Salurkan Zakat, Infaq, Shadaqah dan Wakaf anda ke ZISWAF al-Muhajirin

Panitia Renovasi Masjid Al-Muhajirin

renovasi Masjid Al-Muhajirin ke Bank Syariah Mandiri KCP Jatinangor an. Panitia Renovasi Al Muhajirin Nomor Rekening 1000-555-777

iklan

jazakamullah ahsanal jaza' semoga Allah SWT akan membalas kalian dengan balasan yang terbaik. aamiin yaa robbal 'alamiin...

Senin, 01 April 2013

FIQIH BANJIR


Aris Saptiono

FIQIH BANJIR
Memperhatikan perjalanan hidup kita hingga tahun 2013 ini, sungguh teramat banyak peristiwa yang terjadi dalam kehidupan kita yang layak dijadikan ‘ibrah (cermin) sebagai bahan evaluasi sekaligus introspeksi atas perilaku kita dalam mengelola kehidupan dunia.
 Di antara peristiwa itu, bagi warga kabupaten Bandung khususnya, terjadi di penghujung tahun 2012 dan awal tahun 2013, ketika curah hujan tinggi selama dua hari itu “menyebabkan” meluapnya air sungai dan terjadinya banjir, khususnya di sekitar jalan Pandanwangi Cibiru, Perumahan Bumi Orange & Perumahan Griya Mtra Desa Cinunuk, Kecamatan Ciluenyi terjadi luapan air.
 Di tempat tinggal kami, Griya Mitra RW 26 Desa Cinunuk Kecamatan Cileunyi, yang dialiri sungai & saluran irigasi, ketinggian air mencapai +1 m. Peristiwa itu telah menggugah kembali kenangan lama kami sebagai  warga masyarakat yang tinggal di daerah itu.
 Uniknya, hujan yang turun selama dua hari berturut-turut itu bukan saja menyebabkan terjadinya banjir di daerah kami, namun dalam waktu yang hampir bersamaan juga telah menyebabkan banjir di 6 kecamatan di Kabupaten Bandung, meliputi Kecamatan Baleendah, Dayeuhkolot, Bojongsoang, Rancaekek, Cileunyi dan Banjaran.
Peristiwa fenomenal itu kembali menyambangi ibu kota Indonesia, Jakarta, tepatnya Kamis 17 Januari 2013, dini hari sampai jelang siang. Banjir pada hari itu  telah menggenangi perumahan, perkantoran, sekolah, hingga jalan-jalan ibukota yang dihuni 14 juta orang. Bahkan balaikota dan Istana Negara pun terkena imbas banjir Ibu Kota. Daerah yang terendam banjir Jakarta meliputi 720 RT, 309 RW, 73 kelurahan. 31 kecamatan dengan jumlah penduduk terdampak 30.964 KK atau 114.248 jiwa. Jumlah pengungsi hingga saat ini (Jumat 18 Januari 2013) sekitar 15.423 jiwa.
 Peristiwa Banjir Desember 2012 di Bandung dan Januari 2013 di Jakarta hanyalah sebagian kecil potret bencana banjir yang terjadi di seluruh negeri ini. Pasalnya, menurut Kepala Pusat Data Informasi dan Hubungan Masyarakat (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho, sebanyak 315 kabupaten dan kota dengan 60,9 juta jiwa tinggal di daerah rawan sedang dan rawan tinggi banjir di Indonesia.
 Ketika manusia membicarakan permasalahan Banjir, baik tentang sebab dan cara-cara menanggulanginya, pada umumnya manusia tidak “melibatkan” pandangan Allah yang tercantum dalam Al-Quran dan melalui sabda Nabi saw. Sehingga yang disebut sebagai penyebab biasanya berkaitan dengan curah hujan yang tinggi, kerusakan DAS (daerah aliran sungai), sedimentasi (pengendapan) sungai, masalah sampah di sungai, tidak tepatnya perencanaan landscape dan sebagainya. Padahal dalam pandangan Al-Quran, perkara-perkara itu pada hakikatnya hanyalah sebab pelengkap atau efek samping, bukan sebagai sebab utama. Jika demikian halnya, bagaimana banjir menurut Al-Quran dan Sunnah?
 Untuk menjawab itu, mari kita perhatikan pandangan Al-Quran tentang hujan. Dalam pandangan Al-Quran, hujan merupakan anugerah yang diberikan Allah Swt.  bagi semua makhluk di alam semesta ini. Tetesan air yang turun dari langit itu menjadi sumber kehidupan bagi semua makhluk hidup. Al-Quran menyebut hujan sebagai rahmat (Al-A’raf:57, An-Naml:63, Al-Furqan:48), rezeki (Ghafir:13 dan Adz-Dzariyat:22), dan Raj'i (berarti kembali, surat Ath-Thariq:11).
Secara ilmiah, rahmat dan rezeki itu dapat dimaknai dalam berbagai dimensi, antara lain keseimbangan ekologis. Manfaat dan rezeki dalam konteks ini dapat dipetakan sebagai berikut:
Pertama, berkat kekuasaan Allah Swt., air dapat diubah menjadi kumpulan gas di atmosfer dengan bantuan sinar matahari, yang disebut awan dengan bentuk yang bergumpal-gumpal. Dalam bahasa ilmiah, proses ini disebut evaporasi. Proses evaporasi ini telah dijelaskan dalam Al-Quran:
 “Allah, Dialah yang mengirim angin, lalu angin itu menggerakkan awan dan Allah membentangkannya di langit menurut yang dikehendaki-Nya, dan menjadikannya bergumpal-gumpal...” QS. Ar-Rum:48
Dalam proses ini, setiap saat air asin sebanyak 97 % dari jumlah air di Bumi berpindah menuju atmosfer dengan perkiraan sekitar 16 juta ton per detik,  sehingga menghasilkan 513 trilyun ton air per tahun.
Kedua, berkat kekuasaan Allah pula angin dihembuskan dan menghalaukan awan, hingga awan itu terkumpul dan bertumpuk dalam gumpalan-gumpalan di langit. Ketika awan tersebut semakin hitam dan berat maka akan terjadi hujan di antara celah-celahnya. Dalam bahasa ilmiah, proses jatuhnya air dari atmosfer ke permukaan bumi disebut presipitasi. Proses presipitasi ini telah dijelaskan dalam Al-Quran:
 Tidakkah kamu melihat bahwa Allah mengarak awan, kemudian mengumpulkan antara (bagian-bagian) nya, kemudian menjadikannya bertindih-tindih, maka kelihatanlah olehmu hujan keluar dari celah-celahnya dan Allah (juga) menurunkan (butiran-butiran) es dari langit, (yaitu) dari (gumpalan-gumpalan awan seperti) gunung-gunung, maka ditimpakan-Nya (butiran-butiran) es itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan dipalingkan-Nya dari siapa yang dikehendaki-Nya…” (QS. An-Nuur:43)
Pada ayat tersebut, Allah Swt. menghendaki pada tempat jatuhnya air di daerah beriklim dingin menjadi salju sedangkan jatuhnya air di daerah iklim tropis menjadi air hujan.
Menurut penelitian modern, air hujan yang menguap dan turun kembali ke Bumi dalam bentuk hujan berjumlah "tetap", yakni 513 triliun ton pertahun. Jumlah yang tetap ini dinyatakan dalam Al Qur'an dengan menggunakan istilah "menurunkan air dari langit menurut kadar". Allah Swt. Berfirman:
Dan Yang menurunkan air dari langit menurut kadar (yang diperlukan) lalu Kami hidupkan dengan air itu negeri yang mati, seperti itulah kamu akan dikeluarkan (dari dalam kubur). (QS. Az-Zukhruf:11)
 Ketiga, setelah air hujan turun ke bumi, dengan kekuasaan Allah, air itu diatur menjadi dua bagian: Pertama, meresap ke dalam tanah. Proses ini disebut infiltrasi. Kedua, meluap ke permukaan tanah. Proses ini disebut surface run-off. 
Dalam proses infiltrasi, air yang meresap ke dalam tanah sebagian akan tertahan oleh partikel-partikel tanah dan menguap kembali ke atmosfer, sebagian lagi diserap oleh tumbuhan dan yang lain akan terus meresap di bawah permukaan bumi hingga zona yang terisi air yaitu zona saturasi. Proses ini disebutkan dalam Al-Quran:
 “Dan Kami turunkan air dari langit menurut suatu ukuran; lalu Kami jadikan air itu menetap di bumi, dan sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa menghilangkannya.” (QS. Al-Mu’minuun:18)
 Air yang meresap melalui pori-pori tanah kemudian tersimpan di bawah permukaan bumi yang impermeabel (tak dapat ditembus oleh air) sehingga disebut air tanah.
 Dalam proses surface runoff, ketika zona saturasi terus terisi oleh air maka air tersebut akan mencari cara untuk meloloskan diri ke permukaan bumi. Apabila air hujan terus jatuh ke permukaan bumi tetapi tanah tidak mampu menyerap maka air permukaan ini  mencari celah untuk mengalir di antara palung sungai dan danau. Proses surface runoff ini disebutkan dalam Al-Quran:
 “Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya…” (QS Ar Ra’d : 17)


Kedua proses ini (infiltrasi dan surface runoff) juga diisyaratkan oleh Nabi saw.
 “Perumpamaan apa yang ditugaskan kepadaku oleh Allah untuk kusampaikan dari tuntunan dan pengetahuan adalah bagaikan hujan yang lebat yang tercurah ke bumi. Ada di antaranya yang subur, menampung air sehingga menumbuhkan aneka tumbuhan dan rerumputan yang banyak. Ada juga yang menampung air itu, lalu Allah menganugerahkan kepada manusia kemampuan untuk memanfaatkannya, maka mereka dengan air itu dapat minum, mengairi sawah dan menanam tumbuhan, dan ada lagi yang turun di daerah yang datar tidak dapat menampung air, tidak juga menumbuhkan tanaman….” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) 
 Menurut penelitian para ahli, ketika keseimbangan ekologis terpelihara dengan baik air yang meresap ke dalam tanah sekitar 75% - 85%, sedangkan menjadi run-of yang mengalir ke sungai dan terbuang ke laut sekitar 15 % sampai 25%.
 Proses siklus air yang berulang-ulang ini sangat penting bagi keberlangsungan keseimbangan ekologis dan kelangsungan kehidupan di dunia. Dalam konteks inilah Al-Quran menyebut air hujan dengan Raj’i.
 Dengan demikian, karena hujan itu sebagai karunia yang diberikan Allah kepada makhluk-Nya, maka sejatinya air hujan tidak akan menimbulkan madharat bagi manusia, sehingga tidak layak dijadikan sebagai “kambing hitam” penyebab banjir.
Setelah kita diajak berdialog oleh Al-Quran tentang manfaat air hujan, dan kita menemukan jawaban bahwa air hujan bukan sebagai penyebab banjir, maka pencarian penyebab itu kita lanjutkan dengan memperhatikan pandangan Al-Quran tentang bencana pada umumnya dan banjir pada khususnya.
 Untuk memaknai peristiwa atau malapeta yang kita kenal sebagai bencana, Al-Quran menggunakan kata mushiibah. Ini paling tidak terlihat dalam bentuk fi’il madhi (verba perfektif atau aspek yang menggambarkan perbuatan selesai), yaitu ashaaba seperti tercantum pada surah  Ali Imran: 146; dalam bentuk fi’il mudhari (verba imperfektif atau aspek yang menggambarkan perbuatan belum selesai), yaitu yushiibu seperti tercantum pada surah ar-Ra’du: 31; dan dalam bentuk isim mashdar (nomina verbal), yaitu mushiibah, seperti tercantum pada surah at-Taubah: 50.
 Selain kata ini, Al-Quran menggunakan kata lain yang berkonsep bencana. Sedikitnya ada delapan kata yang kemudian dipadankan dengan bencana. (1) kata zhulumaat (bentuk plural dari zhulmah), seperti terdapat pada surah al-‘An’am: 63. (2) kata al-kubar, seperti terdapat pada surah al-Mudatsir: 35. (3) kata al-karb, seperti terdapat pada surah Al-An’am: 64, Al-Anbiya: 76, as-Shafaat: 76 & 115. (4), kata su', seperti terdapat pada surah al-Ahzab: 17. (5) kata nailan, seperti terdapat pada surah at-Taubah: 120. (6) kata 'adzab, seperti terdapat pada surah at-Taubah: 26. (7) kata sayyi'ah (bentuk tunggal), seperti terdapat pada surah Ali Imran: 120, an-Nisa: 78-79. Kata sayyi'at (bentuk jamak), seperti terdapat pada surah al-A’raf : 168. (8) kata da'irah, seperti terdapat pada surah al-Maidah: 52.
 Namun demikian, kata mushibah-lah yang paling banyak dipergunakan sebagai pengganti konsep bencana dalam bahasa Indonesia. Kata itu sendiri sedikitnya terdapat pada 50 ayat di dalam Al-Quran. Kelima puluh ayat itu dikelompokkan menjadi 16 tema.
 Hanya saja kata mushibah berikut derivasi dan infleksinya yang terdapat di Al-Quran itu tidak selalu mengacu pada konsep bencana alam. Kata mushibah dalam Al-Quran itu mengacu pada definisi kata ini dalam bahasa Arab. Konsepnya lebih luas daripada kata bencana alam, karena musibah apa pun meskipun skala dan efeknya kecil tetap saja bisa disebut mushibah, yang tentu saja dalam bahasa Indonesia tidak bisa disebut bencana alam.
 Ujian atau Siksa?
Pertanyaan ini selalu saja menarik peneliti yang mengkaji tema bencana alam dalam tinjauan agama apa pun. Dalam Islam pun, pertanyaan ini juga banyak muncul. Kesan ini pun tercermin dalam beberapa ayat Al-Quran. Sejauh pengamatan kami, Al-Quran mengelompokkan bencana menjadi dua kelompok ini. Pertama, kelompok bencana yang menjadi ujian, terdapat setidaknya pada surah Ali Imran: 165. Kedua, kelompok bencana yang menjadi siksa yang diakibatkan tidak beriman, perilaku zalim, dan maksiat. Dengan perincian sebagai berikut: (a) Bencana akibat tidak beriman, terdapat pada surah Ar-Ra'd: 31. (b) Bencana akibat perilaku zalim, terdapat pada surah Ali Imran: 117. (c) Bencana akibat perilaku maksiat, terdapat pada surah Al-A'raf: 165.
Pada ayat-ayat di atas parameternya sangat jelas, mana bencana yang menjadi ujian dan mana bencana yang menjadi siksa. Bila bencana itu diakibatkan karena kesalahan yang tidak disengaja, maka bencana itu menjadi ujian bagi pelakunya, untuk kemudian mengukur seberapa besar kadar keimanannya. Sebaliknya, bila bencana itu diakibatkan oleh perilaku maksiat, zalim, dan tidak beriman, maka bencana itu menjadi siksa.
 Namun, bila yang dimaksudkan bencana alam, maka Al-Quran selalu mengelompokkannya ke dalam bencana yang menjadi siksa dan berkait dengan perilaku maksiat, zalim, dan tidak beriman. Ada enam bencana alam yang disinggung dalam Al-Quran: (1) gempa (QS Al-An'am:65, Al-A'raf : 78 & 155, Al-Ankabut: 37); (2) angin topan (QS Al-Fath: 4, Al-Ahqaf: 24, Fushshilat: 16, Al-Isra: 69, Al-Ahzab: 9, Al-Qamar: 19 & 34, Al-Isra: 68, Al-Haqqah: 6 & 7, Adz-Dzariyat: 41 & 42; (3)  petir (Asy-Syura: 13, An-Nisa: 153 & 155, Al-Kahf: 40, Fushshilat: 17, Adz-Dzariyat: 44, Al-Haqqah: 5), (4) hujan batu (An-Naml: 58, Al-Furqan: 40, Asy-Syu’ara: 173, Al-A'raf: 84, Al-Ankabut: 40; (5) paceklik dan kelaparan (QS Al-Mukminun: 75, Al-A'raf: 130, At-Thur: 47, An-Nahl: 112, Ad-Dukhan: 10).




