Bp. Aris Saptiono |
HAKIKAT NUZUL AL-QURAN
Sebagaimana yang kita yakini bahwa
Al-Quran merupakan kalam Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhamad saw. melalui
Malaikat Jibril dengan lafal dan maknanya. Allah berfirman:
“dan Sesungguhnya Al Quran ini benar-benar diturunkan oleh
Tuhan semesta alam, Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), ke dalam
hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang
memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas.” (QS. As-Syu’ara:192-195)
Sebagai kitab Allah, Al-Quran
menempati posisi sebagai sumber pertama dan utama dari seluruh ajaran Islam dan
berfungsi sebagai petunjuk dan pedoman bagi umat manusia dalam mencapai
kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Posisi dan fungsi Al-Quran inilah
yang senantiasa diapresiasikan oleh Nabi, melalui pengamalan dan pengajaran
selama hidup di Mekah sekitar 13 tahun dan Madinah sekitar 10 tahun. (Lebih
lanjut silahkan dibaca penjelasan Imam Az-Zarkasyi dalam kitab Al-Buurhan
fii ‘Uluumil Qur’aan, I:232)
Sehubungan dengan itu, kita perlu
mengetahui tentang turunnya Al-Quran agar tidak lepas dari posisi dan fungsi
Al-Quran tersebut.
Makna dan Proses Nuzulul Quran
Nuzulul Quran (Nuzuul Al-Quran)
secara literal berarti turunnya Al-Quran. Kata Nuzuul merupakan mashdar
(kata dasar) bagi kata nazala yang secara etimologis memiliki dua
pengertian: Pertama, singgah atau menempati. Kedua, turun atau
berjalan dari atas ke bawah. Kedua pengertian ini, menurut Syaikh Muhammad
Abdul ‘Azhim Az-Zarqani, tidak tepat untuk diterapkan pada Al-Quran. Sebab,
singgah, menempati atau turun itu hanya tepat digunakan untuk sesuatu yang
bersifat material. Sedangkan Al-Quran tidaklah demikian.
Pakar ilmu Al-Quran itu memaknai
kata Nuzuul secara majazi (konotatif), yaitu Al-I’laam
(pemberitahuan). Jadi, Nuzuul Al-Quran berarti bahwa Allah swt.
memberitahukan Al-Quran kepada Nabi Muhammad saw. (Lihat, Manaahilul ‘Irfaan
fii ‘Uluumil Qur’aan, juz 1, hlm. 30-31)
Sedangkan secara istilah, Nuzulul
Quran, hemat kami, berarti keterangan tentang kronoligis pemberitahuan Al-Quran
kepada Nabi Muhamad saw.
Para ulama sepakat bahwa Nuzulul
Quran itu terjadi dalam tiga tahap:
Pertama,
turun ke Lawhul Mahfuzh, sebagaimana difirmankan Allah swt.:
“Bahkan yang mereka dustakan itu ialah Al-Quran yang mulia.
Yang (tersimpan) dalam lauhul mahfuzh.” (QS. Al-Buruj:21-22)
Menurut zahir ayat di atas, pada
tahap ini Al-Quran turun sekaligus. Di dalam Al-Quran dan sunah tidak
diterangkan cara dan waktu turunnya Al-Quran itu ke Lauhul Mahfuzh. Berarti
cara dan waktu turun pada tahap pertama ini hanya diketahui oleh Allah.
Kedua,
Turun dari Lawhul Mahfuzh ke Baitul Izzah fii samaid dunya (langit
dunia), sebagaimana difirmankan Allah:
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-Quran pada
lailatul kadar.” (QS. Al-Qadr:1)
“Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang
diberkahi.” (QS. Ad-Dukhan:3)
“Bulan Ramadhan yang Al-Quran diturunkan padanya
sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk
itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil).” (QS. Al-Baqarah:185)
Ketiga ayat ini menunjukkan bahwa
Al-Quran itu turun sekaligus pada satu malam di bulan Ramadhan, yaitu pada Lailatul
Qadar yang disifati dengan Lailah Mubaarakah (malam yang diberkahi).
Dengan demikian, turun yang dimaksud
pada ayat-ayat ini adalah dari lawhul mahfuzh ke langit dunia secara
menyeluruh, bukan turun kepada Nabi saw. Hal itu sebagaimana ditegaskan oleh
sahabat Rasul bernama Abdullah bin Abbas:
“Al-Quran diturunkan sekaligus ke langit dunia pada Lailatul
Qadar, kemudian setelah itu diturunkan (kepada Rasul) pada masa 20 tahun.” Dan
ia membaca ayat wa quranan faraqnahu…(QS.
Al-Isra:106)” (H.r. An-Nasai, As-Sunan
Al-Kubra, VI:421, No. hadis 11.372)
Dalam riwayat lain dengan
redaksi:
“Al-Quran diturunkan pada Lailatul Qadar sekaligus ke langit
dunia, dan itu sesuai dengan masa turunnya bagian-bagian bintang, dan Allah ‘Azza wajalla menurunkannya kepada
Rasul-Nya sebagian demi sebagian. Maka Allah ‘Azza wajalla berfirman, “Dan mereka mengatakan, ‘Lawlaa nuzzila ‘alaihil Quraanu… (QS.
Al-Furqan:32)” (H.r. Al-Baihaqi, As-Sunan
Al-Kubra, juz 4, hlm. 306, No. hadis 8304; Al-Hakim, Al-Mustadrak ‘Alas
Shahihain, juz 2, hlm. 578, No. hadis 3958)
Dalam riwayat lain dijelaskan:
Dari Ibnu Abas Ra., bahwa ia pernah ditanya oleh Athiyah bin
Al-Aswad, ia berkata, ”Aku ragu-ragu tentang firman Allah ta’ala, ‘Syahru Ramadhaanalladzii unzila fihil
Quraanu’ dan Firman-Nya, ‘Innaa
anzaalnahu fii lailatil qadri.’ Apakah turunnya itu pada bulan Syawal,
Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharam, Shafar, dan Ar-rabi’?” Ibnu Abbas menjawab,
”Bahwa Al-Quran itu diturunkan pada bulan Ramadhan pada malam Lailah Al-Qadar
secara sekaligus, kemudian diturunkan lagi berdasarkan masa turunnya
bagian-bagian bintang secara berangsur pada beberapa bulan dan hari.” (HR.
Al-Baihaqi, Al-Asmaa was Shifaat,
juz 2, hlm. 35, No. hadis 487)
Ketiga,
Turun kepada Nabi saw.
Pada tahap ini Al-Quran turun kepada
Nabi saw. itu secara berangsur-angsur, yakni: Pertama, ketika hidup di
Mekah selama 12 tahun 5 bulan 13 hari, terhitung sejak tanggal 17 Ramadhan
tahun ke-41 dari kelahiran Nabi atau bertepatan dengan 6 Agustus 610 M, hingga
1 Rabi’ul Awwal tahun ke-54 dari tahun kelahirannya. Pada periode ini turun 86
surat atau sekitar 4.780 ayat, dan turunnya bukan hanya di bulan Ramadhan. Kedua,
ketika hidup di Madinah setelah hijrah selama 9 tahun 9 bulan 9 hari, terhitung
semenjak hijrah ke Madinah sampai tanggal 9 Dzulhijjah tahun ke-63 dari tahun
kelahirannya. Pada periode ini turun 28 surat atau sekitar 1.456 ayat, dan
turunnya bukan hanya dibulan Ramadhan. Dalam hal ini, Ibnu Abbas menjelaskan:
“Rasulullah saw. diutus sebagai Rasul saat beliau berusia empat puluh tahun,beliau tinggal di Makkah selama tiga belas tahun menerima wahyu, kemudian beliau diperintahkan untuk berhijrah, Maka beliau berhijrah dan (menetap di Madinah) selama sepuluh tahun hingga beliauwafat ketika berusia enam puluh tiga tahun." (HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, juz 3, hlm. 1416, No. hadis 3689)
Dari berbagai keterangan tersebut
tampak jelas bagi kita bahwa Al-Quran itu turun kepada Nabi Muhamad melalui
tahapan-tahapan, tidak secara sekaligus. Pada tahap pertama turun dari Allah ke
Lawhul Mahfuzh. Kedua, turun dari Lawhul Mahfuzh ke Baitul Izzah di langit
dunia, dan ketiga turun kepada Nabi secara bertahap kurang lebih selama 23
tahun.
Hikmah Turun Alquran Kepada Nabi
Secara Bertahap
Penurunan Alquran secara bertahap kepada
Nabi Muhammad saw. tentu bukan suatu kebetulan atau karena ketidaksengajaan.
Para ulama telah berupaya menyingkap hikmah dibalik penurunan Alquran secara
berangsur-angsur itu, di antaranya: (1) untuk meneguhkan hati Rasulullah SAW
dengan cara mengingatkannya terus-menerus, (2) lebih mudah dimengerti dan
diamalkan oleh pengikut-pengikut Rasulullah SAW, (3) di antara ayat-ayat itu
ada yang merupakan jawaban atau penjelasan dari suatu pertanyaan atau masalah
yang diajukan kepada Nabi SAW sesuai dengan keperluan, (4) hukum-hukum
Allah yang terkandung didalamnya mudah diterapkan secara bertahap, dan (5)
memudahkan penghafalan. (Lebih lanjut silahkan dibaca penjelasan Syekh Manna’ul
Qathan dalam kitab Mabaahits fii ‘Uluumil Quraan: 107-116)
Kapan Terjadinya Nuzulul Quran?
Mayoritas kaum muslimin di Indonesia tentu akan menjawab
tanggal 17 Ramadhan. Jika pertanyaan itu dilanjutkan, mengapa 17 Ramadhan?
Jawabannya belum tentu diketahui oleh mayoritas kaum muslimin di Indonesia.
Sejauh pengetahuan kami, gagasan ini berawal dari Ibnu
Ishaq (w. 150 H), seorang pakar tarikh Islam. Ia menyatakan bahwa ayat Al-Quran
pertama kali turun adalah pada tanggal 17 Ramadhan. Pendapat ini didasarkan
pada firman Allah:
“…jika kamu beriman kepada Allah dan kepada
apa yang kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqan yaitu
di hari bertemunya dua pasukan.” (QS.
Al- Anfal: 41).
Adapun kerangka metodologinya sebagai berikut: Furqan adalah pemisah
antara yang hak dan yang batil. Yang dimaksud dengan hari Al-Furqan ialah
hari kemenangan kaum muslimin dan kekalahan orang kafir, yaitu hari
bertemunya dua pasukan di perang Badar. Bertemunya dua pasukan, muslimin dan
musyrikin, itu terjadi pada hari Jumat tanggal 17 Ramadhan tahun 2 H. Dan hari Furqan adalah hari ketika
Al-Quran pertama kali diturunkan. Kedua hari itu sama-sama hari Jumat dan
tanggal 17 Ramadhan, tapi tahunnya berbeda.
Selain itu didasarkan pada atsar (pendapat sahabat) sebagai berikut:
Dari Hawth
Al-‘Abadiy, ia berkata, “Saya bertanya kepada Zaid bin Arqam tentang Lailatul
Qadar?” Maka ia menjawab, “Saya tidak ragu bahwa Lailatul Qadar itu pada malam
ke-17 sebagai malam turunnya Al-Quran dan hari
bertemunya dua pasukan.” (HR. Ath-Thabrani, Al-Mu’jamul Kabir, V:131-132,
No. hadis 4939)
Kata Ibnu Hajar, “Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Abu
Syaibah dan Ath-Thabrani dengan redaksi:
‘Saya tidak ragu
bahwa Lailatul Qadar itu pada malam ke-17 Ramadhan sebagai malam turunnya
Al-Quran.’
Dan diriwayatkan
pula oleh Abu Dawud dari Ibnu Mas’ud.”(Fathul
Bari Syarh Shahih Al-Bukhari, juz 4, hlm. 263)
Pendapat "17 Ramadhan" dipilih juga oleh
Ustadz Muhammad Huzhari Bik dan Syekh Mushthafa Al-Maragi. Syekh al-Maraghi
menjelaskan, “Surat Al-Qadr menegaskan, bahwa turunnya Al-Quran itu pada malam
Lailah Al-Qadar. Ayat dalam surat Ad-Dukhan menguatkan dan menjelaskan,
bahwa turunnya (Al-Quran) itu pada malam yang diberkahi. Ayat yang terdapat
pada surat Al-Baqarah menunjukkan bahwa turunnya al-Quran itu pada bulan
Ramadan. Dan ayat pada Surat Al-Anfal menunjukkan, bahwa turunnya Al-Quran itu
pada hari yang sama (nama harinya) dengan hari bertemunya dua pasukan besar
pada perang Badar yang pada hari itu Allah memisahkan yang haq dan yang batal.
Maka jelaslah bahwa malam itu adalah malam Jumat tanggal 17 Ramadhan. (Lihat, Tafsir Al-Maraghi, juz
10, hlm. 207)
Pandangan para ulama Lainnya
Pendapat Ibnu Ishaq ini diterima secara meluas di
Indonesia. Tapi Imam Az-Zarqani membantah pendapat ini, walaupun ia tidak
menyebutkan secara jelas tanggal berapa ayat Al-Quran itu pertama kali turun.
Hemat kami, menurut pendapat ini yang dimaksud Nuzulul
Quran adalah turunnya ayat Al-Quran untuk pertama kali kepada Nabi saw. Ini
berarti dapat dikategorikan Nuzulul Quran pada tahap ketiga, yaitu ketika
Al-Quran turun kepada Nabi saw. secara berangsur-angsur.
Adapun berkenaan dengan atsar, selain status hadisnya mauquf (perkataan
shahabat Nabi), bukan sabda Nabi saw.
(hadis marfu’),
juga menurut para ahli hadis, hadis tersebut tidak lepas dari kedha’ifan.
Status Hadis Zaid bin Arqam
Ath-Thabrani meriwayatkan hadis di atas melalui rawi
bernama Muhammad bin Abdullah Al-Hadhrami, dari Salm bin Junadah, dari Zaid
Al-Hubbaab, dari Al-Mas’udiy, dari Hawth Al-‘Abadiy (Al-Mu’jamul Kabir, V:131)
Sementara Ibnu Abu Syaibah melalui rawi Yazid bin Harun, dari Al-Mas’udiy, dari
Hawth Al-‘Abadiy. (Al-Mushannaf,
II:326).
Adapun sebab kedha’ifannya berporos pada rawi Hawth
Al-‘Abadiy. Menurut Abul Fidaa Zainuddin Qasim Quthluubugha, namanya Hawth bin
‘Abdul ‘Aziz Al-‘Abadiy. Dia meriwayatkan hadis dari Ibnu Mas’ud dan Zaid bin
Arqam. Sementara yang meriwayatkan darinya adalah Abdul Malik bin Maisarah dan
Al-Mas’udiy. (Lihat, Ats-Tsiqat
Mimman Lam Yaqa’ fiil Kutub As-Sittah, IV:71)
Kata Imam Al-Bukhari:
“Hadisnya ini munkar.” (Majma’uz Zawaa`id wa Manba’ul Fawaa`id, juz
3, hlm. 178)
Sementara dalam kitab At-Tarikh
Al-Kabir-nya, setelah Imam Al-Bukhari menyebutkan riwayat “17
Ramadhan” tersebut, ia berkata:
“Ini adalah hadis munkar, tidak ada taa’bi’ (penguat)
atasnya.” (At-Tarikh
Al-Kabir, III:91)
Kata Ibnu Hajar Al-Asqalani:
“Dan tidak diketahui siapa dia.” (Lisaanul Miizaan,
III:307)
Status Hadis Ibnu Mas’ud
Hadis Ibnu Mas’ud diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dengan
redaksi sebagai berikut:
Dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata, “Carilah Lailatul
Qadar itu pada malam ke-17 karena malam itu adalah permulaan siang hari Furqan
sebagai hari bertemunya dua
pasukan.” (HR. Ath-Thabrani, Al-Mu’jamul
Kabir, X:130, No. hadis 10.203)
Hadis di atas diriwayatkan
pula oleh Ibnu Abu Syaibah dan Abdurrazaq dengan redaksi sebagai berikut:
“Carilah Lailatul Qadar itu pada malam ke-17 karena
malam itu adalah permulaan siang hari Badar, sebagai hari Furqan, hari
bertemunya dua pasukan.” (Mushannaf
Ibnu Abu Syaibah, II:396, No. hadis 21; Mushannaf Abdurrazaq, II:251, No. hadis
8680)
Ath-Thabrani meriwayatkan hadis di atas melalui rawi
bernama "’Abdan bin Ahmad, dari Abu Bakar bin Abu Syaibah, dari Wakii’,
dari Israil, dari Abu Ishaq, dari Hujair Ats-Tsa’labiy, dari Al-Aswad bin
Yazid, dari Ibnu Mas’ud (Al-Mu’jamul
Kabir, X:130)
Sementara Ibnu Abu Syaibah dan Abdurrazaq melalui rawi
Wakii’, dari Israil dan ayahnya. Keduanya dari Abu Ishaq, dari Hujair
Ats-Taghlabiy, dari Al-Aswad bin Ali’, dari Ibnu Mas’ud. (Mushannaf Ibnu Abu Syaibah,
II:396; Mushannaf Abdurrazaq,
II:251)
Adapun sebab kedha’ifannya berporos pada rawi Abu Ishaq.
Menurut Syekh Al-Albaniy, “Ini sanad yang dha’if, Abu Ishaq adalah As-Sabii’I,
ia mudallis (menyamarkan sanad) dan mukhtalith (berubah daya hapalannya).
Selain itu, hadis tersebut menyalahi riwayat yang shahih dari Ibnu Mas’ud dan
lainnya bahwa bahwa Lailatul Qadar itu pada sepuluh hari terakhir (dari bulan
Ramadhan).” (Lihat, Dha’iif
Sunan Abu Dawud, II:65-66)
Berdasarkan penjelasan para ahli hadis di atas, maka
hadis Mauquf
(ucapan shahabat) dalam hal ini Zaid bin Arqam dan Ibnu Mas’ud tidak dapat
dipergunakan sebagai hujjah bahwa Al-Quran itu diturunkan pada “17 Ramadhan”,
karena statusnya dha’if (lemah).
Ada yang berpendapat bahwa Nuzulul Quran itu terjadi
pada tanggal 21 Ramadhan. Pendapat "21 Ramadhan" menurut sebagian
kalangan dipilih oleh Syekh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuriy. Beliau menjelaskan
bahwa memang ada perbedaan pendapat di antara pakar sejarah tentang kapan awal
mula turunnya wahyu, yaitu turunnya surat Al-Alaq: 1-5, dan beliau menguatkan
pendapat yang menyatakan pada tanggal 21 Ramadhan. Beliau mengatakan:
Artinya: “Kami
memilih pendapat yang menyatakan pada tanggal 21, sekalipun kami tidak melihat
orang yang menguatkan pendapat ini. Sebab semua pakar tarikh atau setidak-tidaknya
mayoritas di antara mereka sepakat bahwa beliau diangkat menjadi Rasul pada
ahari senin, dan pendapat mereka diperkuat oleh riwayat para imam hadis, dari
Abu Qatadah Ra.,
bahwa Rasulullah Saw.
pernah ditanya tentang shaum hari senin. Maka beliau menjawab,
“Pada hari inilah
aku dilahirkan dan pada hari ini pula turun wahyu kepadaku.”
Dan dalam redaksi lain:
"Itu adalah
hari dimana aku dilahirkan dan hari dimana aku diutus atau diturunkan (wahyu)
atasku" (HR. Muslim, 1/368; Ahmad, 5/297; Al-Baihaqi, 4/286, 300; dan
Al-Hakim 2/602).
Dan hari senin dari bulan Ramadhan pada tahun itu adalah
jatuh pada tanggal 7, 14, 21, dan 28. Beberapa riwayat yang shahih telah
menunjukkan bahwa Lailatul Qadar tidak jatuh kecuali pada malam-malam ganjil di
sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan, dan berpindah di antara malam-malam
itu. Jadi jika kita membandingkan antara firman Allah, “Sesungguhnya Kami
menurunkannya (Al-Quran) pada Lailatul Qadar (QS. Al-Qadar:1)” dengan riwayat
Abu Qotadah, bahwa diutusnya beliau sebagai rasul jatuh pada hari senin, serta
berdasarkan hisab almanac ilmiah tentang jatuhnya hari senin dari bulan
Ramadhan pada tahun itu, maka jelaslah bagi kita bahwa diutusnya beliau sebagai
rasul jatuh pada malam tanggal 21 dari bulan Ramadhan." (Lihat Ar-Rahiiq Al-Makhtuum, Bahs fii
As-Siirah An-Nabawiyyah ‘alaa Shaahibihaa Afdhal As-Shalaatu was Salaam,
hlm. 66-67)
Hemat kami, bila penjelasan Syekh Shafiyyurrahman
Al-Mubarakfuriy dianggap sebagai pendapat tentang Nuzulul Quran, maka yang
dimaksud adalah turunnya ayat Al-Quran untuk pertama kali kepada Nabi saw. Ini
berarti dapat dikategorikan Nuzulul Quran pada tahap ketiga, yaitu ketika
Al-Quran turun kepada Nabi saw. secara berangsur-angsur.
Ada juga yang berpendapat bahwa Nuzulul Quran itu
terjadi pada tanggal 24 Ramadhan. Pendapat ini didasarkan kepada hadis-hadis
yang menyatakan tentang tanggalnya itu. Adapun hadis yang dimaksud adalah
sebagai berikut:
Pertama, hadis dari Watsilah bin al-Asqa
bahwa Rasulullah saw. bersabda:
“Lembaran-lembaran Ibrahim diturunkan pada
hari pertama bulan Ramadhan. Taurat diturunkan pada hari keenam bulan Ramadhan,
Injil diturunkan pada hari ketiga belas bulan Ramadhan. Sedangkan Al-Quran
diturunkan pada hari kedua puluh empat bulan Ramadhan.” (H.r. Ahmad,
Musnad Ahmad,
XXXIV:346, No. 16.370)
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Al-Baihaqi,
Ath-Thabrani, Ibnu Abu
Hatim, Al-Mundziri,
dan Al-Waahidiy,
namun dengan penambahan redaksi:
“Zabur
diturunkan pada hari delapan belas bulan Ramadhan.” (Lihat, Al-Baihaqi,
As-Sunan Al-Kubra, IX:188, No. hadis 18.429 dan Syu’abul Iimaan, V:263; No.
hadis 1671; Ath-Thabrani, Al-Mu’jam Al-Kabir, XXII:75, No. hadis 185 dan
Al-Mu’jam Al-Awsath, VIII:435, No. hadis 3882; Ibnu Abu Hatim, Tafsir Ibnu Abu
Hatim, VI:273, No. hadis 1671; Al-Mundziri, At-Targhiib wat Tarhiib, II:378,
No. Hadis 1818; Al-Waahidiy, Asbaabun Nuzuul: 13)
Kedua, penjelasan Jabir bin Abdullah yang
diriwayatkan oleh Abu Ya’la, sebagai berikut:
“Allah menurunkan lembaran-lembaran Ibrahim
pada hari pertama bulan Ramadhan. Taurat diturunkan kepada Musa pada hari
keenam bulan Ramadhan, Zabur diturunkan pada Dawud di hari ketiga belas bulan
Ramadhan, dan Al-Quran diturunkan pada Muhammad saw. di hari kedua puluh empat
bulan Ramadhan.” (H.r. Abu Ya’la, Musnad Abu Ya’la, juz 4, hlm. 137. No. 2190)
Penjelasan Para Ahli Hadis
(a) Hadis Watsilah bin al-Asqa
Seluruh jalur periwayatan hadis Watsilah bin al-Asqa
melalui rawi ‘Imran Abul ‘Awwaam, dari Abu Qatadah, dari Abul Maliih, dari
Watsilah bin al-Asqa, dari Raslullah Saw.
Kata Imam Al-Haitsami:
“Hadis itu diriwayatkan oleh Ahmad dan Ath-Thabari dalam
Al-Mu’jam Al-Kabir dan
Al-Mu’jam Al-Awsath dan di dalam sanadnya terdapat rawi ‘Imran bin Dawud
Al-Qaththan. Ia dinyatakan dha’if oleh Yahya bin Ma’in dan dinyatakan tsiqah
(kredibel) oleh Ibnu Hibban. Dan Ahmad berkata, ‘Aku berharap ia shalih
al-hadits.’ Dan para rawi lainnya tsiqat.” (Lihat, Majma’uz Zawaa`id wa
Manba’ul Fawaa`id, I:407)
Menurut Syekh Al-Albaniy, “Hadis ini hasan.”
(Lihat, Silsilah Al-Ahaadits Ash-Shahiihah, IV:104)
(b)hadis Jabir bin Abdullah
Hadis Jabir diriwayatkan oleh Abu Ya’la melalui rawi
Sufyan bin Wakii’, dari Wakii’, dari Ubaidullah, dari Abu Maliih, dari Jabir
bin Abdullah.
Kata Imam Al-Haitsami:
“Hadis itu diriwayatkan oleh Abu Ya’la dan di dalam sanadnya
terdapat rawi Sufyan bin Wakii’, dan ia rawi yang dha’if.” (Lihat, Majma’uz Zawaa`id wa Manba’ul
Fawaa`id, I:408)
Kata Ibnu Hajar Al-Asqalani, “(Susunan sanad dari Abul Maliih, dari
Jabir bin Abdullah) ini terbalik, seharusnya dari Watsilah Ra.” (Lihat, Al-Mathaalib Al-‘Aaliyyah Bi Zawaa`id
Al-Masaaniid Ats-Tsamaaniyyah, IV:350)
Berdasarkan penjelasan para ahli hadis di atas, maka
hadis Mauquf
(ucapan shahabat) dalam hal ini Jabir bin Abdullah tidak dapat dipergunakan
sebagai hujjah bahwa Al-Quran itu diturunkan pada “24 Ramadhan”, karena
statusnya dha’if (lemah).
Namun jika kita mengacu kepada hadis Nabi riwayat
Watsilah bin al-Asqa berdasarkan peniliaian para ahli hadis di atas, antara
lain Syekh Al-Albani, maka kiranya menjadi sangat jelas bahwa atas dasar
informasi yang diberikan secara tegas oleh hadis Nabi riwayat Watsilah bin
al-Asqa, peristiwa turunnya Al-Quran itu dapat disimpulkan terjadi pada 24
Ramadhan.
Peringatan Nuzulul Quran?
Pada bulan Ramadhan banyak umat Islam yang menggelar
acara peringatan Nuzulul Quran. Padahal memperingati peristiwa turunnya
Al-Quran pertama kali tidaklah penting, sebab di samping hal itu tidak
dicontohkan oleh Rasulullah Saw., para sahabatnya dan para tabi'in, Al-Quran
diturunkan tidaklah untuk diperingati tetapi untuk memperingatkan kita.
Peristiwa Nuzulul Quran bukanlah diharapkan agar
dijadikan sebagai hari raya oleh umat ini, yang dirayakan setiap tahun, karena
Islam bukanlah agama perayaan sebagaimana halnya agama-agama lain.
Jadi turunnya Al-Quran bukan untuk diperingati setiap
tahunnya, melainkan untuk memperingatkan kita setiap saat.
Wallahu a’lam
bish-shawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar