Salurkan Zakat, Infaq, Shadaqah dan Wakaf anda ke ZISWAF al-Muhajirin

Panitia Renovasi Masjid Al-Muhajirin

renovasi Masjid Al-Muhajirin ke Bank Syariah Mandiri KCP Jatinangor an. Panitia Renovasi Al Muhajirin Nomor Rekening 1000-555-777

iklan

jazakamullah ahsanal jaza' semoga Allah SWT akan membalas kalian dengan balasan yang terbaik. aamiin yaa robbal 'alamiin...

Sabtu, 09 Agustus 2014

Idul Fitri dan Rekonsiliasi Sosial


Idul Fitri dan Rekonsiliasi Sosial

Oleh 

Abdul Wahid

 

Sesungguhnya hakikat hari raya Idul Fitri adalah perayaan kemenangan atas nafsu di bulan Ramadhan. dan kita dapat kembali ke fitrah, ‘idul Fitri. Sebagaiman diketahui bahwa di bulan ramadhan, orang beriman diwajibkan untuk melaksanakan puasa agar menjadi orang yang bertakwa. (QS. Al-Baqarah; 183)
Ada dua makna dalam ‘idul fitri yang kita rayakan tersebut. Pertama, kembali kepada dihalalkannya makan dan minum serta hubungan suami isteri pada siang hari. Kedua, kembali kepada fitrah manusia yang suci setelah sebulan lamanya diuji keimananya.
Manusia terlahir dalam keadaan suci tanpa beban kesalahan apa pun. Nabi Muhammad SAW bersabda dalam sebuah hadis, "Setiap bayi yang dilahirkan adalah fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan (mereka) Yahudi, Nasrani, ataupun Majusi.'' (HR. Muslim)
Sebagai manusia yang memiliki potensi untuk berbuat salah dan khilaf, maka ‘idul fitri menjadi saat yang tepat untuk  menyadari segala kesalahan dan dosa yang dilakukan selama ini, dan selanjutnya meminta maaf kepada orang lain atas segala kesalahan tersebut.
Bangsa Indonesia yang dalam beberapa bulan terakhir disibukan dengan agenda pemilu legislatif dan pemilihan presiden, tentu dalam praktiknya banyak melibatkan berbagai bentuk perilaku dan perbuatan yang saling menjatuhkan lawan, menghina, mencaci maki, memfitnah dan perilaku buruk lainnya.
Maka, momentum ‘idul fitri ini menjadi saat yang baik untuk adanya rekonsiliasi sosial, saling memaafkan, saling memahami orang lain. Sebab dalam sebuah kompetisi pasti ada yang menang dan yang kalah. Yang menang tidak sombong dan jumawa. Yang kalah tidak perlu dendam dan putus asa. Yang harus dikedepankan adalah kepentingan bersama, kepentingan umat, bukan kepentingan satu golongan dan segelintir orang saja.
 ‘Idul Fitri mencerminkan tiga sikap yang mesti dimiliki setiap Muslim.
Pertama, mempertahankan nilai-nilai kesucian yang diraih umat Islam pada bulan ramadhan. Berlalunya momentum puasa hendaknya tidak dijadikan sebagai kembalinya manusia ke kebiasaan dan perilaku yang jauh dari perintah Allah atau malah dekat dengan segala larangan-Nya.
Kedua, berharap agar Allah SWT mengampuni dosa-dosa umat Islam yang telah lalu dan meminta selalu dibimbing agar dijauhkan dari perbuatan dosa pada hari-hari setelah ramadhan.
Ketiga, melakukan evaluasi diri terhadap ibadah puasa kita, apakah  sudah sesuai dengan yang diharapkan Allah? Jangan sampai kita seperti yang disabdakan Nabi SAW, "Banyak sekali orang yang berpuasa, yang puasanya sekadar menahan lapar dan dahaga."
Keharusan yang dilakukan oleh seorang muslim setelah menjalankan ibadah shaum di bulan ramadhan adalah berusaha untuk istiqamah. Ajeg dalam melaksanakan segala perintah Allah. Tidak mudah goyah, sungguh-sungguh dan sabar dalam menjalankan ibadah.
Allah SWT berfirman: "Sesungguhnya orang-orang yang berkata: "Tuhan kami adalah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat-malaikat akan turun kepada mereka (dengan berkata), "Janganlah kalian merasa takut dan bersedih hati; dan bergembiralah dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan kepadamu." (QS. Fuhsilat: 30).
Orang yang bertakwa menjadikan sebelas bulan setelah ramadhan sebagai saat untuk menerapkan nilai-nilai kebaikan yang ia dapat di bulan ramadhan. Dalam sebelas bulan di luar ramadhan ia tetap rajin membaca al-Qur’an, infaq, shodaqoh, zakat, peduli terhadap orang yang tidak mampu dan kaum dhu’afa, dan menjalin silaturrahmi dengan saudaranya.
Tetap memakmurkan masjid, istiqomah dalam segala kebaikan, amar ma’ruf dan nahi munkar. Itulah hakikat muttaqiin yang menjadi tujuan diwajibkannya puasa ramadhan.
Semoga Allah SWT. Tuhan yang Maha Rahman dan Rahiim, senantiasa mencurahkan kasih dan sayangnya kepada kita semua, sehingga kita mampu menjadi insan muttaqiin yang mampu untuk istiqomah dalam menjalankan segala kebaikan di luar bulan ramadhan, amiin ya rabbalalamiin.
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1435 H. Mohon Maaf Lahir dan Batin

