A. Wahid |
IBADAH DENGAN RASA CINTA KEPADA ALLAH
Seorang muslim terkadang menjadikan ibadah
sebagai sarana untuk mendulang pahala sebanyak mungkin, sehingga ia berharap
mendapatkan balasan dari Allah SWT berupa surga dan terhindar dari siksa api
neraka. Berkaitan dengan hal ini ada sebuah dialog menarikantara NabiMuhamad
SAW dengan sahabatnya. Seorang sahabat bertanya: “Apakah seorang mukmin akan dapat masuk surge dengan
mengandalkan pahala yang ia peroleh dari proses ibadahnya?”Beliau menjawab;
“Tidak!”.Selanjutnya Beliau bersabda;
”Tidak juga Aku, kecuali Allah telah memayungiku dengan rahmat danp engampunan-Nya”.[1]
Jelaslah bahwa sesungguhnya yang memasukan
manusia kesurga adalah karena rahmat atau
kasih saying dari Allah SWT. Bukan karena pahala dari hasil ibadahnya kepada
Allah SWT. sebagimana yang disangkakan manusia.
Namun demikian, dengan sifat rahman dan
rahim, serta ghofurNya, Allah SWT menjanjikan sebuah reward
(hadiah) bagi mereka yang mencintai-Nya.Sebagaimana firman-Nya dalam Q.S. AliImran:31,
Artinya
:”Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku,
niscaya Allah mengasihi dan mengampun idosa-dosamu." Allah
MahaPengampunlagiMahaPenyayang”. (Q.S. Ali Imran : 31)[2]
Proses
mencintai biasanya diawali dengan pengenalan terhadap yang dicintainya terlebih
dulu. Sama hal nya dengan Allah, seorang hamba yang berusaha untuk mencintainya,
makalangkah pertama yang harus ia lakukan adalah dengan mengenal-Nya. Sidi
Abdul Qadir Al Jilani menyebutkan bahwa ada tiga tahapan pengenalan seorang hambater
hadap Allah SWT.[3]
Pertama,
mengenal Allah melalui sifat-sifat-Nya.Dengan mengenalsifat-sifat Allah,
baiksifat jalaliyah (yang berhubungan dengankeperkasaan Allah) maupun jamaliyahnya
(yang berhubungan dengan kemurahan dankelembutan Allah) akan menjadikan manusia
lebih akrab dengan Allah, sebab dengan mengetahui sifat-sifatNya ia tahu bagaimana
karakter Dzat yang ia cintai tersebut.
Keduaadalahdenganmengenalnama-nama-Nya.Nama-nama
Allah yang baik, sebagaimanatercantumdalamasmaalhusnaakanmemberikansebuahkekuatanbagiseoranghambaketikaiaberdo’akepada-Nya.
Hal ini Allah kemukakandalam Q.S. AlA’raf : 180.
Artinya
: “Hanyamilik Allah asmaa-ulhusna,
Makabermohonlahkepada-Nyadenganmenyebutasmaa-ulhusnaitudantinggalkanlah
orang-orang yang menyimpangdarikebenarandalam (menyebut) nama-nama-Nya.
nantimerekaakanmendapatBalasanterhadapapa yang telahmerekakerjakan.”
(Q.S.AlA’raf : 180)[4]
Dan
yang ketigaadalahdenganmengenalaf’al-Nya.Af’aldapatdiartikansebagaiperbuatan-perbuatan-Nya,
artinyadenganmengenalperbuatan Allah
berupaciptaan-ciptaan-Nyaakanmenjadikanmanusiamerasalebihdekatdengan Allah
sehingga rasa cinta yang mendasarinyadalamibadahakantumbuhdengansendirinya.
Kembalikepadamasalahtujuandalamibadah.DalampandanganQuraishShihab,
adanyapamrihatautujuandalamberibadahkepada Allah adalahsesuatu yang dibolehkan,
karenatujuandisampingmerupakantujuanutamadapatjugamenjadi “jalan yang mengantar” ketujuan yang lebihutama, danketikaitu,
jalantersebuttidaklagimenjaditujuan.[5]
PandanganQuraishShihabininantinyaakanberbedadenganpandanganRabi’ah
Al-Adawiyah yang tidakmenerimatujuan lain dalamberibadah,
kecualiatasdasarcinta (mahabbah) kepada Allah SWT.
Sehinggaapapun yang dilakukanolehmanusiamakadasarnyaadalahharuskarenacinta, bukankarenatakutataukarenamengharapsesuatu.
Rasa cinta (mahabbah) seorang
hamba kepada Tuhannya, seyogyanya
merupakan sebuah kesatuan tak terpisahkan dengan ibadah
yang dilakukannya. Seorang hamba diharapkan ketika beribadah didasari oleh rasa
cinta kepada Allah SWT., bukan hanya karena menjalankan suatu kewajiban yang
seolah-olah memaksa, dan karena tergiur untuk mendapatkan hadiah (pahala)
berupa surga atau takut akan ancaman Allah berupa neraka.
Ketika rasa cinta kepada Allah sudah melekat dalam hati sanubari seorang
hamba, maka seluruh perintah dan larangan yang termaktub dalam al-qur’an maupun hadits tidak dianggapnya sebagai sebuah beban yang sangat
memberatkan, melainkan justru menjadi sarana bagi hamba tersebut untuk
mewujudkan rasa cintanya kepada Sang Khalik.
Kecintaan seorang hamba kepada Tuhannya dalam beribadah merupakan sesuatu
yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Dalam kehidupannya, rasul begitu
mencintai Allah SWT. Beliau adalah sosok manusia yang mulia yang sudah diampuni
dosanya, sehingga seberapapun kesalahan yang dilakukan pasti akan terampuni,
sebagaimana tercermin dalam sifat Beliau yang ma’shum. Kondisi semacam ini tidak menjadikan rasul lalai dalam
menjalankan ibadah, justru sebaliknya
rasul semakin meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadahnya. Satu hal yang
menjadi dasar rasul melakukan itu adalah karena Beliau sangat mencintai Allah
SWT.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana cara menumbuhkan rasa
cinta dalam ibadah kepada Allah SWT. terutama terhadap anak. Paling tidak ada
empat langkah yang harus dilaksanakan.Pertama, riyadhoh, yaitu latihan
atau pembiasaan dalam menjalankan macam-macam ibadah.
Kedua, mujahadah, yaitu kesungguhan atau upaya serius seorang hamba
untuk mencintai Allah dengan melaksanakan berbagai perintahnya . Ketiga,
menumbuhkan rasa bangga, orang tua harus menggali kebanggaan anak terhadap
keber-Islamannya, dengan kebanggaan tentang Islam inilah, maka anak akan dengan
sendirinya tumbuh rasa cinta kepada Allah SWT. Dan keempat, keteladanan dari
orang tua akan perilaku yang menunjukan rasa cinta kepada Allah, akan
menyebabkan anak didik terstimulasi kecintaannya kepada Allah SWT.
Demikianlah, sekelumit tentang beribadah yang didasari oleh rasa cinta
kepada Allah SWT, dan upaya penanamannya pada anak, mudah-mudahan kita semua
mampu menjadi orang yang selalu mahabbah kepada Allah SWT dalam
menjalankan berbagai bentuk peribadatan dalam hidup ini.
[1]KH.M.CholilBisri, IndahnyaTasawuf, Yogyakarta,
Pustakaalief, 2003.hlm. 2
[2]Departemen Agama, Al-Qur’andanTerjemahnya,
Bandung, LubukAgung, 1989
[3]Sidi Abdul Qadir Al Jilani, FiqihTasawuf,
Penerjemah Abdul GhaffardarijudulasliAl Ghuyah li ThalibiThariq al
HaqfilAkhlaqwatTasawufwalAdab al Islamiyah, Bandung, PutakaHidayah, 2001,
hlm.17
[4]Departemen agama, loc.cit
[5]M. QuraishShihab, MenyingkapTabirIlahi;
Al-Asma’ Al-HusnadalamPerspektif al-Qur’an, Jakarta, LenteraHati, 2006.
hlm.101
Tidak ada komentar:
Posting Komentar