Salurkan Zakat, Infaq, Shadaqah dan Wakaf anda ke ZISWAF al-Muhajirin

Panitia Renovasi Masjid Al-Muhajirin

renovasi Masjid Al-Muhajirin ke Bank Syariah Mandiri KCP Jatinangor an. Panitia Renovasi Al Muhajirin Nomor Rekening 1000-555-777

iklan

jazakamullah ahsanal jaza' semoga Allah SWT akan membalas kalian dengan balasan yang terbaik. aamiin yaa robbal 'alamiin...

Jumat, 25 Oktober 2013

BERHUJAH DENGAN HADIS DHAIF


BERHUJAH DENGAN HADIS DHAIF
Oleh :
Ust. Aam Aminudin, M.Ag
 Pada dasarnya nilai hadis dhaif adalah mardud (tertolak dan tidak dapat dijadikan hujah). Apalagi jika hadis dhaif itu tergolong hadis maudu, sama sekali tidak bisa dijadikan hujah. Tetapi kemudian jika hadis dhaif itu tidak termasuk kategori hadis maudu, maka diperselisihkan tentang boleh tidaknya diriwayatkan untuk dijadikan hujah (dasar,  landasan argumentasi, tanda, bukti, dalil). Dalam hal ini para ulama terbagi tiga golongan.
Pertama, melarang secara mutlak meriwayatkan dan atau mempergunakan untuk  berhujah dengan hadis dhaif, baik untuk menetapkan hukum maupun tentang keutamaan amal. Pendapat ini dipertahankan oleh  Abu Bakar ibn al-Arabi).
Kedua, membolehkan periwayatan dan penggunaan hadis dhaif untuk memberi  dorongan, menerangkan keutamaan amal dan cerita, bukan untuk hukum syariat dan akidah. Pendapat ini disampaiakn oleh Ahmad ibn Hanbal, Abd al-Rahman Ibn Mahdi, Abdullah ibn al-Mubarak)
Ketiga, membolehkan berhujah dengan hadis dhaif dengan bersyarat. Pendapat ini disampaikan oleh Ibn Hajar al-Asqalani . Syarat yang dimaksud yaitu:
1) hadis dhaif tersebut tidak keterlaluan (bukan madu’, matruk dan munkar)
2) Dasar amal yang ditunjuk oleh hadis dhaif tersebut di bawah suatu dasar yang dibenarkan oleh hadis shahih dan hasan.
Misalnya Hadis dhaif Ibnu Abd al-Barr dari Ibn Umar yang menjelaskan bahwa Rasulallah bersabda: “Siapa yang dapat menghafal 40 buah hadis, sampai mau menyampaikan kepada umat, aku bersedia menjadi pemberi syafaat dan saksi padanya, di hari kiamat kelak”.
Hadis dhaif di atas mempunyai dasar hadis shaih, yaitu : Rasulallah saw bersabda: Hendaknya di antara kamu yang menyaksikan, menyampaikan kepada orang yang tidak menyaksikan. ( HR. Bukhari dan Muslim)
3) Dalam mengamalkan tidak mengitikadkan bahwa hadis tersebut benar-benar bersumber dari Nabi Saw, tujuan mengamalkannya hanya semata-mata untuk ihtiyath, kehati-hatian saja.
Wallahua’lam bishawab,,,



Jumat, 18 Oktober 2013

Wakaf Qur'an dan Buku "Satu Buku Sejuta Ilmu"

Bismillahirrahmanirrahiim
DKM Al-Muhajirin Mengadakan Program Wakaf Qur'an dan Buku 
Hadist Rosulullah SAW. Dari Anas bin Malik, Rasulullah bersabda :
“Ada tujuh amalan yang pahalanya terus mengalir bagi seseorang meski sudah meninggal; orang yang mengajarkan ilmu, orang yang mengalirkan sungai (untuk kepentingan umum), orang yang menggali sumur (untuk kepentingan umum), orang yang menanam pohon kurma untuk kepentingan umum, orang yang membangun masjid, orang yang mewariskan mushaf, dan orang yang meninggalkan anak yang senantiasa memohon ampunan baginya” [shahih Al-Aljami’ 3596]  
Kami menerima wakaf dari jama'ah berupa qur'an atau buku yang Insya Allah akan berguna untuk kita semua. Aamiin
yang akan berwakaf dapat menghubungi :
DKM Al-Muhajirin Komplek Griya Mitra RW 026 Jl. Mitra Setia Raya Cinunuk-Cileunyi
cp. Bp. Yudha Negara 081 221 891 000
Bp. Asep Surahmah 0815 714 2898
sdr. Arif Hidayatullah 085 721 018 993 


Kamis, 17 Oktober 2013

MUSTAJABNYA DOA PADA LIMA WAKTU


MUSTAJABNYA DOA PADA LIMA WAKTU
oleh:
Bp. Aris Saptiono

Rasulullah saw. senantiasa memotivasi kaum muslimin agar memperbanyak doa, sebab memperbanyak doa merupakan mukhul ibadah (inti ibadah). Allah swt. sangat mencintai terhadap seorang hamba yang memperbanyak berdoa, sebaliknya Allah swt. membenci terhadap hamba yang putus asa dalam berdoa. Oleh sebab itu Rasulullah saw. mengajurkan apabila berdoa agar memilih pada waktu-waktu yang doa itu akan diijabah. Seperti pada sepertiga malam (akhir), pada waktu sujud dan akhir pada salat yang wajib.
Terdapat beberapa riwayat bahwa doa seorang akan mustajab apabila dilaksanakan pada lima waktu, yaitu pada awal malam dari bulan Rajab, awal malam Nisfu Sya’ban, malam Jum’at, awal malam Idul Fitri dan awal malam Idul Adha. Adapun hadis-hadisnya sebagai berikut :
Hadis ke - 1
Abul Fathi Nasrullah bin Muhammad telah menghabarkan kepada kami, Nasr bin Ibrahim telah menceritakan kepad kami, Abu Said Bundar bin Umar Ar-Ruyani telah menghabarkan kepada kami, Abu Muhammad (Abdullah bin Ja’far Al Khobazi, Abu Ali Al Hasan bin Ali bin Muhammad telah menghabarkan kepada kami) bin Basyar Az Zahidi telah menghabarkan kepada kami - di Hamdan (tempat) dengan membacakan dari asal simanya – Ali bin Muhammad Al Qozwini telah menghabarkan kepada kami, Ibrahim bin Muhammad bin Burrah As Shanani telah menceritakan kepada kami, Abdul Qudus telah menceritakan kepada kami, Ibrahim bin Abi Yahya telah menceritakan kepada kami, dari Abu Qo’nab, dari Abu Umamah Al Bahili berkata, Rasulullah saw. telah bersabda, “Pada lima malam yang tidak akan ditolak (diijabah) padanya doa, yaitu : Awal malam pada bulan Rajab, malam pertengahan bulan Sya’ban, malam Jum’at, malam Idul Fitri dan malam Idul Adha”.
Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Asakir dalam kitabnya Tarikh Madina Dimasyq, yang lebih dikenal dengan Tarikh Ibnu Asakir, X : 408.
Hadis ini dlaif karena pada sanadnya terdapat tiga rawi yang dinyatakan dlaif, yaitu :
1.  Bundar bin Umar Ar Ruyani, An Nakhsyi mengatakan, “Ia rawi pendusta”. Mizanul ‘Itidal, I:353 dan Lisanul Mizan, II:64.
2.  Ibrahim bin Abi Yahya, Ia adalah Abu Ishaq Ibrahim bin Muhammad bin Abu Yahya al Aslamy al Madany, salah seorang ulama yang lemah. Ibrahim bin ‘Ar’arah mengatakan, ‘saya mendengar Yahya bin Said berkata,’Aku bertanya kepada Malik tentang dia apakah ia rawi yang tsiqat dalam urusan hadis? Ia menjawab, ‘Tidak! Juga ia tidak terpercaya dalam urusan agama. Yahya bin Main mengatakan, Aku mendengar al Qathan berkata, “Ibrahim bin Abu Yahya, Kadzab (pendusta)”. Abbas meriwayatkan dari Ibnu Main, ‘(Ibrahim bin Abu Yahya), Kadzab, Rafidly. An Nasai, Ad Daruqutni juga yang lainnya mengatakan, “Matruk”. Mizanul ‘Itidal, I:57-58.
3.  Abu Qo’nab, namanya ialah Muamal Ibnu Umaral Qaini. Ia seorang rawi yang tidak dikenal dikalangan ahli hadis. Dan hanya tercantum dalam kitab Al Ikmal Libni Ma’kul, II:82/CD. Dan Al Albani mengatakan dalam kitab Silsilatul ahaditsid dlaifah, III:643, ‘Saya tidak mengenal rawi itu’.
Hadis ke – 2
Hadis ini diriwayatkan oleh al Baihaqi dan Abdurrazaq dari sahabat Ibnu Umar.
Abdullah al Hafidz memberitahukan kepadaku dengan cara Ijazah dan Imam Abu Usman Ismail bin Abdurrahman As Shabuni meriwayatkan pula darinya, Abu Abdillah Muhammad bin Ali bin Abdil Hamid menghabarkan kepada kami, Ishaq bin Ibrahim menghabarkan kepada kami, Abdur Razaq menghabarkan kepada kami, orang yang mendengar dari al Bailamani telah menghabarkan kepada kami, ia menceritakan dari ayahnya, dari Ibnu Umar berkata, “Lima malam yang tidak akan ditolak padanya doa, yaitu malam Jum’at, awal malam dari bulan Rajab, malam Nisfu Sya’ban dan dua malam hari raya (Idul Adha & Idul Fitri)”. Syu’abul Iman, III:342, Abdurrazaq, IV:317.
Hadis ini pun dlaif karena terdapat beberapa kelemahan antara lain :
-     Rawi yang tertulis dengan lafadz man sami’al Bailamani adalah mubham yang tidak diketahui nama dan identitasnya. Sedangkan Al Bailamani sendiri adalah termasuk rawi yang lemah. Ia adalah Abdurrahman bin al Bailamany. Bapak Muhammad bin Abdurrahman bin al Bailamany, Maula Umar bin Khatab.
-     Abu Hatim mengatakan, ‘Ia seorang rawi yang lemah’, Al Bazar mengatakan,’baginya memiliki periwayatan yang munkar’. Ia rawi yang dlaif menurut kalangan ahli ilmu”.
-     Ad Daruqutni mengatakan,”Dlaif, tidak bisa dijadikan hujjah apabila hadis yang ia riwayatkan secara mausul, terlebih lagi apabila ia meriwayatkan hadis secara mursal”.
-     Ibnu Hajar menerangkan dalam kitabnya At Taqrib, ‘Ia rawi yang dlaif’. Tahdzibul Kamal, XVII:9.
Hadis ke – 3
Hadis ini diriwayatkan oleh al Baihaqi dari sahabat Abu Darda.
Abu Sa’id muhammad bin Musa telah menghabarkan kepada kami, Abul Abbas Al Asham telah menghabarkan kepada kami, Ar Rabi telah menghabarkan kepada kami, Asy Syafi’i telah menghabarkan kepada kami, Ibrahim bin Muhammad telah menghabarkan kepada kami, ia berkata, Tsaur bin Yazid berkata, dari Khalid bin Ma’dan dari Abu Darda berkata, “Barangsiapa yang berdiri (salat) pada dua malam ‘Id karena mengharap ridha Allah, hatinya tidak akan mati disaat semua hati itu mati. As Syafi’i berkata, telah sampai kepada kami, bahwa beliau.... Sesungguhnya doa itu akan diijabah pada lima malam, yaitu malam Jum’at, malam Idul Adha, Malam Idul Fitri, awal malam bulan Rajab dan awal malam pertengahan bulan Sya’ban”. H.R. Al Baihaqi, Syu’abul Iman, III:34
Pada sanad hadis ini terdapat rawi yang bernama Ibrahim bin Muhammad. Ia adalah salah satu guru Imam Asy-Syafi’i. Yang dimaksud Ibrahim bin Muhammad dalam sanad hadis ini adalah Ibrahim bin Muhammad bin Abu Yahya karena yang menjadi guru Imam Asy-Syafi’i sebagaimana yang diterangkan oleh Al-Mizi dalam kitab Tahdzibul Kamal bahwa tidak terdapat nama Ibrahim bin Muhammad yang menjadi guru Imam Asy-Syafi’i selain Ibrahim bin Muhammad bin Abu Yahya Al-Aslami. Adapun tentang kedlaifannya sebagaimana yang telah diterangkan diatas.
Dengan memperhatikan keterangan-keterangan diatas, meyakini diijabahnya doa pada lima waktu sebagaimana dalam hadis diatas adalah tidak pernah dicontohkan oleh Nabi saw. & tidak bisa dijadikan hujjah.

