Salurkan Zakat, Infaq, Shadaqah dan Wakaf anda ke ZISWAF al-Muhajirin

Panitia Renovasi Masjid Al-Muhajirin

renovasi Masjid Al-Muhajirin ke Bank Syariah Mandiri KCP Jatinangor an. Panitia Renovasi Al Muhajirin Nomor Rekening 1000-555-777

iklan

jazakamullah ahsanal jaza' semoga Allah SWT akan membalas kalian dengan balasan yang terbaik. aamiin yaa robbal 'alamiin...

Jumat, 30 November 2012

Berjabat Tangan setelah Sholat


Berjabat Tangan setelah Sholat
Artikel ini mungkin sangat perlu diketahui oleh Jemaah Almuhajirin  karena perbuatan tersebut diatas  biasa kita lakukan di Mesjid Almuhajirin termasuk oleh saya. Untuk itu mohon komentarnya atau pencerahan dari sesepuh dan alim ulama kita seperti  Bapak  Aminudin, Bapak Abdul Wahid atau Bapak Zikri Zakaria supaya kita tidak menjadi galau dan selalu mengikuti sunnah Nabi Muhammad S.A.W
Terima kasih atas perhatiannya
Hormat saya
Mengucapkan salam dan berjabat tangan kepada sesama Muslim adalah perkara yang terpuji dan disukai dalam Islam. Dengan perbuatan ini hati kaum Muslimin dapat saling bersatu dan berkasih sayang di antara mereka. Sunnah ini sudah lama diamalkan oleh para sahabat -radhiyallahu ‘anhum-. Qotadah berkata, “Aku bertanya kepada Anas bin Malik -radhiyallahu ‘anhu-, “Apakah ada jabat tangan di kalangan sahabat Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-?” Anas berkata, “Ya, ada”.[HR. Al-Bukhoriy dalam Ash-Shohih (5908), Abu Ya’la dalam Al-Musnad (2871), Ibnu Hibban (492), dan Al-Baihaqiy dalam Al-Kubra (13346)].
Sunnah ini dilakukan oleh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- , dan para sahabatnya ketika mereka bertemu dan berpisah. Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلاَّ غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَفْتَرِقَا.
“Tidaklah dua orang muslim bertemu, lalu keduanya berjabatan tangan, kecuali akan diampuni keduanya sebelum berpisah”. [HR. Abu Dawud dalam As-Sunan (5212), At-Tirmidziy dalam As-Sunan (2727), Ahmad dalam Al-Musnad (4/289), dan lainnya. Hadits ini di-shohih-kan oleh Al-Albaniy dalam Shohih At-Targhib (3/32/no.2718)]
إِنَّ الْمُؤْمِنَ إِذَا لَقِيَ الْمُؤْمِنَ وَأَخَذَ بِيَدِهِ فَصَافَحَهُ تَنَاثَرَتْ خَطَايَاهُمَا كَمَا يَتَنَاثَرُ وَرَقُ الشَّجَرُ.
“Sesungguhnya seorang mukmin jika bertemu dengan seorang mukmin, dan mengambil tangannya, lalu ia menjabatinya, maka akan berguguran dosa-dosanya sebagaimana daun pohon berguguran”. [HR. Ath-Thobroniy dalam Al-Ausath (245). Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Shohih At-Targhib (no.2720)]
كَانَ أَصْحَابُ النَّبِيِّ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا تَلاَقَوْا تَصَافَحُوْا وَإِذَا قَدِمُوْا مِنْ سَفَرٍ تَعَانَقُوْا.
“Dulu para sahabat Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, apabila mereka bertemu, maka mereka berjabatan tangan. Jika mereka datang dari safar, maka mereka berpelukan”. [HR. Ath-Thobroniy dalam Al-Ausath. Hadits ini di-hasan-kan oleh Al-Albaniy dalam Shohih At-Targhib (2719)]
Namun apa yang terjadi jika perbuatan terpuji ini dilakukan tidak pada tempat yang semestinya?! Tidak ada kebaikan yang didapat, bahkan pelanggaran syari’atlah yang terjadi, dan perpecahan, karena ada sebagian jama’ah, jika selesai sholat, ia langsung menjabati (tangan, -ed.) orang. Jika tidak dilayani jabatan, maka ia marah, dan jengkel kepada saudaranya yang tak mau jabatan setelah sholat.
Syaikh Abdullah bin Abdur Rahman Al-Jibrin-hafizhohullah- berkata, “Mayoritas orang yang shalat mengulurkan tangan mereka untuk berjabat tangan dengan orang di sampingnya setelah salam dari shalat fardlu dan mereka berdoa dengan ucapan mereka ‘taqabbalallah’. Perkara ini adalah bid’ah yang tidak pernah dinukil dari Salaf”. [Lihat Majalah Al-Mujtama’ (no. 855)].
Bagaimana mereka melakukan hal itu sedangkan para peneliti dari kalangan ulama telah menukil bahwa jabat tangan dengan tata cara tersebut (setelah salam dari shalat) adalah bid’ah? Suatu perbuatan yang tak ada contohnya dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- , dan para sahabatnya. Tragisnya lagi, jika ada diantara kaum muslimin yang menganggap jabat tangan sebagai sunnah, apalagi wajib, sehingga mereka membenci saudaranya yang tak mau berjabatan tangan habis sholat dengan berbagai macam dalih, bahwa yang tidak berjabat tangan menganggap orang lain najis, benci kepada saudaranya, tidak ada rasa ukhuwahnya, dan kekompakan, serta anggapan dan buruk sangka lainnya. Padahal saudaranya tidak mau berjabatan tangan usai sholat karena ia tahu hal ini tak ada contoh jika dilakukan habis sholat, bahkan itu merupakan bid’ah. Bukan karena benci !!!
Al ‘Izz bin Abdus Salam Asy-Syafi’iy (ulama abad pertengahan, -ed.) -rahimahullah- berkata, “Jabat tangan setelah shalat Shubuh dan Ashar termasuk bid’ah, kecuali bagi yang baru datang dan bertemu dengan orang yang menjabat tangannya sebelum shalat. Maka sesungguhnya jabat tangan disyaratkan tatkala datang. Nabi Shallallahu ‘ Alaihi Wa Sallam berdzikir setelah shalat dengan dzikir-dzikir yang disyariatkan dan beristighfar tiga kali kemudian berpaling. Diriwayatkan bahwa beliau berdzikir:
رَبِّ قِِنِيْ عَذَابَكَ يَوْمَ تَبْعَثُ عِبَادَكَ
“Wahai Rabbku, jagalah saya dari adzab-Mu pada hari Engkau bangkitkan hamba-Mu.” [HR. Muslim 62, Tirmidzi 3398 dan 3399, dan Ahmad dalam Al-Musnad (4/290)]. Kebaikan seluruhnya adalah dalam mengikuti Rasul”.
[Lihat Fatawa Al ‘Izz bin Abdus Salam (hal.46-47), dan Al-Majmu’ (3/488)].
Apabila bid’ah ini di masa penulis terbatas setelah dua shalat tersebut, maka sungguh di jaman kita ini, hal itu telah terjadi pada seluruh shalat. Laa haula wala quwwata illa billah.
Al Luknawiy -rahimahullah- berkata, “Sungguh telah tersebar dua perkara di masa kita ini pada mayoritas negeri, khususnya di negeri-negeri yang menjadi lahan subur berbagai bid’ah dan fitnah.
Pertama, mereka tidak mengucapkan salam ketika masuk masjid waktu shalat Shubuh, bahkan mereka masuk dan shalat sunnah kemudian shalat fardlu. Lalu sebagian mereka mengucapkan salam atas sebagian yang lain setelah shalat dan seterusnya. Hal ini adalah perkara yang jelek karena sesungguhnya salam hanya disunnahkan tatkala bertemu sebagaimana telah ditetapkan dalam riwayat-riwayat yang shahih, bukan tatkala telah duduk.
Kedua, mereka berjabat tangan setelah selesai shalat Shubuh, Ashar, dan dua hari raya, serta shalat Jum’at. Padahal pensyariatan jabat tangan juga hanya di saat awal bersua”.
[Lihat As-Si’ayah fil-Kasyf Amma fi Syarh Al-Wiqayah (hal. 264)].
Dari perkataan beliau dapat dipahami bahwa jabat tangan antara dua orang atau lebih yang belum berjumpa sebelumnya tidak ada masalah. Muhaddits Negeri Syam, Syaikh Al Albaniy -rahimahullah- berkata dalam As-Silsilah As-Shahihah (1/1/53), “Adapun jabat tangan setelah shalat adalah bid’ah yang tidak ada keraguan padanya, kecuali antara dua orang yang belum berjumpa sebelumnya. Maka hal itu adalah sunnah sebagaimana Anda telah ketahui”.
Larangan berjabat tangan setelah melaksanakan sholat merupakan perkara yang dilarang oleh para ulama’. Oleh karena itu, sebuah kesalah besar, jika di antara kaum muslimin yang membenci saudaranya jika tidak melayaninya berjabatan tangan, dan menganggapnya pembawa aliran sesat. Padahal mereka yang tak mau berjabatan tangan saat usai sholat memiliki sandaran dari Al-Kitab dan Sunnah, serta ucapan para ulama’.
Al-Allamah Al-Luknawiy-rahimahullah- berkata, “Di antara yang melarang perbuatan itu (jabat tangan setelah sholat), Ibnu Hajar Al-Haitamiy As-Syafi’iy, Quthbuddin bin Ala’uddin Al-Makkiy Al-Hanafiy, dan Al-Fadhil Ar-Rumiy dalam Majalis Al-Abrar menggolongkannya termasuk dari bid’ah yang jelek ketika beliau berkata, “Berjabat tangan adalah baik saat bertemu. Adapun selain saat bertemu misalnya keadaan setelah shalat Jum’at dan dua hari raya sebagaimana kebiasaan di jaman kita adalah perbuatan tanpa landasan hadits dan dalil! Padahal telah diuraikan pada tempatnya bahwa tidak ada dalil berarti tertolak dan tidak boleh taklid padanya.” [Lihat As-Si’ayah fil Kasyf Amma fi Syarh Al-Wiqayah (hal. 264), Ad-Dienul Al-Khalish (4/314), Al-Madkhal (2/84), dan As-Sunan wa Al-Mubtada’at (hal. 72 dan 87)].
Beliau juga berkata, “Sesungguhnya ahli fiqih dari kelompok Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Malikiyah menyatakan dengan tegas tentang makruh dan bid’ahnya.” Beliau berkata dalam Al Multaqath ,“Makruh (tidak disukai) jabat tangan setelah shalat dalam segala hal karena shahabat tidak saling berjabat tangan setelah shalat dan bahwasanya perbuatan itu termasuk kebiasaan-kebiasaan Rafidhah.” Ibnu Hajar, seorang ulama Syafi’iyah berkata, “Apa yang dikerjakan oleh manusia berupa jabat tangan setelah shalat lima waktu adalah perkara yang dibenci, tidak ada asalnya dalam syariat.” Alangkah fasihnya perkataan beliau –rahimahullah Ta’ala- dari ijtihad dan ikhtiarnya. Beliau berkata, “Pendapat saya, sesungguhnya mereka telah sepakat bahwa jabat tangan (setelah shalat) ini tidak ada asalnya dari syariat. Kemudian mereka berselisih tentang makruh atau mubah. Suatu masalah yang berputar antara makruh dan mubah harus difatwakan untuk melarangnya, karena menolak mudlarat lebih utama daripada menarik maslahah. Lalu kenapa dilakukan padahal tidak ada keutamaan mengerjakan perkara yang mubah? Sementara orang-orang yang melakukannya di jaman kita menganggapnya sebagai perkara yang baik, menjelek-jelekkan dengan sangat orang yang melarangnya, dan mereka terus-menerus dalam perkara itu. Padahal terus-menerus dalam perkara mandub (sunnah) jika berlebihan akan menghantarkan pada batas makruh. Lalu bagaimana jika terus-menerus dalam bid’ah yang tidak ada asalnya dalam syariat?!Berdasarkan atas hal ini, maka tidak diragukan lagi makruhnya. Inilah maksud orang yang memfatwakan makruhnya. Di samping itu pemakruhan hanyalah dinukil oleh orang yang menukilnya dari pernyataan-pernyataan ulama terdahulu dan para ahli fatwa. Maka riwayat-riwayat penulis Jam’ul Barakat, Siraj Al Munir, dan Mathalib Al Mu’minin, mampu menandinginya, karena kelonggaran penulisnya dalam meneliti riwayat-riwayat telah terbukti. Telah diketahui oleh Jumhur Ulama bahwa mereka mengumpulkan segala yang basah dan kering (yang jelas dan yang samar). Yang lebih mengherankan lagi ialah penulis Khazanah Ar Riwayah tatkala ia berkata dalam Aqd Al-La’ali, [“Dia (Nabi) ‘Alaihis Salam berkata, “Jabat tanganlah kalian setelah shalat Shubuh, niscaya Allah akan menetapkan bagi kalian sepuluh (kebaikan)”.] Rasul Shallallahu ‘ Alaihi Wa Sallam bersabda, [“Berjabat tanganlah kalian setelah shalat Ashar, niscaya kalian akan dibalas dengan rahmah dan pengampunan”.] Sementara dia tidak memahami bahwa kedua hadits ini dan yang semisalnya adalah palsu yang dibuat-buat oleh orang-orang yang berjabat tangan itu. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un”.[Lihat As-Si’ayah fil Kasyf Amma fi Syarh Al Wiqayah (hal. 265)]
Terakhir, kami perlu ingatkan bahwa tidak boleh bagi seorang Muslim memutuskan tasbih (dzikir) saudaranya yang Muslim, kecuali dengan sebab syar’i. Yang kami saksikan berupa adanya gangguan terhadap kaum Muslimin ketika mereka melaksanakan dzikir-dzikir sunnah setelah shalat wajib. Kemudian, tiba-tiba mereka mengulurkan tangan untuk berjabat tangan ke kanan dan ke kiri dan seterusnya. Akhirnya, memaksa mereka tidak tenang dan terganggu, bukan hanya karena jabat tangan, akan tetapi karena memutuskan tasbih dan mengganggu mereka dari dzikir kepada Allah, karena jabat tangan ini, padahal tidak ada sebab-sebab perjumpaan dan semisalnya.
Jika permasalahannya demikian, maka bukanlah termasuk hikmah, jika Anda menarik tangan Anda dari tangan orang di samping Anda, dan menolak tangan yang terulur pada Anda. Karena sesungguhnya ini adalah sikap yang kasar yang tidak dikenal dalam Islam. Akan tetapi ambillah tangannya dengan lemah lembut dan jelaskan kepadanya kebid’ahan jabat tangan ini yang diada-adakan manusia.
Betapa banyak orang yang terpikat dengan nasihat dan dia orang yang pantas dinasihati. Hanya saja ketidaktahuan telah menjerumuskannya kepada perbuatan menyelisihi sunnah. Maka wajib atas ulama dan penuntut ilmu menjelaskannya dengan baik. Bisa jadi seseorang atau penuntut ilmu bermaksud mengingkari kemungkaran, tetapi tidak tepat memilih metode yang selamat. Maka dia terjerumus dalam kemungkaran yang lebih besar daripada yang diingkari sebelumnya. Maka lemah lembutlah wahai da’i-da’i Islam.
Buatlah manusia mencintai kalian dengan akhlak yang baik, niscaya kalian akan menguasai hati mereka dan kalian mendapati telinga yang mendengar dan hati yang penuh perhatian dari mereka. Karena tabiat manusia adalah lari dari kekasaran dan kekerasan.
[Lihat Tamam Al-Kalam fi Bid’ah Al-Mushafahah ba’da As-Salam (hal. 23), Al-Qaulul Mubin fi Akhtha’il-Mushallin (295)]
Sumber: Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 04 Tahun I. Penerbit: Pustaka Ibnu Abbas. Alamat: Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP: 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab: Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi: Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh: Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout: Abu Muhammad Mulyadi. Untuk berlangganan hubungi alamat di atas. (infaq Rp. 200,-/exp)



13 komentar:

  1. Alhamdulilah dengan adanya forum ini kita akan bisa amal ma'ruf nahyi munkar lebih baik. Kalau bisa di buat ruang tanya jawab yang diasuh oleh ustadz2 yang sy sebut di atas dan bisa dikomentari oleh pembaca yang lain. mudah-mudahan lebih bermanfaat, amiin.

    BalasHapus
    Balasan
    1. insya Allah pa, nanti kita coba menghubungi beliau-beliau, mudah-mudahan media ini menjadi sarana kita untuk berdakwah dan juga menjadi sarana transparansi organisasi,,,

      Hapus
  2. Ada banyak perspektif dalam melihat jabat tangan setelah shalat berjamaah. yang muncul di atas adalah perspektif fiqh.pandangan tersebut tidak salah, tapi kita harus hati-hati, jangan sampai timbul persoalan baru gara-gara "tidak mau" berjabatan tangan. yang mesti dikedepankan adalah silaturahmi. tips saya; ketika berjabatan tangan tidak usah terlalu ekstrim untuk mengejar orang yang jauh dari kita sehingga menciptakan suasana yang berantakan, atau kita pasif saja menunggu orang yang mengajak bersalaman baru kita bersalaman. semoga Allah tetap menunjukan hidayahNya kepada kita semua..... amiin...

    BalasHapus
  3. berjabat tangan bukan merupakan rangkaian dari ibadah salat dan bukan merupakan rukun salat.
    Justru akam muncul pertanyaan, apa maksudnya mengkhususkan berjabat tangan setelah salat berjamaah?
    "Sesungguhnya amal itu tergantung niat"
    dan Beramal itu memerlukan ilmu

    BalasHapus
  4. Sebagian ulama berpendapat makruhnya bersalaman sesudah sholat karena mereka berpandangan bahwa bersalaman merupakan kesempurnaan sholat atau kesunahannya yang datang dari Nabi SAW.
    Meskipun demikian, para ulama berpendapat bahwa jika seorang muslim mengulurkan tangan kepadanya untuk bersalaman, maka tidak sepantasnya menolak dengan menarik tangannya. Karena perbuatan itu berakibat menyakiti hati muslimin dan melukai perasaan mereka. (Sumber: www.muslimpesantren/wordpress.com)
    Menurut saya:
    1. Bersalaman setelah shalat, syah2 saja, tetapi harus melihat situasi. Jangan sampai mengganggu sahabat kita yang sedang berdzikir atau berdo'a.
    2. Jangan beranggapan, bahwa salaman setelah shalat merupakan penyempurna shalat berjamaah, ini hanya tradisi positif untuk menguatkan silaturahim saja (www.voa-islam.com
    3. Semoga di Masjid Al-Muhajirin (Masjid yang kita cintai)akan terus terbina ukhuwah Islamiyah dengan jalinan silaturahim yang baik dan harmonis, dalam rangka memakmurkan Masjid. Perbedaan adalah anugerah, dan kita harus saling menghormati. Hopefully (Waallahualam bishawab)


    BalasHapus
  5. assalaamu'alaikum..
    alhamdulilah.. sekedar tholabul 'ilmi..
    dalam sebuah kajian fiqih Islam ada sebuah kaidah yg dinamakan 'Urf.. menurut terminologi bahasa urf adalah sebuah kebiasaan di masyarakat yg telah lama dilakukan dengan tidak mengganggu atau merusak hukum syariat yang ada.. ( Adat istiadat ),
    lebih jelasnya menurut Ibnu Faris di dalam kamusnya menyatakan bahwa kata arafa dan arfun menunjukkan sesuatu yang berkesinambungan berhubungan satu dengan lainnya atau membawa ketenangan dan ketentraman. Dalam penggunaannya kalimat Urf lebih mencerminkan kepada kedua makna tersebut yaitu bersifat kontinyu dan berhubungan satu dengan lainnya. An-Nasafi (710 H) menyebutan bahwa Urf adalah sesuatu yang menetap dalam jiwa yang akal menerimanya dan sesuai dengan tabiat yang masih bersih.
    Dari beberapa definisi tersebut terkandung beberapa segi bahwa urf selalu sejalan dengan tabiat yang masih bersih sehingga jiwa merasa tenang yakni:
    a. Dalam prosesnya urf membutuhkan waktu sehingga menjadi kebiasaan yang tetap dan jiwa menjadi terbiasa dengan sesuatu tersebut.
    b. Dibenarkan oleh akal dan tidak bertentangan dengan ukuran-ukuran kebenaran dalam sebuah komunitas.
    Jadi menetap dan diterimanya sesuatu tersebut karena seringnya dilakukan dan meluasnya dalam suatu komunitas. Ketika sesuatu yang menetap pada jiwa tersebut tidak memenuhi syarat-syarat di atas, misalnya terjadi hanya pada orang tertentu atau belum menjadi sesuatu yang familiar dalam prilaku atau akal tidak membenarkan seperti kebiasaan minum-minuman keras perilaku jahat dan seterusnya itu semuanya tidak termasuk urf.
    Menurut sedikit pemahaman saya, berjabat tangan setelah sholat itu adalah 'Urf, yang sudah dilakukan masyarakat Indonesia dari zaman dahulu,, misalkan sholat pake Peci, sarung,, haqqul yaqin dahulu Rasul dan shahabat tidak berjamaah pake Peci H. Iming, atau sarung Gajah duduk.. hehehe..
    saya setuju dg pendapat saudara BENING HATI, semuanya sesuai kondisi dan situasi, asal jangan mengganggu yg sedang berdoa atau dzikir,, dan ketika berjabat tangan menjadi sebuah jalan silaturahmi, insya Alloh jadi berkah... (wallohu 'alam bishowab) dengan segala kerendahan hati mohon pencerahan dan teguran jika ada salah pemahaman.. salam persaudaraan Muslim dari saya yg sedang belajar Islam < Hendra -G4/15 perum Posindo >

    BalasHapus
  6. Hal-hal yang dilakukan Rasulallah Saw setelah selesai shalat.

    1. Rasulallah Saw menghadapkan wajahnya kepada makmum,
    tetapi kadang-kadang beliau menghadapkan wajahnya ke
    sebelah kanan.
    2.Istighfar tiga kali,
    3. Kemudian membaca doa Allahumma antassalam ...
    4. kemudian membaca tasbih 33, tahmid 33, takbir 33
    5. diakhiri dengan “la ilaha illallah wahdahu ..
    6. berdoa

    Adakah Rasulallah Saw mushafahah setelah shalat, tidak ada riwayat yang menerangkan hal itu. kalau begitu mushafahah (bersalaman) setelah shalat merupakan amalan baru, bid’ahkah?
    Tidak setiap suatu amalan baru dikatakan bid’ah, suatu amalan baru dikatakan bidah ketika amalan yang dilakukan itu diasumsikan sebagai bagian pokok agama. Dapat juga dikatakan bidah itu mengerjakan suatu amalan yang sifatnya mubah kemudian diitikadkan pekerjaan sunnah. atau sebuah tradisi diyakini sebagai sesuatu yang disyariatkan oleh agama.

    BalasHapus
  7. Merujuk kepada tulisan Pak Aam Aminudin, nampak jelas keterangan/dalil bahwa setelah "SALAM" dalam salat langsung nyambung melakukan dzikir seperti yang telah dijelaskan diatas.

    punten pisan kepada jama'ah almuhajirin, jangan sampai kita terjebak oleh anggapan bahwa berbuat suatu amalan yang kita anggap baik tanpa dasar dalil yang jelas, maka hakikatnya kita telah menuduh Nabi Muhammad saw. telah berkhianat pada risalahnya dengan menyembunyikan suatu ajaran yang kita temukan kemudian.

    Justru disini, dengan tidak mengurangi hormat saya kepada jama'ah Al-Muhajirin. saya meminta keterangan/dalil yang menunjukan bahwa setelah "SALAM" dalam salat itu ada kebiasaan/'Urf Rasulullah saw atau para sahabat yang melakukan seperti "berjabat tangan"?


    Mudah-mudahan media ini menjadi tempat kajian/ngaji on-line.

    BalasHapus
  8. Bersalaman setelah shalat merupakan product baru, yang menjadi kebiasaan di masjid-masjid tertentu, dengan demikian tidak ada dalil atau keterangan yang sharih yang menjadi legitimasi kebiasaan tersebut. Namun kaum Muslimin yang melakukan hal tersebut tidak pernah sekali-kali menuduh Nabi Muhammad saw. telah berkhianat pada risalahnya dengan menyembunyikan suatu ajaran yang kita temukan kemudian.
    Untuk itu mari kita lihat dan fahami Hadis- Hadis berikut dari perspektif yang lain:
    عن عا ءشة ان ر سو لله صل الله عليه وسلم قا ل من عمل عملا ليس عليه امرنا فهو رد
    Dari Aisyah bahwa Rasulallah Saw. bersabda, “Siapa yang melakukan suatu amal di atasnya tidak ada urusan kami, maka amal itu ditolak.” (HR. Muslim)
    عن عا ءشة (ر- ض) قا لت قا ل رسو لله (صعم) من احدث في امر نا هذا ماليس فيه فهو رد
    Diriwayatkan dari Sayidatina Aisyah Ra. katanya, “Rasulallah Saw bersabda, Sesiapa yang mengada-adakan sesuatu dalam urusan agama yang tidak terdapat dalam urusan agama, maka dengan sendirinya ia akan tertolak .” (HR. Bukhari)
    عن عا ءشة (رض) قالت قال رسول الله (صعم) من احدث في امرنا هذا ماليس منه فهو رد
    Diriwayatkan dari Sayidatina Aisyah Ra. katanya, “Rasulallah Saw bersabda, Sesiapa yang mengada-adakan sesuatu dalam urusan agama yang bukan dari agama, maka dengan sendirinya ia akan tertolak .”

    Tiga Hadis di atas menjelaskan larangan membuat acara baru dalam urusan agama dalam kondisi sebagai berikut:
    ليس عليه امرنا

    Yang tidak ada hubungannnya dengan urusan yang turun dari atas, baik Al-Quran maupun Hadis.

    ما ليس فيه

    Yang bukan diluar aturan agama
    ما ليس منه

    Yang bukan dari agama, yaitu suatu amal yang tidak ada hubungan dari sumbernya,

    Maka sebaik apapun amal seseorang yang tidak ada hubungan dengan sumber ajaran Islam dan di luar jalur syariat, amalan tersebut adalah tertolak.

    Permasalahannya : Bagaimana jika sesuatu yang baru itu tidak keluar dari jalur yang ditetapkan dalam Islam? Misalnya mushafahah setelah shalat.

    Bermushafahah merupakan perkara yang terpuji dan disukai dalam Islam. Dengan perbuatan ini hati kaum Muslimin dapat saling bersatu dan berkasih sayang di antara mereka. Sunnah ini sudah lama diamalkan oleh para sahabat -radhiyallahu ‘anhum. Mushafahah pun merupakan lambang lapang dada seseorang dan kesediaan seseorang untuk saling memaafkan.

    .... dan hendaklah mereka mema'afkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. 24:22)

    Maka sekiranya bersalaman setelah shalat termasuk mengadakan hal yang baru dalam hal agama, maka sesungguhnya tidak termasuk yang dilarang, sebab masih bersumber pada ajaran Islam.

    Hal ini sama dengan menyusun doa atau berdoa dengan redaksi sendiri, diluar yang telah dicontohkan Rasulallah Saw. selama doanya tidak keluar dari ajaran Islam, walaupun hal itu terkategori mengadakan sesuatu yang baru, tentunya diperbolehkan dan tidak tertolak. Menyusun doa dengan redaksi sendiri berhubungan dengan yang turun dari atas (ma wuwa `alaih), yaitu firman Allah Swt.

    Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. (QS. 40:60)

    Ayat ini mengandung perintah berdoa secara mutlak tanpa terikat waktu tertentu dan bahasa atau redaksi tertentu.
    Bersalaman setelah shalat pun dapat dipandang sebagai Urf. dalam konteks ini dapat merujuk kepada firman Allah, (QS Al Araf : 199)

    ”Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang urf (adat kebiasaan yang baik), dan berpalinglah dari pada orang-orang yang jahil (bodoh).

    Kata urf dalam ayat di atas mengacu kepada kebiasaan dan adat istiadat yang tidak bertentangan dengan al-khair yakni prinsip-prinsip ajaran Islam. Rincian dan penjabaran kebaikan dapat beragam sesuai dengan sikon masyarakat. Sehingga sangat mungkin suatu masyarakat berbeda pandangan dengan masyarakat lain. Apabila kebiasaan itu tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran agama, maka itulah yang dinami Urf.

    BalasHapus
  9. Dengan tidak megurangi hormat saya kepada Pak Amin, yang menjadi pertanyaan saya justru terletak pada kenapa pemahaman hadits atau cara memahami ayat Al-quran diatas menjadi pengamalan/pekerjaan Bermushafahah mesti setelah shalat.
    Saya sepakat mengenai pemahaman & pengertian Mushafahah dan pengamalannya. justru permasalahannya bukan pada Bermushafahah-nya, tetapi setelah shalatnya itu!
    Seandainya pekerjaan itu baik (“Bermushafahah setelah shalat”) pasti Rasul saw dan para sahabatnya lebih dahulu mengerjakannya.
    Menurut pendapat saya, adapun redaksi doa dikaitkan dengan permasalahan diatas tentu terlalu jauh dan agak dipaksakan, sebab sudah jelas dalam bab adab berdoa Nabi saw banyak memberi contoh. (“mengangkat tangan & mengusap tangan ke muka setelah berdoa”)*
    *perlu kajian terpisah
    Contoh :
    Bagaimana pendapat Pak Amin mengenai doa setelah bangun tidur dibacakan melalui pengeras suara di mesjid (Alhamdulillahilladzi ahyana …. Sampai 3X)?
    Bukankah Rasul saw telah memberi contoh kepada kita doa itu ketika bangun setelah tidur?
    Dan bukan doa membangunkan orang tidur atau memberi tahu bahwa waktu shalat sudah dekat?
    Mudah2an kita terus belajar dan mengkaji keilmuan kita agar amalan yang kita kerjakan sesuai dengan Al Quran & As Sunah.

    BalasHapus
  10. dengan menyampaikan dalil naqli di atas dimaksudkan agar yang selama ini merasa heran, aneh bahkan sangat khawatir terhadap orang yang bermushafahah setelah shalat dapat memahami, karena ternyata mereka melakukan itu sangat berdasar dengan dalil yang ada, hanya tentu saja dari pemahaman yang berbeda. jadi tidak mesti segera pindah shaf untuk menghindari mushafahah apalagi tidak shalat berjamaah. masalah dikaitkan dengan doa dengan redaksi sendiri itu hanya mengQiyaskan saja. jadi mereka pun melakukan itu ternyata berdasar kepada Al-Quran dan sunnah juga. Allah dan Rasul-nya dalam pemahaman yang lain tidak mengatakan 5 + 5 = 10, tapi berapa + berapa sama dengan sepuluh.

    BalasHapus
  11. adapun mengenai doa setelah tidur dibacakan via toa, itu harus dipahami dari segi motif pelakunya, kalau mau mengganggu orang yang tidur larut malam hingga merasa terganggu dari segi niat mengganggunya merupakan satu keburukan, tetapi klu niat dengan ikhlas untuk mengingatkan dan mengajak beribadah, melaksanakan shalat di sepertiga akhir malam atau shalat subuh agar tidak kesiangan itu dipandang sebagai suatu kebaikan. membangunkan yang terlelap tidur dengan doa yang penuh ujian nampaknya lebih bermanfaat daripada membangunkan tidur dengan bahasa yang sinis dan penuh paksaan. " Siapa yang memulai dalam satu kebaikan, dia akan memeroleh ganjarannya dan ganjaran orang-orang yang mengerjakan sesudahnya tanpa sedikitpun berkurang ganjaran mereka,,,

    BalasHapus
  12. Komen 1:

    Baik terima kasih Pak Amin, kalau begitu dari diskusi kecil ini saya & ikhwatu iman bisa mencermati cara memahami suatu hadits dan bagaimana jalan qiyas itu diambil untuk pelaksanaan ibadah. Kita kembalikan kepada ikwatu iman dalam mengambil kesimpulan, hanya saja saya disini mencoba belajar memberikan pengertian lain dalam memahami suatu hadist/dalil dimana kita melakukan ibadah/amal berdasarkan dalil yang subtansinya lebih jelas.
    Komen 2:

    Baik Pak Amin,
    Dari Ibnu Mas’ud, sesungguhnya Nabi saw. bersabda: “Janganlah menghalangi salah seorang di antara kamu dari makan sahur dengan adanya adzan Bilal, karena sesungguhnya ia beradzan, atau (dalam riwayat lain): Ia menyeru di waktu malam agar yang sedang shalat tahajjud segera bersiap-siap (mengingat waktu hampir shubuh) dan untuk membangunkan mereka yang masih tdur. (H.R. Jama’ah kecuali Tirmidzi; Nailu Al Authar II : 54).

    Dari Aisyah dari Nabi saw. sesungguhnya ia berkata: “Sungguh Bilal beradzan di waktu malam, maka makanlah, dan minumlah, sampai tiba adzannya Ibnu Umi Maktum. (H.R. Bukhari; Fathu Al Bari II : 104).
    Jelas sudah, bahwa adzan Bilal itu terjadi pada adzan awal shubuh. (karena yang biasa adzan shubuh ialah : Ibnu Umi Maktum).
    Dari Abi Mahdzurah r.a, ia berkata : “Aku suka adzan di zaman Nabi pada shalat shubuh, maka jika aku ucapkan Hayya Ala Al-Falah, lalu aku ucapkan Al-Shalaatu Khairun Min Al-Naum; Al-Shalaatu Khirun Min Al-Naum” pada adzan awal. (H.R. Ahmad, dan sanadnya shahih; Fathu Al-Rabbani III : 21).

    Dari Abi Mahdzurah r.a, ia berkata : “Aku suka adzan karena perintah Rasulullah, maka aku ucapkan pada adzan fajar yang pertama (awal) Hayya Ala Al-Shalah; Hayya Ala Al-Falah / Al-Shalaatu Khairun Min Al-Naum”. Al-Shalatu Khairun Min Al-Naum”. Menurut Ibnu Hazm sanadnya shahih. (Sublu Al-Salam I : 120)

    Dari Abi Sulaiman dari Abi Mahdzurah, ia berkata: “Aku mendengar ia berkata : “Bagaimana aku adzan karena perintah Nabi, maka aku ucapkan pada adzan awal shubuh, setelah “Hayya ala Al-falah; Hayya ala Al-falah; Al-Shalatu Khairun Min Al-Naum - Al-Shalatu Khairun Min Al-Naum; Allahu Akbar; Allahu Akbar; La Ilaha Illa Allah. (Al-Sunan Al-Kubra I : 422).

    Sesungguhnya disyariatkan tatswib itu pada adzan awal shubuh, karena adzan awwal itu untuk membangunkan yang masih tidur, sedang adzan kedua itu pemberitahuan masuknya waktu shubuh dan langsung mengajak shalat. (Sublu Al-Salam I : 120).

    Hadits diterima dari Saib Maula Abu Mahdurah dan ada tambahan padanya sabda Rasulullah saw.,”Apabila adzan awwal shubuh, maka ucapkanlah” Al-Shalatu Khairun Min Al-Naum - Al-Shalatu Khairun Min Al-Naum”.(HR. Ahmad – Fathur Rabani3 : 20)

    Menurut Ibnu Hajar : berdasarkan keterangan ini bahwa Al-Shalatu Khairun Min Al-Naum bukan merupakan lafadz adzan yang disyari’atkan untuk mengajak shalat dan pemberitahuan waktunya, tapi merupakan lafadz yang disyari’atkan untuk membangunkan yang tidur”.

    Dari bebarapa riwayat diatas Rasulullah saw telah memberikan contoh untuk membangunkan yang tidur dengan cara adzan awal dengan tambahan Ash-Shalatu Khairun Min Al-Naum (Shalat itu lebih baik dari tidur), Shalat (sunat) disini yang dimaksud adalah shalat tahajud.

    Berbeda ketika adzan memberitahu waktu shubuh tidak menambahkan redaksi Ash-Shalatu Khairun Min Al-Naum, sebab shalat subuh itu ukurannya bukan baik lagi tetapi wajib, berdosa apabila ditinggalkan.

    Mungkin ini yang lebih menentramkan apabila hendak melaksanakan sunah Rasul saw. dalam cara membangunkan orang tidur atau memberitahukan bagi yang hendak salat tahajud & shaum.

    Mudah-mudahan kita semua bisa mengambil hikmah dari diskusi kecil ini dan mendapatkan hidayah dari Allah swt. Aamiin

    Wallahu’alam bish-shawwab

    BalasHapus