q.S. Yusuf ayat 55 di atas. Semoga Allah senantiasa menganugerahkan hidayahNya kepada kita semua, sehingga kita mampu menjadi pemilih yang cerdas dan pada akhirnya nanti bangsa dan negara kita akan menjadi negara dan bangsa yang sejahtera, aman, adil dan makmur.