Salurkan Zakat, Infaq, Shadaqah dan Wakaf anda ke ZISWAF al-Muhajirin

Panitia Renovasi Masjid Al-Muhajirin

renovasi Masjid Al-Muhajirin ke Bank Syariah Mandiri KCP Jatinangor an. Panitia Renovasi Al Muhajirin Nomor Rekening 1000-555-777

iklan

jazakamullah ahsanal jaza' semoga Allah SWT akan membalas kalian dengan balasan yang terbaik. aamiin yaa robbal 'alamiin...

Selasa, 22 Januari 2013

Muhammad Dan Spirit Pembebasan



 

Ust. Abdul Wahid

Muhammad Dan Spirit Pembebasan

 

 

Maulid Nabi Muhammad SAW diperingati sebagai hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, penutup para Nabi, yang paling sempurna dari seluruh makhluk Allah SWT. dan kekasih Tuhan.
Beliau dilahirkan tepat pada 12 Rabiul Awal tahun Gajah atau bertepatan dengan tahun 571 Masehi. Nabi  Muhammad yang penuh berkah ini dilahirkan di sebuah kota yang bernama Makkah. Di kota suci tersebut, terdapat Ka'bah yang dibangun oleh Nabi Ibrahim, bapak agama monoteisme(agama yang meyakini satu Tuhan) dan leluhur bangsa Arab serta Yahudi.
Iroisnya, dalam masa-masa menjelang kelahiran Muhammad masyarakat Makkah berubah menjadi penganut polyteisme(agama yang meyakini beberapaTuhan), sehingga mereka dijuluki sebagai jahiliyah(bodoh).
Fakta ini dibenarkan oleh Sayyed Hossen Nasr dalam Muhammad Man of Allah (1982). Ia mengemukakan  bahwa lebih dari seribu tahun di Arabia, ajaran monoteistik telah ditinggalkan. Mayoritas bangsa Arab telah jatuh ke dalam jurang kemusyrikan yang paling buruk. Mereka telah melupakan kebenaran dan tenggelam dalam zaman kejahilan (jahiliyah) yang menjadi latar belakang lahirnya Islam.
Satu-satunya pengecualian, di samping sejumlah kecil umat Kristen dan Yahudi yang berdiam di wilayah jazirah Arabia, adalah terdapat beberapa orang yang menyendiri dan yang ingat terhadap ajaran asal Nabi Ibrahim, yaitu orang-orang yang disebut al-Qur'an sebagai kaum hanif atau hunafa.
Dalam kondisi masyarakat yang demikian, lahirlah seorang anak manusia yang  bernama Muhammadyang tidak hanya menjadi nabi dan rasul Allah, tetapi juga kekasih Allah SWT. dan rahmat yang dikirimkan ke muka bumi, sebagaimana disebutkan dalam al-Quran (21: 107);”Dan tidaklah kami utus engkau (Muhammad), kecuali sebagai rahmat bagi sekalian alam”.
Islam yang diturunkan Allah melalui Rasulullah Muhammad adalah agama yang membebaskan kaum tertindas, mengangkat derajat orang-orang yang kalah, dan membebaskan umat manusia dari hegemoni tradisi dan sistem yang membelenggu. Hal ini karena Muhammad, sang pembawa risalah,  adalah nabi yang lahir dengan spirit teologi pembebasan (liberation theology) berupa tauhid yang hanya meyakini satu tuhan.
Muhammad membebaskan para hamba sahaya dari cengkeraman majikannya. Muhammad juga membebaskan kaum perempuan dari belenggu otoritas kaum lakilaki. Dan Muhammad pula yang membebaskan sistem ekonomi dari ribawi menjadi maslahat bagi umat.
Ada pendapat yang menarik dari Thaha Husein, seorang intelektual dari Mesir, berkaitan dengan teologi pembebasan ini. Thaha menyatakan bahwa andaikan Muhammad hanya membawa tauhid, tanpa mengajarkan sistem sosial dan ekonomi, tentu banyak orang Quraisy menyambut seruan Muhammad dengan mudah.
Penolakan kaum Quraiys  adalah karena mereka merasa terancam secara sosial, politik dan ekonomi dengan kehadiran Islam  sebagai agama yang juga membawa ajaran-ajaran tentang ekonomi, politik dan tata kelola kemasyarakatan lainnya.
Muhammad adalah manusia biasa. Namun, karena perjuangannya melampaui egoisme, Muhammad manusia pun berubah menjadi Muhammad dengan predikat nabi dan rasul. Proses itulah yang membutuhkan pengorbanan besar dan perjuangan yang berdarah-darah. Sehingga, tidak ada umat manusia yang melebihi penderitaan yang dipikul Nabi Muhammad. Tidak ada kesengsaraan di muka bumi ini sebagaimana dalam sejarah hidup Muhammad. Dari pergulatan sosial dan pergulatan spiritual inilah, kemudian Allah mengangkatnya menjadi utusan sekaligus pemimpin bagi umat manusia menuju cakrawala ketuhanan.
Penghormatan terhadap Nabi yang berjuang untuk umat manusia dan menebar cinta untuk semesta (rahmatan lil 'alamin) itulah yang melahirkan peringatan Maulid Nabi.
Perayaan Maulid Nabi pertama kali diperkenalkan pada masa pemerintahan Sultan Salahuddin Al-Ayyubi (1138 M-1193 M). Tujuannya adalah membangkitkan kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW. sehingga mampu meningkatkan semangat juang kaum Muslim saat itu yang sedang terlibat dalam Perang Salib melawan pasukan Kristen Eropa dalam upaya memperebutkan kota Yerusalem.
Dengan memperhatikan perjuangan Nabi Muhammad, maka sudah selayaknya kita menjadikannya sebagai teladan hidup sehingga mampu menjadi penerang dalam kegelapan dan penunjuk arah ketika kebingungan. Dalam perkembangan dunia sekarang ini yang semakin pesat dibutuhkan keteladanan yang paripurna, dan semua itu ada pada diri rasulullah SAW.

By; www.infoabdulwahid.wordpress.com

Selasa, 15 Januari 2013

BERJABAT TANGAN


Aris Saptiono

BERJABAT TANGAN

Dari Al-Bara bin ‘Azib, ia berkata. “Rasulullah saw. bersabda, ‘Tidaklah dua orang muslim bertemu, lalu berjabat tangan melainkan mereka berdua akan diampuni (dosanya) sebelum keduanya berpisah’”. Sunan Abu Daud, IV:394 no.5212; Sunan At-Tirmidzi,IV:333 no.2736; Sunan Ibnu Majah, II:403 no.3707

Syarah Mufradat
Pada hadis diatas terdapat kalimat (fayatashafahaani) yang berasal dari kata (Al-Mushafahah) yaitu : meletakan sisi (muka) telapak tangan dengan tangan dan menghadapkan wajah atas wajah (berhadapan). An-Nihayah,III:34
Imam Al-Mubarakafuri menyatakan :
Ketahuilah sesungguhnya sunah itu ialah berjabat tangan dengan satu tangan, yaitu tangan yang kanan dari kedua belah pihaknya, baik ketika berjumpa atau ketika berbai’at. Tuhfatul Ahwadzi,VII:429
Imam An-Nawawi menyatakan:
Disunatkan jabat tangan itu dengan tangan kanan, dan itulah lebih utama. Tuhfatul Ahwadzi,VII:430
Yang menjadi dasar keterangan bagi pendapat diatas diantaranya ialah :
Dari Amr bin Al-‘Ash, “Aku menjumpai Nabi saw, lalu berkata, ‘Bukalah (ulurkanlah) tangan kananmu, aku akan berbai’at kepadamu’, maka beliau membuka (mengulurkan) tangan kanannya”. Shahih Muslim,I:71 no.121
Telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya dengan sanad yang shahih dari Anas bin Malik, ia berkata, “Aku berbai’at kepada Rasulullah dengan tanganku ini, yaitu tangan kanan, untuk mendengar dan menaati apa yang aku mampu”. Tuhfatul Ahwadzi,VII:432
Apabila ada yang berpendapat bahwa hadis-hadis diatas menunjukan sunahnya berjabat tangan dengan tangan kanan ketika berbai’at bukan ketika berjumpa, sehingga tidak tepat menjadikan dalil berjabat tangan dengan tangan pada saat berjumpa dengan dalil-dalil berjabat tangan ketika berbai’at, maka Imam Al-Mubarakafuri menjawab,”Hadis-hadis sebagaimana menunjukan sunahnya berjabat tangan dengan tangan kanan ketika berbai’at, maka demikian juga menunjukan sunahnya berjabat tangan ketika berjumpa, karena berjabat tangan ketika berjumpa dan ketika berbai’at itu pada hakikatnya adalah sama dan tidak didapatkan dalil yang membedakannya”. Tuhfatul Ahwadzi,VII:432
Syarah Hadis
Berjabat tangan merupakan sunah Rasulullah saw. walaupun pada awalnya dilakukan oleh orang-orang Yaman. Hal ini sebagaimana hadis :
Dari Anas bin Malik, ia berkata, “Tatkala penduduk Yaman datang, Rasulullah saw. bersabda, “Sungguh telah datang pada kalian penduduk Yaman, mereka adalah orang-orang yang pertama mendatangkan jabat tangan”. Sunan Abu Daud,IV:395 no.5213
Imam Ibnu Hajar menyatakan :
Dan dalam kitab jami’ Ibnu Wahab dari jalan ini : “Dan mereka (orang Yaman) adalah orang yang pertama memperlihatkan berjabat tangan”. Fathul Bari,XI:64
Bahkan pada awalnya ada diantara para sahabatnya yang beranggapan bahwa berjabat tangan itu termasuk kebiasaan orang asing. Sebagaimana keterangan :
Telah diriwayatkan oleh Abu Bakar Ar-Rauyani dalam musnadnya dari arah yang lain dari Al-Bara : “Saya bertemu Rasulullah saw. kemudian beliau menjabat tangan saya. Lalu saya berkata : ‘Ya Rasulullah, saya mengira bahwa berjabat tangan ini termasuk cara orang ‘azam (asing). Beliau bersabda, Kami lebih berhak (melakukan) jabat tangan”. Fathul Bari,XI:65
Dengan jawaban Nabi saw. tersebut, maka berjabat tanga menjadi sunah Rasulullah saw. yang mesti kita hidupkan bersama. Bahkan Rasulullah saw. pada hadis diatas menjanjikan ampunan kepada orang yang melakukannya. Sedangkan dalam riwayat yang lain, beliau bersabda:
Dari Salman Al-Farisy ra. Sesungguhnya Nabi saw. bersabda, “Sesungguhnya seorang muslim itu apabila bertemu dengan saudaranya kemudian ia memegang (menjabat) tangannya, maka gugurlah dari mereka berdua dosa-dosanya sebagaimana daun yang gugur dari pohon yang kering pada hari (bertiup) angin kencang. Dan melainkan mereka berdua akan diampuni, walaupun dosa mereka sebesar (sebanyak) buih lautan”. Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dengan sanad yang hasan. At-Targhib Wat-Tarhib,III:291no.4119, Tuhfaul Ahwadzi,VII:429 dari Salman Al-Farisy
Tidak heran bila para sahabat sangat antusias untuk melakukannya, hingga hal itu mejadi kebiasaan mereka dalam kehidupannya.
Dari Qatadah, ia berkata, “Saya bertanya kepada Anas (bin Malik), ‘Apakah jabat tangan itu ada (dilakukan) pada sahabat-sahabat Nabi saw.? Ia menjawab, ‘Ya”. Shahih Al-Bukhari,IV:106 no.6263
Ubaidillah bin Busr dengan bangga menyatakan di depan para sahabatnya :
Kalian melihat tangan saya ini, saya berjabat tangan dengan (tangan) Rasulullah saw. (Aunul Ma’bud,XIV:80, Ibnu Abdil Barr dalam kitabnya At-Tahmid menerangkan sanadnya sahih.
Adanya fadilah (keutamaan) diatas bukan karena jabat tangan semata, tetapi niat dan caranya harus benar. Sebagaimana hadis :
Dari Abu Daud, ia berkata, “Aku bertemu dengan Al-Bara bin ‘Azib. Kemudian ia mengucapkan salam kepadaku dan mejabat tanganku sambil tersenyum di wajahnya. Ia berkata, ‘Apakah engkau tahu kenapa aku lakukan ini kepadamu?’. Aku menjawab, ‘Tidak tahu, akan tetapi aku tidak melihatmu melakukannya melainkan karena kebaikan’. Ia berkata, ‘Sungguh Rasulullah saw. pernah bertemu denganku, lalu beliau melakukan kepadaku seperti yang aku lakukan kepadamu. Kemudian beliau bertanya kepadaku, maka aku menjawab seperti yang kamu katakan kepadaku. Lalu beliau bersabda, ‘Tidaklah dua orang muslim berjumpa, lalu salah seorangnya mengucapkan salam kepada sahabatnya sambil menjabat tangannya, ia tidak menjabatnya melainkan karena Allah Azza wa jalla. Maka keduanya tidak berpisah melainkan akan diampuni (dosa-dosa)nya. Musnad Ahmad,IV:289 no.18571
Jabat Tangan dengan Bukan Mahram
Haram hukumnya berjabat tangan dengan yang bukan mahramnya, baik waktu berjumpa ataupun waktu berbai’at (janji tha’at). Hal ini sebagaimana keterangan berikut :
Dari ‘Aisyah istri Nabi saw. berkata, “Demi Allah, tangan Rasulullah saw. tidak pernah menyentuh tangan seorang perempuan pun, akan tetapi beliau membai’at mereka dengan ucapan”. Shahih Al-Bukhari,III:294 no.5288; Shahih Muslim,II:206 no.1866
Umaimah berkata sesudah mubaya’ah, “Wahai Rasulullah, tidakkah engkau mau berjabat tangan dengan kami?”. Beliau bersabda, ‘Aku tidak berjabat tangan dengan perempuan. Tidak ada perkataanku kepada seorang perempuan melainkan seperti perkataanku kepada seratus perempuan”. H.r. Ath-Thabrani, Al-Mu’jamul Kabir, XXIV:186 no.470
Dari Ma’qil bin Yasar, ia berkata, ”Rasulullah saw. bersabda, ‘Ditusuk dengan jarum dari besi pada kepala seorang diantara kalian lebih baik daripada menyentuh perempuan yang tidak halal baginya”. H.r. Ath-Thabrani, Rawi-rawinya shahih, Majma’uz Zawaid,IV:326
A.Hasan menegaskan, “Kalau ada orang bawakan riwayat bahwa rasulullah saw. pernah berjabat tangan dengan perempuan waktu bai’ah, ketahuilah bahwa omongan itu bohong. Tidak ada satupun riwayat yang shah tentang Nabi saw. berjabat tangan dengan perempuan”. Wanita Islam:112
Pada hadis diatas dianyatakan bahwa Rasulullah saw. membai’at perempuan hanya dengan ucapan tanpa berjabat tangan sebagaimana yang biasa dilakukannya kepada laki-laki. Bahkan ‘Aisyah ra yang meriwayatkan hadis tersebut menyatakan (Wallahu) (Demi Allah) sebagai penguat terhadap berita tersebut.
Ada satu hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Ummu ‘Athiyah yang menyatakan bahwa perempuan-perempuan pernah berbai’at (janji ta’at) kepada Rasul dengan perantara Umar. Pada hadis itu dinyatakan :
Kemudian ia menjulurkan tangannya dari luar pintu atau rumah dan kami pun menjulurkan tangan-tangan kami dari dalam rumah. Tafsir Ath-Thabrani, XXVIII:81
Ini bukan berjabat tangan, tetapi sebagai seorang pemimpin menjulurkan diatas podium dan pengikutnya menjulurkan tangan mereka dari bawah ketika mengadakan perjanjian tha’at atau satu kesanggupan.
Dalam buku yang berjudul “WANITA ISLAM” buah karya A.Hasan dikutip munazarahnya (tukar pikirannya) dengan Al-Ustadz Hasbi Ash-Shiddieqy. Pada buku tersebut A.Hasan membantah Al-Ustadz Hasbi yang dimuat dalam harian Suara Ummat Yogyakarta tertanggal 22 Juni, 13 dan 20 Juli 1956 yang masing-masing berjudul “Qiyas Tarjih yang Tidak Rajih”, “Istilah hukum yang Tidak Tepat” dan Istinbath Hukum Yang Tidak Tepat”. Yang pada intinya A.Hasan mengharamkan berjabat tangan yang bukan mahram. Sedangkan Al-Ustadz Hasbi membolehkannya.
Munazarah-nya disusun secara alfabet dari mulai “A” sampai “Z” pada bagian “U” tuan Hasbi menulis : Alusie sebut dalam tafsirnya, bahwa Nabi menjabati tangan wanita dengan berlapis kain, dan Alusie berkata, bahwa orang yang berpegang kepada riwayat itu berkata, “Mubaya’ah Rasulullah dengan perempuan-perempuan itu bukan dengan omongan saja, bahkan dengan berjabat tangan.
Saya (A.Hasan) jawab : Alusie bawakan riwayat itu dengan tidak menunjukan shahnya. Oleh yang demikian sudah tentu alasan yang begini tidak boleh dimasukkan didalam medan munarah sebagai pokok. Cobalah Tuan Hasbi berusaha menunjukan sahnya riwayat itu lebih dahulu. Tuan Hasbi tahu betul-betul, bahwa sesduah membawakan riwayat yang tidak bersanad itu Alusie sendiri berkata :
Pendapat yang paling masyhur yang dijadikan pegangan ialah bahwa tidak ada jabat tangan.
Perkataan Alusie tersebut Tuan Hasbi tidak nukil, padahal perkataan orang yang memfatwakan tidak haram lihat aurat perempuan walaupun dengan syahwat itu ia tonjolkan kepada umum.
Pendeknya, tidak perlu kita hiraukan riwayat-riwayat yang mengatakan :
a.    Rasulullah saw. mubaya’ah dengan berlapis kain.
b.    Umar bermubaya’ah dengan mushafahah.
c.    Rasulullah saw. bermubaya’ah dengan bermasuk tangan didalam air.
d.    Dan lain-lain
Kecuali kalau Tuan Hasbi terangkan rawi-rawinya yang biasa dipercaya.
Jangan Tuan Hasbi minta hadis yang shahih dan qath’i dari orang lain. Sedangkan ia sendiri bawakan riwayat-riwayat rombongan. Wanita Islam:157
Jabat Tangan dengan Anak Kecil
Imam Al-Bukhari membuat bab dalam kitabnya Al-Adabul Mufrad bab berjabat tangan dengan anak kecil.
Dibawah bab tersebut beliau bawakan sebuah hadis :
Dari Salamah bin Wardan, ia berkata, “Saya melihat Anas bin Malik menjabat tangan orang-orang. Kemudian ia bertanya kepadaku, ‘Siapa kamu?’ Aku menjawab, ‘Anak laki-laki Bani Laits’. Kemudian ia mengelus kepalaku tiga kali seraya berdoa, ‘Semoga Allah memberikan berkah kepadamu’”. Al-Adabul Mufrad:286 no.966
Jabat Tangan Setelah Shalat
Berjabat tangan yang disunahkan menurut hadis-hadis diatas ialah jabat tangan ketika berjumpa dan berbai’at. Adapun berjabat tangan ketika selesai shalat berjama’ah yang sering dilakukan oleh sebagian kaum muslimin, tidak ada satupun hadis yang menerangkannya. Siapa yang melakukannya dengan keyakinan bahwa berjabat tangan tersebut merupakan amalan yang berkaitan dengan ibadah shalat atau rangkaian ibadah shalat tersebut, maka jelaslah bahwa hal itu termasuk bid’ah, karena Rasulullah saw. dan para sahabatnya tidak pernah melakukannya.
Walaupun berjabat tangan itu merupakan kegiatan yang positif untuk menambah erat silaturrahmi, akan tetapi bila salah menempatkannya, maka justru akan terjerumus kedalam jurang perbid’ahan.
Al-‘Alamah Ali Al-Qary menyatakan dalam syarah Musykat :
“Sesungguhnya tempat berjabat tangan yang disyariatkan ialah pada awal pertemuan. Kadang-kadang sekelompok orang saling bertemu dengan tidak berjabat tangan dan mereka asyik bercakap-cakap dan membicarakan tentang ilmu dan lain-lain dengan menghabiskan waktu yang panjang. Kemudian apabila mereka telah selesai shalat, mereka saling berjabat tangan. Maka bagaimana termasuk yang disyari’atkan?. Oleh karena itu, sehingga ulama kami menerengkan bahwa hal itu tidak disenangi (dibenci). Termasuk bid’ah-bid’ah yang yang tercela.” Aunul Ma’bud,XIV:81, Tuhfatul Ahwadzi,VII:427
Imam An-Nawawi didalam kitabnya Al-Adzkar menyatakan : Ketahuilah sesungguhnya berjabat tangan ini mustahabah (sunat) ketika setiap kali berjumpa. Adapun apa yang dibiasakan orang dari berjabat tangan setelah dua shalat, yaitu Shubuh dan Ashar, maka tidak ada dasar (keterangan) dalam syara dari hal itu, akan tetapi tidak apa-apa. Karena berjabat tangan itu asalnya sunat. Al-Adzkar:227
Syekh Al-Imam Muhammad bin Abdussalam rhm. dalam kitabnya Al-Qowaid menerangkan bahwa bid’ah itu terbagi lima bagian, yaitu : wajib, haram, makruh, sunat dan mubah. Dan yang termasuk contoh bid’ah-bid’ah mubah ialah berjabat tangan setelah selesai shalat Shubuh dan Ashar. Al-Adzkar:227
Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah menegaskan :
“Dan yang dikatakan oleh Ali Al-Qary (diatas) dialah yang hak dan yang benar. Sedangkan perkataan An-Nawawi adalah salah. Dan pembagian bid’ah kepada lima bagian sebagaimana pendapat Imam Ibnu abdis-Salam dan diikiuti oleh Imam An-Nawawi telah dicela oleh sekelompok ulama muhaqiqin. Diantara yang paling akhir ialah guru kami Al-Qadhi al’Alamah Basyiruddin Al-Qinnaujiy rhm. ia telah menolaknya dengan penolakan yang keras. Aunul Ma’bub,XIV:82
Imam Al-Hafidz Al-Mubarakafuri menambahkan :
“Sungguh Al-Qadhi Asy-Syaukani telah mengingkari juga atas pembagian bid’ah kepada lima bagian dalam kitabnya Nailul Authar,II:64. Tuhfatul Ahwadzi,VII:427
Dengan keterangan-keterangan diatas jelaslah bahwa hukum berjabat tangan setelah shalat hukumnya bid’ah dan setiap bid’ah adalah zhalalah (sesat). Sebagaimana sabdanya :
Sesungguhnya sebaik-baik perkataan ialah kitab Allah dan sebaik-baik petunjuk ialah petunjuk Muhammad. Sejelek – jelek urusan ialah diada-adakan dan setiap bid’ah adalah sesat”. Shahih Muslim,I:380 no.867 dari jabir bin abdillah r.a.
Dengan demikian, melakukan berjabat tangan setelah selesai shalat bukan akan menghapus dosa sebagaimana hadis diatas, akan tetapi justru menjerumuskan diri kedalam kesesatan dan dosa.
Wallahu a’lam bish-Shawab

MILAD, MAULID, ULTAH DAN NATAL



Aris Saptiono

MILAD, MAULID, ULTAH DAN NATAL
Orang yang beriman tidak akan terkesan dan terpengaruh oleh sesuatu yang mereka lihat dari musuh-musuh Allah. Sebab ia yakin didalam keperibadian Islam terdapat kebaikan serta kebahagian dunia dan akhirat. Karena itu ia akan bersikap hati-hati terhadap berbagai cara dan pola hidup yang tidak jelas dalilnya. Sikap kehati-hatian itu diwujudkan dengan mempertanyakan berbagai macam acara dan upacara yang tidak dikenal didalam Islam, meskipun dikemas dengan nama atau istilah arabi bahkan islami, seperti ‘ied, milad, maulid dan syukuran.
Asal – Muasal
Dari Umar bin Khatab sesungguhnya seseorang dari kaum Yahudi berkata kepadanya, “Wahai Amirul mukminin, ada satu ayat dalam kitab kalian yang kalian biasa membacanya. Sekiranya ayat itu turun kepada kami bangsa Yahudi, niscaya kami jadikan turunnya itu sebagai ‘ied” Umar bertanya, “Ayat yang mana?”. Dia menjawab, “Al Yauma akmaltu lakum....”. Umar menjawab, “Kami tahu hari dan tempat turunnya ayat itu kepada Nabi, Yaitu ketika beliau wukuf di Arafah pada hari Jum’at”. H.R. Al Bukhari
Secara istilah, kata ‘ied memilki dua makna :
1.     Makna umum. Memurut Fairuz Abadi, “Ied berarti sesuatu yang biasa datang kepadamu, seperti gelisah, sakit, sedih dan lain-lain. Al Qamus al-Muhith:386.
2.     Makna khusus. Menurut Fairuz Abadi dan Ibnu Manzhur, “Ied adalah sebutan bagi hari yang padanya orang-orang berkumpul”. Al Qamus Al-Muhith:386; Lisanul ‘Arab,III:319. Al Azhari berkata, “Ied menurut orang Arab adalah waktu yang kembali padanya kegembiraan dan kesedihan”. Lisanul ‘Arab,III:319. Lois Ma’luf berkata, “Ied adalah tiap-tiap hari yang padanya orang-orang beerkumpul atau mengenang orang yang punya keutamaan atau peristiwa penting. Al Munjid:836. Menurut Ibnu Hajar, “Hari itu disebut ‘ied karena kembali setiap tahun”. Fathul Bari,I:146. Sedangkan menurut Ar-Raghib al Ashfahani,”Didalam syariat Islam, Sebutan ‘ied dikhususkan bagi hari Fitri (1 Syawal) dan hari Nahar (10 Dzulhijjah/Adha). Ketika hari tiu dijadikan sebagai hari kegembiraan menurut syariat sebagaimana dinyatakan oleh Nabi saw. “Hari makan-minum”, maka istilah ‘ied dipergunakan sebagai sebutan bagi tiap-tiap hari yang disitu terdapat kesenangan (hari raya). Didalam Alquran dinyatakan :
Isa putra Maryam berdoa, “Ya Tuhan kami, turunkanlah kepada kami suatu hidangan dari langit (yang hari turunnya) akan menjadi hari raya bagi kami. Q.S. Al-Maidah:114, Al-Mufradat fi Gharibil Quran,II:457
Menurut Ibnu Taimiyyah ‘Ied terbagi kepada 3 macam : satu diantaranya adalah ‘ied yang berhubungan dengan waktu. ‘Ied yang berhubungan dengan waktu ada tiga macam :
1.     Hari-hari yang dianggap agung oleh syariah dan terdapat dalil yang menunjukkan keutamaannya serta anjuran untuk beribadah pada hari-hari tersebut, seperti hari Jum’at, ‘Iedul Fitri dan ‘Iedul Adha.
2.     Hari-hari yang tidak terjadi peristiwa apapun padanya dan tidak dianggap agung dan utama oleh syariah, namun diagung-agungkan oleh manusia sehingga memiliki keistimewaan dibandingkan hari lainnya, seperti hari Kamis minggu pertama atau malam Jum’at pada bulan Rajab yang biasa disebut Ar-Raghaib, yang dianggap istimewa oleh sebagian kaum muslimin. Pengagungan hari tersebut mulai terjadi sejak abad IV hijriah.
3.     Hari-hari yang terjadi suatu peristiwa padanya dan tidak dianggap agung dan utama oleh syariah, namun dianggap penting oleh manusia karena peristiwa itu, sehingga memiliki keistimewaan dibandingkan dengan hari lainnya, seperti mengagungkan dan memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad, yang lebih dikenal dengan sebutan maulid.
Pada mulanya, istilah maulid dipergunakan bagi peringatan dan perayaan hari jadi seorang yang dianggap suci, laki-laki atau perempuan, muslim, Kristen atau Yahudi yang sudah meninggal. Namun istilah ini kemudian populer dipergunakan bagi kelahiran Nabi Muhammad. Perayaan Maulid Nabi Muhammad saw. pertama kali dilakukan pada zaman Fathimiyyah (dinasti yang didirikan pada 920 M) yang bermadzhab Syi’ah. Sedangkan Muhammad Abdus Salam menyatakan bahwa maulid Nabi itu diada-adakan oleh kaum sufi al-akkalun (cari makan). Lihat, As-Sunan wal Mubtada’at:138-140.
Dikalangan sebagian kaum muslimin, istilah yang dipergunakan untuk perayaan itu sangat beragam. Di Mesir acara ini disebut Maulid. Di Tunisia, istilah yang dipakai adalah Zardah, sedangkan di negara Arab lainnya digunakan istilah Mausim. Di Sudan disebut Huliyyah. Hanya istilah Huliyyah ini dipergunakan dalam rangka memperingati ulang tahun kematian, dan bukan ulang tahun kelahiran mereka, yaitu pendiri tarekat-tarekat sufi.
Kemudian dilihat dari aspek ketetapan waktu penyelenggaraan, cara atau bentuk upacara, ternyata perayaan dalam rangka memperingati “orang suci” itu pun sangat beragam. Banyak “maulid” bagi “orang-orang suci” ditetapkan pada hari-hari kelahiran mereka menurut kalender hijjriah. Namun tidak sedikit tanggal maulid ditetapkan menurut kalender syamsiah (masehi). Disamping itu, perayaan tersebut dapat berubah menurut kondisi-kondisi historis dan sosial.seperti maulid Ahmad al-Badhawi di Mesir yang ditetapkan atas dasar keyakinan para pemujanya, bukan atas hari kelahiran yang sesungguhnya.
Sebagian ahli sejarah berpendapat bahwa fenomena maulid berakar dari tradisi-tradisi kuno, seperti yang berlangsung di Mesir, untuk menghormati dewa-dewa setiap tahun pada saat panen, sementara kuil-kuil menyusun berbagai prosesi serta perayaan yang rumit. Sebagian ahli sejarah lainnnya merunut maulid dari pengaruh Pharisaisme (sebuah sekte Yahudi kuno) dan perayaan kaum Yahudi pada masa Yahudi awal serta masa Kristen awal. Sedangkan bentuk modern maulid berakar dari tradisi sufi dan atau syi’ah yang muncul dari kawasan Maghribi (Maroko) dan Mesopotamia dan berkembang di Mekkah yang identik dengan praktik-praktik serupa dikalangan masyarakat Kristen dan Yahudi di Timur Tengah. Lihat, John L Esposito, Ensiklopedi Oxford: Dunia Islam Modern, 2002, jilid 3. Hal. 75-76 ; jilid 4, hal. 22-24 ; jilid 5, hal. 228-229.
Pada perkembangan selanjutnya, dikalangan sebgian muslim perayaan hari jadi itu bukan saja ditujukan untuk memperingati Nabi Muhammad dan “orang saleh”, namun bagi berbagai peristiwa yang dianggap penting oleh masing-masing, seperti hari kelahiran dan kematian, berdirinya suatu golongan atau organisasi, hari kemenangan golongan, kemerdekaan dari penindasan golongan lain dan sebagainya. Istilah yang dipergunakan untuk peringatan dan perayaan itu pun menjadi beragam. Ada yang meyebut milad, dies natalies, ulang tahun, bahkan “syukuran”.
Dikalangan Yahudi pun, istilah yang dipergunakan untuk peringatan dan perayaan “orang saleh” juga sangat beragam, namun pada umumnya ditujukan bagi berbagai peristiwa yang dialami oleh Nabi Musa dan Bani Israil.
Diceritakan dalam “asar-asar Yahudi” bahwa pada hari raya Paskah, imam-imam orang aseni memimpin upacara. Mereka berdiri menghadap ke arah negeri Mesir mengenang arwah Bani Israil yang mati dalam penyiksaan Fir’aun. Lihat, Iqtidha Shiratil Mustaqim Mukhalafatu Ashabil Jahim, t,t, hal. 294 ; Parasit Aqidah : 324)
Ibnu Abbas mengatakan, “Ketika Nabi saw, tiba di Madinah, beliau mendapati orang-orang Yahudi sedang melaksanakan shaum pada hari Asyura. Mereka bertanya mnegenai hal itu, lalu mereka berkata, “Pada hari ini Allah swt. pernah menyelamatkan Nabi Musa dan Bani Israil atas (Kerajaan) Fir’aun dan kami menshauminya sebagai penghormatan.” Rasulullah saw menjawab, “Kami lah yang paling berhak dengan Musa daripada kamu.” H.R. Al Bukhari & Muslim.
Bahkan perayaan itu bukan saja ditujukan bagi “orang saleh”, namun bagi setiap peristiwa yang dianggap penting oleh mereka, seperti :
a.    Memperingati kemenangan Yahudi atas bangsa Yunani pada 166-165 SM dengan menyalakan lilin dan api ungun yang disebut hari Hanukah. Lihat, Parasit Aqidah : 282.
b.    Memperingati berdirinya suatu golongan, hool (haul), ulang tahun kelahiran dan kematian seorang imam yang masyhur, pesta-pesta kemenangan golongan, pesta kemerdekaan dari penindasan golongan lain. Lihat Parasit Aqidah : 283.
Demikian pula halnya dengan kalangan Nasrani. Istilah yang dipergunakan untuk peringatan dan perayaan “orang saleh” juga sangat beragam, namun pada umumnya ditujukan bagi berbagai peristiwa yang dialami oleh Nabi Isa, antara lain :
a.    Paskah, Yaitu hari kebangkitan Yesus yang diperingati setiap tanggal 25 April. Upacara kebangkitan Yesus itu merupakan saduran dari upacara bangsa Phrygia, Yunani dan Romawi.
b.    Pantekosta, yaitu hari turunnya ruh suci yang dirayakan pada hari ke 50 seusai Paskah.
c.    Natal, yaitu hari kelahiran Isa bin Maryam yang dirayakan pada 25 Desember. Sesungguhnya orang-orang Nasrani pertama tidak mengenal upacara Natal, karena dianggapnya bukan dari ajaran dari nabi-nabi tetapi upacara kafir, yaitu merupakan pesta agama Mithras, lalu bangsa Romawi merubahnya dan ditujukan pada dewa Yupiter. Namun Nasrani Romawi menjadikannya hari natal Yesus. Dengan demikian, upacara natal menurut ajaran Nasrani pun sudah merupakan bid’ah.
Bahkan perayaan itu bukan saja ditujukan bagi “orang saleh”, namun bagi setiap peristiwa yang dianggap penting oleh mereka, seperti :
a.    Ulang tahun kelahiran. Pada mulanya orang-orang Nasrani generasi pertama tidak mengenal upacara ulang tahun, karena mereka menganggap bahwa pesta ulang tahun itu pesta yang munkar dan hanya pekerjaan orang kafir. Orang Nasrani yang pertama kali mengadakan pesta ulang tahun adalah orang Nasrani Romawi.
b.    Hari perkawinan. Disebut kawin perunggu, tembaga, perak, emas dan berlian.
c.    Hari kematian, diperingati untuk menjamu roh-roh diluar roh manusia dengan membuat sajian-sajian (sasajen). Di Inggris pesta roh tersebut disebut Hallowen, yang diperingati pada tiap 31 oktober. Lihat, Parasit Aqidah : 304-324.
Keterang-keterangan diatas menunjukkan bahwa perayaan maulid, milad, ulang tahun dan “syukuran” untuk memperingati hari dan berbagai peristiwa penting, bersumber dari ajaran Yahudi dan Nasrani yang masuk kepada kaum muslimin melalui “pintu” Tasawwuf dan Syi’ah.
Untuk itu kita perlu saling mengingatkan, karena hal ini menyangkut persoalan Aqidah yang wajib dipertahankan. Jangan sampai hanya karena keperluan pribadi, kelompok atau golongan lantas aqidah dihinakan. Bila dengan harga murah aqidah dapat tergadai, bagaimana dengan harga yang sedikit lebih mahal, apalagi yang akan digadaikan?
Wallahu ‘alam bish shawab

Jumat, 11 Januari 2013

DAHSYATNYA KESYIRIKAN

DAHSYATNYA KESYIRIKAN 
Semoga Dahlan Iskan memahami, semoga kaum muslimin mengerti, bahwa segala bentuk keselamatan itu datang dari Allah. Allah-lah tempat kita meminta pertolongan, bukan kepada kepercayaan kejawen yang tak jelas sumber dan nalarnya. Kita tidak seharusnya percaya bahwa ritual ruwatan, pertunjukan wayang pada jam dan tanggal tertentu, air dari 4 penjuru dan jampi-jampi para dukun dan dalang memiliki 'tuah' kekuatan untuk menolak bala, musibah dan bencana.

Allah itu paling murka dengan dosa kesyirikan apapun bentuknya.

Kecelakaan mobil listrik ini adalah peringatan yang sangat jelas dari Allah, agar kita kembali memurnikan keimanan kita kepada Allah. Peringatan besar untuk bangsa ini, jika kita melihat skala tokoh yang terlibat di dalamnya dan pemberitaan oleh media massa.

"Belum tibakah waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk secara khusyuk mengingat Allah dan mematuhi kebenaran yang telah diwahyukan kepada mereka dan janganlah mereka berlaku seperti orang-orang yang telah menerima kitab sebelum itu, kemudian mereka melalui masa yang panjang sehingga hati mereka menjadi keras. Dan banyak di antara mereka menjadi orang-orang fasik."

Al Hadid [57:16]

"Lalu orang-orang yang zalim mengganti perintah dengan (mengerjakan) yang tidak diperintahkan kepada mereka. Sebab itu Kami timpakan atas orang-orang yang zalim itu bala bencana dari langit, karena mereka berbuat fasik."

Al Baqarah [2:59]
sumber: Facebook Kembang Anggrek