Sementara terkait dengan banjir, secara khusus Al-Quran menginformasikan pada beberapa ayat berikut:
"Tetapi mereka berpaling, Kami pun datangkan kepada mereka banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl, dan sedikit dari pohon Sidr," (QS Saba' [34]: 16).
"Lalu Kami wahyukan kepadanya, 'Buatlah bahtera di bawah pantauan dan petunjuk Kami. Lalu, apabila perintah Kami telah datang dan tanur telah memancarkan air, maka masukkanlah ke dalam bahtera itu sepasang dari tiap-tiap (jenis), dan (juga) keluargamu, kecuali orang yang telah lebih dahulu ditetapkan (akan ditimpa azab) di antara mereka. Janganlah kamu bicarakan dengan Aku tentang orang-orang yang zalim, karena sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan," (QS Al-Mukminun [23]: 27).
"Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya. Dia tinggal di antara mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun, lalu mereka ditimpa banjir besar, dan mereka adalah orang-orang yang zalim," (QS Al-Ankabut [29]: 14).
 Menurut Imam Al-Qurthubi, kandungan Saba' [34]: 16 terkait dengan kaum Saba' yang mengingkari nikmat Tuhan. Banjir itu sebagai akibat atas ketidakberiman mereka pada Zat yang memberi nikmat. Banjir besar itu sendiri disebabkan oleh runtuhnya bendungan Ma'rib. Tanur yang disebutkan pada Al-Mukminun [23]: 27 adalah semacam alat pemasak roti yang diletakkan di dalam tanah terbuat dari tanah liat. Biasanya, tidak ada air di dalamnya. Terpancarnya air di dalam tanur itu menjadi tanda bahwa banjir besar akan melanda negeri itu. Informasi pada Al-Mukminun [23]: 27 itu dilengkapi oleh Al-Ankabut [29]: 14 bahwa banjir itu diakibatkan perilaku tidak beriman kaum Nuh terhadap kenabian Nuh (Noah).
Kandungan ayat-ayat di atas sangat jelas menunjukkan bahwa berbagai bencana alam pada umumnya dan banjir pada khususnya—yang diinformasikan dalam Al-Quran—berkaitan  dengan siksa sebagai akibat perilaku maksiat, zalim, dan tidak beriman. Kandungan itu sekaligus membantah pandangan yang menyatakan bahwa bencana alam yang terjadi murni akibat gejala alam semata. Pasalnya, bencana alam selalu berkaitan erat dengan perilaku maksiat, zalim, dan tidak beriman yang berbuah siksa. Gejala alam memang ada, tetapi itu bukan satu-satunya. Ada kesalahan yang kita buat baik sebagai pribadi maupun sebagai bangsa, sehingga Allah melalui alam sebagai makhluk-Nya menunjukkan kekuatan-Nya. Kesalahan yang diperbuat manusia sebagai penyebab bencana ditegaskan oleh Allah dalam Al-Quran:
Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (QS. Ar-Rum:41)
Kata zhahara pada asalnya berarti terjadinya sesuatu di permukaan bumi. Sehingga, karena dia dipermukaan, maka menjadi nampak dan terang serta diketahui dengan jelas. Sementara kata Al-Fasaad, menurut Ar-Raghib Al-Ashfahani, antonim (kata yang berlawanan) dari Shalaah. Al-Fasaad berarti keluarnya sesuatu dari keseimbangan, baik sedikit maupun banyak. Kata ini digunakan untuk menunjuk apa saja, baik jiwa, jasmani, maupun hal-hal lain. (Lihat, Al-Mufradat fi Gharib Al-Quran, hal. 636)
Ayat di atas menyebut darat dan laut sebagai tempat terjadinya fasad itu. Ini dapat dimaknai bahwa daratan dan lautan menjadi arena kerusakan, yang berakibat terjadinya ketidakseimbangan ekologis. Sehubungan dengan itu, Ibnu Abbas menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Al-Barr dapat berupa tanah kosong atau hutan belantara, sementara Al-Bahr mengacu pada kota-kota yang berada di bantaran sungai. (Lihat, Tafsir Ibnu Katsir, VI:319)
Dari pernyataan Ibnu Abbas dapat dimaknai bahwa kemaksiatan manusia menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan baik di hulu maupun di hilir. Kemaksiatan itu dapat berupa pelanggaran tata ruang, pembangunan yang kurang memperhatikan lingkungan, seperti hutan lindung yang asalnya sebagai daerah resapan air diubah menjadi “hutan beton”. Demikian pula daerah rawa diubah menjadi pemukiman beton. Dalam konteks banjir, kerusakkan itu telah mengganggu proses siklus air  yang telah dijelaskan diawal. Sehingga pada saat tanah telah mengalami kerusakan, maka daya serapnya semakin berkurang, lalu semakin banyak air yang terlimpas di permukaan dan semakin sedikit air yang diserap tanah.  Dengan perkataan lain, curah hujan yang seharusya masuk ke dalam tanah antara 75% - 85%  dan mengalir di permukaan tanah antara 25 % - 15% justru yang terjadi malah sebaliknya, sehingga terjadilah bencana banjir pada musim hujan dan bencana kekeringan pada musim kemarau.
 Apabila kemaksiatan itu tidak segera dicegah, maka dampak bencana ini tidak saja menimpa pelaku kemaksiatan namun juga mereka yang tidak berbuat maksiat. Bahkan, bisa jadi pelaku itu sendiri tidak mendapat dampak apapun, sementara orang lain yang kena getahnya. Sehubungan dengan itu Allah telah memberi peringatan:
 “Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.” QS. Al-Anfal:25
 Ayat ini diperjelas oleh Nabi saw. melalui sabdanya, sebagaimana dilaporkan oleh Ummu Salamah, istri Nabi saw. ia berkata, “Aku mendengar Nabi saw. bersabda:
 “Sesungguhnya kejahatan bila telah merajalela di muka bumi lalu tidak dicegah, maka Allah akan menurunkan siksa-Nya kepada penduduk bumi.” Ia (Ummu Salamah) berkata, "Aku bertanya, ‘Ya Rasululah, walaupun di kalangan mereka masih ada orang-orang shaleh?” Rasul menjawab, "Ya, walaupun di kalangan mereka masih ada orang-orang shaleh. Dia akan menimpakan kepada mereka apa yang menimpa kepada orang-orang, lalu Allah akan melepaskan mereka menuju ampunan dan keridaan-Nya atau menuju keridaan dan ampunan-Nya.” (HR. Ahmad, Musnad Ahmad, 44:148, No. hadis 26.527)
 Sehubungan dengan itu, jika penanganan banjir selama ini hanya terfokus pada masalah teknis dan sarana fisik semata, maka sampai kapan pun masalah banjir tidak akan dapat teratasi. Pasalnya, cara-cara itu hanya akan menyentuh “bagian kulit” saja, tak ubahnya mengoleskan obat gosok sebagai penyembuh sesaat, sementara akar permasalahannya—yang jauh berada pada “bagian dalam”—sama sekali kurang mendapat perhatian,  yaitu kemaksiatan manusia terhadap alam.
 Demikianlah sebagian kecil pandangan Al-Quran dan Sunnah mengenai banjir. Bila sikap kita salah dalam menanggapi Al-Quran dan Sunnah, apalagi cenderung mengabaikan, maka petaka akan selalu datang seperti yang terjadi pada jaman para nabi dahulu. Al Qur’an ibarat guruh dan kilat, dia adalah kabar gembira (basyiran) sekaligus pemberi peringatan (nadziran).
Wallahu a’lam bish-shawab

Aris saptiono
Griya Mitra A4/21 Ds.Cinunuk Kec. Cileunyi


Tidak ada komentar:

Posting Komentar