Bp. Aris Saptiono |
SEJARAH & SYARIAH ZAKAT FITRAH
Selama 13 tahun hidup di Mekah
sebelum hijrah, Nabi Muhamad telah 13 kali mengalami Ramadhan, yaitu dimulai
dari Ramadhan tahun ke-41 kelahiran Nabi yang bertepatan bulan Agustus 610 M,
hingga Ramadhan tahun ke-53 dari kelahirannya yang bertepatan dengan bulan
April tahun 622 M. Namun selama waktu itu belum disyariatkan kewajiban
mengeluarkan zakat fitrah bagi kaum muslimin, dan demikian pula dengan syariat
Iedul fitrinya.
Setelah Nabi hijrah ke Madinah, dan
menetap selama 17 bulan di sana, maka turunlah ayat 183-184 al-Baqarah pada
bulan Sya’ban tahun ke-2 H, sebagai dasar disyariatkannya shaum bulan Ramadhan.
Tak lama setelah itu, dalam bulan Ramadhan tahun itu pula mulai diwajibkan
zakat kepada kaum muslimin. (Lihat, Tawdhiih Al-Ahkaam Syarh Bulugh
Al-Maraam, III:371) Zakat ini kemudian populer di kalangan kita dengan
sebutan zakat fitrah atau zakat fitri.
Sehubungan dengan kewajiban itu,
Ibnu Umar menjelaskan:
“Sesungguhnya Rasulullah saw. telah mewajibkan zakat fitrah
pada bulan Ramadhan atas orang-orang sebesar 1 sha’ kurma, atau 1 sha’ gandum,
wajib atas orang merdeka, hamba sahaya, laki-laki dan perempuan, dari kaum
muslimin.” (HR. Muslim, Shahih Muslim,
II:678, No. hadis 984, Malik, Al-Muwatha,
I:284, No. hadis 626, An-Nasai, As-Sunan
Al-Kubra, II:25, No. 2282, Al-Hakim, Al-Mustadrak ‘Alas Shahihain, I:569, No. hadis 1494, Al-Baihaqi,
As-Sunan Al-Kubra, IV:161, No.
hadis 7476, IV:166, No. hadis 7492; Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah, IV:83, No. hadis 2399, Ibnu Hibban, Shahih Ibnu Hibban, VIII: 94, No.
hadis 3301)
Hadis di atas diriwayatkan pula oleh
Al-Bukhari (Shahih Al-Bukhari, II:547, No. hadis 1433), Ahmad (Musnad
Ahmad, II:137, No. hadis 6214), Abu Dawud (Sunan Abu Dawud, II:112,
No. hadis 1611), dan At-Tirmidzi (Sunan At-Tirmidzi, III:61, No. hadis
676) dengan sedikit perbedaan redaksi.
Pengertian Zakat Fitrah atau Fitri
A.Pengertian Zakat
Zakat berasal dari kata zakaa yang berarti suci, baik, berkah,
tumbuh, atau berkembang. Kata itu mengacu pada kesucian diri yang diperoleh
setelah pembayaran zakat dilaksanakan. Itulah kebaikan hati yang dimiliki
seseorang manakala ia tidak bersifat kikir dan tidak mencintai harta
kekayaannya semata-mata demi harta itu sendiri.
Sedangkan secara istilah para ulama
fiqih telah menjelaskan pengertian
zakat sebagai berikut:
“Zakat adalah mengeluarkan bagian yang khusus dari harta
yang khusus dengan ketentuan yang khusus bagi mustahiqnya”.
Dengan perkataan lain, zakat adalah
nama bagi sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah swt. untuk dikeluarkan
dan diberikan kepada yang berhak menerimanya dengan persyaratan tertentu pula.
Firman Allah Swt.:
"Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan
zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya
doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui." QS. At-Taubah:103
Maksud zakat membersihkan itu adalah
membersihkan mereka dari kekikiran dan cinta yang berlebih-lebihan kepada harta benda. Sedangkan
maksud zakat menyucikan itu adalah menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati
mereka dan mengembangkan harta benda mereka.
B. Pengertian Fitrah atau Fitri
Meski di dalam hadis-hadis Nabi Saw.
penyebutan zakat ini lebih populer dengan istilah zakat fitri, namun terkadang
digunakan pula istilah zakat fitrah, dan barangkali sebutan ini yang lebih
populer di kalangan kita. Untuk mempertegas peristilahan itu barangkali penting
pula untuk dianalisa latar belakang pembentukannya.
(a) Zakat Fitrah
Dalam Alquran kata fitrah dalam
berbagai bentuknya disebut sebanyak 28 kali, 14 di antaranya berhubungan
dengan bumi dan langit. Sisanya berhubungan dengan penciptaan manusia, baik
dari sisi pengakuan bahwa penciptanya adalah Allah, maupun dari segi uraian tentang
fitrah manusia. Sehubungan dengan itu Allah berfirman pada surat Ar-Rum ayat
30:
“Maka hadapkanlah dirimu dengan lurus kepada agama itu,
yakni fitrah Allah yang telah menciptakan manusia atas fitrah itu. Tidak ada
perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia
tidak mengetahuinya.”
Pada ayat lain diterangkan
kronologis peristiwanya:
“dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan
anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa
mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka
menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi". (kami
lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan:
"Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini
(keesaan Tuhan)" (QS. Al-A’raf:172)
Peristiwa ini memberikan gambaran
bahwa sejak diciptakan manusia itu telah membawa potensi beragama yang lurus,
yaitu bertauhid (mengesakan Allah). Keadaan inilah yang disebut al-fitrah.
Sehubungan dengan itu Nabi saw. bersabda:
“Setiap anak dilahirkan atas fitrahnya, maka kedua orang
tuanya yang menjadikan dia Yahudi, Nashrani, atau Majusi…” (HR.
Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari,
I:465, No. hadis 1319)
Berdasarkan pemaknaan kata Fitrah di
atas, maka kita dapat memahami bahwa zakat ini disebut zakat fitrah karena
zakat ini merupakan shadaqah (bukti kebenaran) dari badannya dan kefitrahan pada jasadnya.
(Lihat, Syekh Athiyyah Muhammad Saalim, Syarh Bulugh Al-Maraam, juz 4,
hlm. 135)
(b) Zakat Fitri
Kata fitr makna asalnya adalah robek
atau terbelah, sebagaimana dalam ungkapan Fathara Naabul Ba’iir, artinya
terbelah tempat taringnya untuk tumbuh. Pemaknaan itu digunakan pula dalam
firman Allah Swt.
إِذَا السَّمَاءُ انْفَطَرَتْ
“Apabila langit terbelah.” (QS.
Al-Infithar, :1)
Berdasarkan pemaknaan kata Fitri di
atas, maka kita dapat memahami zakat ini disebut zakat fitri karena seakan-akan
orang yang shaum “merobek atau membelah” masa shaumnya dengan makan.
Dengan demikian, zakat ini disebut
zakat fitri karena yang menjadi sebab pensyariatannya adalah berbuka dari shaum
pada bulan Ramadhan, penisbatan zakat kepada kata fitri merupakan bentuk
penyebutan akibat (Musabbab) dengan menggunakan kata sebab (Sabab).
(Lihat, Tawdhiih Al-Ahkaam Syarh Bulugh Al-Maraam, III:371)
Ketentuan Zakat Fitrah
Pada tahun ke-2 hijriah itu, selain
menyebut istilah, Nabi saw. pun menetapkan beberapa aturan zakat yang amat
penting diperhatikan oleh kaum muslimin, sebagai berikut:
Pertama, muzakki Zakat Fitrah/yang
terkena kewajiban
Zakat fitrah wajib dikeluarkan oleh
setiap orang muslim. Bagi mereka yang berada dibawah tanggungan orang lain,
maka zakatnya menjadi kewajiban penanggungnya, baik ia seorang pembantu rumah
tangga, seorang dewasa, ataupun seorang kanak-kanak, bahkan bayi yang telah
bernyawa, yang masih didalam rahim, semuanya wajib mengeluarkan zakat
fitrahnya, baik dari hartanya sendiri, ataupun oleh penanggung yang bertanggung
jawab atasnya.
Di dalam hadis diterangkan:
Ibnu Umar mengatakan, "Rasulullah saw. mewajibkan zakat
fitrah satu sha' dari kurma, atau satu sha dari syair (gandum) atas hamba
sahaya, orang yang merdeka, laki-laki perempuan, anak kecil dan dewasa dari
kalangan muslimin. Dan beliau memerintahkan untuk ditunaikan sebelum
orang-orang keluar melaksanakan shalat ied. (HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, II:547, No. hadis
1432)
Dalam riwayat lain diterangkan oleh
Al-Hasan Al-Bishri:
“Ibnu Abbas berkhutbah di hadapan orang-orang pada akhir bulan Ramadhan,lalu ia berkata, ‘Wahai penduduk Bashrah, keluarkanlah zakat shaum kalian (zakat fithrah).’ Ia (Humaid Ath-Thawil) berkata,‘Maka orang-orang saling memandang satu dengan yang lainnya. ’Ibnu Abbas melanjutkan perkataannya, ‘Siapakah di sini yang berasal dari Madinah? Bangunlah,ajarkanlah saudara-saudara kalian, karena sesungguhnya mereka tidak mengerti bahwa Rasulullah saw. mewajibkan zakat kepada setiap budak,orang merdeka,laki-laki dan wanita pada bulan Ramadlan sebanyak setengah sha' gandum, atau satu sha' tepung, atau satu sha' kurma. (HR. Ahmad, Musnad Ahmad, I:351, No. hadis 3291)
Pada riwayat yang lain dengan
redaksi:
“bahwa Rasulullah saw. telah mewajibkan zakat fitri atas anak kecil dan orang dewasa, yang merdeka dan hamba sahaya, lelaki dan perempuan, sebanyak setengah Sha' gandum atau satu Sha' kurma atau sya'ir (jenis gandum)."(HR.AnNasai, Sunan AnNasai, III:190, No. hadis 1580, V:52, No. hadis 2515, As-Sunan AlKubra, II:28, No. hadis 2292; Ad-Daraquthni, Sunan Ad-Daraquthni, II:152, No. hadis 65)
Kata Ash-Shagiir (anak kecil)
mencakup di dalamnya bayi yang masih berada didalam kandungan ibunya apabila
usia kandungan itu telah mencapai umur 120 hari atau empat bulan. Sehubungan
dengan itu Usman bin Afan membayar zakat fitrah bagi anak kecil, orang dewasa
dan bayi dalam kandungan sebagaimana diriwayatkan Ibnu Abu Syaibah
“Sesungguhnya Usman bin Afan memberikan zakat fitrah dari
bayi yang dikandung.” (Mushannaf Ibnu Abu Syaibah,
II:432, No. 10.737)
Demikian pula dengan para sahabat
lainnya, sebagaimana diterangkan oleh Abu Qilabah.
“Dari Abu Qilabah, ia berkata, “Adalah menjadi perhatian
mereka (para sahabat) untuk mengeluarkan/memberikan zakat fitrah dari anak
kecil, dewasa, bahkan yang masih dalam kandungan.” (HR.Abdurrazaq, al-Mushannaf, III:319, No. hadis
5788)
Kedua, Mustahiq/Masharif (Sasaran)
Zakat
Menurut Alquran, sasaran zakat atau
yang lebih populer dengan sebutan mustahik (yang berhak menerima zakat) ada 8 ashnaf
(golongan). Firman Allah Swt.:
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang
fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk
hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan
Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan
yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS.
At-Taubah:60)
Bila ayat di atas kita perhatikan
secara seksama, setidaknya ada dua hal yang perlu digaris bawahi; Pertama, kriteria ashnaf itu sendiri. Kedua,
ushlub (gaya bahasa) Alquran dalam mengungkap sasaran zakat.
A. Kriteria Ashnaf
1. Fuqara (Fakir)
Orang yang tidak mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi
kebutuhan hidupannya (primer).
2. Masakin (Miskin)
Orang yang mempunyai harta dan tenaga, tapi tidak mencukupi
keperluan hidupnya (primer).
3. Amilin
Orang yang bertugas untuk mengumpulkan dan membagikan zakat.
4. Mu'allaf
a. Orang kafir yang ada harapan masuk
Islam
b. Orang yang baru masuk Islam yang
imannya masih lemah
5. Riqab
Orang yang memerdekakan hamba sahaya.
6. Gharimin
Orang yang berhutang karena untuk kepentingan yang bukan
ma'siatan dan tidak sanggup membayarnya.
7. Sabilillah
Orang yang bersungguh-sungguh dalam menegakkan ajaran Islam
(memelihara berlakunya kebenaran, kebaikan, dan keutamaan akhlak)
8. Ibnu Sabil
Orang yang kehabisan bekal di tengah perjalanan, walaupun ia
orang kaya di negerinya.
B. Ushlub (Gaya Bahasa)
Alquran
Dalam mengungkap sasaran zakat di
atas Alquran menggunakan ushlub (gaya bahasa) sastra yang tinggi
nilainya, yaitu pada ayat di atas terdapat dua huruf yang masing-masing mengiringi
empat ashnaf pertama dan empat ashnaf kedua, yakni laam/li
dan fie. Huruf laam mengiringi kalimat: al-fuqara, al- masakin, al-’amilin,
dan al-muallaf qulubuhum (empat ashnaf pertama). Sedangkan huruf fie
mengiringi kalimat: ar-riqab,
al-gharimin, sabilillah, dan ibnus sabil (empat ashnaf
kedua).
Penempatan kedua huruf tersebut
tentunya bukan suatu kebetulan, tetapi pasti mengandung nuktah (rahasia
halus) yang harus dikaji secara mendalam. Dan menurut hemat kami, penempatan
kedua huruf tersebut mengandung arti bahwa empat ashnaf yang pertama
adalah para pemilik dari zakat tersebut, dalam arti mereka berhak mendapat
bagian untuk dirinya sendiri.
Sementara empat ashnaf yang
kedua mereka berhak menerima zakat untuk kemaslahatan yang berkaitan erat
dengan “acara” mereka. Seperti al-gharimun (orang yang berhutang),
mereka mendapat bagian dari zakat bukan untuk dimiliki secara pribadi, tetapi
untuk diserahkan kepada orang yang menghutangkannya, sehingga mereka terbebas
dari hutang itu. Demikian pula dengan fie sabilillah, mereka mendapat bagian
dari zakat bukan semata-mata kepentingan pribadinya melainkan tugas dan
tanggung jawab dalam mengemban amanah Islam, yaitu untuk memelihara berlakunya
kebenaran (al-haq), kebaikan, dan kesempurnaan akhlak. Dengan perkataan lain,
untuk menegakkan agama Islam.
Berdasarkan uraian di atas maka
dapat diambil kesimpulan bahwa secara garis besar sasaran zakat itu ada dua
bagian:
Bagian pertama ialah ashnaf yang
terdiri dari mereka yang boleh menerima zakat untuk dirinya sendiri, yaitu al-fuqara, al-masakin, al-amilin, dan al-muallaf qulubuhum.
Sedangkan bagian kedua ialah ashnaf yang terdiri dari orang-orang yang berhak
menerima zakat bukan semata-mata kepentingan pribadi melainkan untuk
kemaslahatan “acara” mereka, yaitu ar-riqab, al-gharimin, sabilillah, dan
ibnus sabil.
Lebih jauh Imam az Zamakhsyari
berpandangan bahwa perpindahan dari “li” pada empat ashnaf
pertama kepada “fie” pada empat ashnaf kedua mengandung rahasia,
yaitu untuk memberitahukan bahwa empat golongan kedua ini lebih layak untuk
diprioritaskan daripada empat golongan pertama, sebab “fie” merupakan
wadah untuk menampung, yang dengan itu Allah mengingatkan bahwa mereka lebih
berhak atasnya dan menjadikannya sebagai tempat harapan untuk mewujudkan
kemaslahatan kaum muslimin secara umum.
Masalah sasaran zakat telah selesai
kita bahas. Masih ada masalah yang mesti kita kaji, yaitu wajibkah amil
mendistribusikan zakat atau muzakki (wajib zakat) menyerahkan zakat kepada
semua ashnaf yang delapan, dan menyamaratakan prosentase zakat yang
dibagikan di antara mereka?
Hemat kami, semua harta zakat boleh
diberikan kepada sebagian sasaran tertentu saja untuk mewujudkan kemaslahatan
yang sesuai dengan syara. Disamping itu tidak ada kewajiban untuk
menyamaratakan pemberian tersebut kepada individu yang diberinya, tapi boleh
melebihkan prosentase bagian yang satu dengan yang lainya sesuai dengan
kebutuhan, karena kebutuhan itu berbeda antara yang satu dan yang lainya.
Adapun landasan syariatnya adalah sebagai berikut :
1. Dari Hudzaifah, ia berkata, “Apabila
engkau memberikan zakat pada satu sasaran saja, maka hal itu cukup bagimu.”
(Tafsir Ath-Thabari ,VI : 404).
2. Ibnu Abas berkata, “Apabila
engkau memberikan zakat pada satu sasaran dari sasaran zakat, maka hal itu
cukup bagimu. sedangkan Firman Allah : “Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah
untuk para fakir......”, maksudnya agar zakat itu jangan diberikan kepada
yang selain sasaran tersebut.”
3. Pendapat di atas juga menjadi
pegangan Umar bin Khatab, Sa’id bin jabir, ‘Atha, Abul ‘Aliyyah, dan Ibrahim
an-Nakha’i (Tafsir Ath-Thabari, Ibid.,)
4. Abu Tsaur berkata, “menurut
pendapat kami, permasalahan pembagian zakat, tidaklah ada, kecuali berdasarkan
ijtihad penguasa, maka mana diantara sasaran itu yang menurut penguasa lebih banyak
jumlahnya dan lebih membutuhkan, itulah yang harus diutamakan. Dan
mudah-mudahan dari tahun ke tahun zakat itu berpindah dari satu sasaran kepada
sasaran lain. Sasaran yang lebih membutuhkan dan lebih banyak jumlahnya,
senantiasa harus didahulukan dimanapun mereka berada.” (Fiqh Az-Zakah, Dr.
Yusuf Al-Qardhawi, hlm. 667).
5. kebolehan memberikan zakat pada
seorang mustahiq dari satu sasaran tidak ada bantahan dan tidak pula termasuk
syubhat. Adapun kalimat tu’matan lil masakin yang berkaitan dengan
zakat fitrah, atau turadduna ila fuqaraihim yang berkaitan dengan zakat
mal, sebagaimana yang diungkapkan oleh hadis Rasul, maka hal itu bukanlah takhshish
(pengkhususan), melainkan tanshish (penekanan/prioritas) yang bersifat
kondisional.
6. Adapun tentang prosentase Ibnu
Qudamah menjelaskan:
“Dan jika pada salah satu terkumpul beberapa sebab yang
menghendaki (melegitimasi) pengambilan zakat berdasarkan sebab itu, maka ia
boleh diberi berdasarkan sebab itu. Misalkan amil yang faqir, ia punya hak
mengambil bagian zakatnya. Jika tidak dapat menutupi kefakirannya, ia berhak
mengambil pula untuk dapat memenuhi keperluannya itu (sebagai hak faqir). Maka
jika dia sebagai prajurit (fi sabilillah), ia punya hak mengambil bagian zakat
untuk keperluan perangnya. Dan jika dia seorang gharim ia punya hak mengambil
bagian zakat untuk melunasi hutangnya. Karena tiap-tiap sebab itu ditetapkan
hukumnya berdasarkan sebab masing-masing (bukan karena sama orangnya, tapi
karena beda sebabnya). Adanya satu sebab tidak menghalangi tetapnya hukum atas
sebab yang lain.” (Lihat, Al-Mughni,
V:223)
Adapun hadis yang menyatakan:
“Rasulullah saw. mewajibkan zakat fitrah sebagai pensuci
bagi yang saum dari ucapan sia-sia dan kotor dan sebagai makanan bagi orang
miskin” (HR. Abu Dawud, Sunan Abu
Dawud, I:585, No. Hadis 1609; Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, I:585, No. Hadis 1827; Ad-Daraquthni, Sunan Ad-Daraquthni, II:138, No. Hadis 1)
Tidak tepat bila digunakan sebagai mukhashshis
(dalil yang mengecualian) bahwa zakat fitrah itu dikhususkan bagi mustahiq
miskin. Karena ungkapan Thu’matan lil masaakiin (sebagai makanan bagi
orang miskin) dalam struktur kalimat di atas fungsinya bukan bayan lit
takhsis (keterangan pengkhusus), melainkan bayan lit tanshish
(keterangan penegas/prioritas) sesuai dengan situasi dan kondisi mustahiq di
suatu daerah tertentu.
Sedangkan hadis yang menyatakan:
“Cegahlah mereka agar tidak keliling (untuk minta-minta)
pada hari ini.” (HR. Ibnu ‘Addiy dan Ad-Daraquthni)
Menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani,
statusnya dha’if. (Lihat, Bulugh Al-Maraam Min Jam’I Adillah Al-Ahkaam,
hlm. 131) Karena pada pada sanadnya terdapat rawi Abu Ma’syar Najiih. Kata Imam
Al-Bukhari, “Dia Munkar Al-Hadiits.” (Lihat, Nashb Ar-Raayah Fii
Takhriij Ahaadits Al-Hidaayah, IV:364)
Ketiga, besaran minimal yang diwajibkan
Ukuran kewajiban zakat fitrah bagi tiap orang sebanyak sha’an (1 sha’),
sebagaimana diterangkan dalam hadis sebagai berikut:
"Rasulullah
saw. mewajibkan zakat fitrah satu shaa' dari kurma, atau satu haa' dari syair
(gandum) atas hamba sahaya, orang yang merdeka, laki-laki perempuan, anak kecil
dan dewasa dari kalangan muslimin...” (HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari,
II:547, No. hadis 1432)
Perlu diketahui bahwa Shaa’
itu adalah istilah dalam ukuran isi/volume, bukan ukuran berat, seperti halnya
liter bukan kilogram. Dan ukuran isi tidak mengalami perubahan walaupun yang
ditakarnya berbeda jenis. Misalnya, 1 liter beras Karawang sama isinya dengan 1
liter beras Cianjur. Tapi lain halnya ketika hendak ditetapkan berdasarkan Kg,
karena akan mengalami perbedaan tergantung jenis benda yang ditakarnya.
Adapun shaa'
yang dimaksud di dalam hadis di atas ialah shaa'
nabawi, yaitu shaa' yang berlaku di
zaman Nabi saw. Bila dikonversi berdasarkan satuan isi, maka dapat
diperoleh hasil sebagai berikut :
1 sha = 4 mud = 2770,47 cc = + 3,1 liter. Berdasarkan satuan isi, maka
beras apapun yang dikonsumsi oleh muzakki, maka ukuran yang dikeluarkannya akan
sama.
Sedangkan bila dikonversi berdasarkan satuan berat
jenis, maka hasilnya dapat beragam. Dalam konteks inilah kita dapat memahami
apabila para ulama berbeda pendapat tentang ukuran satu shaa’ sebagai berikut:
Menurut satu pendapat, satu shaa' nabawi sebanding dengan 480 mitsqaal biji
gandum yang bagus. Satu mitsqaal
sama dengan 4,25 gram. Sementara 480 mitsqaal
sebanding dengan 2040 gram. Berarti satu shaa’
sebanding dengan 2040 gram atau 2,4 Kg. (Syarhul
Mumti', juz 6, hlm. 176)
Sedangkan menurut pendapat Syaikh Abdullah Al-Bassam,
satu shaa' nabawi
adalah empat mud. Sementara satu mud setara dengan 625 gram, karena itu satu shaa' nabawi sama dengan
3000 gram atau 3 Kg. (Lihat, Tawdhih
Al Ahkam Syarah
Bulughul Maram, III:178)
Sementara menurut Dr. Wahbah Az-Zuhaili, 1 mud itu sama
dengan 675 gram, berarti 1 sha’ sama dengan 2751 gram atau 2,75 Kg. (At-Tafsirul Muniir, juz
2, hlm. 141).
Berdasarkan ukuran yang telah disebutkan, maka kita bisa
memperkirakan bahwa satu shaa’
berkisar antara 2040 gram (2,4 Kg) hingga 3000 gram (3 Kg).
Berdasarkan satuan berat jenis, maka ukuran zakat yang
dikeluarkan oleh muzakki pada hakikatnya tidak boleh sama tergantung jenis
beras yang biasa dikonsumsi oleh masing-masing muzakki. Di sinilah terkadang
“neraca menjadi miring”, ketika membayar hak orang lain digunakan beras
“Raskin” sementara yang dikonsumsi sehari-hari beras “super”, misalnya.
Karena itu, bila ditetapkan 2,5 Kg maka ini menunjukkan
berat jenis beras yang rata-rata dikonsumsi oleh mayoritas masyarakat di
lingkungan kita.
Demikian pula, apabila dikonversi berdasarkan qiimah (satuan harga)
maka disesuaikan dengan harga jenis beras yang bersangkutan. Karena itu,
berdasarkan konversi qiimah,
besaran zakat fitrah setiap tahun bisa jadi berubah sesuai dengan perubahan
harga yang berlaku saat itu.
Keempat, apakah makanan pokok menjadi syarat
sah zakat fitrah?
Di dalam hadis-hadis tentang zakat fitrah, kita akan
mendapatkan bahwa zakat fitrah itu berupa tha’aam
(makanan). Adapun hadis-hadis itu sebagai berikut:
“Ibnu
Umar mengatakan, "Rasulullah saw. mewajibkan zakat fitrah satu shaa' dari
kurma, atau satu sha dari syair (gandum)” (HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari,
II:548, No. hadis 1439)
“Dari
Ibnu Umar bahwa Rasulullah saw. mewajibkan zakat fitrah satu shaa' dari kurma,
atau satu shaa’ dari syair (gandum), atas hamba sahaya, orang yang merdeka,
laki-laki, perempuan, anak kecil dan dewasa dari kalangan muslimin. (HR.
Al-Bukhari, Shahih
Al-Bukhari, II:548, No. hadis 1439)
Demikian pula praktik para sahabat atas ketentuan itu,
sebagaimana dijelaskan oleh Abu Sa’id Al-Khudriy berikut:
“Kami (para sahabat)
mengeluarkan zakat firtah di zaman Rasulullah saw. pada (waktu) hari raya fitri
(berupa) satu shaa' dari makanan.” (HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, II:548, No. hadis 1439)
Apabila hadis-hadis di atas dibaca secara mantuq (makna tersurat)
dan konsisten tidak akan menerima mafhum
(makna tersirat), maka zakat fitrah yang wajib dikeluarkan terbatas jenisnya,
yakni kurma dan gandum. Adapun kata At-Tha’aam
pada hadis Abu Sa’id Al-Khudriy tidak dapat dimaknai makanan secara umum karena
sudah ada bayaan tafshiil
(keterangan terperinci) pada hadis-hadis sebelumnya. Berdasarkan pendekatan mantuq hadis-hadis itu, maka zakat fitrah
dengan beras atau jagung tidak sesuai dengan mantuq-nya,
kedudukannya sama dengan mengeluarkan dalam bentuk qiimah (harga atau nilai barang).
Namun, benarkah demikian pesan utama Nabi saw., yaitu
bahwa zakat fitrah wajib dikeluarkan hanya dalam bentuk kurma dan gandum?
Hemat kami, kalimat min
tamrin atau min
sya’iir dalam struktur kalimat di atas fungsinya bukan bayaan lit takhsiis
(keterangan pengkhusus), melainkan bayaan
lit tanshiish (keterangan penegas/prioritas) sesuai dengan situasi
dan kondisi mustahiq di suatu daerah tertentu. Hal itu didasarkan atas
pertimbangan sebagai berikut:
Dari Ibnu Abas, ia
berkata, “Rasulullah saw. mewajibkan zakat fitrah sebagai pensuci bagi yang
saum dari ucapan sia-sia dan kotor dan sebagai makanan bagi orang miskin.” (HR.
Abu Dawud, Sunan Abu Dawud,
I:585, No. Hadis 1609; Ibnu Majah, Sunan
Ibnu Majah, I:585, No. Hadis 1827; Ad-Daraquthni, Sunan Ad-Daraquthni, II:138,
No. Hadis 1)
Dari hadis di atas kita dapat memahami bahwa bahwa
Rasulullah saw. menetapkan zakat fitrah dengan dua jenis makanan (kurma &
gandum) karena dua sebab:
Pertama, dilihat dari sisi mustahiq, kedua jenis makanan
itu lebih bermanfaat untuk orang miskin waktu itu sebagai thu’matan (makanan mudah
saji).
Kedua, dilihat dari sisi muzakki, kedua jenis makanan
itu waktu itu lebih mudah didapat atau biasa dimiliki secara umum.
Hal ini tampak semakin jelas didukung oleh data faktual
yang menunjukkan bahwa pada praktiknya para sahabat memperluas jenis makanan
dari yang disebut oleh Rasul. Ibnu Umar menjelaskan:
"Dahulu orangorang mengeluarkan zakat fitrah di zaman Nabi saw. sebesar satu sha' sya’iir (gandum), tamr (kurma), atau Sult (sejenis gandum yang berwarna putih tak berkulit) atau Zabiib (anggur kering)." (HR. An-Nasai, Sunan An-Nasai, V:53, No. hadis 2516; As-Sunan Al-Kubra, II:28, No. hadis 2295)
Abu Said al-Khudriy menjelaskan:
“Kami mengeluarkan
zakat fitrah 1 sha makanan atau 1 sha sya’ir (gandum), atau tamr (kurma),
atau aqith (susu kering/keju), atau Zabiib (kismis/anggur kering).” (HR.
Al-Bukhari, Shahih
Al-Bukhari, II:548, No. hadis 1439)
Dalam redaksi lain
"Kami pernah mengeluarkan zakat fitrah di masa Rasulullah saw. sebesar satu shaa' kurma, satu shaa' gandum atau satu shaa' susu kering. Kami tidak mengeluarkan yang lain." (HR. An-Nasai, Sunan An-Nasai, V:53, No. hadis 2518)
"Kami mengeluarkan zakat fitrah ketika Rasulullah saw. masih ada di antara kami sebesar satu sha' makanan, satu sha' kurma, satu sha' gandum atau satu sha' susu kering. Kami terus melaksanakan seperti itu hingga Mu'awiyah datang dari Syam. Dan di antara yang ia ajarkan kepada orangorang adalah Ia berkata, ‘Kami tidak melihat dua mud gandum Syam kecuali setara dengan satu sha' dari ini.’ Abu Sa'id berkata, 'Maka orangorang mengambil pendapat tersebut'.”(HR. An-Nasai, Sunan An-Nasai,V:51,No.hadis 2513; As-Sunan Al Kubra, II:27, No. hadis 2292)
Mengapa jenis makanannya diperluas? Kata Abu Sa’id:
“sya’ir (gandum),
Zabib (kismis/anggur kering), aqith (susu beku/keju), dan tamr (kurma) adalah
makanan kami” (HR. Al-Bukhari, Shahih
Al-Bukhari, II:548, No. hadis 1439)
Keterangan Abu Said di atas menunjukkan bahwa:
(1) para sahabat memahami hadis Nabi tentang zakat
fitrah itu tidak secara mantuq
(makna tersurat), namun secara mafhum
(makna tersirat),
(2) yakni para sahabat memahami hadis itu bukan sebagai
takhsis (pengkhususan), hal itu terbukti dengan diperluas jenis
makanannya,
(3) Secara ekonomi, jenis pangan yang dimiliki oleh
publik zaman sahabat sudah lebih berkembang daripada zaman Nabi.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang menjadi
pokok kewajiban zakat fitrah itu bukan “barangnya” melainkan “nilainya”, yaitu
1 sha’ atau yang senilai sha’ dalam ukuran isi (liter), berat (Kg), dan harga
(Rp atau mata uang lainnya). Konversi nilai itu pernah dilakukakan oleh Mu’awiyah
sebagaimana diterangkan dalam hadis sebagai berikut:
Ia berkata, “Saya
memandang bahwa 2 mud gandum Syam senilai dengan 1 sha kurma.” Maka orang-orang
mengambil konversi itu. (HR. Muslim, Shahih
Muslim, II:678, No. hadis 985; Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, II:113,
No. hadis 1616; Al-Baihaqi, As-Sunan
Al-Kubra, IV:165, No. hadis 7490)
Karena itu, para tabi’in sebagai murid shahabat Nabi
saw., seperti Umar bin Abdul Aziz, al-Hasan al-Bishri, dan Atha telah
menetapkan zakat fitrah oleh harga/uang (dirham). Waktu itu Umar bin Abdul Aziz
menetapkan nilai 1 sha = ½ dirham. (lihat, Mushannaf
Ibnu Abu Syaibah, II:398)
Kelima, waktu membagikan Zakat Fitrah
Zakat fitrah adalah ibadah yang muqayyad dan mudhayyaq, yaitu terikat
waktu dan juga terbatas waktunya. Karena itu membagikan zakat fitrah harus
tepat pada waktunya. Kapan waktu yang tertentu dan terbatas itu? Abu Sa'id
Al-Khudriy berkata:
“Kami (para sahabat)
mengeluarkan zakat fitrah di zaman Rasulullah saw. pada (waktu) hari raya fitri
(berupa) satu shaa' dari makanan.” (HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, II:548, No. hadis 1439)
Keterangan Abu Sa'id di atas menjadi petunjuk bahwa para
sahabat Rasulullah saw. membagikan zakat fitrah kepada para mustahiq di zaman
Rasulullah adalah pada yawmal
fitri (siang hari raya fitri), bukan pada malam hari.
Perbuatan para sahabat di atas merupakan pengamalan
terhadap instruksi Rasulullah, sebagaimana diterangkan oleh Ibnu Umar :
Rasulullah saw.
memerintahkan agar mengeluarkan zakat fitrah sebelum orang keluar (pergi) ke salat
(hari raya). (HR. Al-Bukhari, Shahih
Al-Bukhari, II:679, No. hadis 1438)
Hadis ini menunjukkan bahwa ketentuan waktu membagikan
zakat fitrah kepada para mustahiq adalah pada yawmal fitri (siang hari raya fitri), bukan
pada malam hari
Dalam riwayat lainnya dengan redaksi:
bahwa Rasulullah
saw. memerintahkan agar membayar zakat fithrah sebelum orang-orang berangkat
menunaikan shalat Ied. (HR. Muslim, Shahih
Muslim, II: 679, No. hadis 986; Ahmad, Musnad Ahmad, II:67, No. hadis 5345; II:
154, No. hadis 6429; An-Nasai, As-Sunan
Al-Kubra, II:30, No. hadis 2300; Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, II:111,
No. 1610; Ibnu Khuzaimah, Shahih
Ibnu Khuzaimah, IV: 91, No. 2422; Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, IV:
174, No. hadis 7526; Abd bin Humaid, Musnad
Abd bin Humaid, I:249, No. 780; Ibnul Jarud, Al-Muntaqaa, I:98, No.
hadis 359)
Dalam riwayat lain dengan menggunakan kalimat:
“memerintahkan agar
mengeluarkan zakat fithrah” (HR. Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah, IV: 90, No. 2421;
Ad-Daraquthni, Sunan
Ad-Daraquthni, II:152, No. hadis 66)
Selain itu, menggunakan pula kalimat shadaqah al-Fitri:
“Memerintahkan agar
mengeluarkan shadaqah fithri” (HR. An-Nasai, Sunan
An-Nasai, V:54, No. 2521; Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah,
IV:91, No. hadis 2423)
Sedangkan dalam
riwayat Ad-Daraquthni dengan kalimat amara
bihaa (Sunan
Ad-Daraquthni, II:153, No. hadis 69)
Sedangkan di dalam riwayat At-Tirmidzi digunakan redaksi
sebagai berikut :
"Sesungguhnya
Rasulullah saw. memerintah untuk mengeluarkan zakat (fitrah) pada hari fitri
sebelum pergi salat (hari raya)". (HR. At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi,
III:62, No. hadis 677)
Keterangan Ibnu Umar diatas—dengan berbagai bentuk
redaksi—menunjukkan dengan jelas makna yawmal
fitri yang dimaksud, yakni bukan malam hari dan bukan pula
sepanjang hari raya, tapi sebagiannya saja, yaitu sejak terbit fajar hingga
selesai salat hari raya (Ied) setempat.
Sehubungan dengan itu, Ibnu Tin menyatakan sebagai
berikut :
"(maksud)
sebelum orang keluar (pergi) ke salat (hari raya) ialah sebelum orang keluar
untuk salat Idul Fitri dan setelah salat subuh." (Lihat, Fathul Bari, III : 439)
Kemudian Ikrimah menegaskan pula, "Seseorang
mendahulukan zakatnya pada "hari raya fitri" di hadapan salatnya,
karena Allah telah berfirman:
'Sungguh beruntung
orang yang membersihkan (berzakat) dan mengingat Tuhannya, kemudian ia
salat'." (Lihat, Fathul
Bari, III : 439)
Berdasarkan keterangan-keterangan di atas, maka
ketentuan waktu untuk menyampaikan zakat fitrah kepada para mustahiq itu adalah
dimulai sejak fajar hari raya fitri sampai selesai salat 'ied setempat. Hal itu
bukan hanya di contohkan saja, melainkan diperintahkan, yang kemudian
senantiasa dipraktekkan oleh para sahabat, baik pada zaman Rasulullah maupun
sesudahnya. Ketentuan ini berlaku, baik bagi perorangan ataupun kelembagaan
(jami' zakat).
Ada sementara pihak yang berpendapat bahwa mengeluarkan
zakat fitrah boleh dilakukan pada malam hari setelah maghrib sebelum shubuh di
hari fitri, bahkan sehari atau dua hari sebelum hari raya. Pendapat itu
didasarkan riwayat sebagai berikut:
"Dan Ibnu Umar
menyerahkan zakat fitrah kepada mereka yang menerimannya, dan mereka
menyerahkannya sehari atau dua hari sebelum hari raya." (HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, II:
549, No. hadis 1440)
Dalam riwayat lain dengan redaksi:
“Ibnu Umar menunaikannya sehari atau dua hari sebelum itu.” (HR. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, II: 111, No. 1610)
“Dan bahwa Abdullah bin Umar menunaikannya sehari atau dua hari sebelum itu.” (HR. Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah, IV: 90, No. 2421)
“Dan bahwa Abdullah menunaikannya sehari atau dua hari sebelum itu.” (HR. Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, IV: 174, No. 7527; Ibnu Hibban, Shahih Ibnu Hibban, VIII: 94, No. hadis 3299)
Hemat kami, riwayat ini tidak dapat dijadikan dalil
tentang kebolehan mengeluarkan zakat fitrah pada malam hari setelah maghrib sebelum shubuh di hari fitri,
apalagi sehari atau dua hari sebelum hari raya, dengan pertimbangan: riwayat
ini belum menerangkan secara jelas, kepada siapa zakat itu diserahkan, apakah
membagikan langsung kepada mustahiq atau menitipkannya kepada ‘amil?
Berdasarkan riwayat-riwayat lain, maka dapat dipastikan
bahwa Ibnu Umar menyerahkan zakat sehari atau dua hari sebelum hari raya itu
bukan membagikannya kepada mustahiq, namun menitipkannya kepada ‘amil. Adapun
riwayat itu sebagai berikut :
Dari Nafi, sesungguhnya
Ibnu Umar mengirimkan zakat fitrahnya kepada orang yang mengumpulkan zakat
(jami' zakat) dua hari atau tiga hari sebelum iedul fitri. (HR. Malik, Al-Muwatha, I:285; No.
629; Asy-Syafi’i, Musnad
Asy-Syafi’I, I:230; Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, IV: 112, No.
7161)
Bahkan lebih di tegaskan lagi di dalam riwayat Ibnu
Khuzaemah, melalui jalan Abu Harits, dari Ayyub, ia berkata:
"Aku bertanya
(kepada Nafi), 'Kapan Ibnu Umar menyerahkan zakat fitrah sebesar 1 shaa’?’ Ia
(Nafi) menjawab, 'Apabila amil zakat telah ada (dibentuk).' Aku bertanya lagi,
'Kapan amil itu di bentuk?' Ia menjawab, 'Satu hari atau dua hari lagi
menjelang idul fitri'." (HR. Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah, IV:82, No. hadis
2397)
Oleh karena itu, Abu Abdullah (Imam Al-Bukhari)
menegaskan dalam naskah As-Shaghani bahwa "mereka memberikan zakat fitrah
(sebelum hari raya) lil
jam'i (untuk dikumpulkan) laa
lil fuqaaraa` (bukan kepada fakir-miskin)." (Fathul Bari, III :
440-441)
Berdasarkan keterangan diatas, maka sehari, dua hari,
atau tiga hari sebelum hari raya itu bukan waktu untuk membagikan kepada para
mustahiq, tapi kepada jami zakat sebagai amanat untuk di bagikan kepada para
mustahiq, nanti pada waktunya. Hal ini sebagaimana yang telah dipraktekkan oleh
Abu Sa'id beserta para sahabat lainnya.
Dengan demikian, maka dapat kita simpulkan bahwa
ketentuan waktu mengeluarkan zakat fitrah - setelah salat subuh hingga selesai
salat ied setempat - adalah ketentuan yang berlaku secara umum, tidak dibatasi
oleh sebab keadaan situasi dan kondisi suatu daerah tertentu.
Renungan: Ketentuan Waktu Tidak Membatasi
Teknis Operasional
Timbul permasalahan, apakah ketetapan ini berkaitan
dengan suatu 'illah
(alasan, sebab) tertentu? Sehubungan dengan itu Syekh al-Qardhawi menyatakan,
“hadis yang menerangkan waktu pembagian zakat fitrah itu bersifat temporer atau
situasional, artinya ketentuan tersebut hanya berlaku bagi anggota masyarakat
di masa itu, mengingat sedikitnya jumlah anggota masyarakat di masa itu,
sementara mereka saling mengenal satu sama lain, dan karena itu pula dengan
mudah dapat mengetahui siapa-siapa yang memerlukan zakat fitrah tersebut. Jadi,
tidak ada problem apapun yang berkaitan dengan sempitnya waktu untuk itu.”
(lihat, Bagaimana Memahami
Hadis Nabi, 1993 : 144)
Dalam hal ini, kami tidak sependapat dengan pemikiran
Syekh al-Qardhawi di atas mengingat tidak adanya dalil dari seorang sahabat
pun, setelah Rasulullah saw. wafat, yang menetapkan perubahan waktu tersebut
(setelah shubuh), sekalipun situasi dan kondisinya telah berubah. Karena kita
memaklumi bahwa di masa sahabat, lingkup masyarakat kian meluas, tempat-tempat
kediaman makin berjauhan dengan penghuni yang makin banyak. Situasi dan kondisi
masyarakat yang seperti ini tidak di jadikan sebab atau alasan oleh mereka
untuk mengubah ketentuan waktu mengeluarkan zakat fitrah yang telah di gariskan
oleh Rasulullah saw., tapi justru keadaan ini menjadi pendorong bagi mereka
untuk mengatur langkah serta menyusun strategi yang sedemikian rupa sehingga
zakat fitrah yang diamanatkan itu dapat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.
Berdasarkan pengetahuan mendalam para sahabat akan
hikmah ajaran agama, maka instruksi Rasulullah dalam masalah ini tidak hanya
dipahami sebagai syarat maqbul (diterima) dan tidaknya zakat tersebut, tapi
lebih jauh dari itu mereka pun menangkap isyarat dari perintah tersebut tentang
teknis pelaksanaan agar diperhatikan dan dipikirkan secara matang, sehingga
dalam waktu yang sudah ditentukan zakat fitrah tersebut dapat ditunaikan.
Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh para sahabat di
zaman Ibnu Umar berdasarkan riwayat diatas, mereka (para amil) dibentuk atau
mulai melaksanakan tugasnya adalah dua atau tiga hari sebelum hari raya.
Berarti waktu sebanyak itu dianggap cukup atau memungkinkan bagi mereka untuk
bekerja, yaitu mengurus, menagih, dan membagikan zakat kepada para mustahiq
sesuai dengan lingkup teritorial ketika itu.
Berdasarkan petunjuk diatas, maka jelaslah bagi kita bahwa
para sahabat tidak mengkondisikan hukum syara’ (ketentuan waktu) sesuai dengan
keadaan ruang lingkup masyarakat, tetapi mereka lebih menitik-beratkan
perhatiannya pada pengefektifan fungsi serta tugas 'amilin agar zakat fitrah
tersebut dapat diterima oleh para mustahiq dalam lingkup masyarakat yang kian
meluas, sesuai dengan ketentuan waktu yang telah digariskan oleh Rasulullah
saw.
Wallaahu A'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar