Aris Saptiono |
BERJABAT
TANGAN
Dari
Al-Bara bin ‘Azib, ia berkata. “Rasulullah saw. bersabda, ‘Tidaklah dua orang
muslim bertemu, lalu berjabat tangan melainkan mereka berdua akan diampuni
(dosanya) sebelum keduanya berpisah’”. Sunan Abu Daud, IV:394 no.5212; Sunan At-Tirmidzi,IV:333
no.2736; Sunan Ibnu Majah, II:403 no.3707
Syarah
Mufradat
Pada hadis diatas
terdapat kalimat (fayatashafahaani) yang berasal dari kata (Al-Mushafahah)
yaitu : meletakan sisi (muka) telapak tangan dengan tangan dan menghadapkan
wajah atas wajah (berhadapan). An-Nihayah,III:34
Imam Al-Mubarakafuri
menyatakan :
Ketahuilah
sesungguhnya sunah itu ialah berjabat tangan dengan satu tangan, yaitu tangan
yang kanan dari kedua belah pihaknya, baik ketika berjumpa atau ketika
berbai’at. Tuhfatul Ahwadzi,VII:429
Imam An-Nawawi
menyatakan:
Disunatkan
jabat tangan itu dengan tangan kanan, dan itulah lebih utama. Tuhfatul
Ahwadzi,VII:430
Yang menjadi dasar
keterangan bagi pendapat diatas diantaranya ialah :
Dari
Amr bin Al-‘Ash, “Aku menjumpai Nabi saw, lalu berkata, ‘Bukalah (ulurkanlah)
tangan kananmu, aku akan berbai’at kepadamu’, maka beliau membuka (mengulurkan)
tangan kanannya”. Shahih Muslim,I:71 no.121
Telah
diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya dengan sanad yang shahih dari Anas
bin Malik, ia berkata, “Aku berbai’at kepada Rasulullah dengan tanganku ini,
yaitu tangan kanan, untuk mendengar dan menaati apa yang aku mampu”. Tuhfatul
Ahwadzi,VII:432
Apabila ada yang
berpendapat bahwa hadis-hadis diatas menunjukan sunahnya berjabat tangan dengan
tangan kanan ketika berbai’at bukan ketika berjumpa, sehingga tidak tepat
menjadikan dalil berjabat tangan dengan tangan pada saat berjumpa dengan
dalil-dalil berjabat tangan ketika berbai’at, maka Imam Al-Mubarakafuri
menjawab,”Hadis-hadis sebagaimana menunjukan sunahnya berjabat tangan dengan
tangan kanan ketika berbai’at, maka demikian juga menunjukan sunahnya berjabat
tangan ketika berjumpa, karena berjabat tangan ketika berjumpa dan ketika
berbai’at itu pada hakikatnya adalah sama dan tidak didapatkan dalil yang
membedakannya”. Tuhfatul Ahwadzi,VII:432
Syarah
Hadis
Berjabat tangan merupakan
sunah Rasulullah saw. walaupun pada awalnya dilakukan oleh orang-orang Yaman.
Hal ini sebagaimana hadis :
Dari
Anas bin Malik, ia berkata, “Tatkala penduduk Yaman datang, Rasulullah saw.
bersabda, “Sungguh telah datang pada kalian penduduk Yaman, mereka adalah
orang-orang yang pertama mendatangkan jabat tangan”. Sunan Abu Daud,IV:395
no.5213
Imam Ibnu Hajar
menyatakan :
Dan
dalam kitab jami’ Ibnu Wahab dari jalan ini : “Dan mereka (orang Yaman) adalah
orang yang pertama memperlihatkan berjabat tangan”. Fathul Bari,XI:64
Bahkan pada awalnya ada
diantara para sahabatnya yang beranggapan bahwa berjabat tangan itu termasuk
kebiasaan orang asing. Sebagaimana keterangan :
Telah
diriwayatkan oleh Abu Bakar Ar-Rauyani dalam musnadnya dari arah yang lain dari
Al-Bara : “Saya bertemu Rasulullah saw. kemudian beliau menjabat tangan saya.
Lalu saya berkata : ‘Ya Rasulullah, saya mengira bahwa berjabat tangan ini
termasuk cara orang ‘azam (asing). Beliau bersabda, Kami lebih berhak
(melakukan) jabat tangan”. Fathul Bari,XI:65
Dengan jawaban Nabi saw.
tersebut, maka berjabat tanga menjadi sunah Rasulullah saw. yang mesti kita
hidupkan bersama. Bahkan Rasulullah saw. pada hadis diatas menjanjikan ampunan
kepada orang yang melakukannya. Sedangkan dalam riwayat yang lain, beliau
bersabda:
Dari
Salman Al-Farisy ra. Sesungguhnya Nabi saw. bersabda, “Sesungguhnya seorang
muslim itu apabila bertemu dengan saudaranya kemudian ia memegang (menjabat)
tangannya, maka gugurlah dari mereka berdua dosa-dosanya sebagaimana daun yang
gugur dari pohon yang kering pada hari (bertiup) angin kencang. Dan melainkan
mereka berdua akan diampuni, walaupun dosa mereka sebesar (sebanyak) buih
lautan”. Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dengan sanad yang hasan. At-Targhib
Wat-Tarhib,III:291no.4119, Tuhfaul Ahwadzi,VII:429 dari Salman Al-Farisy
Tidak heran bila para
sahabat sangat antusias untuk melakukannya, hingga hal itu mejadi kebiasaan
mereka dalam kehidupannya.
Dari
Qatadah, ia berkata, “Saya bertanya kepada Anas (bin Malik), ‘Apakah jabat
tangan itu ada (dilakukan) pada sahabat-sahabat Nabi saw.? Ia menjawab, ‘Ya”. Shahih
Al-Bukhari,IV:106 no.6263
Ubaidillah bin Busr
dengan bangga menyatakan di depan para sahabatnya :
Kalian
melihat tangan saya ini, saya berjabat tangan dengan (tangan) Rasulullah saw.
(Aunul Ma’bud,XIV:80, Ibnu Abdil Barr dalam kitabnya At-Tahmid menerangkan
sanadnya sahih.
Adanya fadilah
(keutamaan) diatas bukan karena jabat tangan semata, tetapi niat dan caranya
harus benar. Sebagaimana hadis :
Dari
Abu Daud, ia berkata, “Aku bertemu dengan Al-Bara bin ‘Azib. Kemudian ia
mengucapkan salam kepadaku dan mejabat tanganku sambil tersenyum di wajahnya.
Ia berkata, ‘Apakah engkau tahu kenapa aku lakukan ini kepadamu?’. Aku
menjawab, ‘Tidak tahu, akan tetapi aku tidak melihatmu melakukannya melainkan
karena kebaikan’. Ia berkata, ‘Sungguh Rasulullah saw. pernah bertemu denganku,
lalu beliau melakukan kepadaku seperti yang aku lakukan kepadamu. Kemudian
beliau bertanya kepadaku, maka aku menjawab seperti yang kamu katakan kepadaku.
Lalu beliau bersabda, ‘Tidaklah dua orang muslim berjumpa, lalu salah seorangnya
mengucapkan salam kepada sahabatnya sambil menjabat tangannya, ia tidak
menjabatnya melainkan karena Allah Azza wa jalla. Maka keduanya tidak berpisah
melainkan akan diampuni (dosa-dosa)nya. Musnad Ahmad,IV:289 no.18571
Jabat Tangan dengan Bukan
Mahram
Haram hukumnya berjabat
tangan dengan yang bukan mahramnya, baik waktu berjumpa ataupun waktu berbai’at
(janji tha’at). Hal ini sebagaimana keterangan berikut :
Dari
‘Aisyah istri Nabi saw. berkata, “Demi Allah, tangan Rasulullah saw. tidak
pernah menyentuh tangan seorang perempuan pun, akan tetapi beliau membai’at
mereka dengan ucapan”. Shahih Al-Bukhari,III:294 no.5288; Shahih Muslim,II:206
no.1866
Umaimah
berkata sesudah mubaya’ah, “Wahai Rasulullah, tidakkah engkau mau berjabat
tangan dengan kami?”. Beliau bersabda, ‘Aku tidak berjabat tangan dengan
perempuan. Tidak ada perkataanku kepada seorang perempuan melainkan seperti
perkataanku kepada seratus perempuan”. H.r. Ath-Thabrani, Al-Mu’jamul Kabir,
XXIV:186 no.470
Dari
Ma’qil bin Yasar, ia berkata, ”Rasulullah saw. bersabda, ‘Ditusuk dengan jarum
dari besi pada kepala seorang diantara kalian lebih baik daripada menyentuh
perempuan yang tidak halal baginya”. H.r. Ath-Thabrani, Rawi-rawinya shahih,
Majma’uz Zawaid,IV:326
A.Hasan menegaskan,
“Kalau ada orang bawakan riwayat bahwa rasulullah saw. pernah berjabat tangan
dengan perempuan waktu bai’ah, ketahuilah bahwa omongan itu bohong. Tidak ada
satupun riwayat yang shah tentang Nabi saw. berjabat tangan dengan perempuan”.
Wanita Islam:112
Pada hadis diatas
dianyatakan bahwa Rasulullah saw. membai’at perempuan hanya dengan ucapan tanpa
berjabat tangan sebagaimana yang biasa dilakukannya kepada laki-laki. Bahkan
‘Aisyah ra yang meriwayatkan hadis tersebut menyatakan (Wallahu) (Demi Allah)
sebagai penguat terhadap berita tersebut.
Ada satu hadis yang
diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Ummu ‘Athiyah yang menyatakan bahwa
perempuan-perempuan pernah berbai’at (janji ta’at) kepada Rasul dengan
perantara Umar. Pada hadis itu dinyatakan :
Kemudian
ia menjulurkan tangannya dari luar pintu atau rumah dan kami pun menjulurkan
tangan-tangan kami dari dalam rumah. Tafsir Ath-Thabrani, XXVIII:81
Ini bukan berjabat
tangan, tetapi sebagai seorang pemimpin menjulurkan diatas podium dan
pengikutnya menjulurkan tangan mereka dari bawah ketika mengadakan perjanjian
tha’at atau satu kesanggupan.
Dalam buku yang berjudul
“WANITA ISLAM” buah karya A.Hasan dikutip munazarahnya (tukar pikirannya)
dengan Al-Ustadz Hasbi Ash-Shiddieqy. Pada buku tersebut A.Hasan membantah
Al-Ustadz Hasbi yang dimuat dalam harian Suara Ummat Yogyakarta tertanggal 22
Juni, 13 dan 20 Juli 1956 yang masing-masing berjudul “Qiyas Tarjih yang Tidak
Rajih”, “Istilah hukum yang Tidak Tepat” dan Istinbath Hukum Yang Tidak Tepat”.
Yang pada intinya A.Hasan mengharamkan berjabat tangan yang bukan mahram.
Sedangkan Al-Ustadz Hasbi membolehkannya.
Munazarah-nya disusun
secara alfabet dari mulai “A” sampai “Z” pada bagian “U” tuan Hasbi menulis :
Alusie sebut dalam tafsirnya, bahwa Nabi menjabati tangan wanita dengan berlapis
kain, dan Alusie berkata, bahwa orang yang berpegang kepada riwayat itu
berkata, “Mubaya’ah Rasulullah dengan perempuan-perempuan itu bukan dengan
omongan saja, bahkan dengan berjabat tangan.
Saya (A.Hasan) jawab :
Alusie bawakan riwayat itu dengan tidak menunjukan shahnya. Oleh yang demikian
sudah tentu alasan yang begini tidak boleh dimasukkan didalam medan munarah
sebagai pokok. Cobalah Tuan Hasbi berusaha menunjukan sahnya riwayat itu lebih
dahulu. Tuan Hasbi tahu betul-betul, bahwa sesduah membawakan riwayat yang
tidak bersanad itu Alusie sendiri berkata :
Pendapat
yang paling masyhur yang dijadikan pegangan ialah bahwa tidak ada jabat tangan.
Perkataan Alusie tersebut
Tuan Hasbi tidak nukil, padahal perkataan orang yang memfatwakan tidak haram lihat
aurat perempuan walaupun dengan syahwat itu ia tonjolkan kepada umum.
Pendeknya, tidak perlu
kita hiraukan riwayat-riwayat yang mengatakan :
a.
Rasulullah
saw. mubaya’ah dengan berlapis kain.
b.
Umar
bermubaya’ah dengan mushafahah.
c.
Rasulullah
saw. bermubaya’ah dengan bermasuk tangan didalam air.
d.
Dan
lain-lain
Kecuali kalau Tuan Hasbi
terangkan rawi-rawinya yang biasa dipercaya.
Jangan Tuan Hasbi minta
hadis yang shahih dan qath’i dari orang lain. Sedangkan ia sendiri bawakan
riwayat-riwayat rombongan. Wanita Islam:157
Jabat Tangan dengan Anak
Kecil
Imam Al-Bukhari membuat
bab dalam kitabnya Al-Adabul Mufrad bab berjabat tangan dengan anak kecil.
Dibawah bab tersebut
beliau bawakan sebuah hadis :
Dari
Salamah bin Wardan, ia berkata, “Saya melihat Anas bin Malik menjabat tangan
orang-orang. Kemudian ia bertanya kepadaku, ‘Siapa kamu?’ Aku menjawab, ‘Anak
laki-laki Bani Laits’. Kemudian ia mengelus kepalaku tiga kali seraya berdoa,
‘Semoga Allah memberikan berkah kepadamu’”. Al-Adabul Mufrad:286 no.966
Jabat Tangan Setelah
Shalat
Berjabat tangan yang
disunahkan menurut hadis-hadis diatas ialah jabat tangan ketika berjumpa dan
berbai’at. Adapun berjabat tangan ketika selesai shalat berjama’ah yang sering
dilakukan oleh sebagian kaum muslimin, tidak ada satupun hadis yang
menerangkannya. Siapa yang melakukannya dengan keyakinan bahwa berjabat tangan
tersebut merupakan amalan yang berkaitan dengan ibadah shalat atau rangkaian
ibadah shalat tersebut, maka jelaslah bahwa hal itu termasuk bid’ah, karena
Rasulullah saw. dan para sahabatnya tidak pernah melakukannya.
Walaupun berjabat tangan
itu merupakan kegiatan yang positif untuk menambah erat silaturrahmi, akan
tetapi bila salah menempatkannya, maka justru akan terjerumus kedalam jurang
perbid’ahan.
Al-‘Alamah Ali Al-Qary
menyatakan dalam syarah Musykat :
“Sesungguhnya
tempat berjabat tangan yang disyariatkan ialah pada awal pertemuan.
Kadang-kadang sekelompok orang saling bertemu dengan tidak berjabat tangan dan
mereka asyik bercakap-cakap dan membicarakan tentang ilmu dan lain-lain dengan
menghabiskan waktu yang panjang. Kemudian apabila mereka telah selesai shalat,
mereka saling berjabat tangan. Maka bagaimana termasuk yang disyari’atkan?.
Oleh karena itu, sehingga ulama kami menerengkan bahwa hal itu tidak disenangi
(dibenci). Termasuk bid’ah-bid’ah yang yang tercela.” Aunul Ma’bud,XIV:81,
Tuhfatul Ahwadzi,VII:427
Imam An-Nawawi didalam
kitabnya Al-Adzkar menyatakan : Ketahuilah sesungguhnya berjabat tangan ini
mustahabah (sunat) ketika setiap kali berjumpa. Adapun apa yang dibiasakan
orang dari berjabat tangan setelah dua shalat, yaitu Shubuh dan Ashar, maka
tidak ada dasar (keterangan) dalam syara dari hal itu, akan tetapi tidak
apa-apa. Karena berjabat tangan itu asalnya sunat. Al-Adzkar:227
Syekh Al-Imam Muhammad
bin Abdussalam rhm. dalam kitabnya Al-Qowaid menerangkan bahwa bid’ah itu
terbagi lima bagian, yaitu : wajib, haram, makruh, sunat dan mubah. Dan yang termasuk
contoh bid’ah-bid’ah mubah ialah berjabat tangan setelah selesai shalat Shubuh
dan Ashar. Al-Adzkar:227
Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah
menegaskan :
“Dan
yang dikatakan oleh Ali Al-Qary (diatas) dialah yang hak dan yang benar.
Sedangkan perkataan An-Nawawi adalah salah. Dan pembagian bid’ah kepada lima
bagian sebagaimana pendapat Imam Ibnu abdis-Salam dan diikiuti oleh Imam
An-Nawawi telah dicela oleh sekelompok ulama muhaqiqin. Diantara yang paling
akhir ialah guru kami Al-Qadhi al’Alamah Basyiruddin Al-Qinnaujiy rhm. ia telah
menolaknya dengan penolakan yang keras. Aunul Ma’bub,XIV:82
Imam Al-Hafidz Al-Mubarakafuri
menambahkan :
“Sungguh
Al-Qadhi Asy-Syaukani telah mengingkari juga atas pembagian bid’ah kepada lima
bagian dalam kitabnya Nailul Authar,II:64. Tuhfatul Ahwadzi,VII:427
Dengan
keterangan-keterangan diatas jelaslah bahwa hukum berjabat tangan setelah
shalat hukumnya bid’ah dan setiap bid’ah adalah zhalalah (sesat). Sebagaimana
sabdanya :
Sesungguhnya
sebaik-baik perkataan ialah kitab Allah dan sebaik-baik petunjuk ialah petunjuk
Muhammad. Sejelek – jelek urusan ialah diada-adakan dan setiap bid’ah adalah
sesat”. Shahih Muslim,I:380 no.867 dari jabir bin abdillah r.a.
Dengan demikian,
melakukan berjabat tangan setelah selesai shalat bukan akan menghapus dosa
sebagaimana hadis diatas, akan tetapi justru menjerumuskan diri kedalam
kesesatan dan dosa.
Wallahu
a’lam bish-Shawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar