Aris Saptiono |
S A L A M
Ucapan salam adalah
Tahiyyah antara sesama muslim dan sudah disyari’atkan sejak zaman Nabi Adam
a.s. Hal ini diterangkan dalam hadis riwayat Al Bukhari dan Imam Muslim dari
sahabat Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw. Bersabda, “…tatkala Allah selesai
menciptakan Adam, Ia berfirman, ‘Pergilah dan ucapkanlah salam kepada
segolongan malaikat yang sedang duduk itu, dengarkanlah apa yang diucapkan
mereka kepadamu karena ucapan itu merupakan Tahiyyat untukmu juga keturunanmu’,
lalu Adam mengucapkan, ‘Assalamu’alaikum’, dan malaikat pun menjawab, ‘Assalamu’alaika
warahmatullah…” H.R. Al-Bukhari, Kitab Isti’dzan no. 6227
Lafadz
Salam
Lafadz salam paling
sedikit adalah Assalamu’alaikum, lebih dari itu ditambah warahmatullah dan
wabarakatuhu, adapun selebih dari itu (tambahan ta’ala, ‘alaikunna, wa
maghfiratuhu, wa ridwanuhu) tidak ada hadis shahih yang menerangkannya. Bahkan
Imam Al Baihaqi dalam kitabnya Su’abul Iman meriwayatkan bahwa seorang
laki-laki datang kepada Ibnu Umar lalu mengucapkan, “Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuhu
wa maghfiratuhu”, maka Ibnu Umar berkata, “Cukup engkau ucapkan sampai wabarakatuhu”.
Bila yang diberi salam
hanya seorang, maka sedikitnya kita ucapkan Assalamu’alaika sebagaimana hadis
Al-Bukhari diatas, dan lebih utama bila menggunakan dhamir jamak Assalamu’alaikum
supaya selain kepada orang itu juga mencakup dua malaikat yang selalu
menyertainya. Imam Ibrahim An-Nakha’I berkata, “Bila engkau mengucapkan salam
kepada seorang maka ucapkanlah, Assalamu’alaikum, karena malaikat menyertainya.
Adapun menjawab salam,
yang terbaik adalah dengan menggunakan redaksi yang lengkap yaitu : Wa’alaikum
salam warahmatullah wa barakatuh atau sebanding dengan yang diucapkan oleh yang
memberikan salam, Allah swt berfirman,
Dan
apabila kalian dihormati dengan penghormatan (diucapkan salam kepadamu) maka
balaslah dengan yang lebih baik atau dengan yang serupa… Q.S. An-Nisaa : 86
Memulai
Salam
Dari
Abu Hurairah r.a ia berkata, “Rasulullah saw bersabda, ‘Hendaklah yang kecil
memberi salam kepada yang besar, yang berjalan kepada yang duduk, dan yang
sedikit kepada yang banyak”. H.R. Al Bukhari : 6234
Dan dalam hadis riwayat
Imam Muslim :…. dan yang berkendaraan kepada
yang berjalan..H.R. Muslim : 2160
Hadis diatas
mensyari’atkan yang kecil mendahului mengucapkan salam kepada yang tua, hal
tersebut dikarenakan yang tua berhak untuk dihormati dan dimulyakan.
Bila terjadi, orang yang
muda usia berilmu lebih tinggi bertemu dengan yang lebih tua tapi tidak berilmu
tinggi, siapakah yang lebih dulu mengucapkan salam? Imam Ibnu Hajar berkata,
“Tidak ada nash yang menerangkan masalah tersebut tapi yang jelas makna hakiki didahulukan dari makna majazi”.
Yang berkendaraan
mengucapkan salam terlebih dahulu agar senantiasa bersifat tawadhu’ dan menghindari
munculnya sifat takabur akan kendaraannya.
Sedangkan yang sedikit
diperintah mendahului mengucapkan salam kepada yang banyak karena yang banyak
itu memiliki hak lebih.
