Pendidikan Adab Gagasan KH.Hasyim Asyari
disampaikan oleh:
Ust. Dikry Zakrya |
Masalah pendidikan di negeri ini, selain kurikulum, metode juga menjadi
sorotan. Ini dapat dipahami karena metode memang lebih penting dari kurikulum,
Ath-thoriqah ahammu minal madah. Namun metode juga sangat tergantung
pelaksanaannya pada guru, sebab guru lebih penting dari metode itu sendiri,
al-mudarris ahammu min ath thariqah. Namun, roh seorang guru lebih bermakna
dari jasadnya sendiri, wa ruhul mudarris ahammu min mudarris nafsuhu. Karena
metode secanggih apa pun, jika berada pada guru yang tidak bersemangat akan
nihil hasinya. Prinsip keterkaitan antara kurikulum, metode, dan guru, telah disadari pentingnnya oleh
Hasyim Asy’ari dan para ulama-ulama muktabar yang terjun langsung mengurus
lembaga pendidikan.
Di pondok pesantren misalnya, ada prinsip bahwa metode lebih penting dari
materi; guru lebih penting dari metode; dan jiwa guru lebih penting dari guru
itu sendiri. Jadi selain materi dan guru, jiwa guru sangat berperang penting
dalam keberhsilan pengajaran. Karena dengan jiwa keikhlasan dan pengabdiannya,
guru akan dapat mewarnai murid. Ini
sesuai pendapat Sir Pency Nunn, seorang guru besar pendidikan di University of
London yang mengatakan bahwa baik buruknya suatu pendidikan tergantung
kebaikan, kebijakan, dan kecerdasan pendidik.
Hasyim Asy’ari, juga tampil menawarkan beberapa etika yang harus dimiliki
oleh seorang pendidik sebagai bekal dalam melaksanakan tuganya, sebagaimana
berikut ini: seorang guru harus senantiasa mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub
ilallah); senantiasa takut kepada Allah (al-khauf ilallah); senantiasa bersikap
tenang dan selalu berhati-hati (wara’); senantiasa tawadhu’, khusyuk,
mengadukan segala persoalannya hanya kepada Allah; tidak menggunakan ilmunya
hanya untuk meraih kepentingan dunia semata; tidak terlalu memanjakan anak
didik; berlaku zuhud dalam kehidupan duniawi; menghindari berusaha dalam
hal-hal yang rendah; menghindari tempat-tempat yang kotor dan tempat maksiat;
senantiasa mengamalkan sunnah Nabi; istiqamahn dalam membaca Al-Qur’an; selalu
bersikap ramah, ceria, dan suka menaburkan salam; membersihkan diri dari
segenap perbuatan yang tidak disukai oleh Allah (ijtniabul manhiyat); selalu
menumbuhkan semangat untuk menambah ilmu oengetahuan; tidak menyalahgunakan ilmu
dengan cara menyombongkannya; dan membiasakan diri menulis, mengarang, dan
meringkas.
Ada pun etika adab-adab seorang guru ketika mengajar, Hasyim As’Ari
menawarkan gagasan tentang etika atau adab-adab guru ketika mengajar
sebagaimana berikut: Mensucikan diri dari hadas dan kotoran; berpakaian yang
sopan dan rapi serta usahakan berabau wangi; berniatlah beribadah ketika dalam
mengajarkan ilmu kepada anak didik; sampaikanlah hal-hal yang diajarkan oleh
Allah; biasakanlah membaca untuk menambah ilmu pengetahuan; berilah salam
ketika masuk ke dalam kelas; sebelum mengajr mulailah terlabih dahulu dengan
berdoa untuk para ahli ilmu yang telah lama maninggalkan kita; berpenampilan
yang kalem dan jauhi hal-hal yang tidak pantas dipandang mata; menjauhkan diri
dari banyak bergurau dan banyak tertawa; jangan sekali-kali mengajar dalam
kondisi lapar, marah, mengantuk, dan sebagainya; pada waktu mengajar hendaklah
mengambil duduk yang strategis; usahakan tampil dengan sikap ramah, lemah
lembut, jelas dalam betutut, tegas, lugas, dan tidak sombong; dalam mengajar
hendaklah mendahulukan materi-materi yang penting dan sisesuikan dengan profesi
yang dimiliki; jangan sekali-sekali mengerjakan hal-hal yang bersifat syubhat
dan bisa membinasakan; perhatikan masing-masing kemampuan murid dalam mengajar
dan tidak terlalu lama, serta menciptakan ketenangan dalam ruangan belajat;
menasihati dan menegur dengan baik bila mterdapat anak didik yang bandel;
bersikaplah terbuka terhadap berbagai macam persoalan yang ditemukan; berilah kesempatan
kepada peserta didik yang datangnya ketinggalan dan ulangilah penjelasan agar
tahu apa yang dimaksud; dan bila sudah selesai, berilah kesempatan kepada anak
didik untuk menanyakan hal-hal yang kurang jelas atau belum dipahami.
Tidak hanya itu, Hasyim Asy’ari masih menawarkan bebrapa adab guru terhadap
para murid-muridnya, sebagaimana berikut: seorang guru harus berniat mendidik
dan menyebarkan ilmu pengetahuan serta menghidupkan syariat Islam; menghindari
ketidak ikhlasan dan mengejar keduniawian; hendaknya selalu melakukan
intrsopeksi diri; menggunakan metode yang mudah dipahami oleh para murid;
membangkitkan antusias peserta didik dengan memotivasinya; memberikan
latihan-latihan yang bersifat membantu; selalu memperhatikan kemampuan peserta
didik; tidak terlalu mengorbitkan salah seorang peserta didik dan menafikan
yang lainnya; mengarahkan minat peserta didik; bersikap terbuka dan lapang dada
terhadap peserta didik; membantu memecahkan masalah dan kesulitan para peserta
didik; bila terdapat pseta didik yang
berhalangan hendaknya mencari hal ikhwal kepada teman-temannya; tunjukkan sikap
arif dan penyayang kepada peserta didik; dan selalulah rendah hati, tawadhu’.
Dalam pandangan KH. Hasyim Asy’ari, pembentukan adab merupakan suatu
keniscayaan dalam dunia pendidikan, karena dengan adab peserta dapat menuntut
ilmu dengan baik. Asy’ari lalu mengutif sebuah kisah bahwa ketika Imam Syafi’i
pernah ditanya seseorang, “Sejauh manakah perhatianmu terhadap adab?” beliau
lalu menjawab, “Setiap kali telingaku menyimak suatu pengajaran budi pekerti
meski hanya satu huruf maka seluruh organ tubuhku akan ikut merasakan
[mendengarkan] seolah-olah setiap orang memiliki alat pendengaran [telinga].
Demikian perumpamaan hasrat kecintaanku terhadap pengajaran budi pekerti.”
Beliau lantas ditanya lagi, “Lalu bagaimanakah usaha-usaha dalam mencari adab
itu?” beliau menjawab, “Aku akan senantiasa mencarinya laksana usaha seorang
ibu yang mencari anak satu-satunya yang hilang.” Maka dalam bukunya itu, Hasyim
Asy’ari menuliskan kesimpulan kaitannya dengan masalah adab ini bahwa sebagia
ulama menjelaskan konsekwensi dari pernyataan tauhid yang telah diikrarkan
seseorang adalah mengharuskan beriman kepada Allah (dengan membenarkan dan
meyakini Allah tanpa sedikit pun keraguan). Karena apabila ia tidak memiliki
keimanan itu, tauhidnya dianggap tidak sah. Demikian pula keimanan jika
keimanan tidak dibarengi dengan pengamalan syariat (hukum-hukum Islam) dengan
baik maka sesungguhnya ia belum memiliki keimanan dan tauhid yang benar. Begitu
pula dengan pengamalan syariat, apabila ia mengamalkannya tanpa dilandasi adab
maka pada hakikatnya ia belum mengamalkan syariat dan belum dianggap beriman
serta bertauhid kepada Allah. Berdasarkan beberapa hadis Rasulullah SAW dan
keterangan para ulama di atas, kiranya tidak perlu kita ragukan lagi betapa
luhurnya kedudukan adab di dalam ajaran agama Islam. Karena tanpa adab dan
prilaku yang terpuji maka apa pun amal ibadah yang dilakukan seseorang tidak
akan diterima di sisi Allah SWT sebagai satu amal kebaikan, baik menyangkut
amal qalbiyah (hati), badaniyah (badan), qauliyah (ucapan), maupun fi’liyah
(perbuatan). Dengan demikian, dapat kita maklumi bahwa salah satu indikator
amal ibadah seseorang diterima atau tidak di sisi Allah adalah melalui sejauhmana
aspek adab disertakan dalam setiap amal perbuatan yang dilakukan.
Melihat gagasan-gagasan yang ditawarkan di atas, nampak jelas nuansa
kesufian dalam diri Hasyim Asy’ari. Hal ini tidaklah mengherankan sebab dalam
prilaku kehidupannya ia meang lebih cenderung pada kehidupan sufi. Dengan ilmu
tasawuf dan hadis yang dikuasainya, sangat mewarnai gagasan pemikiran keagamaan
dan juga dalam bidang pendidikan. Beliau adalah sufi yang tidak hanya sibuk
dengan zikir dan fikir, tapi masuk berbaur dengan masyarakat untuk membebaskan
umat dari belenggu kebodohan. Ada bebrapa catatan menarik dari gagasan-gagasan
Asy’ari terkait dengan integritas seorang guru, seperti seorang guru haruslah
membiasakan diri menulis, mengarang, dan meringkas. Hasyiam Asy’ari memandang
bahwa perlu adanya tulisan dan karangan, sebab media tulisan itula ilmu yang
dimiliki seseorang akan terabadikan dan akan benyak memberi manfaat pada orang
yang datang setelahnya, atau pada genrasi mendatang, di samping dirinya akan
dikenang sepanjang masa. Sayang tradisi ini belum begitu membudaya di
pondok pesantren.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar