Salurkan Zakat, Infaq, Shadaqah dan Wakaf anda ke ZISWAF al-Muhajirin

Panitia Renovasi Masjid Al-Muhajirin

renovasi Masjid Al-Muhajirin ke Bank Syariah Mandiri KCP Jatinangor an. Panitia Renovasi Al Muhajirin Nomor Rekening 1000-555-777

iklan

jazakamullah ahsanal jaza' semoga Allah SWT akan membalas kalian dengan balasan yang terbaik. aamiin yaa robbal 'alamiin...

Senin, 24 Juni 2013

TARIKH TASYRI’ SHAUM RAMADHAN


Aris Saptiono

TARIKH TASYRI’ (SEJARAH PENETAPAN SYARIAT)
SHAUM RAMADHAN
Sekitar 13 tahun hidup di Mekkah sebelum hijrah, yakni sejak tahun 1 dari masa kenabian, Nabi Muhammad saw telah 13 kali mengalami Ramadhan, Yaitu mulai dari Ramadhan tahun ke-1 dari masa kenabian yang bertepatan dengan bulan Agustus 611 M hingga tahun ke-13 yang bertepatan dengan bulan April tahun 622 M, namun selama waktu itu belum disyariatkan ibadah shaum pada bulan Ramadhan, yang telah disyariatkan adalah :
1.    Shaum 3 hari setiap bulan yang kemudian dikenal dengan sebutan Ayyamul Bidh, yakni tanggal 13, 14 dan 15 setiap bulan pada kalender Hijriyah.
2.    Shaum setiap tanggal 10 Muharram yang kemudian dikenal dengan sebutan Asyura.
Kedua shaum inilah yang senantiasa dilaksanakan oleh Rasulullah saw selama 13 tahun di Mekkah. Bahkan ibadah shaum ini telah disyariatkan pula kepada para Nabi dan umat sebelum Muhammad saw.
Setelah Nabi saw mendapat perintah untuk hijrah, Nabi kemudian berangkat menuju Madinah, sebelum sampai di Madinah (waktu itu Yatsrib), Rasulullah saw singgah di Quba pada hari Senin 12 Rabi’ul Awwal tahun 13 kenabian/24 September 622 M waktu dhuha (sekitar jam 8.00 atau 9.00). ditempat ini, beliau tinggal dikeluarga Amr bin Auf selama empat hari (hinga hari Kamis 15 Rabi’ul Awwal/27 September 622 M dan membangun mesjid pertama (yang disebut mesjid Quba). Pada hari Jum’at 16 Rabi’ul Awwal/28 September 622 M, beliau berangkat menuju Madinah. Ditengah perjalanan, ketika beliau berada di Bathni Wadin (lembah di sekitar Madinah) milik keluarga Banu Salim bin ‘Auf, datang kewajiban Jum’at (dengan turunnya ayat 9 surat Al-Jum’ah). Maka Nabi saw salat Jum’at bersama mereka dan khutbah di tempat itu. Inilah salat Jum’at yang pertama didalam sejarah Islam. Setelah melaksanakan salat Jum’at, Nabi saw melanjutkan perjalanan menuju Madinah. (Lihat Tarikh at-Thabari,I:571); Sirah Ibnu Hisyam, Juz III, hal. 22; Tafsir al-Qurthubi, Juz XVIII, hal 98).
Keterangan ini menunjukan bahwa hijrah Nabi saw terjadi pada bulan Rabi’ul Awwal, bukan pada bulan Muharram. Antara permulaan hijrah Nabi saw dan bulan Muharram terdapat jarak atau sudah terlewat sekitar 82 hari, karena awal Muharram ketika itu jatuh pada tanggal 15 Juli 622 M.
Ketika tahun I Nabi di Madinah, beliau masih menjalani syariat Shaum sebelumnya, yakni Ayyamul bidh dan Asyura, bahkan hingga bulan Sya’ban tahun ke-2 hijrah yang waktu itu bertepatan dengan bulan Febuari 624 M. Jadi, sekitar 17 bulan sejak di Madinah, yaitu sejak Rabi’ul Awwal hingga Sya’ban tahun ke-2, Nabi saw masih menjalankan ibadah shaum selain Ramadhan, kemudian diakhir bulan Sya’ban ke-2 Hijriah, setelah selesai salat ashar berjama’ah, Nabi saw berkhutbah dihadapan para shahabat.
“Hai manusia! Telah menaungi kamu bulan yang agung, bulan yang penuh dengan berkah, bulan yang padanya ada satu malam lebih baik dari seribu bulan. Allah tetapkan shaum padanya sebagai satu kewajiban, dan salat pada malamnya sebagai tathawu (sunnat).    H.R Ibnu Khuzaimah, Al-Baihaqi dan A-Haitsami. Dalam riwayat Ahmad dengan redaksi yang lain.
Nabi saw bersabda demikian, karena pada bulan Sya’ban tahun ke-2 itu Allah menurunkan ayat :
“Hai orang-orang yang beriman telah diwajibkan atas kamu shaum, sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang yang sebelum kamu agar kamu bertaqwa. Beberapa hari yang ditentukan, maka siapa yang sakit atau berpergian diantara kamu, maka hendaklah ia menghitung (qadha) pada hari-hari lainnya dan atas orang yang merasa payah boleh membayar fidyah dengan memberi makanan pada orang yang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati memberi makan lebih dari seorang miskin untuk satu hari, maka itulah yang lebih baik baginya”. Q.S. Al-Baqarah ; 183-184.
Dalam penurunan ayat ini sebagai pedoman kewajiban shaum Ramadhan ada tiga hal yang harus dicermati :
a.    Aspek histori/sejarah Nuzul ayat ini.
Ayat ini turun pada hari hari kamis tanggal 28 Sya’ban tahun ke-2 H yang bertepatan  dengan tanggal 23 Februari 624 M, bila kita hitung sejak saat itu hingga akhir hayat Nabi saw tinggal di Madinah, berarti beliau sempat melaksanakan ibadah shaum sebanyak 9 kali sebelum beliau wafat pada senin/sabtu 12 Rabi’ul Awwal 11 H/6 Juni 623 M. Shaum pertama berawal pada hari ahad, 26 Februari 624 M, dan idul fitrinya jatuh pada hari senin, 26 Maret 624, berarti lamanya shaum 29 hari. (Lihat Tabel)
Menurut atsar Ibnu Mas’ud dan ‘Aisyah disebutkan bahwa Rasulullah saw semasa hidupnya lebih banyak shaum Ramadhan 29 hari daripada 30 hari. Shaum Ramadhan pada zaman Rasulullah ini menarik perhatian astronom muslim untuk dibuktikan dengan hisab astronomi.
DR. Thomas Djamaludin, peneliti bidang Matahari dan Lingkungan Antariksa, LAPAN Bandung, telah menghisab posisi hilal awal Ramadhan dan Syawwal semasa Rasulullah hidup dari tahun ke-2 – 10 H. Analisis astronomi memang menunjukkan selama sembilan tahun itu 6 kali Ramadhan panjangnya 29 hari, hanya 3 kali yang 30 hari. (Lihat Tabel)
Dari analisis astronomi diketahui bahwa pada zaman Nabi saw, shaum dilakukan pada musim dingin dengan waktu shaum mulai sekitar pukul 04:30 sampai 16:40 pada musim dingin.
Salah satu idul fitri pada zaman Nabi saw, terjadi pada hari Jum’at, Yaitu 1 Syawwal 3 H yang bertepatan dengan 15 Maret 625 M. Inilah satu-satunya idul fitri yang jatuh pada hari Jum’at semasa Rasulullah hidup. Mungkin inilah kejadian yang berkaitan dengan hadits yang membolehkan meninggalkan shalat Jum’at bila pagi harinya telah mengikuti salat hari raya. Rasulullah saw bersabda, “Pada hari ini (Jum’at) telah berkumpul dua hari raya, maka siapa yang mau (salat hari rayanya) telah mencukupi salat Jum’atnya, tetapi kami tetap akan melakukan salat Jum’at”.      H.R. Abu Daud dari Abu Hurairah.
b.   Implikasi hukum dengan turunya ayat ini
Sebelum shaum Ramadhan diwajibkan, yang wajib dilaksanakan adalah shaum Asyura dan shaum 3 hari setiap bulan, yaitu setiap tanggal 13, 14 dan 15 yang disebut ayyamul bidh. Maka dengan turun ayat ini jadilah shaum wajib itu hanya pada bulan Ramadhan, sedangkan kedua shaum tersebut hukumnya sunat.
c.    Proses penetapan hukum shaum Ramadhan
Kewajiban shaum Ramadhan ditetapkan melalui 2 tahap :
Tahap pertama dengan turunnya surat Al-Baqarah;183-184
“Hai orang-orang yang beriman telah diwajibkan atas kamu shaum, sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang yang sebelum kamu agar kamu bertaqwa. Beberapa hari yang ditentukan, maka siapa yang sakit atau berpergian diantara kamu, maka hendaklah ia menghitung (qadha) pada hari-hari lainnya dan atas orang yang merasa payah boleh membayar fidyah dengan memberi makanan pada orang yang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati memberi makan lebih dari seorang miskin untuk satu hari, maka itulah yang lebih baik baginya”.                 Q.S. Al-Baqarah ; 183-184.
Pada tahap ini kewajiban shaum Ramadhan masih berbentuk takhyir atau pilihan alternatif, yakni antara shaum dan fidyah.
Tahap kedua, lalu Allah swt menurunkan ayat selanjutnya (185)
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang didalamnya diturunkan (permulaan) Alquran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa diantara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia shaum pada bulan itu dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya shaum), sebanyak yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.”
Pada tahap ini kewajiban shaum Ramadhan sudah tidak berbentuk takhyir atau pilihan alternatif, tetapi sudah berbentuk ta’yin (pilihan satu-satunya) kecuali bagi mereka yang dibolehkan secara syar’, mereka terkena kewajiban qadha atau fidyah.
Setelah ayat ini turun timbul pemahaman yang keliru pada mayoritas shahabat dalam masalah ketentuan pelaksanaan shaum, yaitu para shahabat Nabi saw menganggap bahwa makan, minum dan menggauli istrinya pada malam hari bulan Ramadhan, hanya boleh dilakukan selama mereka belum tidur. Diantara mereka Qais bin Shimah dan Umar bin Khattab. Qais bin Shimah (dari golongan anshar) merasa kepayahan setelah bekerja pada siang harinya. Karenanya setelah salat isya, ia tertidur, sehingga tidak makan dan minum hingga pagi. Adapun Umar bin Khattab menggauli istrinya setelah tertidur pada malam hari bulan Ramadhan. Keesokan harinya ia menghadap kepada Nabi saw untuk menerangkan hal itu. Maka turunlah ayat :
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Ramadhan bercampur dengan istri-istri kamu, mereka adalah pakaian bagimu dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasannya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah menampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah shaum itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu ber’itikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa”. (Q.S. Al-Baqarah : 187). Dengan turunnya ayat tersebut gembiralah kaum Muslimin” H.R. Ahmad, Abu Daud dan Al-Hakim, yang bersumber dari Mu’adz bin Jabal.
Dari data sejarah ini ada hal yang patut kita jadikan ibrah (pelajaran) guna mempertebal keyakinan kita bahwa Alquran ini adalah salah satu bukti benarnya kekuasaan Allah swt, bagaimana tidak kita yang sudah 14 abad hidup setelah Rasulullah, masih mengakui aturan Allah dalam Alquran diantaranya shaum Ramadhan. Dengan demikian, aturan Allah itu bersifat kekal abadi tidak mengalami revisi atau ada masa kadaluwarsa, sehingga tidak dipergunakan lagi, hal ini tentu saja akan berbeda dengan aturan yang dibuat oleh manusia.
Lampiran Tabel Ramadhan dan Idul Fitri pada zaman Nabi saw
Tahun Hijriyyah
Awwal Ramadhan
Idul Fitri
Hari Shaum
2 H
Ahad, 26 Februari 624
Senin, 26 Maret 624
29 hari
3 H
Kamis, 14 Februari 625
Jum’at, 15 Maret 625
29 hari
4 H
Selasa, 4 Februari 626
Rabu, 5 Maret 626
29 hari
5 H
Ahad, 25 Januari 627
Senin, 23 Februari 627
29 hari
6 H
Kamis, 14 Januari 628
Sabtu, 13 Februari 628
30 hari
7 H
Senin, 2 Januari 629
Rabu, 1 Februari 629
30 hari
8 H
Jum’at, 22 Desember 629
Ahad, 21 Januari 629
30 hari
9 H
Rabu, 12 Desember 630
Kamis, 10 Januari 631
29 hari
10 H
Ahad, 1 Desember 631
Senin, 30 Desember 631
29 hari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar