HUKUM
MEMPERINGATI TAHUN BARU HIJRAH
Oleh :
Bp. Aris Saptiono |
Orang
yang beriman tidak akan terkesan dan terpengaruh oleh sesuatu yang mereka lihat dari musuh-musuh Allah swt.
Sebab ia yakin didalam kepribadian Islam terdapat kebaikan serta kebahagian
dunia dan akhirat. Karena itu, ia akan bersikap hati-hati terhadap berbagai
cara dan pola hidup yang tidak jelas dalilnya. Sikap kehati-hatian itu
diwujudkan dengan mempertanyakan berbagai macam acara dan upacara yang dikenal
didalam Islam, meskipun dikemas dengan nama dan istilah arabi bahkan islami,
seperti tahun baru hijriah atau tahun baru Islam.
Sejarah Penetapan Tahun
Hijriah
Tatkala
Ya’la bin Umayah menjadi gurbenur di Yaman pada zaman khalifah Abu Bakar r.a,
ia pernah melontarkan gagasan tentang perlunya kalender Islam yang akan dipakai
sebagai patokan penanggalan. Pada waktu itu, catatan yang dipergunakan kaum
muslim belum seragam. Ada yang memakai tahun gajah (‘amul fiil), terhitung sejak raja Abrahah dari Yaman menyerang
Kabah (yang secara kebetulan adalah tanggal kelahiran Nabi saw), ada yang
mendasarkan pada peristiwa-peristiwa yang menonjol dan berarti yang terjadi di
zaman mereka. Misalnya, tahun pertama hijrah Nabi dinamakan tahun al-Izn (Izin), karena izin hijrah
diberikan pada tahun itu. Tahun kedua disebut tahun ‘amr, karena pada tahun itu
Allah swt. telah memberikan perintah kepada kaum muslim untuk bertempur melawan
kaum musyirkin Mekah.
Akan
tetapi, realisasi tentang penetapan penanggalan yang dipakai oleh umat Islam
barulah terjadi di zaman khalifah Umar r.a. Menurut keterangan al-Biruni,
khalifah menerima sepucuk surat dari Abu Musa Al-Asy’ari yang menjadi gubernur
di Bashrah (Irak), isinya menyatakan, “Kami telah banyak menerima surat dari
Amirul Mu’minin, dan kami tidak tahu mana yang harus dilaksanakan. Kami sudah
membaca satu perbuatan yang betanggal Sya’ban, namun kami tidak tahu Sya’ban
mana yang maksud. Sya’ban sekarang atau Sya’ban mendatang di tahun depan?”
Surat
Abu Musa rupanyaditerima/disikapi oleh khalifah Umar sebagai saran halus
tentang perlu ditetapkannya satu penanggalan (kalender) yang seragam, yang
dipergunakan sebagai tanggal, baik dikalangan pemerintahan maupun untuk
keperluan umum.
Untuk
menetapkan momentum apa yang sebaiknya dipergunakan dalam menentukan permulaan
tahun Islam itu, Khalifah mengadakan musyawarah dengan semua ulama, dalam
pertemuan itu ada empat usul yang dikemukan, yaitu :
1. Dihitung dari kelahiran Nabi
Muhammad saw.
2. Dihitung dari wafat
Rasulullah saw.
3. Dihitung dari hari Rasulullah
menerima wahyu pertama di gua Hira yang merupakan awal tugas risalah kenabian.
4. Dihitung mulai dari tanggal
dan bulan Rasulullah melakukan hijrah dari Mekah ke Madinah (usul yang terakhir
ini diajukan oleh Ali bin Abi Thalib).
Tetapi
baik kelahiran Nabi maupun permulaan risalah kenabian tidak diambil sebagai
awal penanggalan Islam, karena tanggal-tanggal tersebut menimbulkan kontroversi
mengenai waktu yang pasti dari kejadian-kejadian itu. Hari wafat Nabi juga
tidak berhasil dijadikan tanggal permulaan kalender, karena dipertautkan dengan
kenang-kenangan menyedihkan pada hari wafatnya. Besar kemungkinan nanti akan
menimbulkan perasaan-perasaan sedih dan sendu dalam kalbu kaum Muslimin.
Akhirnya disepakatilah agar penanggalan Islam ditetapkan berdasarkan hijrah
Rasul dari Mekah ke Madinah.
Kapankah tepatnya Beliau
hijrah ke Madinah?