Senin, 07 Juli 2014

Menggapai Surga di Bulan Ramadhan



Menggapai Surga di Bulan Ramadhan

Oleh 

Abdul Wahid 


  

 Ketua Panitia Ramadhan 1435 H DKM Al-Muhajirin 

Ramadhan adalah bulan penuh rahmat dan keberkahan. Diantara keutamaan bulan ini adalah dapat menghantarkan orang yang berpuasa akan terbebas dari neraka dan tentunya akan masuk surga. Kita akan memperoleh surga manakala ampunan Allah Swt. sudah kita peroleh. Dan ampunan Allah SWT. akan diperoleh manakala kita sudah mendapat rahmat-Nya melalui pelaksanaan ibadah puasa yang baik. 
Karena surga Allah SWT. dapat kita peroleh melalui rahmat-Nya maka,  bagaimana cara kita memperoleh rahmat Allah SWT tersebut. Puasa merupakan salah satu bentuk ibadah yang mengandung nilai-nilai pendidikan baik individual maupun sosial. Orang yang berpuasa secara sengaja menahan lapar, dahaga, dan syahwat mulai dari terbit fajar sampai terbenam matahari dengan niat karena Allah semata. Upaya seperti ini bila dilakukan dengan penuh keimanan dan kesadaran akan melahirkan sikap empati dan simpati kepada orang miskin dan mustadh’afin (orang yang tertindas).
Rasa empati dan simpati terhadap orang miskin dan mustadh’afin pada gilirannya akan melahirkan sifat dan sikap kasih sayang terhadap mereka. Sikap kasih sayang ini kemudian akan mengundang rahmat dari Allah Swt. sebagaimana ditegaskan oleh Rasulallah saw, ”Orang-orang penyayang itu akan disayangi oleh ar-Rahmaan (Yang Maha Penyayang), (oleh karena itu) sayangilah oleh kamu sekalian yang ada di bumi, niscaya yang di langit akan menyayangimu. Ar-rahim (kasih sayang) itu bagian dari ar-Rahmaan (Allah SWT), maka barang siapa yang menyambungkannya, Allah akan menyambungkan rahmat-Nya kepadanya, dan barang siapa yang memutuskannya, Allah akan memutuskan rahmat-Nya kepadanya” (H.R at-Tirmidzi).
Kasih sayang kepada sesama makhluk Allah SWT, terutama kepada kelompok miskin dan muatadh’afin dapat dilakukan dengan berbagai cara. Bisa dengan cara  bertutur kata yang baik, tersenyum, berdoa untuk kebaikan, sampai pada membebaskan mereka dari berbagai macam kesulitan hidup.
Pada saat kita berbagi dengan dengan sesama, menyayangi mereka dengan tulus ikhlas karena Allah semata, maka pada saat bersamaan Allah akan merahmati dan menyayangi kita. Dan apabila Allah sudah menyayangi kita, pasti Ia akan mengampuni dosa-dosa kita. Jangankan dosa kecil, dosa besar sekalipun pasti akan diampuni-Nya asalkan kita meminta ampun kepada-Nya. Hal tersebut dikarenakan kasih sayang Allah SWT. meliputi segala sesuatu, kasih sayang-Nya senantiasa mengalahkan amarah-Nya.
Ampunan Allah SWT. yang disebabkan oleh sedekah atau kebiasaan kita berbagi dengan sesama dijelaskan dalam banyak hadits Rasulallah SAW. diantaranya, ”Sesungguhnya sedekah itu akan memadamkan amarah Tuhan dan menghindarkan diri dari kematian yang buruk” (H.R. at-Tirmidzi). Dalam hadits yang lain dinyatakan bahwa, “…Setiap kebajikan adalah sedekah, dan ahli kebajikan di dunia mereka akan menjadi ahli kebajikan di akhirat, ahli kemunkaran di dunia, mereka akan menjadi ahli kemungkaran di akhirat, dan orang yang paling pertama dimasukan surga adalah ahli kebajikan” (H.R ath-Thabrany).