Rabu, 09 Oktober 2013

SHAUM ARAFAH



SHAUM ARAFAH
oleh : 
Bp. Aris Saptiono



مَاضِيَةً سَنَةً يُكَفِّرُ عَاشُوراَءَ وَصَوْمُ وَمُسْتَقْبِلَةً مَاضِيَةً سَنَتَيْنِ يُكَفِّرُ عَرَفَةَ يَوْمِ صَوْمُ: وَسَلَّمَ اللَّه عَلَيْهِ اللهِ صَلَّى رَسُولُ قَالَ : قَالَ قَتَادَةَ أَبِي عَنْ
Dari Qatadah ia berkata : “Rasululllah saw. bersabda, ‘Saum hari Arafah akan menghapus (dosa) dua tahun; yaitu tahun lalu dan yang akan datang... H.r. Al-Jamaah, Kecuali Bukhari dan At-Tirmidzi, Nailul Authar, IV:306 no. 1704
Syarah Mufradat
1.     Hari Arafah adalah nama hari yang jatuh pada tanggal 9 Dzulhijjah. Dinamai demikian karena ada kaitannya dengan kegiatan orang-orang beribadah haji yang sedang wukuf di Arafah. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Syakh Manshur ali Nashif;
Hari arafah adalah hari yang kesembilan bulan dzulhijjah. Diberi nama demikian karena orang-orang yang sedang menunaikan ibadah haji sedang wukuf pada hari itu di Arafah; yaitu tempat yang telah dikenal dalam ibadah haji. At-Taaj, II:95
2.     Menghapus dosa, Imam An-Nawawi menyatakan :
Mereka (para ulama) berkata, “yang dimaksud dengan dosa-dosa adalah dosa-dosa yang kecil, jika tidak ada dosa-dosa yang kecil, diharapkan mengurangi dosa-dosa yang besar. Kemudian jika tidak ada maka akan diangkat derajatnya.” Tuhfatul Ahwadzi, III;377
3.     Dua Tahun, yaitu tahun yang lalu dan yang akan datang.
Saum tersebut dapat menghapus dosa yang telah lalu, hal itu dapat dipahami, karena dosanya telah ada (dilakukan). Akan tetapi menghapus dosa yang akan datang yang belum kita lakukan, maka bagaimana bisa menghapus apabila dosanya pun belum ada. Hal ini sepintas seperti terasa rancu.
Imam  Muhammad bin Ali Muhammad Asy-Syaukani menyatakan :
“Dan sungguh penghapusan (dosa) yang tahun akan datang telah dianggap musykil (sulit dipahami), karena menghapus adalah berarti manutupi dan hal itu tidak akan ada melainkan bagi sesuatu yang telah terjadi. Akan tetapi hal tersebut telah dijawab, yaitu bahwa yang dimaksud adalah akan menghapus setelah terjadi dosa atau Allah swt akan menjaganya sehingga ia tidak akan melakukan dosa padanya”. Nailul Authar,IV;308
Pada hadis diatas, Rasulullah saw. men-targhib (memberikan semangat) kepada umatnya agar menunaikan saum yang hukumnya sunat tersebut dengan menerangkan pahalanya, yaitu dapat menghapus dosa tahun yang lalu dan yang akan datang. Bahkan pada lanjutan hadis diatas, Beliau menerangkan tentang saum Asyura’ (10 Muharam) yang pahalanya akan menghapus dosa yang telah lalu.
Imam Ash-Shan’ani menjelaskan; Hadis itu menunjukkan bahwa Saum Arafah lebih utama dari pada saum Asyura’. Subulussalam,II;336
Syarah Hadis
Hadis diatas secara mutlak menerangkan tentang sunatnya saum Arafah bagi seluruh umat Nabi Muhammad saw. baik yang sedang menunaikan ibadah haji (sedang wukuf di Arafah) ataupun tidak. Sehingga para sahabat ketika sedang melakukan wukuf di Arafah, mereka telah berbeda pendapat tentang Rasulullah saw. apakah beliau saum atau tidak pada saat itu? Hal ini sebagaimana hadis :
“Dari maemunah ra. sesungguhnya orang-orang telah ragu terhadap Nabi saw. pada hari (beliau sedang wukuf) di Arafah. Kemudian aku mengutus kepadanya dengan membawa bejana (alat untuk memerah susu) sedangkan beliau sedang berdiri di tempat itu. Kemudian beliau meminum (susu) daripadanya, sedangkan orang-orang melihatnya.” Sahih Bukhari, I;414 no. 1989
Dengan peristiwa itu, maka seluruh sahabat mendapat kejelasan tentang amal beliau.
Ibnu Umar ra. pernah ditanya tentang saum ketika sedang wukuf di Arafah, ia menjawab : “Aku menunaikan ibadah haji bersama Rasulullah saw. maka beliau tidak saum, bersama Abu Bakar, maka ia pun tidak saum, bersama Umar, maka ia pun tidak saum, dan bersama Utsman, maka ia pun tidak saum. Kemudian aku pun tidak melakukannya, aku tidak menyuruhnya dan tidak melarangnya, Abu Isa berkata: “ini adalah hadis Hasan”. Tuhfatul Ahwadzi, III;379.
Dengan demikian, dapatlah kita simpulkan bahwa sunat hukumnya saum Arafah bagi orang yang sedang tidak menunaikan ibadah haji. Sedangkan bagi yang sedang menunaikan ibadah haji (sedang wukuf di Arafah), maka tidak saum itu merupakan sunah Rasulullah saw. dan Khulafaur Rasyidin.
Wallahu ‘alam