Bila dua orang yang
sama-sama muda atau sama-sama berkendaraan bertemu maka yang terbaik ialah yang
lebih dahulu mengucapkan salam, Rasulullah saw bersabda,
‘Sesungguhnya
orang yang lebih dekat kepada rahmat Allah ta’ala ialah yang memulai
mengucapkan salam. H.R. abu Daud : 5186
Salam
Kepada Anak-anak
Anas
r.a berkata, “Rasulullah saw, lewat kepada anak-anak yang sedang bermain
kemudian beliau mengucapkan salam kepada mereka”. H.R. Al Bukhari : 6247, Abu
Daud : 5191
Apa yang dilakukan oleh
Rasulullah saw. Selain sebagai dalil bahwa perintah pada hadis Al-Bukhari 6234
tidak wajib, juga bertujuan mendidik anak-anak tentang adab, tapi si anak tidak
wajib menjawab karena mereka belum sampai kepada usia taklif, sedang bila si
anak yang mengucapkan salam, wajib atas yang sudah baligh menjawabnya.
Menjawab
Salam Kafir
Mengucapkan salam kepada kafir
hukumnya haram, berdasarkan sabda Rasulullah saw,
…Janganlah
kalian memulai mengucapkan salam kepada Yahudi dan jangan pula kepada Nasrani…
H.R. Muslim : 2167
Sedangkan bila kafir yang
mengucapkan salam, maka wajib dijawab,
Rasulullah saw. Bersabda, “Apabila Ahli Kitab mengucapkan salam pada kalian
maka katakanlah, “Wa’alaikum”. H.R. Al Bukhari : 6258
‘Aisyah
r.a. berkata, “Sekelompok Yahudi mendatangi Rasulullah saw. dan mereka berkata,
‘Assamu’alaika (racun/kebinasaan atasmu) maka aku memahaminya dan aku
mengatakan, ‘Alaikumussamu walla’natu (semoga atas kalian kebinasaan dan
laknat), maka Rasulullah saw. Bersabda, “Hai ‘Aisyah janganlah engkau berkata
demikian karena sesungguhnya Allah mencintai kelemahlembutan dalam segala
urusan”, maka aku berkata, ‘Wahai Rasul, tidakkah engkau dengar apa yang
dikatakan mereka?’ Ia bersabda, ‘Sungguh aku telah katakan ‘alaikum”. H.R.
Al-Bukhari : 6256
Adapun mengucapkan salam
kepada muslim di satu majelis yang berbaur dengan kafir pernah dilakukan oleh
Rasulullah saw. Lihat Al Bukhari : 6254, At-Tirmidzi : 2845
Titip
Salam
Dari
Abu Salamah bahwasnnya ‘Aisyah r.a menyampaikan kepadanya bahwa sesungguhnya
Nabi saw. Bersabda kepadanya, “Sesungguhnya Jibril membacakan salam untukmu,
maka ‘Aisyah berkata, ‘Wa’alaihissalam wa rahmatullah (semoga atasnya keselamatan
dan rahmat Allah).” H.R. Abu Daud : 5221
Seorang
sahabat dari Bani Tamim datang untuk menyampaikan salam bapaknya kepada Nabi
saw, maka Nabi saw. Bersabda kepadanya, “Wa’alaika wa’ala abikassalam (dan
semoga atasmu juga atas bapakmu keselamatan)”. H.R. Abu daud : 5220
Hadis diatas menjadi dalil
atas disyari’atkannya menitipkan salam dan utusan wajib menyampaikannya dan
penerima lebih baik menyertakan utusan dalam jawabanya sebagaimana pada hadis
kedua.
Hukum
Mengucapkan dan Menjawab Salam
Ibnu
Abdil Barr berkata, “Ulama sepakat bahwa mengucapkan salam hukumnya sunnat
(kifayah) sedangkan menjawab salam hukumnya wajib (kifayah)”.
Salam
Sebelum Berbicara
Rasulullah
saw. Bersabda, “Hendaklah mengucapkan salam sebelum berbicara”.
Hadis ini diriwayatkan
oleh Imam At-Tirmidzi dalam sunan-nya, kitab adab no. 2842 dengan derajat
sangat lemah karena pada sanandnya ada rawi yang bernama “Abasah bin Abdirrahman bin ‘Anbasah bin Said bin Al ’Ash Al Amawi,
Imam Al Bukhari berkata, “Dzahibul hadits
(banyak kehilangan hadits)”. Imam Abu Hatim berkata, “Ia pemalsu hadits”. Mizan Al I’tidal III:301 no. 6512 dan rawi
bernama Muhammad bin Zadan, ia
matruk. Tuhfah Al Ahwadzi, VII : 397.
Dengan demikian hadis
diatas tidak bisa digunakan sebagai hujjah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar