Bp. Aris Saptiono |
IBADAH-IBADAH
PADA NISHFU SYA’BAN
Bagi sebagian kalangan, bulan
Sya’ban—terutama masa pertengahannya (nishfu Sya'ban)—dianggap memiliki
keutamaan, sehingga disikapi dengan mengadakan berbagai acara dan upacara.
Berdasarkan penelusuran sejarah
tentang acara dan upacara pada nishfu Sya’ban itu, dapat diketahui bahwa
kegiatan-kegiatan seperti itu pernah dilakukan oleh para pembesar Mesir dan
orang-orang Yahudi pada tempo dulu. Kemudian upacara-upacara tersebut merembes
masuk ke kalangan kaum muslimin secara sambung-menyambung dari satu generasi ke
generasi yang lainnya hingga sekarang ini.
Berkenaan dengan masalah
ibadah-ibadah pada malam nishfu Sya’ban, terdapat beberapa riwayat yang
dianggap dapat menjadi landasan, namun oleh mayoritas ulama hadis riwayat-riwayat
itu disinyalir sebagai riwayat maudhu (palsu). Untuk lebih memperjelas
hal itu, di sini dapat dikemukakan hasil kajian terhadap beberapa riwayat yang
berhubungan dengan itu sebagai berikut:
Pertama, hadis umum yang menerangkan
anjuran saum dan salat pada nishfu bulan Sya’ban
Ibnu Majah berkata, “Al-Hasan bin
Ali Al-Khallal telah menceritakan kepada kami, ia berkata, ‘Abdurrazaq telah
menceritakan kepada kami, ia berkata, ‘Ibnu Abu Sabrah telah memberitakan
kepada kami, dari Ibrahim bin Muhammad, dari Mu'awiyah bin Abdullah bin Ja'far,
dari Bapaknya,
Dari
Ali bin Abu Thalib, ia berkata, ‘Rasulullah saw. bersabda, ‘Apabila (tiba)
malam pertengahan pada bulan Sya’ban, maka shalatlah di malam harinya dan
berpuasalah di siang harinya. Sesungguhnya Allah turun ke langit bumi pada saat
itu ketika matahari terbenam, kemudian Dia berfirman, ‘Adakah orang yang
meminta ampun kepada-Ku, maka Aku akan mengampuninya? Adakah orang yang meminta
rezeki maka Aku akan memberinya rezeki? Adakah orang yang mendapat cobaan maka
Aku akan menyembuhkannya? Adakah yang begini, dan adakah yang begini, hingga
terbit fajar’." (HR. Ibnu Majah, Sunan
Ibnu Majah, II:399, No. hadis 1388)
Hadis di atas diriwayatkan pula oleh
Al-Baihaqi, dari Abdullah bin Yusuf Al-Ashbahani, dari Abu ishaq Ibrahim bin
Ahmad bin Firas Al-Makkiy, dari Muhammad bin Ali bin Zaid Ash-Sha’igh, dari
Al-Hasan bin Ali, dari ‘Abdurrazaq, dari ‘Ibnu Abu Sabrah, dari Ibrahim bin
Muhammad, dari Mu'awiyah bin Abdullah bin Ja'far, dari Bapaknya,
Dari
Ali bin Abu Thalib, ia berkata, ‘Rasulullah saw. bersabda, ‘Apabila (tiba)
malam pertengahan pada bulan Sya’ban, maka shalatlah di malam harinya dan
berpuasalah di siang harinya, karena sesungguhnya Allah berfirman, ‘Adakah
orang yang meminta ampun, maka Aku akan mengampuninya? Adakah orang yang
meminta rezeki maka Aku akan memberinya rezeki? Adakah orang yang meminta maka
Aku akan memberinya? Adakah yang begini, dan adakah yang begini, hingga terbit
fajar’." (HR. Al-Baihaqi, Syu’aabul
Iimaan, V:354, No. hadis 3542)
Al-Baihaqi meriwayatkan pula dari
Abu Abdullah Al-Hafizh (Imam Al-Hakim), dari Ali bin Hamsyaadz, dari Ibrahim
bin Abu Thalib, dari Al-hasan bin Ali Al-Hulwaniy, dan seterusnya. Dan pada
matannya terdapat kalimat “Allah turun” dan kalimat:
“Adakah orang yang mendapat cobaan maka Aku
akan menyembuhkannya?”
Sebagai pengganti kalimat:
“Adakah orang yang meminta maka Aku akan
memberinya?” (Syu’aabul Iimaan, V:354)
Hadis di atas diriwayatkan pula oleh
Ibnu Basyraan melalui Abul Hasan Ahmad bin Ishaq bin Munjaab, dari Al-Hasan bin
Ali An-Najaar, dan seterusnya sebagaimana susunan sanad dan matan versi Ibnu
Majah. (Al-Amaaliy Ibnu Basyraan, II:246, No. hadis 703)
Penjelasan para ulama
Kata Imam Al-Iraqi, “Hadisnya batil
dan sanadnya dha’if." (Takhriij Ahaadits Ihyaa Uluumiddiin, II:
130)
Kata Imam As-Syaukani, “Hadis
tersebut dha’if.” (Al-Fawaa’idul Majmuu’ah: 26)
Kata Syekh Al-Albani, “Hadis
tersebut maudhuu’ (palsu).” (Dha’if At-Targhiib wat Tarhiib: 623)
Analisa kami
Hadis di atas dinilai dha’if, bahkan
maudhuu’ karena semua jalur periwayatannya berpusat pada seorang rawi
Ibnu Abu Syabrah. Namanya Abu Bakar bin Abdullah bin Muhammad bin Abu Syabrah
bin Abu Ruhm. Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Ma’in mengatakan, “Dia memalsukan
hadis.” Demikian pula dinyatakan oleh Ibnu Adi. (Lihat, Tahdziibul Kamaal
fii Asmaa’ir Rijaal, XXXIII : 102-107)
Kedua,
hadis-hadis yang menerangkan tata cara ibadah berupa salat, zikir-zikir, dan
doa-doa pada nishfu Sya’ban
A.
Dari Ali bin Abu Thalib
Ibnul
Jauzi meriwayatkan dari Muhammad bin Naashir Al-Haafizh, dari Abu Ali Al-Hasan
bin Ahmad bin Al-Hasan Al-Haddaad, dari Abu Bakar Ahmad bin Al-Fadhl bin
Muhammad Al-Muqri, dari Abu Amr Abdurrahman bin Thalhah Ath-Thulaihiy, dari
Al-Fadhl bin Muhammad Az-Za’faraaniy, dari Haarun bin Sulaiman, dari Ali bin
Al-Hasan, dari Sufyan Ats-Tsauriy, dari Laits, dari Mujahid,
Dari
Ali bin Abu Thalib, dari Nabi saw. bersabda, “Wahai Ali, barangsiapa yang
shalat seratus rakaat pada malam Nishfu, dalam setiap rakaatnya membaca
Fatihatul Kitab dan Qul Huwallahu Ahad sepuluh kali.” Dan ia bersabda, “Wahai
Ali, barangsiapa dari hamba-Ku melaksanakan shalat-shalat ini, kecuali Allah
akan menunaikan baginya seluruh keperluan yang ia minta pada malam itu...(redaksi
hadisnya cukup panjang)” HR. Ibnul Jauzi (Lihat,
Ibnul Jauzi, Al-Maudhû’ât,
II: 127; As-Suyuthi,
Al-La’âliul Mashnû’ah fîl
Ahâdîtsil Al-Maudhû’ah, II : 57)
Keterangan
Status hadis
Pada
sanad hadis ini terdapat rawi bernama Laits bin Abu Sulaim dan Ali bin Al
Hasan. Kedua rawi ini daif sebagaimana dinyatakan oleh para ahli hadis sebagai
berikut:
(1) Ali bin Al Hasan bin Ya’mar As Sami
Mishry. Ibnu Adi mengatakan, “Hadis-hadisnya
batil.” (Lihat, Al Mughnî
fîd Du’âfâ’,
II : 444)
(2) Laits bin Abu Sulaim bin Zunaim Al
Laitsi. Ia seorang rawi yang hidup pada masa kekhilafahan
Yazid dan termasuk kepada thabaqat
shighâr tâb’în (generasi
tabiin yunior), wafat pada tahun 143 H. Di samping itu, ia juga tercatat
sebagai seorang yang ahli ibadah. Namun dalam hal periwayatan hadits, padanya
terdapat beberapa kelemahan, antara lain:
(a)Ikhtilât (pikun) pada
akhir hayatnya sehingga ia tidak ingat lagi terhadap apa yang pernah
diceritakannya. Ia juga seorang yang memaqlûbkan
(menukar) sanad, memarfû’kan
yang mursal,
dan meriwayatkan dari rawi-rawi yang tsiqat hadits-hadits yang tidak ada pada
mereka (yang tidak diriwayatkan).
(b)Yahya
bin Ma’in dan An Nasai mengatakan, “Ia dha’if.” Pada kesempatan lain Ibnu
Ma’in berkata, “Ia lebih dha’if daripada ‘Atha bin As Saib.”
(c)Ja’far
bin Aban Al Hafidz bertanya kepada Ahmad bin Hanbal tentang Laits bin Abu
Sulaim, ia menjawab, ‘Haditsnya dha’if sekali dan banyak salah.” (Lihat,
Imam Adz-Dzahabi, Siyaru
A’lâmin Nubalâ’, VI: 179-184; Ibnu Hiban, Kitâb Al-Majrûhîn, II:
231-232; Imam Adz-Dzahabi, Mîzânul
I’tidâl, III : 420)
Abdullah
bin Ahmad bin Hanbal mengatakan, “Aku mendengar ayahku berkata, ‘Bahwa Laits
bin Abu Sulaim itu mudhtharribul
hadîts (hadisnya tidak teratur),
akan tetapi orang-orang banyak menerima hadis darinya.”
Mu’awiyah bin Shalih berkata, dari Yahya bin Main, “Laits bin Abu Syufyan itu
dhaif, kecuali hadisnya dicatat.” (Lihat, Al-Mizziy, Tahdzîbul Kamâl fî Asmâ’ir Rijâl, XXIV : 284)
Dalam
riwayat lain disebutkan:
Ali
bin Abu Thalib ra. mengatakan, “Saya pernah melihat Nabi saw. pada malam nishfu
Sya’ban bangun dan shalat empat belas rakaat, kemudian setelah selesai beliau
duduk dan membaca Al Fatihah empat belas kali, membaca Qul Huwallahu Ahad empat
belas kali, Qul A’udzu birrabbil falaq empat belas kali, Qul A’udzu birrabbin
Nas empat belas kali, dan beliau membaca ayat Kursi satu kali walaqad jaakumur
Rasul (Ayat). Maka tatkala beliau selesai dari shalatnya, aku bertanya
tentang apa yang aku lihat dari perbuatannya. Beliau menjawab, ‘Barangsiapa
yang melakukan apa yang kamu lihat, maka baginya seperti (telah melakukan) dua
puluh kali haji mabrur dan seperti shaum dua puluh tahun yang akan datang. Dan
jika pagi hari itu ia dalam keadaan shaum, maka itu seperti shaum enam
puluh tahun yang telah lalu dan yang akan datang.” HR.
Ibnul Jauzi dan Al-Baihaqi (Lihat, Ibnul Jauzi, Al-Maudhû’ât, II: 130; As-Suyuthi, Al-La’âliul Mashnû’ah fîl Ahâdîtsil
Al-Maudhû’ah,
II : 59-60; Al-Baihaqi, Syu’âbul
Îmân, III: 386)
Keterangan
Status hadis
Hadis
di atas pun dhaif—bahkan palsu—sebagaimana dikatakan oleh Ibnul Jauzi,
“Hadis ini Maudhû’ (palsu)
dan pada sanadnya terdapat kegelapan.” Pada sanadnya terdapat seorang rawi yang
sering membuat hadis palsu bernama Muhammad bin Muhajir. Ahmad bin Hanbal
mengatakan, “Ia itu suka memalsukan hadis.” (Lihat, Al-Maudhû’at, II: 130)
Kata
Imam Al-Baihaqi, “Imam Ahmad berkata, ‘Hadis ini menyerupai hadis palsu, dan ia
diingkari dan pada periwayatan sebelum Usman bin Sa’id terdapat para rawi yang
majhul’.” (Lihat, Syu’âbul
Îmân, III: 386)
B.
Dari Ibnu Umar
Dari
Ibnu umar berkata; Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang membaca qul
Huwallahu Ahad pada malam nishfu Sya’ban seribu kali pada seratu rakaat,
maka ia tidak akan keluar dari dunia sehingga Allah mengutus kepadanya dalam
tidurnya (mimpi) seratus malaikat menghampirinya dan memberi kabar gembira
dengan surga, tiga puluh malaikat mengamankannya dari neraka, tiga puluh lagi
memelihara dari kesalahannya, dan sepuluh lagi akan memperdayakan orang yang
memusuhinya.” HR. Ibnul Jauzi (Lihat,
Ibnul Jauzi, Al-Maudhû’ât,
II: 128; As-Suyuthi,
Al-La’âliul Mashnû’ah fîl
Ahâdîtsil Al-Maudhû’ah, II : 58-59)
Keterangan
Status hadis
Pada
sanad hadis ini terdapat rawi-rawi yang majhûl
(tidak dikenal), dan setelah kami teliti ternyata banyak sekali rawi-rawi yang
tidak terdapat dalam kitab-kitab rijâl
al-hadîts.
Ibnul
Jauzi berkomentar, “Kami tidak ragu lagi bahwa hadis ini Maudhû’. Kebanyakan
rawi-rawi pada ketiga jalur periwayatan ini majhul, dan di antara mereka ada
juga yang dhaif.” (Al-Maudhû’ât,
II: 129)
C.
Abu Huraerah
Dari
Abu Hurairah, dari Nabi saw. bersabda, “Barangsiapa yang shalat pada malam
nishfu Sya’ban sebanyak dua belas rakaat, ia membaca Qul Huwallahu Ahad pada
setiap rakaatnya sebanyak tiga puluh kali, maka ia tidak akan keluar sebelum
terlebih dahulu melihat tempat duduknya di surga, dan memberi syafaat
(menyelamatkan) sepuluh orang dari keluarga rumahnya yang semuanya sudah akan
masuk neraka…” HR.
Ibnul Jauzi (Lihat, Ibnul Jauzi, Al-Maudhû’ât, II: 129; As-Suyuthi, Al-La’âliul Mashnû’ah fîl Ahâdîtsil
Al-Maudhû’ah, II : 59)
Keterangan
Status hadis
Hadis
ini juga dhaif karena pada sanadnya terdapat sekelompok rawi-rawi yang majhul,
selain itu terdapat rawi Baqiyah dan Laits bin Abu Sulaim). Kedua rawi ini
dha’if (sebagaimana telah diterangkan di atas). (Lihat, Ibnul Jauzi, Al-Maudhû’ât, II: 129)
Dan
perlu diketahui bahwa hadis-hadis yang menerangkan ibadah salat, doa-doa, dan
keutamaan-keutamaan yang berkenaan dengan nishfu Sya’ban itu masih banyak lagi
dan keseluruhan hadis-hadis tersebut dha’if, bahkan palsu.
Komentar
Para Ulama Tentang Ibadah Nishfu Sya’ban
(a) Muhammad Abdus Salam mengatakan, “Salat enam
rakaat pada malam nishfu Sya’ban dengan niat untuk menghilangkan bala,
memanjangkan umur, dan mengharap kekayaan, dengan bacaan surat Yasin, dan doa
di antaranya adalah tidak diragukan lagi bahwa hal seperti itu diada-adakan
dalam agama dan bertentangan dengan sunnah Sayidul
Mursalin (Nabi Muhammad saw.).”
(b) Pensyarah Al Ihya mengatakan, “Shalat ini
termasyhur pada kitab-kitab terkemudian dari ulama Shufi, dan aku tidak melihat
satu sanad pun yang sahih dari sunah, baik salat ataupun berdoa pada malam itu
kecuali amal para syaikh.”
(c) An Nazm Al ghaithi mengatakan, “Tentang
menghidupkan upacara ibadah-ibadah pada malam Nishfu Sya’ban dengan
berjamaah itu diingkari oleh kebanyakan ahlil Hijaz, di antaranya Atha, Ibnu
Abu mulaikah, para ahli fiqih Madinah, dan sahabat Malik. Mereka mengatakan
bahwa hal itu seluruhnya bid’ah, dan tidak ada satupun dalil tentang salat itu
baik dari Nabi saw. ataupun para sahabat.”
(d) Imam An Nawawi mengatakan, “Shalat pada
pertengahan bulan Rajab dan Sya’ban itu bid’ah yang sangat dibenci.” (Lihat, As-Sunan Wal Mubatadâ’ât:
145)
Berdasarkan
keterangan-keterangan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ibadah berupa
salat, dzikir-dzikir, doa-doa, dan saum yang bertalian dengan pertengahan bulan
Sya’ban itu tidak ada dalam syariat Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar