Salurkan Zakat, Infaq, Shadaqah dan Wakaf anda ke ZISWAF al-Muhajirin

Panitia Renovasi Masjid Al-Muhajirin

renovasi Masjid Al-Muhajirin ke Bank Syariah Mandiri KCP Jatinangor an. Panitia Renovasi Al Muhajirin Nomor Rekening 1000-555-777

iklan

jazakamullah ahsanal jaza' semoga Allah SWT akan membalas kalian dengan balasan yang terbaik. aamiin yaa robbal 'alamiin...

Minggu, 24 Februari 2013

IBADAH DENGAN RASA CINTA KEPADA ALLAH


A. Wahid
IBADAH DENGAN RASA CINTA KEPADA ALLAH
Seorang muslim terkadang menjadikan ibadah sebagai sarana untuk mendulang pahala sebanyak mungkin, sehingga ia berharap mendapatkan balasan dari Allah SWT berupa surga dan terhindar dari siksa api neraka. Berkaitan dengan hal ini ada sebuah dialog menarikantara NabiMuhamad SAW dengan sahabatnya. Seorang sahabat bertanya: “Apakah seorang mukmin akan dapat masuk surge dengan mengandalkan pahala yang ia peroleh dari proses ibadahnya?”Beliau menjawab; “Tidak!”.Selanjutnya Beliau bersabda; ”Tidak juga Aku,  kecuali  Allah telah memayungiku dengan rahmat danp engampunan-Nya”.[1]
Jelaslah bahwa sesungguhnya yang memasukan manusia kesurga adalah karena rahmat atau kasih saying dari Allah SWT. Bukan karena pahala dari hasil ibadahnya kepada Allah SWT. sebagimana yang disangkakan manusia. 
Namun demikian, dengan sifat rahman dan rahim, serta ghofurNya, Allah SWT menjanjikan sebuah reward (hadiah) bagi mereka yang mencintai-Nya.Sebagaimana firman-Nya dalam Q.S. AliImran:31,
Artinya :”Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampun idosa-dosamu." Allah MahaPengampunlagiMahaPenyayang”. (Q.S. Ali Imran : 31)[2]
Proses mencintai biasanya diawali dengan pengenalan terhadap yang dicintainya terlebih dulu. Sama hal nya dengan Allah, seorang hamba yang berusaha untuk mencintainya, makalangkah pertama yang harus ia lakukan adalah dengan mengenal-Nya. Sidi Abdul Qadir Al Jilani menyebutkan bahwa ada tiga tahapan pengenalan seorang hambater hadap Allah SWT.[3]
Pertama, mengenal Allah melalui sifat-sifat-Nya.Dengan mengenalsifat-sifat Allah, baiksifat jalaliyah (yang berhubungan dengankeperkasaan Allah) maupun jamaliyahnya (yang berhubungan dengan kemurahan dankelembutan Allah) akan menjadikan manusia lebih akrab dengan Allah, sebab dengan mengetahui sifat-sifatNya ia tahu bagaimana karakter Dzat yang  ia cintai tersebut.
Keduaadalahdenganmengenalnama-nama-Nya.Nama-nama Allah yang baik, sebagaimanatercantumdalamasmaalhusnaakanmemberikansebuahkekuatanbagiseoranghambaketikaiaberdo’akepada-Nya. Hal ini Allah kemukakandalam Q.S. AlA’raf : 180.
Artinya : “Hanyamilik Allah asmaa-ulhusna, Makabermohonlahkepada-Nyadenganmenyebutasmaa-ulhusnaitudantinggalkanlah orang-orang yang menyimpangdarikebenarandalam (menyebut) nama-nama-Nya. nantimerekaakanmendapatBalasanterhadapapa yang telahmerekakerjakan.” (Q.S.AlA’raf : 180)[4]
Dan yang ketigaadalahdenganmengenalaf’al-Nya.Af’aldapatdiartikansebagaiperbuatan-perbuatan-Nya, artinyadenganmengenalperbuatan Allah berupaciptaan-ciptaan-Nyaakanmenjadikanmanusiamerasalebihdekatdengan Allah sehingga rasa cinta yang mendasarinyadalamibadahakantumbuhdengansendirinya.
Kembalikepadamasalahtujuandalamibadah.DalampandanganQuraishShihab, adanyapamrihatautujuandalamberibadahkepada Allah adalahsesuatu yang dibolehkan, karenatujuandisampingmerupakantujuanutamadapatjugamenjadi “jalan yang mengantar” ketujuan yang lebihutama,  danketikaitu, jalantersebuttidaklagimenjaditujuan.[5]
PandanganQuraishShihabininantinyaakanberbedadenganpandanganRabi’ah Al-Adawiyah yang tidakmenerimatujuan lain dalamberibadah, kecualiatasdasarcinta  (mahabbah) kepada Allah SWT. Sehinggaapapun yang dilakukanolehmanusiamakadasarnyaadalahharuskarenacinta, bukankarenatakutataukarenamengharapsesuatu.
Rasa cinta (mahabbah) seorang hamba kepada Tuhannya, seyogyanya  merupakan sebuah kesatuan tak terpisahkan  dengan ibadah yang dilakukannya. Seorang hamba diharapkan ketika beribadah didasari oleh rasa cinta kepada Allah SWT., bukan hanya karena menjalankan suatu kewajiban yang seolah-olah memaksa, dan karena tergiur untuk mendapatkan hadiah (pahala) berupa surga atau takut akan ancaman Allah berupa neraka.
Ketika rasa cinta kepada Allah sudah melekat dalam hati sanubari seorang hamba, maka seluruh perintah dan larangan yang termaktub dalam al-qur’an maupun hadits tidak dianggapnya sebagai sebuah beban yang sangat memberatkan, melainkan justru menjadi sarana bagi hamba tersebut untuk mewujudkan rasa cintanya kepada Sang Khalik.
Kecintaan seorang hamba kepada Tuhannya dalam beribadah merupakan sesuatu yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Dalam kehidupannya, rasul begitu mencintai Allah SWT. Beliau adalah sosok manusia yang mulia yang sudah diampuni dosanya, sehingga seberapapun kesalahan yang dilakukan pasti akan terampuni, sebagaimana tercermin dalam sifat Beliau yang ma’shum. Kondisi semacam ini tidak menjadikan rasul lalai dalam menjalankan ibadah, justru sebaliknya rasul semakin meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadahnya. Satu hal yang menjadi dasar rasul melakukan itu adalah karena Beliau sangat mencintai Allah SWT.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana cara menumbuhkan rasa cinta dalam ibadah kepada Allah SWT. terutama terhadap anak. Paling tidak ada empat langkah yang harus dilaksanakan.Pertama, riyadhoh, yaitu latihan atau pembiasaan dalam menjalankan macam-macam ibadah.
Kedua, mujahadah, yaitu kesungguhan atau upaya serius seorang hamba untuk mencintai Allah dengan melaksanakan berbagai perintahnya . Ketiga, menumbuhkan rasa bangga, orang tua harus menggali kebanggaan anak terhadap keber-Islamannya, dengan kebanggaan tentang Islam inilah, maka anak akan dengan sendirinya tumbuh rasa cinta kepada Allah SWT. Dan keempat, keteladanan dari orang tua akan perilaku yang menunjukan rasa cinta kepada Allah, akan menyebabkan anak didik terstimulasi kecintaannya kepada Allah SWT.
Demikianlah, sekelumit tentang beribadah yang didasari oleh rasa cinta kepada Allah SWT, dan upaya penanamannya pada anak, mudah-mudahan kita semua mampu menjadi orang yang selalu mahabbah kepada Allah SWT dalam menjalankan berbagai bentuk peribadatan dalam hidup ini.


[1]KH.M.CholilBisri, IndahnyaTasawuf, Yogyakarta, Pustakaalief, 2003.hlm. 2
[2]Departemen Agama, Al-Qur’andanTerjemahnya, Bandung, LubukAgung, 1989
[3]Sidi Abdul Qadir Al Jilani, FiqihTasawuf, Penerjemah Abdul GhaffardarijudulasliAl Ghuyah li ThalibiThariq al HaqfilAkhlaqwatTasawufwalAdab al Islamiyah, Bandung, PutakaHidayah, 2001, hlm.17
[4]Departemen agama, loc.cit
[5]M. QuraishShihab, MenyingkapTabirIlahi; Al-Asma’ Al-HusnadalamPerspektif al-Qur’an, Jakarta, LenteraHati, 2006. hlm.101

Tidak ada komentar:

Posting Komentar