Menurut Abu Hurairah, Rasulallah saw pernah bercerita, ”Saya telah melihat seseorang masuk surga, dan bersenang-senang karenanya, hanya karena ia telah memotong satu batang pohon yang mengganggu jalanan kaum muslimin” (H.R. Muslim).
Bayangkan oleh kita, hanya memotong dahan pohon yang menghalangi orang berjalan saja dapat memasukan orang ke dalam surga. Bagaimana dengan menolong sesama manusia, membebaskan mereka dari himpitan kesulitan, memasukan kebahagiaan ke dalam hati-hati mereka, tentunya bila semua itu kita lakukan dengan tulus ikhlas, karena iman dan mengharap pahalanya, pasti akan memasukan kita ke dalam surga-Nya.
Puasa ramadhan yang dilakukan dengan penuh kesadaran dan keikhlasan, pada akhirnya akan mengantarkan kita pada pencapaian rahmat Allah SWT. tersebut. Kemampuan untuk menahan rasa lapar, dahaga dan syahwat lainnya, padahal kita memiliki sesuatu yang dapat kita makan, sesungguhnya sebagai simulasi jiwa dan ruhani kita dalam menghadapi godaan hidup yang sangat berat seperti saat ini.
Di tengah persaingan hidup yang sangat ketat dan tajam. Saat semua orang dengan sangat mudahnya mengumbar hawa nafsunya. Nafsu untuk mengumpulkan harta. Nafsu untuk berkuasa. Dan nafsu untuk mendapatkan penghargaan dan pujian dari orang lain. Untuk mencapainya ia melakukan segala cara. Tidak peduli apakah itu halal ataukah haram. Tidak penting apakah itu menyakiti orang lain ataukah tidak. Tidak jadi masalah apakah itu mengecewakan orang lain ataukah menyenangkannya. Yang penting adalah nafsu dia tersampaikan untuk memperoleh yang diinginkannya.
Nafsu yang terkendali dalam praktik pelaksanaan puasa, merupakan latihan yang sangat baik bagi seorang muslim untuk pada saatnya nanti dalam kehidupan nyata agar mampu juga mengendalikan hawa nafsunya. Rasa lapar dan dahaga yang dirasakan orang yang sedang puasa, pada saatnya nanti harus mampu melahirkan rasa empati dan simpati seorang muslim terhadap sesamanya yang kurang beruntung dalam kehidupannya.
Kuncinya adalah jika kita melaksanakan puasa dengan baik dan benar. Baik dalam niatnya dan dilaksanakan dengan  penuh penghayatan. Benar dalam tata cara pelaksanaannya sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Insya Allah predikat menjadi orang yang bertakwa yang akan mendapatkan surga melalui pintu ar-rayyan akan tercapai. Amiin ya rabbal ’alamiin. 

Selasa, 03 Juni 2014

HAFIDZUN ALIMUUN



HAFIDZUN ALIMUUN

Oleh:

 Abdul Wahid

قَالَ اجْعَلْنِي عَلَى خَزَائِنِ الْأَرْضِ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ

Artinya: ''BerkataYusuf, 'Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir), sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga (hafidzun), lagi berpengetahuan (alimun).'' (QS Yusuf [12]: 55).

Islam memberikan perhatian besar dalam masalah kepemimpinan. Rasulullah SAW memerintahkan untuk memilih seorang pemimpin jika ada tiga orang yang bepergian. Dalam sebuah riwayat dinyatakan; ''Jika tiga orang bepergian, mereka wajib menunjuk salah seorang di antara mereka sebagai pemimpinnya.'' (HR. Abu Dawud).
Salah satu panduan bagi kita adalah firman Allah dalam  Q.S. Yusuf ayat 55 yang  mengisyaratkan tentang dua kriteria mendasar yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin.
Pertama, hafidzun (yang pandai menjaga). Seorang pemimpin harus mampu menjaga agamanya dengan selalu menjaga hubungan dengan Allah SWT (hablumminallah). Seorang pemimpin juga harus mampu menghadirkan Allah SWT dalam setiap aktivitas dan perilakunya (muraqabatullah).
Melalui  hablumminallah dan  muraqabatullah ini, seorang pemimpin tidak akan menjatuhkan dirinya kedalam perilaku negatif,  seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Ia akan bekerja dengan amanah, jujur, memiliki integritas, dan komitmen terhadap kemajuan bangsa dan negara.
Kedua,  'alimun  (berpengetahuan). Seorang pemimpin harus memiliki dan menguasai beragam disiplin ilmu untuk menunjang keberhasilan kepemimpinannya. Di antara ilmu itu adalah ilmu agama, manajerial dan  leadership, ketatanegaraan, pengetahuan tentang problematika masyarakat, dan ilmu kepemimpinan lainnya. Dengan kekuatan keilmuan yang dimilikinya, seseorang dapat memimpin secara profesional, sehingga kebijakan yang dibuatnya akan berorientasi pada kemaslahatan rakyat yang dipimpinnya.
Rakyat Indonesia, terutama umat Islamnya, yang saat ini sedang berada dalam suasana hiruk pikuk pemilihan presiden, seyogyanya mampu untuk mengedukasi dirinya sehingga menjadi pemilih yang cerdas, yaitu pemilih yang bebas dari berbagai tekanan dan iming-iming materi. Ingatlah salah dalam memilih pemimpin dan wakil rakyat akan berakibat fatal bagi masa depan bangsa ini.
Memang, sulit bagi kita untuk mendapati manusia yang sangat istimewa yang tidak memiliki kekurangan. Dengan mendasarkan pada keyakinan bahwa manusia adalah mahluk yang pasti melakukan kesalahan dan dosa, maka, tindakan calon pemilih seperti kita adalah menentukan mana diantara calon pemimpin itu yang paling sedikit memiliki cela dan paling banyak memiliki kompetensi. Inipun tentunya akan sangat subyektif, tergantung dari sudut mana dan siapa yang melihatnya.
Saya mencoba untuk menganalogikan ‘kewajiban’ memilih ini sebagai upaya seorang muslim dalam berijtihad untuk menentukan sebuah kepastian hukum. Bukankah Rasulullah SAW dalam sebuah kesempatan dengan para sahabatnya pernah menyatakan bahwa dua pahala diberikan kepada yang benar dalam mengambil keputusan (ijtihad) dan satu pahala bagi yang keliru dalam mengambil keputusannya.
Peristiwa ini terjadi dalam konteks pelaksanaan sholat wajib lima waktu dalam perjalanan, yang kemudian para sahabat berbeda dalam memahami perintah  yang diungkapkan oleh rasul sebelum mereka pergi. Dari sini nampak betul bahwa rasul sangat menghargai keputusan yang diambil seseorang yang dilandasi atas niat baik untuk menjalankan perintah Allah dan rasulNya.
Begitupun dalam kaitannya dengan pemilihan presiden Republik Indonesia saat ini. Tentu menjadi masalah yang sulit bagi kita untuk mendapatkan pilihan yang sempurna. Masing-masing menawarkan dirinya sebagai calon pemimpin yang memiliki kapasitas, kapabilitas dan kompetensi yang mumpuni.
Dengan mengacu pada peristiwa sahabat rasul di atas, maka, kita harus berani untuk mengambil keputusan, apapun dan siapapun pilihannya. Sambil berharap agar pilihan kita yang terpilih nantinya, maka kita serahkan “ijtihad” kita tersebut kepada Allah SWT. Mudah-mudahan saja kita tetap mendapatkan pahala, seandainya nanti pilihan yang kita tentukan ternyata melenceng dari kesempurnaan sebagaimana sahabat Nabi yang berbeda dalam menjalankan sholat dalam perjalanan.
Dan, sebagai bekal kita dalam berijtihad  adalah kandungan makna dalam Q.S. Yusuf ayat 55 di atas. Semoga Allah senantiasa menganugerahkan hidayahNya kepada kita semua, sehingga kita mampu menjadi pemilih yang cerdas dan pada akhirnya nanti bangsa dan negara kita akan menjadi negara dan bangsa yang sejahtera, aman, adil dan makmur.

Rabu, 14 Mei 2014

ISLAM BERBICARA TENTANG BURUH


 ISLAM BERBICARA TENTANG BURUH
oleh :
 Ust. Aminudin,M.Ag
Ketua DKM Al-Muhajirin

Kata-kata terakhir yang keluar (dari mulut) Nabi Muhammad Saw adalah (umatku peliharalah) shalat, shalat, takutlah kepada Allah atas hamba yang kalian miliki… (HR. Abu Dawud)

Hamba sahaya merupakan kedudukan yang paling rendah yang disandang oleh seorang manusia, lebih rendah kedudukannya daripada buruh ataupun pembantu rumah tangga. Seorang hamba sahaya tidak hanya harus bekerja bagi majikannya, ia pun tidak memiliki harta dan bahkan kemerdekaan dan kebebasan dirinya sendiri. Ia selalu harus mengabdi kepada tuannya, bahkan pada zaman  pra Islam diperlakukan semena-mena.
Ketika Al-Quran dan Sunnah berbicara tentang perbudakan, bukan berarti bahwa Islam melegalkan perbudakan tetapi sebaliknya  Al-Quran dan Sunnah berbicara penghapusan secara perlahan-lahan. Hal ini terbukti  dengan  banyaknya sanksi hukum dalam  Al-Quran dan Sunnah selalu mensyaratkan pembebasan budak sebagai penggantinya.
Pada zaman yang sangat kejam menindas para buruh, Nabi Saw  senantiasa memuliakan para buruh dengan pemulian yang tidak terbayangkan dapat dilakukan, karena begitu mengagumkan. Dalam satu riwayat Beliau mengingatkan kepada Ali bin Abi Thalib dengan sabdanya, “ jangan engkau pukul dia karena aku dilarang memukul seseorang yang ahli shalat, dan aku lihat dia selalu shalat sejak dia dating kepada kami (HR. Bukhari)
Demikian perhatian dan pengasihnya Nabi Saw terhadap buruh, sehingga beliau sering menasehati dan bahkan memarahi para sahabat yang bersikap keras terhadap buruhnya. Dalam saat lain Ibnu Mas’ud memukul buruhnya dan diketahui oleh Nabi Saw, kemudian  Ibnu Mas’ud ditegurnya, kemudian Ibnu Mas’ud memerdekakan budak tersebut. Maka kata Nabi Saw, “Jika hal itu tidak dilakukan sungguh api neraka itu akan mengenaimu atau api neraka itu akan menghanguskanmu.”  (HR. Muslim)
Sedemikian tinggi kedudukan buruh dan haknya dalam Islam sehingga Nabi Saw memerintahkan untuk memberikan upah para buruhnya, “ Bayarkanlah upah sebelum kering keringatnya!”. Nabi Saw  pun memerintahkan para sahabat untuk memberikan kepada para buruh makanan yang mereka makan, pakaian yang mereka pakai. “ Berilah makanan kepada mereka  dari makanan yang engkau makan …” (HR. Muslim)
Tidak sampai di situ Nabi Saw pun memerintahkan kepada para sahabat , agar memberi beban pekerjaan sesuai dengan kemampuannya dan merlarang untuk mempekerjakan yang tidak sanggup dilakukannya. Jika syariat aturan Islam diterapkan, maka tidak akan ada lagi demo buruh untuk menuntut upah kerja minimal atau pesangon jika terjadi PHK, dan hak hidup layak.