Beragam
informasi dijumpai pada kitab-kitab tarikh tentang peristiwa itu. Imam
Ath-Thabari dan Ibnu Ishaq menyatakan,”Sebelum sampai di Madinah (waktu itu
Yatsrib), Rasulullah saw. singgah di Quba pada hari senin 12 Rabi’ul Awwal
tahun 13 kenabian/24 September 622 M waktu dhuha (sekitar jam 09.00). ditempat
ini, beliau tinggal dikeluarga Amr bin Auf selama empat hari (hingga hari kamis
15 Rabi’ul Awwal/27 September 622 M dan membangun mesjid pertama (mesjid Quba).
Pada hari Jum’at 16 Rabi’ul Awwal/28 September 622 M, beliau berangkat menuju
Madinah. Ditengah perjalanan, ketika beliau berada di Bathni wadin (lembah
disekitar Madinah) milik keluarga Banu Salim bin ‘Auf, datang kewajiban Jum’at
(dengan turunnya ayat 9 surat Al-Jum’ah). Maka Nabi salat Jum’at bersama mereka
dan khutbah ditempat itu. Inilah salat Jum’at yang pertama didalam sejarah
Islam. Setelah melaksanakan salat Jum’at, Nabi melanjutkan perjalanan menuju
Madinah”. (Lihat Tarikh Ath-Thabari,I:571; Sirah Ibnu Hisyam, Juz III, Hal. 22; Tafsir
Al-Qurthubi, Juz XVIII, hal. 98)
Keterangan
diatas menunjukan bahwa Nabi tiba di Madinah pada hari Jum’at 16 Rabi’ul
Awwal/28 September 622 M. Sedangkan ahli tarikh lainnya berpendapat hari Senin
12 Rabi’ul Awwal/5 Oktober 621 M, Namun ada pula yang menyatakan hari Jum’at 12
Rabi’ul Awwal/24 Maret 622 M.
Terlepas
dari perbedaan tanggal dan tahun, baik hijriah maupun masehi, namun para ahli
tarikh semuanya bersepakat bahwa hijrah Nabi terjadi pada bulan Rabi’ul Awwal,
bukan bulam Muharram (awal Muharram ketika itu jatuh pada tanggal 15 Juli 622
M).
Ketika
para sahabat sepakat menjadikan hijrah Nabi sebagai permulaan kalender Islam,
timbul persoalan lain di kalangan mereka tentang permulaan bulan pada kalender
itu. Ada yang mengusulkan Rabi’ul Awwal (sebagai bulan hijrahnya Rasulullah saw
ke Madinah). Namun ada pula yang mengusulkan bulam Muharram. Namun akhirnya
Umar memutuskan bahwa tahun 1 Islam/Hijriah diawali dengan 1 Muharram
bertepatan dengan tanggal 16 Juli 622 m. Dengan demikian antara permulaan
hijrah Nabi dan permulaan kalender Islam sesungguhnya terdapat jarak sekitar 82
hari.
Peristiwa
penetapan kalender Islam oleh Umar r.a ini terjadi pada hari Rabu, 20 hari
sebelum berakhirnya Jumadil Akhir, tahun ke 17 sesudah hijrah atau pada tahun
ke-4 dari kekhalifahan Umar bin Khatab. (lihat, tulisan Dr. Thomas Djamaluddin
tentang “Kalender Hijriah” dalam buku Almanak Alam Islam, hal 183-184 dan
Makalah tentang “Konsistensi Historis-Astronomis Kalender Hijriah”)
Asal Muasal Peringatan Tahun
Hijriah
Peringatan
tahun baru Islam tiap 1 Muharram baru dimulai sejak tahun 1970-an yang berasal
dari ide pertemuan cendekiawan Islam di Amerika Serikat. Waktu itu terjadi
fenomena maraknya dakwah, masjid-masjid dipenuhi jamaah dan munculnya jilbab hingga
kemudian dikatakan sebagai kebangkitan Islam, Islamic Revival (lihat, PR
online)
Dari
kedua latar belakang sejarah diatas dapat diambil kesimpulan bahwa :
1. Penetapan bulan Muharram oleh
Umar bin Khatab sebagai permulaan tahun hijriah tidak didasarkan atas
pengagungan dan peringatan peristiwa hijrah Nabi. Buktinya beliau tidak
menetapkan bulan Rabi’ul Awwal (bulan hijrahnya Rasul ke Madinah) sebagai
permulaan bulan pada kalender Hijriah. Lebih jauh dari itu, beliau pun tidak
pernah mengadakan peringatan tahun baru hijriah, baik tiap bulan Muharram
maupun Rabi’ul Awwal, selama kekhalifahannya.
2. Peringatan tahun baru hijriah
pada bulan Muharram dengan alasan memperingati hijrah Nabi ke Madinah merupakan
kesalahkaprahan, karena Nabi hijrah pada bulan Rabi’ul Awwal, bukan bulan
Muharram.
3. Menyelenggarakan berbagai
bentuk acara dan upacara untuk menyambut tahun baru Hijriah adalah perbuatan
yang tidak sesuai sunah Rasulullah saw dan para sahabat.
Assalamu 'alaikum pa ustadz, terima kasih atas uraian mengenai sejarah penetapan tahun Hijriah yang detil tersebut di atas termasuk koreksinya mengenai awal tahun yang sebaiknya di bulan Rabi'ul Awwal mudah2an bisa disampaikan kepada fihak yang berwenang seperti departemen agama/MUi atau Robithoh Al Islami sebagai Organisasi Islam Dunia untuk dikaji lebih lanjut sehingga penanggalannya sesuai dengan sejarahnya. Namun untuk point (3) saya belum sependapat, kalau dari esensi/ isi peringatannya dari bagian mana yang tidak sesuai sunnah dari peringatan hijriah itu , contohnya mesjid almuhajirin mengadakan pengajian dengan mengundang ustadz yang beken untuk biasa menguraikan perjuangan nabi s.a.w tatkala menegakkaan islam beserta luka-likunya. Sebenarnya dari kita acara yang diadakan seperti isro mi'raj, tahun baru dll hanya mengambil momen supaya orang itu mau datang ke acara yang membahas alquran dan hadis tersebut. karena kalau acaranya biasa saja orang malas datang. Hal ini pasti tidak akan terjadi di jaman rosul dan para sahabat karena tanpa itu pun iman para sahabat yang menacap di data dengan kuat. Jaman ayeuna pun teu ku cara kitu hese pisan ngajak pikeun ibadah teh.
BalasHapus-Terkait koreksi, ku para sahabat anu sanes & para ahli tos katawis bulan Rabi’ul Awwal teh Nabi saw. Hijrah, tapi jigana elmu Umar r.a teu katanaekan ku Ulama baheula jeung kiwari, naha bet Muharram nu jadi awal bulan tahun Hijriah (Leunyeupeunan)... cobi diaos deui.
BalasHapus-Yang dipermasalahkan bukan isi/esensinya tetapi berkali-kali kami menanyakan kepada saudara kita yang merayakan atau memperingati (PHBI) “MANA DALIL PERINGAT – MEMPERINGATI”?, kalau mau ditelaah lebih dalam lagi siapa sih orangnya yang suka peringat-memperingati teh? Hadisna aya eces tembres boreas bodas... (tina Shahih Bukhari).
Hal ini di amini oleh pernyataan Asy-Syaikh Muhammad bin Shâlih Al-’Utsaimîn rahimahullahu Ta’ala, beliau menjawab perihal bagaimana hukum memperingati Tahun baru Hijriah :
Pengkhususan hari-hari tertentu, atau bulan-bulan tertentu, atau tahun-tahun tertentu sebagai hari besar/hari raya (‘Id) maka kembalinya adalah kepada ketentuan syari’at, bukan kepada adat. Oleh karena itu ketika Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam datang datang ke Madinah, dalam keadaan penduduk Madinah memiliki dua hari besar yang mereka bergembira ria padanya, maka beliau bertanya : “Apakah dua hari ini?” maka mereka menjawab : “(Hari besar) yang kami biasa bergembira padanya pada masa jahiliyyah. Maka Rasulullâh shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya Allah telah menggantikan dua hari tersebut dengan hari raya yang lebih baik, yaitu ‘Idul Adh-ha dan ‘Idul Fitri.“
Kalau seandainya hari-hari besar dalam Islam itu mengikuti adat kebiasaan, maka manusia akan seenaknya menjadikan setiap kejadian penting sebagai hari raya/hari besar, dan hari raya syar’i tidak akan ada gunanya.
Kemudian apabila mereka menjadikan penghujung tahun atau awal tahun (hijriyyah) sebagai hari raya maka dikhawatirkan mereka mengikuti kebiasaan Nashara dan menyerupai mereka. Karena mereka menjadikan penghujung tahun miladi/masehi sebagai hari raya. Maka menjadikan bulan Muharram sebagai hari besar/hari raya terdapat bahaya lain.
-Inilah kekhawatiran Mu’ad bin Jabal, seorang guru dan pernah menjabat selaku gurbenur di negeri Syam, tak sedikit ilmu dan pengalaman yang dapat ditimba darinya. Ia berkata: “Sesungguhnya nanti akan terjadi berbagai macam ujian, karena pada waktu itu kekayaan melimpah, banyak pula yang hafal Quran, hebat berbicara dan mengerti dalil-dalil, tetapi pada saat itu manusia semakin merasa pantas untuk tidak menuruti”. Pada saat itu uila Quran terbuka, dibaca dan dipelajari oleh segala lapisan, mukmin, munafik, laki-laki, perempuan, besar, kecil, sampai hamba sahaya. Tetapi pada saat itu hampir saja akan ada orang yang berkata, “Mengapa orang-orang tidak mengikutiku padahal aku telah membaca Quran? Ternyata mereka tidak akan mengikuti kecuali bila aku mengadakan bid’ah-bid’ah bagi mereka yang tidak terdapat dalam Quran (tidak pula dalam Sunah). Perhatikanlah, janganlah sekali-kali kamu mengerjakan bi’ah dan hati-hatilah dari terpelesetnya lidah ulama, karena seringkali setan menitipkan kata-kata sesat melalui lidah mereka... H.R. Abu Daud no.4587.
wah..pa ustadz aris saptiono mantap, hade surade, bid'ah nya pa lebetna nukitu teh? sagala rupi anu teu dicontokeun ku Kangjeng Rosul teh kalebetna bid'ah nya pa? termasuk sasalaman saatos shalat fadhu nya pa? tanpa harus melihat esensina...
HapusSaya kira pendapat dan pemahaman Ustadz Aris merupakan bagian dari kekayaan dan keragaman pendapat dalam masyarakat muslim, apalagi disertai dengan dalil-dalil yang jelas sumbernya. yang dibutuhkan sekarang adalah kelapangan dada kita semua untuk memahami orang lain dengan berbagai variasi pemahamannya. kedepankan kebersamaan dan silaturrahmi, cegah sedini mungkin friksi yang bisa menjurus pada perpecahan.... semoga Allah senantiasa mencurahkan hidayahNya kepada kita semua, amiiin....
HapusTerima kasih atas pencerahannya, saya menulis dalam blog ini sekadar belajar saring dan berusaha untuk tidak mengabaikan adabiyah, tapi membiasakan diri dalam stiap tulis menulis selalu mencantumkan Fakta Syar'i, Referense, metodologi & analisa yang biasa dipergunakan umum dikalangan universatas dan pesantren dalam pengambilan kesimpulan (thuruqul istinbath). sehingga bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah sesuai dengan disiplin ilmu masing2, baik itu kaidah ushul fiqih, Ulumul hadis, bahasa & fakta sejarah. Insya Allah saya secara pribadi tidak terbersit sedikit pun prasangka yang dikhawatirkan antum, sebab saya hanya menanggapi pemahaman ini dalam koridor keilmuan bukan ambisi pribadi. bukankah Rasulullah saw mengajarkan kepada kita untuk selalu beradab? dan Insya Allah saya jamaah Al-Muhajirin yang selalu mendukung program DKM selama sesuai aturan Alquran & Hadits.
Hapuskang satria pertamax, leres pisan sagala rupi terkait syariat patula patali sareng ibadah anu teu aya dalil ti Rasulullah saw, naon atuh nami anu kitu teh?
BalasHapusari urusan ibadah/syariat mah, urang salaku umatna ngantosan diparentah nyaeta kuayana dalil, lamun perkawis patula patali sareng Muamalah (kadunian) mangga pidamel, sateu acan aya dalil anu ngalarang. mangga emutan ku akang satria, patarosan eta kalebetna anu mana. Innama a'malu binniyat. Niat kedah leres, amalan oge kedah leres. berlaku sabalikna. eta namina taat ka Rosul.
teras pa ustadz aris pami anu dimaksad bid'ah hasanah anu kumaha atuh? abdi kantos ngaos hadist, Nabi saw memperbolehkan kita melakukan Bid’ah hasanah selama hal itu baik dan tidak menentang syariah, sebagaimana sabda beliau saw :“Barangsiapa membuat - buat hal baru yang baik dalam Islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikit pun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat buat hal baru yang buruk dalam Islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya dan tak dikurangkan sedikitpun dari dosanya” (Shahih Muslim hadits No.1017)
BalasHapus