Aris Saptiono |
MILAD,
MAULID, ULTAH DAN NATAL
Orang yang beriman tidak akan
terkesan dan terpengaruh oleh sesuatu yang mereka lihat dari musuh-musuh Allah.
Sebab ia yakin didalam keperibadian Islam terdapat kebaikan serta kebahagian
dunia dan akhirat. Karena itu ia akan bersikap hati-hati terhadap berbagai cara
dan pola hidup yang tidak jelas dalilnya. Sikap kehati-hatian itu diwujudkan
dengan mempertanyakan berbagai macam acara dan upacara yang tidak dikenal
didalam Islam, meskipun dikemas dengan nama atau istilah arabi bahkan islami,
seperti ‘ied, milad, maulid dan syukuran.
Asal
– Muasal
Dari
Umar bin Khatab sesungguhnya seseorang dari kaum Yahudi berkata kepadanya,
“Wahai Amirul mukminin, ada satu ayat dalam kitab kalian yang kalian biasa
membacanya. Sekiranya ayat itu turun kepada kami bangsa Yahudi, niscaya kami
jadikan turunnya itu sebagai ‘ied” Umar bertanya, “Ayat yang mana?”. Dia
menjawab, “Al Yauma akmaltu lakum....”. Umar menjawab, “Kami tahu hari dan
tempat turunnya ayat itu kepada Nabi, Yaitu ketika beliau wukuf di Arafah pada
hari Jum’at”. H.R. Al Bukhari
Secara istilah, kata ‘ied memilki dua
makna :
1.
Makna
umum. Memurut Fairuz Abadi, “Ied berarti sesuatu yang biasa datang kepadamu,
seperti gelisah, sakit, sedih dan lain-lain. Al Qamus al-Muhith:386.
2.
Makna
khusus. Menurut Fairuz Abadi dan Ibnu Manzhur, “Ied adalah sebutan bagi hari
yang padanya orang-orang berkumpul”. Al
Qamus Al-Muhith:386; Lisanul ‘Arab,III:319. Al Azhari berkata, “Ied menurut
orang Arab adalah waktu yang kembali padanya kegembiraan dan kesedihan”. Lisanul ‘Arab,III:319. Lois Ma’luf
berkata, “Ied adalah tiap-tiap hari yang padanya orang-orang beerkumpul atau
mengenang orang yang punya keutamaan atau peristiwa penting. Al Munjid:836. Menurut Ibnu Hajar, “Hari
itu disebut ‘ied karena kembali setiap tahun”. Fathul Bari,I:146. Sedangkan menurut Ar-Raghib al
Ashfahani,”Didalam syariat Islam, Sebutan ‘ied dikhususkan bagi hari Fitri (1
Syawal) dan hari Nahar (10 Dzulhijjah/Adha). Ketika hari tiu dijadikan sebagai
hari kegembiraan menurut syariat sebagaimana dinyatakan oleh Nabi saw. “Hari
makan-minum”, maka istilah ‘ied dipergunakan sebagai sebutan bagi tiap-tiap
hari yang disitu terdapat kesenangan (hari raya). Didalam Alquran dinyatakan :
Isa
putra Maryam berdoa, “Ya Tuhan kami, turunkanlah kepada kami suatu hidangan
dari langit (yang hari turunnya) akan menjadi hari raya bagi kami. Q.S.
Al-Maidah:114, Al-Mufradat fi Gharibil Quran,II:457
Menurut Ibnu Taimiyyah ‘Ied terbagi
kepada 3 macam : satu diantaranya adalah ‘ied yang berhubungan dengan waktu.
‘Ied yang berhubungan dengan waktu ada tiga macam :
1.
Hari-hari
yang dianggap agung oleh syariah dan terdapat dalil yang menunjukkan
keutamaannya serta anjuran untuk beribadah pada hari-hari tersebut, seperti
hari Jum’at, ‘Iedul Fitri dan ‘Iedul Adha.
2.
Hari-hari
yang tidak terjadi peristiwa apapun padanya dan tidak dianggap agung dan utama
oleh syariah, namun diagung-agungkan oleh manusia sehingga memiliki keistimewaan
dibandingkan hari lainnya, seperti hari Kamis minggu pertama atau malam Jum’at
pada bulan Rajab yang biasa disebut Ar-Raghaib, yang dianggap istimewa oleh
sebagian kaum muslimin. Pengagungan hari tersebut mulai terjadi sejak abad IV
hijriah.
3.
Hari-hari
yang terjadi suatu peristiwa padanya dan tidak dianggap agung dan utama oleh
syariah, namun dianggap penting oleh manusia karena peristiwa itu, sehingga
memiliki keistimewaan dibandingkan dengan hari lainnya, seperti mengagungkan
dan memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad, yang lebih dikenal dengan
sebutan maulid.
Pada mulanya, istilah maulid
dipergunakan bagi peringatan dan perayaan hari jadi seorang yang dianggap suci,
laki-laki atau perempuan, muslim, Kristen atau Yahudi yang sudah meninggal.
Namun istilah ini kemudian populer dipergunakan bagi kelahiran Nabi Muhammad.
Perayaan Maulid Nabi Muhammad saw. pertama kali dilakukan pada zaman
Fathimiyyah (dinasti yang didirikan pada 920 M) yang bermadzhab Syi’ah.
Sedangkan Muhammad Abdus Salam menyatakan bahwa maulid Nabi itu diada-adakan
oleh kaum sufi al-akkalun (cari makan). Lihat,
As-Sunan wal Mubtada’at:138-140.
Dikalangan sebagian kaum muslimin,
istilah yang dipergunakan untuk perayaan itu sangat beragam. Di Mesir acara ini
disebut Maulid. Di Tunisia, istilah yang dipakai adalah Zardah, sedangkan di negara Arab lainnya digunakan istilah Mausim. Di Sudan disebut Huliyyah. Hanya istilah Huliyyah ini
dipergunakan dalam rangka memperingati ulang tahun kematian, dan bukan ulang
tahun kelahiran mereka, yaitu pendiri tarekat-tarekat sufi.
Kemudian dilihat dari aspek ketetapan
waktu penyelenggaraan, cara atau bentuk upacara, ternyata perayaan dalam rangka
memperingati “orang suci” itu pun sangat beragam. Banyak “maulid” bagi
“orang-orang suci” ditetapkan pada hari-hari kelahiran mereka menurut kalender
hijjriah. Namun tidak sedikit tanggal maulid ditetapkan menurut kalender
syamsiah (masehi). Disamping itu, perayaan tersebut dapat berubah menurut
kondisi-kondisi historis dan sosial.seperti maulid Ahmad al-Badhawi di Mesir
yang ditetapkan atas dasar keyakinan para pemujanya, bukan atas hari kelahiran
yang sesungguhnya.
Sebagian ahli sejarah berpendapat
bahwa fenomena maulid berakar dari tradisi-tradisi kuno, seperti yang berlangsung
di Mesir, untuk menghormati dewa-dewa setiap tahun pada saat panen, sementara
kuil-kuil menyusun berbagai prosesi serta perayaan yang rumit. Sebagian ahli
sejarah lainnnya merunut maulid dari pengaruh Pharisaisme (sebuah sekte Yahudi
kuno) dan perayaan kaum Yahudi pada masa Yahudi awal serta masa Kristen awal. Sedangkan
bentuk modern maulid berakar dari tradisi sufi dan atau syi’ah yang muncul dari
kawasan Maghribi (Maroko) dan Mesopotamia dan berkembang di Mekkah yang identik
dengan praktik-praktik serupa dikalangan masyarakat Kristen dan Yahudi di Timur
Tengah. Lihat, John L Esposito, Ensiklopedi
Oxford: Dunia Islam Modern, 2002, jilid 3. Hal. 75-76 ; jilid 4, hal. 22-24 ;
jilid 5, hal. 228-229.
Pada perkembangan selanjutnya,
dikalangan sebgian muslim perayaan hari jadi itu bukan saja ditujukan untuk
memperingati Nabi Muhammad dan “orang saleh”, namun bagi berbagai peristiwa
yang dianggap penting oleh masing-masing, seperti hari kelahiran dan kematian,
berdirinya suatu golongan atau organisasi, hari kemenangan golongan,
kemerdekaan dari penindasan golongan lain dan sebagainya. Istilah yang dipergunakan
untuk peringatan dan perayaan itu pun menjadi beragam. Ada yang meyebut milad,
dies natalies, ulang tahun, bahkan “syukuran”.
Dikalangan Yahudi pun, istilah yang
dipergunakan untuk peringatan dan perayaan “orang saleh” juga sangat beragam,
namun pada umumnya ditujukan bagi berbagai peristiwa yang dialami oleh Nabi
Musa dan Bani Israil.
Diceritakan dalam “asar-asar Yahudi”
bahwa pada hari raya Paskah, imam-imam orang aseni memimpin upacara. Mereka
berdiri menghadap ke arah negeri Mesir mengenang arwah Bani Israil yang mati
dalam penyiksaan Fir’aun. Lihat, Iqtidha
Shiratil Mustaqim Mukhalafatu Ashabil Jahim, t,t, hal. 294 ; Parasit Aqidah :
324)
Ibnu Abbas mengatakan, “Ketika Nabi
saw, tiba di Madinah, beliau mendapati orang-orang Yahudi sedang melaksanakan
shaum pada hari Asyura. Mereka bertanya mnegenai hal itu, lalu mereka berkata,
“Pada hari ini Allah swt. pernah menyelamatkan Nabi Musa dan Bani Israil atas
(Kerajaan) Fir’aun dan kami menshauminya sebagai penghormatan.” Rasulullah saw
menjawab, “Kami lah yang paling berhak dengan Musa daripada kamu.” H.R. Al Bukhari & Muslim.
Bahkan perayaan itu bukan saja
ditujukan bagi “orang saleh”, namun bagi setiap peristiwa yang dianggap penting
oleh mereka, seperti :
a.
Memperingati
kemenangan Yahudi atas bangsa Yunani pada 166-165 SM dengan menyalakan lilin
dan api ungun yang disebut hari Hanukah. Lihat,
Parasit Aqidah : 282.
b.
Memperingati
berdirinya suatu golongan, hool (haul), ulang tahun kelahiran dan kematian
seorang imam yang masyhur, pesta-pesta kemenangan golongan, pesta kemerdekaan
dari penindasan golongan lain. Lihat
Parasit Aqidah : 283.
Demikian pula halnya dengan kalangan
Nasrani. Istilah yang dipergunakan untuk peringatan dan perayaan “orang saleh”
juga sangat beragam, namun pada umumnya ditujukan bagi berbagai peristiwa yang
dialami oleh Nabi Isa, antara lain :
a.
Paskah,
Yaitu hari kebangkitan Yesus yang diperingati setiap tanggal 25 April. Upacara
kebangkitan Yesus itu merupakan saduran dari upacara bangsa Phrygia, Yunani dan
Romawi.
b.
Pantekosta,
yaitu hari turunnya ruh suci yang dirayakan pada hari ke 50 seusai Paskah.
c.
Natal,
yaitu hari kelahiran Isa bin Maryam yang dirayakan pada 25 Desember. Sesungguhnya
orang-orang Nasrani pertama tidak mengenal upacara Natal, karena dianggapnya
bukan dari ajaran dari nabi-nabi tetapi upacara kafir, yaitu merupakan pesta
agama Mithras, lalu bangsa Romawi merubahnya dan ditujukan pada dewa Yupiter.
Namun Nasrani Romawi menjadikannya hari natal Yesus. Dengan demikian, upacara
natal menurut ajaran Nasrani pun sudah merupakan bid’ah.
Bahkan perayaan itu bukan saja
ditujukan bagi “orang saleh”, namun bagi setiap peristiwa yang dianggap penting
oleh mereka, seperti :
a.
Ulang
tahun kelahiran. Pada mulanya orang-orang Nasrani generasi pertama tidak
mengenal upacara ulang tahun, karena mereka menganggap bahwa pesta ulang tahun
itu pesta yang munkar dan hanya pekerjaan orang kafir. Orang Nasrani yang
pertama kali mengadakan pesta ulang tahun adalah orang Nasrani Romawi.
b.
Hari
perkawinan. Disebut kawin perunggu, tembaga, perak, emas dan berlian.
c.
Hari
kematian, diperingati untuk menjamu roh-roh diluar roh manusia dengan membuat
sajian-sajian (sasajen). Di Inggris pesta roh tersebut disebut Hallowen, yang
diperingati pada tiap 31 oktober. Lihat,
Parasit Aqidah : 304-324.
Keterang-keterangan diatas
menunjukkan bahwa perayaan maulid, milad, ulang tahun dan “syukuran” untuk
memperingati hari dan berbagai peristiwa penting, bersumber dari ajaran Yahudi
dan Nasrani yang masuk kepada kaum muslimin melalui “pintu” Tasawwuf dan Syi’ah.
Untuk itu kita perlu saling
mengingatkan, karena hal ini menyangkut persoalan Aqidah yang wajib
dipertahankan. Jangan sampai hanya karena keperluan pribadi, kelompok atau
golongan lantas aqidah dihinakan. Bila dengan harga murah aqidah dapat tergadai,
bagaimana dengan harga yang sedikit lebih mahal, apalagi yang akan digadaikan?
Wallahu
‘alam bish shawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar