Salurkan Zakat, Infaq, Shadaqah dan Wakaf anda ke ZISWAF al-Muhajirin

Panitia Renovasi Masjid Al-Muhajirin

renovasi Masjid Al-Muhajirin ke Bank Syariah Mandiri KCP Jatinangor an. Panitia Renovasi Al Muhajirin Nomor Rekening 1000-555-777

iklan

jazakamullah ahsanal jaza' semoga Allah SWT akan membalas kalian dengan balasan yang terbaik. aamiin yaa robbal 'alamiin...

Selasa, 18 Juni 2013

ULUMUL HADITS

Aris Saptiono


ULUMUL HADITS
ILMU HADITS DIRAYAH & RIWAYAH
Alquran dan Sunnah merupakan sumber syariat Islam yang tidak dapat dipisah-pisahkan lagi, karena umat Islam mustahil dapat memahami, apalagi mengamalkannya bila tidak merujuk kepada keduanya.
Begitu pentingnya keberadaan Sunnah disamping Alquran, maka kemurnian Sunnah tersebut harus benar-benar terpelihara, agar fungsinya sebagai bayan (penjelas) Alquran dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Karena itu para ulama telah berupaya menyusun suatu ilmu untuk menjaga keabadiannya. Ilmu ini dapat memberikan gambaran tentang ketelitian mereka dalam meriwayatkan hadis dan menetapkan berita, apakah datang dari Nabi atau yang lainnya, ilmu ini disebut ilmu hadits.
Ilmu hadits terbagi atas dua bagian besar, yaitu ilmu hadits riwayat dan ilmu hadis dirayah.
Ilmu Hadis Riwayah adalah suatu ilmu untuk mengetahui cara-cara penukilan, pemeliharaan dan pendewanan sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun persetujuannya.
Yang menjadi maudhu’ (objek kajian) ilmu hadis riwayah adalah :
1.    Cara periwayatan hadis, yang meliputi bagaimana cara penerimaan hadis dan penyampaiannya kepada orang lain.
2.    Penulisan atau pembukuan hadis.
Dengan demikian ilmu ini tidak berkompeten membicarakan ke-tsiqah-an rawi, permasalahan sanad dan rukakah (karancuan) matan hadis karena hal tersebut bukan merupakan objek kajian ilmu hadis riwayah. Sedangkan faidah mempelajari ilmu ini ialah untuk menghindari adanya kemungkinan salah kutip terhadap apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw.
Ulama pelopor dalam bidang ilmu ini ialah Muhammad bin Syihab Az-zuhri (51-124 H), seorang imam dan ulama besar di Hejaj dan Syam (Suriah), yang tercatat sebagai orang pertama yang menghimpun hadis-hadis Nabi saw. atas perintah khalifah Umar bin Abdul Aziz (memerintah 99-102 H/717-720 M).
Ilmu Hadis Dirayah adalah ilmu tentang pokok-pokok dan kaidah-kaidah untuk mengetahui hal ihwal sanad dan matan dari segi diterima dan ditolaknya.
Sasaran kajian ilmu ini adalah keadaan matan, sanad dan rawi hadis. Diantara masalah yang menjadi bahasan ilmu hadis dirayah adalah yang menyangkut pembagian hadis dari segi nilainya, yaitu hadis sahih, hasan dan daif. Demikian juga masalah usia rawi ketika menerima hadis, cara menerima dan menyampaikan hadis yang diriwayatkannya kepada orang lain. Sedangkan kegunaannya adalah untuk mengetahui dan menetapkan maqbul (diterima) dan mardud (ditolak)-nya suatu hadis.
Penelitian terhadap rawi untuk mengetahui diterima atau ditolak riwayatnya meliputi penelitian tentang keadaannya pada waktu menerima dan menyampaikan hadis kepada orang lain dan sifat tercela atau adil yang dimilikinya serta pengetahuan tentang negeri, keluarga, kelahiran dan wafatnya. Penelitian tentang hal ihwal marwi (yang diriwayatkan/sanad dan matan) menyangkut syarat-syarat periwayatan ketika menerima dan menyampaikan hadis kepada orang lain, bersambung atau terputus sanadnya, pengetahuan tentang cacat-cacatnya dan hal-hal lain yang berkaitan dengan diterima dan ditolaknya hadis tersebut. dan ilmu ini disebut juga mushthalah hadits, ushulul hadits dan ilmu hadits.
Sejarah dan Perintis Ilmu Dirayah
Ilmu dirayah menjadi alat bagi ilmu riwayah. Walaupun ilmu dirayah telah menjadi pembahasan para ulama sejak abad ke-2 H, namun ilmu ini belum tuntas dibahas secara khusus dalam sebuah kitab tertentu. Baru pada awal abad ke-4, ilmu ini dibukukan dan dijadikan satu fan ilmu yang berdiri sendiri, sejajar dengan ilmu-ilmu yang lain.
Yang pertama kali menyusun sebagai aspek pembahasan ilmu dirayah itu ialah Ali bin Al Madini, guru imam Al-Bukhari, sebagaimana juga dibahas oleh Al-Bukhari, Muslim dan At-Tirmidzi pada berbagai pembahasan mereka dalam beberapa risalah terpisah, yang belum tersusun secara berkaitan antara satu sama lainnya. Tetapi yang pertama kali membahas masalah ini secara benar-benar ilmiah dengan menyatukan bab-bab dan bahasan-bahasannya dalam satu karangan ialah Al-Qadhi Abu Muhammad Ar-Ramahhurmuzi (w.360 H), dengan kitabnya berjudul “Al-Muhadditsul Fashil bainar Rawi wal Wai’iy”, namun belum juga lengkap benar. Kemudian tampil Al-Hakim Abu Abdullah An-Naisaburi (w.405 H), yang menulis buku Ma’rifat Ulumul Hadits. Ini pun belum benar-benar cermat dan tertib. Maka diteruskan oleh Abu Nu’aim Al-Asbahani (w.430 H), yang menyusun prinsip-prinsip penuturan atau riwayat dalam buku yang dinamainya Al-Kifayah fi ilmir riwayah dan dalam buku lain yang bernama Al-Jami’ liadabisy syaikh was sami’, yang didalamnya dibahas secara rinci setiap cabang ilmu hadis dalam bagian-bagian yang tersendiri. Kemudian muncul Al-Qadhii ‘Iyadh (w. 544 H), yang menulis kitab Al-Ilma’ ila ma’rifati ushulil riwayah, yang dalam pembahasannya ia bersandar kepada karya Al-Khatib. Ia diikiuti oleh tampilnya syaikh Ibnu Shalah (w. 642 H), ia menulis buku yang terkenal dengan sebutan Muqaddimah Ibnu Shalah, yang ia diktekan kepada muridnya di Madrasah Asyrafiyyah di Damaskus tanpa tata urut yang mantap, namun merupakan kitab yang memuat berbagai hal yang terpancar dalam berbagai buku para ulama sebelumnya. Karena itu orang bersandar kepada buku itu dan banyak yang mencurahkan pikiran untuk mengkolaborasinya, baik dalam bentuk puisi maupun prosa, seperti kitab Alfiyah karya Al-Iraqi dan syarahnya oleh As-Skhawi, lalu kitab At-Taqrib karya An-Nawawi serta syarahnya Tadribur Rawi oleh As-Suyuti, dan banyak lagi kitab-kitab lain dalam bidang yang sama. Kitab Ibnu Shalah juga diringkaskan oleh Ibnu Katsir (w. 774 H) dalam kitabnya Ikhtishar Ulumil Hadits, lalu bermunculan berbagai karangan dalam bidang ini, yang paling terkenal ialah Alfiyah karya Al-‘Iraqi (w. 806 H) dan Nukhbatul Fikar fi Mushthalahil Atsar oleh Ibnu Hajar, dan yang terakhir ialah kitab Qawaidut Tahdits karya Al-Qasimi.
Cabang-cabang Ilmu Mushthalah Hadits
Ilmu Mushthalah Hadits atau ilmu dirayah terus berkembang menuju kesempurnaanya. Dalam perkembangan selanjutnya muncullah beberapa cabang ilmu hadis yang mempunyai objek pembahasan yang lebih spesifik yang berpangkal pada sanad, matan dan keduanya. Walaupun pembahasan ilmu-ilmu ini lebih mengarah kepada suatu objek tertentu, tetapi saling diperlukan dan erat hubungannya antara satu sama lain.
Cabang - cabang ilmu yang berkaitan dengan sanad :
-       Ilmu Rijalul Hadits
-       Ilmu Thabaqatur Ruwat
-       Ilmu Tarikhur Ruwat
-       Ilmu Al-Jarh wat Ta’dil
Cabang – cabang ilmu yang berkaitan dengan matan :
-       Ilmu Gharibil Hadits
-       Ilmu Asbabu Wurudil Hadits
-       Ilmu Tawarikhul Mutun
-       Ilmu Nasikh wal Mansukh
-       Ilmu Talfiqil Hadits
Cabang – cabang yang berpangkal pada sanad dan matan :
-       Ilmu ‘ilalul Hadits
Kajian – kajian terhadap sanad dan matan pada hakikaktnya adalah kajian kritis dan telah muncul sejak masa yang dini dari perkembangan hadis, baik itu dilakukan oleh para sahabat, para penulis hadits, maupun ulama – ulama hadits yang datang kemudian. Secara demikian, ilmu hadits memiliki peran yang sangat penting dalam menjamin terpeliharanya keaslian hadits sejak penerimaan pertama dari Nabi saw. sampai masa hadits dibukukan.

Senin, 17 Juni 2013

IBADAH PADA NISHFU SYA’BAN

Bp. Aris Saptiono


IBADAH-IBADAH PADA NISHFU SYA’BAN
Bagi sebagian kalangan, bulan Sya’ban—terutama masa pertengahannya (nishfu Sya'ban)—dianggap memiliki keutamaan, sehingga disikapi dengan mengadakan berbagai acara dan upacara.
Berdasarkan penelusuran sejarah tentang acara dan upacara pada nishfu Sya’ban itu, dapat diketahui bahwa kegiatan-kegiatan seperti itu pernah dilakukan oleh para pembesar Mesir dan orang-orang Yahudi pada tempo dulu. Kemudian upacara-upacara tersebut merembes masuk ke kalangan kaum muslimin secara sambung-menyambung dari satu generasi ke generasi yang lainnya hingga sekarang ini.
Berkenaan dengan masalah ibadah-ibadah pada malam nishfu Sya’ban, terdapat beberapa riwayat yang dianggap dapat menjadi landasan, namun oleh mayoritas ulama hadis riwayat-riwayat itu disinyalir sebagai riwayat maudhu (palsu). Untuk lebih memperjelas hal itu, di sini dapat dikemukakan hasil kajian terhadap beberapa riwayat yang berhubungan dengan itu sebagai berikut:
Pertama, hadis umum yang menerangkan anjuran saum dan salat pada nishfu  bulan Sya’ban
Ibnu Majah berkata, “Al-Hasan bin Ali Al-Khallal telah menceritakan kepada kami, ia berkata, ‘Abdurrazaq telah menceritakan kepada kami, ia berkata, ‘Ibnu Abu Sabrah telah memberitakan kepada kami, dari Ibrahim bin Muhammad, dari Mu'awiyah bin Abdullah bin Ja'far, dari Bapaknya,
Dari Ali bin Abu Thalib, ia berkata, ‘Rasulullah saw. bersabda, ‘Apabila (tiba) malam pertengahan  pada bulan Sya’ban, maka shalatlah di malam harinya dan berpuasalah di siang harinya. Sesungguhnya Allah turun ke langit bumi pada saat itu ketika matahari terbenam, kemudian Dia berfirman, ‘Adakah orang yang meminta ampun kepada-Ku, maka Aku akan mengampuninya? Adakah orang yang meminta rezeki maka Aku akan memberinya rezeki? Adakah orang yang mendapat cobaan maka Aku akan menyembuhkannya? Adakah yang begini, dan adakah yang begini, hingga terbit fajar’." (HR. Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, II:399, No. hadis 1388)
Hadis di atas diriwayatkan pula oleh Al-Baihaqi, dari Abdullah bin Yusuf Al-Ashbahani, dari Abu ishaq Ibrahim bin Ahmad bin Firas Al-Makkiy, dari Muhammad bin Ali bin Zaid Ash-Sha’igh, dari Al-Hasan bin Ali, dari ‘Abdurrazaq, dari ‘Ibnu Abu Sabrah, dari Ibrahim bin Muhammad, dari Mu'awiyah bin Abdullah bin Ja'far, dari Bapaknya,
Dari Ali bin Abu Thalib, ia berkata, ‘Rasulullah saw. bersabda, ‘Apabila (tiba) malam pertengahan  pada bulan Sya’ban, maka shalatlah di malam harinya dan berpuasalah di siang harinya, karena sesungguhnya Allah berfirman, ‘Adakah orang yang meminta ampun, maka Aku akan mengampuninya? Adakah orang yang meminta rezeki maka Aku akan memberinya rezeki? Adakah orang yang meminta maka Aku akan memberinya? Adakah yang begini, dan adakah yang begini, hingga terbit fajar’." (HR. Al-Baihaqi, Syu’aabul Iimaan, V:354, No. hadis 3542)
Al-Baihaqi meriwayatkan pula dari Abu Abdullah Al-Hafizh (Imam Al-Hakim), dari Ali bin Hamsyaadz, dari Ibrahim bin Abu Thalib, dari Al-hasan bin Ali Al-Hulwaniy, dan seterusnya. Dan pada matannya terdapat kalimat “Allah turun” dan kalimat:
 “Adakah orang yang mendapat cobaan maka Aku akan menyembuhkannya?”
Sebagai pengganti kalimat:
 “Adakah orang yang meminta maka Aku akan memberinya?” (Syu’aabul Iimaan, V:354)
Hadis di atas diriwayatkan pula oleh Ibnu Basyraan melalui Abul Hasan Ahmad bin Ishaq bin Munjaab, dari Al-Hasan bin Ali An-Najaar, dan seterusnya sebagaimana susunan sanad dan matan versi Ibnu Majah. (Al-Amaaliy Ibnu Basyraan, II:246, No. hadis 703)
Penjelasan para ulama
Kata Imam Al-Iraqi, “Hadisnya batil dan sanadnya dha’if." (Takhriij Ahaadits Ihyaa Uluumiddiin, II: 130)
Kata Imam As-Syaukani, “Hadis tersebut dha’if.” (Al-Fawaa’idul Majmuu’ah: 26)
Kata Syekh Al-Albani, “Hadis tersebut maudhuu’ (palsu).” (Dha’if At-Targhiib wat Tarhiib: 623)
Analisa kami
Hadis di atas dinilai dha’if, bahkan maudhuu’ karena semua jalur periwayatannya berpusat pada seorang rawi Ibnu Abu Syabrah. Namanya Abu Bakar bin Abdullah bin Muhammad bin Abu Syabrah bin Abu Ruhm. Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Ma’in mengatakan, “Dia memalsukan hadis.” Demikian pula dinyatakan oleh Ibnu Adi. (Lihat, Tahdziibul Kamaal fii Asmaa’ir Rijaal, XXXIII : 102-107)
Kedua, hadis-hadis yang menerangkan tata cara ibadah berupa salat, zikir-zikir, dan doa-doa pada nishfu Sya’ban 
A. Dari Ali bin Abu Thalib
Ibnul Jauzi meriwayatkan dari Muhammad bin Naashir Al-Haafizh, dari Abu Ali Al-Hasan bin Ahmad bin Al-Hasan Al-Haddaad, dari Abu Bakar  Ahmad bin Al-Fadhl bin Muhammad Al-Muqri, dari Abu Amr Abdurrahman bin Thalhah Ath-Thulaihiy, dari Al-Fadhl bin Muhammad Az-Za’faraaniy, dari Haarun bin Sulaiman, dari Ali bin Al-Hasan, dari Sufyan Ats-Tsauriy, dari Laits, dari Mujahid,
Dari Ali bin Abu Thalib, dari Nabi saw. bersabda, “Wahai Ali, barangsiapa yang shalat seratus rakaat pada malam Nishfu, dalam setiap rakaatnya membaca Fatihatul Kitab dan Qul Huwallahu Ahad sepuluh kali.” Dan ia bersabda, “Wahai Ali, barangsiapa dari hamba-Ku melaksanakan shalat-shalat ini, kecuali Allah akan menunaikan baginya seluruh keperluan yang ia minta pada malam itu...(redaksi hadisnya cukup panjang)HR. Ibnul Jauzi (Lihat, Ibnul Jauzi, Al-Maudhû’ât, II: 127;  As-Suyuthi, Al-La’âliul Mashnû’ah fîl Ahâdîtsil Al-Maudhû’ah, II : 57)
Keterangan Status hadis
Pada sanad hadis ini terdapat rawi bernama Laits bin Abu Sulaim dan Ali bin Al Hasan. Kedua rawi ini daif sebagaimana dinyatakan oleh para ahli hadis sebagai berikut:
(1) Ali bin Al Hasan bin Ya’mar As Sami Mishry. Ibnu Adi mengatakan, “Hadis-hadisnya batil.” (Lihat, Al Mughnî fîd Du’âfâ’, II : 444)
(2) Laits bin Abu Sulaim bin Zunaim Al Laitsi. Ia seorang rawi yang hidup pada masa kekhilafahan Yazid dan termasuk kepada thabaqat shighâr tâb’în (generasi tabiin yunior), wafat pada tahun 143 H. Di samping itu, ia juga tercatat sebagai seorang yang ahli ibadah. Namun dalam hal periwayatan hadits, padanya terdapat beberapa kelemahan, antara lain:
(a)Ikhtilât (pikun) pada akhir hayatnya sehingga ia tidak ingat lagi terhadap apa yang pernah diceritakannya. Ia juga seorang yang memaqlûbkan (menukar) sanad, memarfû’kan yang mursal, dan meriwayatkan dari rawi-rawi yang tsiqat hadits-hadits yang tidak ada pada mereka (yang tidak diriwayatkan). 
(b)Yahya bin Ma’in dan An Nasai mengatakan, “Ia dha’if.”  Pada kesempatan lain Ibnu Ma’in berkata, “Ia lebih dha’if daripada ‘Atha bin As Saib.”
(c)Ja’far bin Aban Al Hafidz bertanya kepada Ahmad bin Hanbal tentang Laits bin Abu Sulaim, ia menjawab, ‘Haditsnya dha’if sekali dan banyak salah.”  (Lihat, Imam Adz-Dzahabi, Siyaru A’lâmin Nubalâ’, VI: 179-184;  Ibnu Hiban, Kitâb Al-Majrûhîn, II: 231-232; Imam Adz-Dzahabi, Mîzânul I’tidâl, III : 420)
Abdullah bin Ahmad bin Hanbal mengatakan, “Aku mendengar ayahku berkata, ‘Bahwa Laits bin Abu Sulaim itu mudhtharribul hadîts (hadisnya tidak teratur), akan tetapi orang-orang banyak menerima hadis darinya.”  Mu’awiyah bin Shalih berkata, dari Yahya bin Main, “Laits bin Abu Syufyan itu dhaif, kecuali hadisnya dicatat.” (Lihat, Al-Mizziy, Tahdzîbul Kamâl fî Asmâ’ir Rijâl, XXIV : 284)
Dalam riwayat lain disebutkan:
Ali bin Abu Thalib ra. mengatakan, “Saya pernah melihat Nabi saw. pada malam nishfu Sya’ban bangun dan shalat empat belas rakaat, kemudian setelah selesai beliau duduk dan membaca Al Fatihah empat belas kali, membaca Qul Huwallahu Ahad empat belas kali, Qul A’udzu birrabbil falaq empat belas kali, Qul A’udzu birrabbin Nas empat belas kali, dan beliau membaca ayat Kursi satu kali walaqad jaakumur Rasul  (Ayat). Maka tatkala beliau selesai dari shalatnya, aku bertanya tentang apa yang aku lihat dari perbuatannya. Beliau menjawab, ‘Barangsiapa yang melakukan apa yang kamu lihat, maka baginya seperti (telah melakukan) dua puluh kali haji mabrur dan seperti shaum dua puluh tahun yang akan datang. Dan jika pagi  hari itu ia dalam keadaan shaum, maka itu seperti shaum enam puluh tahun yang telah lalu dan yang akan datang.” HR. Ibnul Jauzi dan Al-Baihaqi (Lihat, Ibnul Jauzi, Al-Maudhû’ât, II: 130;  As-Suyuthi, Al-La’âliul Mashnû’ah fîl Ahâdîtsil Al-Maudhû’ah, II : 59-60; Al-Baihaqi, Syu’âbul ÃŽmân, III: 386)
Keterangan Status hadis
Hadis di atas pun dhaif—bahkan palsu—sebagaimana  dikatakan oleh Ibnul Jauzi, “Hadis ini Maudhû’ (palsu) dan pada sanadnya terdapat kegelapan.” Pada sanadnya terdapat seorang rawi yang sering membuat hadis palsu bernama Muhammad bin Muhajir. Ahmad bin Hanbal mengatakan, “Ia itu suka memalsukan hadis.” (Lihat, Al-Maudhû’at, II: 130)
Kata Imam Al-Baihaqi, “Imam Ahmad berkata, ‘Hadis ini menyerupai hadis palsu, dan ia diingkari dan pada periwayatan sebelum Usman bin Sa’id terdapat para rawi yang majhul’.” (Lihat, Syu’âbul ÃŽmân, III: 386)
B.  Dari Ibnu Umar
Dari Ibnu umar berkata; Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang membaca qul Huwallahu Ahad  pada malam nishfu Sya’ban seribu kali pada seratu rakaat, maka ia tidak akan keluar dari dunia sehingga Allah mengutus kepadanya dalam tidurnya (mimpi) seratus malaikat menghampirinya dan memberi kabar gembira dengan surga, tiga puluh malaikat mengamankannya dari neraka, tiga puluh lagi memelihara dari kesalahannya, dan sepuluh lagi akan memperdayakan orang yang memusuhinya.” HR. Ibnul Jauzi (Lihat, Ibnul Jauzi, Al-Maudhû’ât, II: 128;  As-Suyuthi, Al-La’âliul Mashnû’ah fîl Ahâdîtsil Al-Maudhû’ah, II : 58-59)
Keterangan Status hadis
Pada sanad hadis ini terdapat rawi-rawi yang majhûl (tidak dikenal), dan setelah kami teliti ternyata banyak sekali rawi-rawi yang tidak terdapat dalam kitab-kitab rijâl al-hadîts.
Ibnul Jauzi berkomentar, “Kami tidak ragu lagi bahwa hadis ini Maudhû’. Kebanyakan rawi-rawi pada ketiga jalur periwayatan ini majhul, dan di antara mereka ada juga yang dhaif.” (Al-Maudhû’ât, II: 129)
C.  Abu Huraerah
Dari Abu Hurairah, dari Nabi saw. bersabda, “Barangsiapa yang shalat pada malam nishfu Sya’ban sebanyak dua belas rakaat, ia membaca Qul Huwallahu Ahad pada setiap rakaatnya sebanyak tiga puluh kali, maka ia tidak akan keluar sebelum terlebih dahulu melihat tempat duduknya di surga, dan memberi syafaat (menyelamatkan) sepuluh orang dari keluarga rumahnya yang semuanya sudah akan masuk neraka…” HR. Ibnul Jauzi (Lihat, Ibnul Jauzi, Al-Maudhû’ât, II: 129;  As-Suyuthi, Al-La’âliul Mashnû’ah fîl Ahâdîtsil Al-Maudhû’ah, II : 59)
Keterangan Status hadis
Hadis ini juga dhaif karena pada sanadnya terdapat sekelompok rawi-rawi yang majhul, selain itu terdapat rawi Baqiyah dan Laits bin Abu Sulaim). Kedua rawi ini dha’if (sebagaimana telah diterangkan di atas). (Lihat, Ibnul Jauzi, Al-Maudhû’ât, II: 129)
Dan perlu diketahui bahwa hadis-hadis yang menerangkan ibadah salat, doa-doa, dan keutamaan-keutamaan yang berkenaan dengan nishfu Sya’ban itu masih banyak lagi dan keseluruhan hadis-hadis tersebut dha’if, bahkan palsu.
Komentar Para Ulama Tentang Ibadah Nishfu Sya’ban
(a) Muhammad Abdus Salam mengatakan, “Salat enam rakaat pada malam nishfu Sya’ban dengan niat untuk menghilangkan bala, memanjangkan umur, dan mengharap kekayaan, dengan bacaan surat Yasin, dan doa di antaranya adalah tidak diragukan lagi bahwa hal seperti itu diada-adakan dalam agama dan bertentangan dengan sunnah Sayidul Mursalin (Nabi Muhammad saw.).”
(b) Pensyarah Al Ihya mengatakan, “Shalat ini termasyhur pada kitab-kitab terkemudian dari ulama Shufi, dan aku tidak melihat satu sanad pun yang sahih dari sunah, baik salat ataupun berdoa pada malam itu kecuali amal para syaikh.”
(c) An Nazm Al ghaithi mengatakan, “Tentang menghidupkan  upacara ibadah-ibadah pada malam Nishfu Sya’ban dengan berjamaah itu diingkari oleh kebanyakan ahlil Hijaz, di antaranya Atha, Ibnu Abu mulaikah, para ahli fiqih Madinah, dan sahabat Malik. Mereka mengatakan bahwa hal itu seluruhnya bid’ah, dan tidak ada satupun dalil tentang salat itu baik dari Nabi saw. ataupun para sahabat.”
(d) Imam An Nawawi mengatakan, “Shalat pada pertengahan bulan Rajab dan Sya’ban itu bid’ah yang sangat dibenci.” (Lihat, As-Sunan Wal Mubatadâ’ât: 145)
Berdasarkan keterangan-keterangan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ibadah berupa salat, dzikir-dzikir, doa-doa, dan saum yang bertalian dengan pertengahan bulan Sya’ban itu tidak ada dalam syariat Islam.

Pembangunan Masjid Al-Muhajirin

Pengecoran Tiang Masjid Al-Muhajirin
Griyamitra, 17 Juni 2013. Alhamdulillah renovasi pengembangan masjid al-muhajirin telah menyelesaikan pengecoran tiang/pilar utama, dilaksanakan pada hari ahad 16 juni 2013 dengan kerjabakti bersama jama'ah al-muhajirin. kami atas nama panitia mengucapkan terimakasih atas partisipasi jama'ah yang telah meluangkan waktunya dalam kerjabakti (kemarin). kami masih dan akan selalu menghimbau kepada jama'ah khususnya warga griya mitra RW.026 umumnya kaum muslimin dan muslimat dimanapun berada untuk menginfaqkan atau mewakafkan sebagian rezekinya untuk pembangunan masjid al-muhajirin griya mitra cinunuk cileunyi. sampai saat ini kami masih membutuhkan material perminggu berupa:
1. semen sebanyak 150 sak
2. pasir cor 
3. pasir pasang 
4. batu spit
kepada jama'ah yang akan menyumbangkan bahan material bisa langsung dikirim langsung ke lokasi proyek masjid almuhajirin Jl. Mitra Sejati Raya atau dapat menghubungi Bp. Wawan Riana Hp. 08122397806. 
untuk yang akan berinfaq/wakaf berupa uang dapat menghubungi ust. Zein Hp. 085222005585 atau ust. Arif Hp. 085721918993 atau dapat juga di tranfer ke Bank Syariah Mandiri Norek. 1000555777 an. Panitia Renovasi Al Muhajirin.
Daftar para penyumbang bahan material :
1. BMT Itqan sebanyak 15 sak semen
2. Hamba Allah sebanyak 16 sak semen 
3. Bp. H. Engkos Koswara 20 sak semen 
4. Ibu Dickriana sebanyak pasir 2 pick up dan semen sebanyak 6 sak
kami atas nama panitia pembangunan mengucapkan jazakumullah ahsanal jaza' semoga Allah SWT akan membalas jama'ah dengan balasan yang terbaik. aamiin yaa robbal 'alamiin...

Contact Person :
1. Ust. Aminudin Hp. 081321969741
2. Ust. Cecep Sarip Hidayat Hp. 08112234265
3. Yudha Negara Hp. 081221891000
4. Adang Wiguna Hp.085294166609
5. Iyan Rofiyanto Hp. 081312082987
6. Ijang Sudrajat Hp.  081809407848

Rabu, 12 Juni 2013

Laporan Keuangan Panitia Renovasi Masjid per 8 Juni 2013

http://www.mediafire.com/view/01iyc996jgd06i9/panitia_pembangunan_masjid_PER_8_JUNI.xlsx

TASAWUF


Aris Saptiono

TASAWUF
Di zaman Nabi Nuh a.s ada lima tuhan yang mereka sembah, Nuh a.s adalah Rasul pertama yang Allah utus di bumi, kaumnya sengaja mempertahankan penyembahan tuhan-tuhan itu agar Nuh a.s tidak didengar walaupun Nuh a.s sudah berusaha sedemikian rupa agar kaumnya selamat dari azab Allah. Tuhan-tuhan yang mereka sembah itu, sengaja diberi nama, paling tidak agar orang-orang meyakini kebenaran tuhan-tuhan itu.
Berkatalah mereka penyembah-penyembah berhala itu, “Janganlah kamu meninggalkan tuhan-tuhan kamu, janganlah kamu meninggalkan tuhan WAD, tidak SUWA’, tidak YAGUTS, YA’UQ, NASHR. Q.s Nuh : 23
Nama-nama diatas adalah nama-nama orang yang saleh, yang mendapat simpati dari manusia banyak, yang dianggap berjasa dan yang menjadi buah hati mereka, kemudian keberadaan mereka dilestarikan dengan cara mempatungkan dan mengabadikan nama-nama mereka, bukan hanya sampai disini, malah mereka lebih menghormati dan menganggap serba bisa setelah mereka mati, terus menerus mereka bertawasul dengan cara berdiam (semacam semedi) diatas kuburan-kuburannya dan menyampaikan permohonan agar memberi jalan keluar dari berbagai macam kesulitan.
Ummu Salamah adalah salah seorang yang hijrah ke Habsyah, muhajirin dari Mekkah ke Habsyah ini mendapat perlindungan dari Ashamah raja Habsyah yang bergelah Najasyi. Setelah mereka mendengar bahwa Rasulullah saw. telah hijrah ke Madinah dengan izin dan pengawalan tentara Habsyah mereka kembali langsung ke Madinah. Ummu Salamah menerangkan kepada Rasulullah saw, bahwa di Habsyah ia melihat sebuah runah ibadah ibadah (gereja) bernama Maria, ternyata Rasulullah saw telah melihat pula (dengan wahyu) bahwa mereka itu adalah suatu kaum yang bila orang-orang saleh dikalangan mereka mati, kemudian mereka mendirikan bangunan tempat ibadah diatasnya dan mempatungkan orang-orang yang mati itu, mereka itu adalah sejahat-jahat manusia menurut pandangan Allah swt. H.R Al-Bukhari
Apa yang dilakukan oleh kaum Nuh as. itu ada pengaruhnya pula terhadap orang-orang Nashara yaitu mereka menyembah tuhan mereka dengan keharusan dhahir (tampak), padahal bagaimana dapat dijamin, bahwa benar-benar patung yang mereka yakini itu demikianlah adanya, apalagi bila patung itu dibuat setelah yang dipatungkan itu telah terlalui oleh masa sekian lama dan dalam situasi dan kondisi teknologi tidak seperti zaman sekarang ini dan bagaimana bila nanti Isa as turun lalu ternyata bahwa gambar/patung itu tidak sesuai dengan kenyataannya.
Allah swt. menarik perhatian manusia, tatkala Muhammad saw. diutus bagaimana keadaan zaman yang terkenal dengan sebutan zaman Jahiliyyah, segolongan dari musyrikin memiliki berhala yang mereka namakan dengan nama-nama perempuan yaitu Al Lat, Al Uzza, Al Manat. Segolongan dari mereka juga mengatakan berhala-berhala tersebut dan juga malaikat-malaikat itu, anak-anak perempuan Allah, sedang mereka sendiri tidak suka kepada anak-anak perempuan, bahkan mereka bunuh, maka diayat-ayat ini Allah bertanya : Tunjukkanlah apa dia kekuasaan berhala-berhala (tuhan-tuhan kamu)! Patutkah kamu sandarkan perempuan-perempuan kepada Allah, sedang buat kamu sendiri kamu pilih yang laki-laki? Bukankah yang demikian itu pembagian yang tidak adil?
Yang tersebut tadi (diatas), tidak lain melainkan nama-nama bikinan kamu dan orang-orang tua kamu, yang mana tidak dengan izin Allah sedikit pun juga. Dalam hal tersebut, mereka yang musyrik itu menurut hawa nafsu, padahal dengan perantara Muhammad, Allah telah turunkan hidayah, tetapi mereka tidak mau turut. Apakah manusia yang musyrik dan kafir itu menyangka, dengan membikin dan menyembah berhala-berhala itu ia akan mendapat kebahagiaan di dunia dan dia akhirat. Maka persangkaan kaum musyrikin itu salah, mereka tidak akan mendapatkan keselamtan di dunia dan di akhirat, karena kedua-duanya itu adalah kepunyaan Allah, bukan kepunyaan berhala-berhala. A.H Hasan Tafsir Al Furqan :1040-1041
Dengan keterangan-keterangan diatas, sungguh telah jelas bahwa agama yang bersih itu adalah kepunyaan Allah, tetapi orang-orang yang menganggap tuhan-tuhan selain dari Allah itu mengatakan, “Kami tidak menyembah mereka melainkan agar mereka menghampirkan kami dengan suatu kedekatan dengan Allah.” Az-Zumar : 3
Allah telah mengutus RasulNya dengan membawa keterangan-keterangan yaitu Quran dan penjelasan-penjelasannya, tak ada yang beliau katakan dan beliau amalkan kecuali ada pembenarannya dalam Quran itu. Hal ini telah terbukti dalam waktu yang tidak singkat dan telah terbentuk sebuah jama’ah, yang terkenal dengan Jama’atul Ula (Sawadul A’dlam), sehingga terkenal, bahwa siapa pun yang sesuai dengan petunjuk Rasul dan amal para sahabatnya mereka itu adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah dimana dan kapan pun mereka berada.
Para ahli ilmu sepakat, bahwa yang dimaksud dengan Sunnah itu adalah : Kata, Perbuatan dan persetujuan beliau terhadap kata dan perbuatan para sahabatnya.
Dengan demikian Sunnah itu pun adalah wahyu sebagai penjelas Quran, sebagimana sabda beliau :
“Aku diberi Quran dan sebanyak itu pula bersamanya (penjelasannya).” H.R. Ahmad
Para sahabat pernah ditanya oleh beliau dengan pertanyaan sebagai berikut :
Bukankah kamu sudah bersaksi, bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan sesungguhnya aku Rasulullah, mereka menjawab : “Benar”, selanjutnya beliau besabda, “sesungguhnya Quran ini (seperti seutas tali) satu ujung di tangan Allah dan ujung yang lainnya di tangan kamu, peganglah erat-erat, pastilah kamu tidak akan tersesat sampai kapan pun.” H.R. At-Thabrani.
Bila kita menyimak keterangan diatas, bahwa beliau itu adalah selaku penjelas Quran, ambil contoh : “Aqimus Shalah” (dirikanlah shalat) secara pribadi baliau tidak mengetahui, apa dan bagaimana itu? Karena itu dalam riwayat Isra Mi’raj, setelah baliau dipanggil Allah Ke langit, hanya menerima perintah shalat yang lima, belum jelas kapan waktunya, bagaimana caranya dan lain sebagainya.
Muhammad Rasulullah diutus bukan untuk mensurgakan siapa pun termasuk putrinya, tetapi beliau diutus untuk menunjukan jalan, karena siapa pun tak ada yang mengetahui baik jalan ke surga maupun ke neraka.
“Beramalah engkau Fatimah, karena aku tidak dapat membebaskanmu dari azab Allah sedikit pun.” H.R. Muslim
Disampaikan oleh sahabat Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw. telah bersabda :
“Semua umatku akan masuk surga kecuali yang tidak mau. Para sahabat bertanya, “siapakah yang tidak mau itu wahai Rasulullah?” Sabdanya, “siapa yang taat kepadaku akan masuk surga dan siapa yang durhaka keapdaku sungguh ia telah menolak (masuk surga itu).” H.R. Al-Bukhari, Fathul Bari, XII:310
Pernah pula para sahabat mendengar Aisyah ummul mukminin berkata, “Rasulullah saw. apabila memerintah apa-apa yang mereka mampu melakukannya”. Mereka berkat, “Sesungguhnya kami tidak sebagaimana engkau wahai Rasulullah, Allah telah mengampuni dosa-dosamu yang telah lalu dan yang akan datang.” Maka Rasulullah saw. marah sampai kemarahan itu terlihat diwajahnya yang paling taqwa dan paling mengetahui Allah itu adalah aku.” H.R. Al-Bukhari, Fathukl Bari, I:95
Dari kedua hadis diatas ini kita dapat mengambil kesimpulan bahwa siapa pun tidak akan mencapai kesucian, kebersihan dan keistimewaan dalam ber-Taqarub kepada Allah kecuali bila beramal sesuai dengan contoh Rasulullah saw.
Siapa pun tidak diizinkan membuat atau menciptakan tarekat-tarekat sendiri, apalagi dengan tarekat yang diciptakan itu lahir keyakinan akan memiliki kekuatan untuk melintas batas-batas kegaiban.
Hal seperti ini pada hakekatnya hanyalah merupakan tahayul belaka yang akan mengakibatkan terciptanya ibadah-ibadah diluar Sunnah Rasulullah saw. Bukankah yang demikian itumerupakan agama baru yang diciptakan atas nama Allah?
“Atau adakah bagi mereka sekutu-sekutu yang mengaturkan bagi mereka sebagai agama sesuatu yang tidak Allah izinkan.” Q.S. Asy Syura : 21
“Ketahuilah, Hanya Alla-lah yang mengetahui hal yang gaib dan Ia tidak menerangkan urusan gaib itu kepada siapa pun kecuali kepada seorang Rasul yang diridoiNya. Maka sesungguhnya Ia adakan di depanNya serta di belakangNya penjagaan.” Q.S. Jin : 26-27
Selain ayat ini masih banyak ayat-ayat lainnya yang semakna bahwa urusan gaib itu hanyalah dapat diketahui bila disampaikan oleh seorang nabi atau rasul dengan wahyu Allah swt yang sampai kepadanya.
Didalam sebuah hadis riwayat Muslim diceritakan bahwa Rasulullah saw pernah jatuh dari kudanya hingga bagian samping kanan badannya terdapat banyak lecet dan beliau tidak dapat mengimami shalat berjamaah sebagaimana biasanya. Maka para sahabat menjenguk dirumahnya, dan beliau pun mengimami shalat berjamaah sambil duduk.
Dengan keterangan ini jelaslah bahwa jika Rasulullah saw mengetahui hal gaib yaitu kejadian yang akan menimpanya, tentu beliau tidak akan berangkat. Jadi jangankan tentang gaibnya surga dan neraka, tentang apa yang akan menimpanya pun beliau tidak mengetahuinya. Maka apabila sesorang dengan alasan apapun menyatakan mengetahui hal gaib bukan karena berdasarkan wahyu dari Allah swt melalui NabiNya, maka ia sesat dan menyesatkan.
Cukuplah bagi yang beriman kepada Allah dan RasulNya, bahwa Rasulullah saw itu penuntun dan pembimbing cara ber-taqarrub dan beribadah kepada Allah swt. Yang pasti tidak ada satu pun jalan yang lain yang akan diterima oleh Allah kecuali mengikuti petunjuk dan bimbingan RasulNya itu.
Diceritakan oleh sahabat Ibnu Mas’ud bahwa pernah suatu ketika Rasulullah bersama-sama dengan para sahabat, lalu beliau menggoreskan sebuah garis lurus dengan tangannya, kemudian beliau pun membuat beberapa garis ke arah kanan dan kiri garis lurus itu. Maka beliau bersabda, “inilah As Subul (banyak jalan) yang tidak ada satu pun darinya kecuali niscaya padanya terdapat syaitan yang menyeru agar kejalan itu. Lalu baliau membacakan ayat, “Sesungguhnya inilah jalanku yang istiqamah, maka ikutilah oleh kalian jalan ini dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan itu karena kalian akan menjauh dari jalanku.” H.R. Ahmad-lihat Q.S Al An’am : 153
Sahabat Qatadah menjelaskan bahwa (makna) ayat ...”Sesungguhnya inilah jalanku yang lurus, ikutilah oleh kamu jalan ini dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (lain) itu..” adalah jamaah alhuda (jamaah Rasul dan para sahabatnya) yang tujuan lajunya adalah Al-Jannah (surga), sedangkan iblis sengaja menciptakan jalan-jalan lain yang terpecah-pecah, jamaahnya adalah jamaah dhalalah (kesesatan) yang arah lajunya ke An-Naar (neraka).
Sesungguhnya aku telah meninggalkan pada kamu sekalian yang apabila kalian berpegang teguh dengannya, kalian tidak akan tersesat selamanya, kitab Allah dan Sunnah RasulNYa. H.R. Al Hakim
Dengan uraian diatas telah gamblang, bahwa bila ada yang ber-taqarrub/beribadah kepada Allah swt untuk mencapai rahmat dan keridoan-Nya lebih dari pada Nabi saw. pastilah wajib bagi kita untuk tidak mengambil lebih itu, padahal tasawuf bukan bagian integral dari Islam.
Wallahu a’lam bish-shawab