Adab-Adab dan Kriteria Imam Shalat Berjama’ah
oleh :
Ust. Deden Iyan Rofiyanto
Bismillahirrahmaanirrahiim..
Tulisan ini adalah sebagai bentuk kita saling
berwasiat diantara sesama Muslim, sekaligus sebagai bentuk motivasi khususnya
bagi diri saya pribadi dan umumnya bagi para pembaca yang memerlukannya, dalam
rangka kita bersama-sama senantiasa berusaha memperbaiki diri dalam urusan
ibadah terutama shalat, dengan berupaya untuk bersungguh-sungguh dalam
mengikuti sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat yang
mengikutinya.
Para ulama dari waktu ke waktu telah mengingatkan
kepada kita bahwa seorang muslim
yang baik, akan senantiasa berusaha
untuk menyempurnakan setiap amalnya karena hal itu menunjukkan bukti keimanannya. Dan amalan shalat adalah termasuk kedalam salah satu perkara yang harus menjadi perhatian utamanya. Salah satu bentuk perhatian seorang muslim terhadap shalatnya diantaranya
tercermin dari sejauh mana dia
berusaha dengan sungguh-sungguh agar shalatnya sesuai dengan sunnah Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mengingat bahwa amalan seorang hamba yang
pertama kali dihisab kelak di Yaumil Akhir adalah shalat, seperti yang disabdakan
oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Sesungguhnya amal hamba yang pertama kali
akan dihisab pada hari kiamat adalah shalatnya. Apabila shalatnya baik, dia
akan mendapatkan keberuntungan dan keselamatan. Apabila shalatnya rusak, dia
akan menyesal dan merugi. Jika ada yang kurang dari shalat wajibnya, Allah
Tabaroka wa Ta’ala mengatakan,’Lihatlah apakah pada hamba tersebut
memiliki amalan shalat sunnah?’ Maka shalat sunnah tersebut akan menyempurnakan shalat wajibnya yang kurang. Begitu juga amalan lainnya
seperti itu.” Dalam
riwayat lainnya, ”Kemudian zakat akan (diperhitungkan) seperti itu. Kemudian
amalan lainnya akan dihisab seperti itu pula.” [1]
Dalam Shalat berjamaah, ketika Imam memperhatikan
adab-adab imam dan makmum pun memperhatkan adab-adab sebagai makmum, maka akan
tercipta kondisi shalat yang sempurna, kita dapat membayangkan,
bagaimana ketika imam bertakbir, terlihat para makmun bertakbir sambil
mengangkat tangannya secara serempak; ketika imam mengucapkan amin terdengar
keserasian dalam mengikutinya.
Tidak salah, jika ada yang mengatakan, bahwa persatuan dan kesatuan umat terlihat dari lurus dan rapat suatu shaf, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :
"Hendaklah kalian luruskan shaf kalian, atau Allah akan memecah belah persatuan kalian" [2]
Tidak salah, jika ada yang mengatakan, bahwa persatuan dan kesatuan umat terlihat dari lurus dan rapat suatu shaf, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :
"Hendaklah kalian luruskan shaf kalian, atau Allah akan memecah belah persatuan kalian" [2]
Terkait dengan tugas seorang Imam dalam shalat
berjamaah, tidak diragukan lagi
bahwa tugas imam merupakan tugas keagamaan yang mulia, yang telah diemban
sendiri oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ; begitu juga dengan
Khulafaur Rasyidin setelah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Banyak
hadits yang menerangkan tentang fadhilah
imam. Diantaranya sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, “Tiga
golongan di atas unggukan misik pada hari kiamat,” kemudian beliau menyebutkan,
diantara mereka, (ialah) seseorang yang menjadi imam untuk satu kaum sedangkan
mereka (kaum tersebut) suka kepadanya. Pada hadits yang lain disebutkan, bahwa
dia memperoleh pahala seperti pahala orang-orang yang shalat di belakangnya.[3]
Hanya saja patut disayangkan bahwa di masa ini
semangat kaum muslimin untuk mempelajari ilmu sudah semakin berkurang, padahal
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat yang mulia telah
menunjukkan kepada kita contoh untuk kita ikuti khususnya dalam pelaksanaan
ibadah shalat berjama’ah. Dan yang seharusnya diyakini oleh setiap orang yang
mengaku dirinya Muslim adalah bahwa Risalah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang secara sempurna
untuk seluruh umat manusia dan segenap bangsa jin, orang-orang Arab dan non
Arab, cocok untuk setiap tempat dan waktu, setiap generasi dan kondisi.
Tinggal kita mau melaksanakannya atau tidak.
Pada kesempatan yang baik ini, saya akan coba
sampaikan terkait adab-adab dan kriteria Imam Shalat dalam ringkasan poin-poin
berikut :
Yang Pertama : Menimbang Diri, Apakah Dirinya Layak Menjadi Imam Untuk Jama’ah, Atau Ada
Yang Lebih Afdhal Darinya?
Penilaian ini tentu
berdasarkan sudut pandang syari’at. Diantara yang harus menjadi penilaiannya
ialah:
1.)
Jika seseorang sebagai tamu, maka yang berhak
menjadi imam adalah tuan rumah, jika tuan rumah layak menjadi imam.
2.)
Penguasa lebih berhak menjadi imam, atau yang
mewakilinya. Maka tidaklah boleh maju menjadi imam, kecuali atas izinnya.
3.)
Kefasihan dan kealiman dirinya. Maksudnya, jika
ada yang lebih fasih dalam membawakan bacaan Al-Qur’an dan lebih ‘alim,
sebaiknya dia mendahulukan orang tersebut. Hal ini ditegaskan oleh hadits yang
diriwayatkan Abi Mas’ud Al Badri Radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
"Yang
(berhak) menjadi imam (suatu) kaum, ialah yang paling pandai membaca Kitabullah
(dalam riwayat lain : ‘yang paling banyak hafalannya’). Jika mereka dalam bacaan sama, maka yang lebih
mengetahui tentang sunnah. Jika mereka dalam sunnah sama, maka yang lebih
dahulu hijrah. Jika mereka dalam hijrah sama, maka yang lebih dahulu masuk
Islam (dalam riwayat lain: umur). Dan janganlah seseorang menjadi imam terhadap
yang lain di tempat kekuasaannya (dalam riwayat lain: di rumahnya). Dan
janganlah duduk di tempat duduknya, kecuali seizinnya.”[4]
4.)
Seseorang tidak dianjurkan menjadi imam, apabila
jama’ah tidak menyukainya. Dalam sebuah hadits disebutkan :
‘Tiga golongan yang tidak
terangkat shalat mereka lebih satu jengkal dari kepala mereka: (Yaitu)
seseorang menjadi imam suatu kaum yang membencinya” [5]
Sebagian ulama menjelaskan, bahwa kebencian yang
dimaksud dalam hadits diatas adalah khusus mencakup kebencian dalam urusan
agama (karena Allah), misalnya karena seseorang itu dinilai lalai dalam
agamanya, fasik, atau pelaku maksiat.
Sementara sebagian ulama yang lain menyatakan bahwa
dalil diatas tidak mengkhususkan kebencian itu didasarkan pada kebencian karena
Allah (agama). Dan pada kenyataannya, kebencian semacam ini adalah kebencian
yang sangat langka dijumpai di zaman ini. Kebencian yang banyak terjadi saat
ini adalah kebencian yang berasal dari permasalahan dunia. Dan karena tidak ada
dalil yang mengkhususkan kebencian tersebut, maka yang lebih utama bagi seseorang yang mengetahui, bahwa jika suatu kaum membencinya -tanpa sebab atau karena sebab agama-
hendaknya ia tidak menjadi
imam untuk mereka.
Lebih lanjut, para ulama juga telah menyebutkan
bahwa yang dimaksud oleh Nabi dengan
kebencian para makmum itu
adalah pada tempatnya yang dibenarkan. Tetapi kalau mereka membencinya karena ia menjalankan sunnah, atau karena
ia melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar, tidak ada tempat bagi mereka untuk
membencinya. Kesimpulan ini diambil dari berbagai dalil syar’i.
Dan terkait dengan hal ini, berkata Ahmad dan Ishaq,“Jika yang membencinya
satu, dua atau tiga, maka tidak mengapa ia shalat bersama mereka, hingga dibenci
oleh kebanyakan kaum.” [6]
Yang Kedua
: Seseorang Yang Menjadi Imam Harus Mengetahui Hukum-Hukum Yang Berkaitan
Dengan Shalat, Dari Bacaan-Bacaan Shalat Yang Shahih, Hukum-Hukum Sujud Sahwi
Dan Seterusnya.
Karena seringkali kita mendapatkan seorang imam memiliki bacaan yang salah, sehingga merubah makna ayat, sebagaimana yang pernah dialami oleh al Ustadz Armen Halim dari sebagian imam sedang membawakan surat Al Lumazah, dia mengucapkan”Alladzi jaama`a maalaw wa `addadah”, dengan memanjangkan “Ja”, sehingga artinya berubah dari ‘mengumpulkan’ harta, menjadi ‘menyetubuhinya’. Na’udzubillah. [7]
Yang Ketiga : Mentakhfif
Shalat.
Yaitu mempersingkat shalat demi menjaga keadaan jama’ah dan untuk memudahkannya. Batasan dalam hal ini, ialah mencukupkan shalat dengan hal-hal yang wajib dan yang sunat-sunat saja, atau hanya mencukupkan hal-hal yang penting dan tidak mengejar semua hal-hal yang dianjurkan. [10]
Diantara
nash yang menerangkan hal ini, ialah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu:
"Jika salah seorang kalian shalat bersama manusia, maka hendaklah (dia) mentakhfif, karena pada mereka ada yang sakit, lemah dan orang tua. (Akan tetapi), jika dia shalat sendiri, maka berlamalah sekehendaknya" [8]
"Jika salah seorang kalian shalat bersama manusia, maka hendaklah (dia) mentakhfif, karena pada mereka ada yang sakit, lemah dan orang tua. (Akan tetapi), jika dia shalat sendiri, maka berlamalah sekehendaknya" [8]
Yang Keempat : Kewajiban
Imam Untuk Meluruskan Dan Merapatkan Shaf.
Ketika shaf dilihatnya telah lurus dan rapat,
barulah seorang imam bertakbir, sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengerjakannya.
Dari Nu`man bin Basyir Radhiyallahu 'anhu berkata,”Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam meluruskan shaf kami. Seakan-akan beliau meluruskan anak panah. Sampai beliau melihat, bahwa kami telah memenuhi panggilan beliau. Kemudian, suatu hari beliau keluar (untuk shalat). Beliau berdiri, dan ketika hendak bertakbir, nampak seseorang kelihatan dadanya maju dari shaf. Beliaupun berkata:
"Hendaklah kalian luruskan shaf kalian, atau Allah akan memecah-belah persatuan kalian" [9]
Adalah
Umar bin Khattab Radhiyallahu 'anhu mewakilkan seseorang untuk meluruskan shaf.
Beliau tidak akan bertakbir hingga dikabarkan, bahwa shaf telah lurus. Begitu
juga Ali dan Utsman Radhiyallahu ‘anhum melakukannya juga. ‘Ali
sering berkata,”Maju, wahai fulan! Ke belakang, wahai fulan!” [10]
Anas bin
Malik Radhiyallahu 'anhu berkata, “Adalah salah seorang kami menempelkan
bahunya ke bahu kawannya, kakinya dengan kaki kawannya.” Dalam satu riwayat
disebutkan,“Aku telah melihat salah seorang kami menempelkan bahunya ke bahu
kawannya, kakinya dengan kaki temannya. Jika engkau lakukan pada zaman
sekarang, niscaya mereka bagaikan keledai liar (tidak suka dengan hal itu,
pen).”[11]
Oleh karenanya, Busyair bin Yasar Al Anshari
berkata, dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, “Bahwa ketika beliau datang ke
Madinah, dikatakan kepadanya, ‘Apa yang engkau ingkari pada mereka semenjak
engkau mengenal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam?’ Beliau menjawab,
‘Tidak ada yang aku ingkari dari mereka kecuali mereka tidak merapatkan shaf’.”
[12]
Yang kelima : Meletakkan Orang-orang Yang Telah
Baligh Dan Berilmu.
Sebagaimana yang disabdakan oleh Rasullullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
"Hendaklah
yang mengiringiku orang-orang yang telah baligh dan berakal, kemudian
orang-orang setelah mereka, kemudian orang-orang setelah mereka, dan janganlah
kalian berselisih, niscaya berselisih juga hati kalian, dan jauhilah oleh
kalian suara riuh seperti di pasar" [13].
Yang Keenam : Menjadikan
Sutrah (Pembatas) Ketika Hendak Shalat.
Hadits yang menerangkan hal ini sangat masyhur. Diantaranya hadits Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhu :
"Janganlah shalat, kecuali dengan menggunakan sutrah (pembatas). Dan jangan biarkan seseorang lewat di hadapanmu. Jika dia tidak mau, maka laranglah dia, sesungguhnya bersamanya jin." [14]
Sedangkan dalam shalat berjama’ah, maka kewajiban
mengambil sutrah ditanggung oleh imam. Tidak ada perselisihan di kalangan para
ulama tentang hal ini. [15]
Kedelapan
: Dianjurkan bagi imam, ketika dia ruku’ agar memanjangkan sedikit ruku’nya,
manakala merasa ada yang masuk, sehingga (yang masuk itu) dapat memperoleh satu
raka’at, selagi tidak memberatkan makmum, karena kehormatan orang-orang yang
makmum lebih mulia dari kehormatan orang yang masuk tersebut.
Demikian diantara adab-adab dan kriteria imam
shalat berjamaah yang dapat saya sampaikan. Seperti yang telah disampaikan
sebelumnya bahwa sunnah-sunnah yang beliau contohkan kepada kita adalah mudah
untuk kita laksanakan, sepanjang masing-masing dari diri setiap Muslim
mempunyai semangat dan tekad untuk mengikuti sunnah Nabi kita tercinta
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Semoga tulisan ini bermanfaat khususnya bagi saya
pribadi, dan umumnya bagi para pembaca yang memerlukannya, dan semoga shalawat
dan salam senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam hingga datangnya hari kiamat..
Wallahu a’lam..
_____________
Catatan :
[1]. HR abu Daud, hadits ini shahih.
[2]. HR Muslim no. 436.
[3]. Kitab Mulakhkhsul Fiqhi, Syaikh Shalih bin
Fauzan, halaman 1/149.
[4]. HR Muslim 2/133. Lihat
Irwa` Ghalil 2/256-257.
[5]. HR Ibnu Majah no. 971. Hadits ini juga diriwayatkan melalui jalan
Thalhah, Abdullah bin Amr dan Abu Umamah Radhiyallahu ‘anhum.
[6]. Dha`if Sunan Tirmizi, halaman 39.
[7]. Risalah beliau dalam Majalah As-Sunnah edisi 07 Tahun VII/1424H/2003M.
[8]. HR Bukhari, Fathul Bari, 2/199, no. 703.
[9]. HR Muslim no. 436.
[10]. Lihat Jami` Tirmidzi, 1/439; Muwaththa`, 1/173
dan Al Umm, 1/233.
[11]. HR Abu Ya`la dalam Musnad, no. 3720 dan
lain-lain.
[12]. HR Bukhari no. 724.
[13]. HR Muslim no. 432 dan Ibnu Khuzaimah dalam
Shahih, no. 1572.
[14]. HR Muslim no. 260 dan
yang lainnya.
[15]. Fathul Bari, 1/572