ust. Aris Saptiono |
UPAYA PENGGUNAAN MESJID SEBAGAI
PEMBINAAN UMAT
Tidaklah
pantas orang-orang musyrik itu memakmurkan mesjid-mesjid Allah, padahal mereka
sendiri mengakui kekufuran mereka. Mereka itulah orang-orang yang sia-sia
setiap amalnya dan akan kekal didalam neraka. Yang akan memakmurkan
mesjid-mesjid allah, hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah swt. iman
kepada hari akhir, medirikan salat, mengeluarkan zakat dan tidak takut (kepada
apapun dan siapapun) selain kepada Allah, oleh karena itu, mudah-mudahan mereka
termasuk orang-orang yang terpimpin. Q.S. At-Taubah:17-18
Sababunnuzul
Ayat
Diriwayatkan
bahwa skelompok pemimpin Quraisy pernah ditawan setelah usai perang Badar.
Diantara mereka ada Al-Abbas bin Abdul Muthalib. Setelah mereka ditawan,
datanglah beberapa orang sahabat Rasulullah saw. menemui mereka dan mencela kesyirikan
mereka, Ali bin Abi Thalib pun tidak ketinggalan mencela (pamannya) Al-Abbas
karena memerangi Rasulullah dan memutuskan silaturrahmi. Mendengar celaan
mereka Al-Abbas tidak terima dan berkata, “Mengapa kalian hanya menyebut-nyebut
kejelekan kami (Musyrikin Quraisy) dan menutup-nutupi segala kebaikan kami?”
Ali balik bertanya, “Benar kalian punya kebaikan-kebaikan?” Al-Abbas menjawab,
“Ya, kamilah yang memakmurkan Masjidil Haram, memutupi Ka’bah (dengan kiswah),
menyediakan air bagi yang beribadah haji, dan membebsakan para tawanan”.
Setelah kejadian ini, turun ayat
At-Taubah ayat 17, yang berkenaan dengan amal kaum musyrikin tersebut. (As-shabuni,I:520) dan pada ayat
selanjutnya (At-Taubah:18), Allah swt. menjelaskan kriteria orang-orang yang
layak memakmurkan mesjid-mesjid Allah swt.
Tafsir
Ayat
Dalam perjalanan sejarahnya
keberadaan mesjid merupakan tempat yang sangat penting untuk membangun
masyarakat yang berkualitas. Maka perlu kita benahi sekarang ini adalah
mengupayakan agar mesjid menjadi pusat pembinaan umat ini benar-benar berfungsi
sebagai wahana pembinaan umat.
Orang-orang yang mampu memakmurkan
mesjid dengan kriteria seperti ayat diatas, bisa benar-benar tercetak bila
mesjid yang menjadi pusat penggemblengannya tertata rapi, terorganisasi,
dipenuhi oleh orang-orang yang berkeinginan untuk memelihara dan memakmurkan
mesjid, bukan sebaliknya malah mencari kemakmuran dari mesjid. Dengan kata lain
sangat bergantung kepada penerapan pengelolaan yang termasuk dalam perintah Allah
swt., sebagaimana tersebut pada ayat diatas. Makna memakmurkan mesjid pada ayat
diatas, juga berarti mengelola, mengurus dan melaksanakan segala kegiatan
mesjid. Maka dalam hubungan inilah diperlukan penjelasan yang lebih jelas lagi,
seperti dinyatakan dalam firman Allah swt. (Q.S. At-Taubah:108), “Mesjid dibangun atas dasar takwa semenjak
permulaananya, lebih berhak jika kamu berdiri didalamnya”. Ini menegaskan
hendaknya mesjid didirikan atas dasar takwa, yang tentu juga harus berdasarkan
keimanan dan ilmu, termasuk didalamnya terampil dalam mengelola dan
memakmurkannya.
Cara memakmurkan mesjid ada dua
macam, ada secara hissiyah dan secara
maknawiyyah. Secara hissiyyah dengan cara membangun dan
memelihara dan secara maknawiyyah
mengisinya dengan salat dan dzikir kepada Allah swt. hal ini dapat diketahui
dengan penjelasan Allah swt. pada ayat diatas yang mengaitkan pemakmuran mesjid
dengan keimanan. Oleh karena itu, didalam satu hadis yang diriwayatkan oleh
Imam Ahmad dan Baihaqi, Rasulullah saw., pernah bersabda,
Apabila
kalian melihat seseorang yang hatinya terkait di mesjid, maka persaksikanlah
dengan keimanannya. Shifwat At Tafsir,I:527.
Bagi pemakmur-pemakmur mesjid yang
memakmurkannya baik secara hissiyyah
ataupun maknawiyyah dengan memenuhi
kriteria yang digariskan pada riwayat diatas, terdapat beberapa keterangan dari
Rasulullah saw., tentang penghargaan dan pahala yang akan mereka peroleh di
dunia dan akhirat.
Khatimah
Jika kita menengok ke belakang kepada
perjuangan Rasulullah saw. dalam membangun, membina dan manata umat, beliau
tidak memulai perjuangan dari pembangunan mesjid yang megah, pesantren dan
sarana-sarana lainnya, akan tetapi beliau memulai perjuangannya dengan
membangun diri-diri pemakmur mesjid. Dengan kata lain, beliau mendahulukan
pembangunan sumber daya manusianya dari pada sarana- sarana penunjang
perjuangannya.
Sejarahpun mencatat, di Mekkah
Rasulullah saw. tidak mendirikan satu bangunan apapun, tetapi beliau membina
sahabat-sahabatnya di rumah Al-Arqam bin Abi Arqam. Dan baru di Madinahlah
beliau mendirikan sebuah mesjid yang sederhana, karena pemakmurnya sudah
dipersiapkan.
Hanya yang patut disayangkan dewasa
ini, tidak sedikit saudara kita yang lebih mementingkan dan mendahulukan
membangun sarana-sarana peribadatan dan pendidikan tanpa terlebih dahulu
memikirkan siapa pengisi dan pemakmurnya. Akibatnya dapat kita lihat berapa
banyak mesjid yang berdiri megah dengan tidak jelas siapa imamnya, dan tidak
sedikit pesantren yng dibangun mentereng dengan asatidz yang kurang
berkualitas. Ini adalah tugas kita semua untuk memecahkannya.
Sebagai akhir tulisan ini, ada
baiknya kita perhatikan perkataan Ibnu Abbas setelah beliau memahami secara
mendalam akan arti dan tujuan ayat diatas. Beliau berkesimpulan, “Barangsiapa yang mendengar adzan untuk
salat, ia tidak menjawab dan tidak pergi ke mesjid, tetapi ia malah salat di
rumahnya, maka tidaklah sempurna salatnya dan ia telah maksiat terhadap Allah
swt. dan Abul Qasim”. H.R. Muslim.
Wallahu
a’lam bish-shawab
Assalamu 'alaikum pa ustazd,saya mohon komentarnya dari bapak,saya baca dari hadist2 yang akan saya lampirkan mengenai sebenarnya wajibnya laki-laki untuk berjamaah di mesjid bagi tidak ada udzur yang di bolehkan oleh syara'. Apakah pengertian laa sholata diterjemahkan menjadi tidak sempurna sholatnya merupakan merupakan penghalusan bahasa sehingga kita punya alasan untuk bisa sholat fardhu di rumah karena kalau saya perhatikan hadist di bawah ini Nabi Muhammad SAW agak marah tatkala ada orang mencari alasan untuk tidak berjamaah di mesjid seperti berikut ini:
BalasHapusHadits 1:
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Telah datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seorang lelaki buta, kemudian ia berkata, 'Wahai Rasulullah, aku tidak punya orang yang bisa menuntunku ke masjid, lalu dia mohon kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar diberi keringanan dan cukup shalat di rumahnya.' Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan keringanan kepadanya. Ketika dia berpaling untuk pulang, beliau memanggilnya, seraya berkata, 'Apakah engkau mendengar suara adzan (panggilan) shalat?', ia menjawab, 'Ya.' Beliau bersabda, 'Maka hendaklah kau penuhi (panggilan itu)’. (HR. Muslim)
Pada hadits tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap memerintahkan seorang laki-laki yang buta yang tidak memiliki penuntun untuk tetap shalat berjama’ah di masjid. Maka bagaimana dengan kita yang masih bisa melihat dengan jelas? Tentu lebih diwajibkan lagi.
Hadits 2:
“Aku pernah berniat memerintahkan shalat agar didirikan kemudian akan kuperintahkan salah seorang untuk mengimami shalat, lalu aku bersama beberapa orang sambil membawa beberapa ikat kayu bakar mendatangi orang-orang yang tidak hadir dalam shalat berjama'ah, dan aku akan bakar rumah-rumah mereka itu.” (Muttafaq 'alaih)
Pada hadits di atas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengancam dengan tegas akan membakar rumah orang-orang yang tidak hadir shalat berjama’ah. Maka ancaman tegas dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut menunjukkan wajibnya shalat berjama’ah di masjid bagi seorang laki-laki.
Hadits 3:
Dari Ibnu Abbas, bahwasanya Nabi shallallaahu alaihi wasallam bersabda, 'Barangsiapa mendengar panggilan adzan namun tidak mendatanginya, maka tidak ada shalat baginya, terkecuali karena udzur (yang dibenarkan dalam agama)'. (HR. Abu Daud, Ibnu Majah dan lainnya, hadits shahih)
Pada hadits tersebut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan “tidak ada shalat baginya”, hal ini menunjukkan wajibnya memenuhi panggilan adzan bagi setiap laki-laki yang mendengarnya, yaitu dengan mendatangi masjid untuk shalat berjama’ah.
Terima Kasih atas penjelasannya
Muhammad bin ‘Asyur, seorang ulama besar kontemporer serta Mufti Tunisia yang telah diakui otoritasnya oleh dunia Islam, menjelaskan bahwa ucapan dan sikap Rasulallah Saw tidak selalu harus dipahami sebagai ketetapan hukum, menurutnya adalah dua belas macam tujuan ucapan dan sikap Rasulallah Saw, salah satunya adalah al-hadyu wa al-irsyadu (tuntunan dan petunjuk), boleh jadi Nabi Saw memerintah atau melarang, tetapi tujuannya bukan harus melaksanakan itu, melainkan tujuannya adalah tunutunan ke jalan-jalan yang baik. Banyak Hadis Nabi Saw yang merupakan perintah, tetapi perintah dalam arti “sebaiknya” bukan seharusnya. Bagaimana dengan hadis-hadis tentang perintah shalat berjamaah? Wallahu’alam, semoga termasuk dalam arti “sebaiknya”. Karena jujur saja saya selama ini banyak juga shalat di rumah.
BalasHapus