WA JAADILHUM BILLATI HIYA AHSAN
Oleh;
Ust. Cecep Sarip Hidayat
Alhamdulilahi robbil ‘alamin. Shalawat dan Salam semoga Allah
limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, dan mudah mudahan Allah SWT mengampuni segala kesalahan yang kita lakukan
baik yang disadari maupun tidak.
Mari kita perhatikan keterangan-keterangan berikut ini:
- “Sesungguhnya agama Islam inilah agama kamu, agama yang satu asas pokoknya, dan Akulah Tuhan kamu; maka sembahlah kamu akan Daku. Kebanyakan manusia masih berselisihan dan berpecah-belah dalam urusan agama mereka; mereka semuanya akan kembali kepada Kami.” (Q.S. Al-Anbiyaa, ayat 92-93)
- “Dan taatlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kamu berbantah-bantahan; kalau tidak niscaya kamu menjadi lemah semangat dan hilang kekuatan kamu, dan sabarlah kamu; sesungguhnya Allah beserta orang yang sabar.” (Q.S. Al-Anfal, ayat 46)
- Dan dalam Al-Musnad dan Sunan Ibnu Majah –dan asalnya dalam Shohih Muslim- dari ‘Abdullah bin ‘Amr : “Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah keluar sedangkan mereka (sebagian shahabat-pent.) sedang berselisih tentang taqdir, maka memerahlah wajah beliau bagaikan merahnya buah rumman karena marah, maka beliau bersabda : “Apakah dengan ini kalian diperintah?! Atau untuk inikah kalian diciptakan?! Kalian membenturkan sebagian Al-Qur’an dengan sebagiannya!! Karena inilah umat-umat sebelum kalian binasa.
- “Barangsiapa meninggalkan, menghindari perbantahan, padahal ia posisinya adalah salah, maka Allah akan membangunkan rumah baginya di taman surga. Dan barangsiapa menghindari perbantahan, padahal dirinya posisinya benar, maka Allah membangunkan rumah untuknya di surga yang tinggi” (H.R. Turmudzi dan Ibnu Majah).
- Rasulullah SAW mengingatkan: “Tidaklah suatu kaum tersesat setelah mendapatkan petunjuk, kecuali karena mereka suka berdebat (berbantah-bantahan)“ (HR. At-Tirmidzi).
- Dalam Sunan At-Tirmidzy dan Ibnu Majah dari hadits Abu Umamah radhiallahu ‘anhu, Beliau berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidaklah sebuah kaum menjadi sesat setelah mereka dulunya berada di atas hidayah kecuali yang suka berdebat, kemudian beliau membaca (ayat) “Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja”.
- Sebagian kutipan dari Salafus Shalih: “Jika ia menanyakannya kepadamu dengan pertanyaan untuk mencari petunjuk kepada jalan yang haq tanpa ingin berdebat maka tunjukilah dia dengan tuntunan yang berisi keterangan ilmu dari Al-Quran dan As Sunnah serta pendapat para shahabat dan para imam kaum muslimin. Adapun jika ia ingin berdebat denganmu dan ia membantahmu maka inilah yang tidak disukai ulama untukmu, maka jangan kamu berdialog dengannya dan berhati-hatilah terhadapnya dalam agamamu”. Kemudian jika ada yang berkata: “Apakah kami biarkan mereka berbicara dengan kebatilan dan kami berdiam diri dari mereka?”. Katakan kepadanya : “Diamnya kamu dari mereka (tidak memperdulikan mereka), menyingkirnya kamu dari mereka jauh lebih menyakitkan bagi mereka daripada kamu berdiskusi dengan mereka.
- Dari Abul Harits berkata, saya mendengar Imam Ahmad (Abu Abdillah) berkata: “Apabila kamu lihat seseorang suka berdebat maka jauhilah dia”. dan diceritakan kepadaku tentang Abu Imran Al Ashbahani ia berkata, saya mendengar Imam Ahmad berkata : “Jangan duduk dengan orang yang suka berdebat meskipun untuk membela As Sunnah sebab sesungguhnya yang demikian tidak akan berubah menuju kebaikan.”
BERBANTAH-BANTAHAN, BERDEBAT atau silang pendapat, jika tidak
dilakukan dengan baik dan santun, akan berujung pada permusuhan, kebencian,
prasangka buruk dan dendam. Dengan seringnya BERBANTAH-BANTAHAN, BERDEBAT atau
silang pendapat, maka akan menimbulkan sikap takabur, yakni menolak kebenaran.
“(Orang sombong adalah) orang yang menolak kebenaran dan merendahkan orang
lain” (HR Muslim).
Dengan debat berkepanjangan lazim berpotensi menjerumuskan
pelakunya ke jurang kemaksiatan dan bisa berujung pada permusuhan atau merusak ukhuwah.
Berda’wah itu bukan memaksakan yang kita anggap kebenaran supaya diterima oleh
orang lain. Kita boleh bahkan wajib
membantah pandangan yang dianggap keliru dan sesat, sebagai bagian dari “mujadalah”,
yakni adu argumentasi dengan catatan “billati hiya ahsan”,
dengan argumentasi baik dan dengan cara
yang baik pula.
Perbedaan paham dalam masalah furu’ atau perkara yang
belum terjadi di zaman nabi atau para sababat langsung dihakimi menjadi sesuatu
yang bid’ah atau tidak sesuai sunnah nabi, tapi bertanyalah dengan cara yang
baik ke orang alim diantara orang yang melakukan perbuatan itu sehingga bisa
mendapatkan jawaban yang dinginkan sehingga tidak menyebabkan permusuhan dan
kebencian.
Sesungguhnya para ulama dari kalangan sahabat, tabi’in, dan
orang setelah mereka, bila berbeda pendapat dalam suatu urusan, maka mereka
mengikuti perintah Allah: ‘Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rosul (Sunnahnya),
jika kamu benar benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya (QS. An-Nisa’ /4:59 ). Kemudian
apabila mereka tidak menemukan keterangan yang jelas dari al-Quran dan hadits
nabi, maka qiyas dan ijma para ulama menjadi solusinya.
Karena kebenaran pendapat kita itu nisbi atau relatif, kita
tidak pernah bisa mengklaim bahwa pendapat kita yang paling rojih atau paling sholih, orang lain hanya perbuatan bid’ah dan khurafat,
padahal kita pun tidak pernah ketemu nabi, para sahabat dan tabiin dll, tapi sama, hanya bisa mengutip dan berdasarkan
pendapat para ulama atau mujtahid
sebelum kita yang kita percayai. Mudah-mudahan kita dijauhkan dari sifat
takabur, sombong, berprasangka buruk kepada sesama muslim dan dijauhkan dari
sifat yang merasa paling benar karena kebenaran yang mutlak hanyalah milik Allah SWT.
Marilah kita belajar mencari dan berbagi ilmu di mesjid
Almuhajirin Griya Mitra Posindo yang kita cintai ini, bagi yang sudah faham
ilmu agama maka ajari orang yang baru tahu agama, orang yang baru tahu agama
maka ajari dan ajak yang belum tahu ilmu agama. Marilah kita mema’murkan mesjid
kita ini dengan majlis ilmu.
hatur nuhun pencerahannya, inilah yang saya inginkan ketika menyampaikan sesuatu tulisan jelas rujukannya, secara qoth'i (alquran) & baik dalil qauli maupun dalil fi'li secara juz'i (kasus-perkasus) sehingga mudah untuk dipahami. (benang ari ku kyai mah). sehingga kta bisa mengamalkan dalil, bukan ngadalilan amal. mun tiasa tiap-tiap bahan kajian analisa & metodologinya seperti ini sehingga bisa diterima alasannya. sebetul para ulama terdahulu sudah memberikan petunjuk untuk memahami alquran dengan membuat cabang-cabang ilmu seperti secara bahasa (Nahwiyah, 'irab, balaghah), Ushul Fiqih, Ulumul hadist dll. sehingga kita meskpun tidak sejaman dengan Nabi & para sabahat masih bisa tolabul ilmi dengan kaidah-kaidah yang sudah ditetapkan oleh para ulama terdahulu dan masa kini berdasrkan cabang-cabang ilmu tadi. dan akhirnya umatlah/pembaca sekarang yang mejadi pengujinya (ibarat sidang sarjana) mana yang lebih mendekati atau lebih kuat hujjahnya. cag heula dugi kadieu, hapunten bilih aya raheut manah. teriring doa Jazakumullah khairan katsira. mudah2an Allah swt mengampuni kesalahan & ke khilafan kita semua, aamiin
BalasHapus