Salurkan Zakat, Infaq, Shadaqah dan Wakaf anda ke ZISWAF al-Muhajirin

Panitia Renovasi Masjid Al-Muhajirin

renovasi Masjid Al-Muhajirin ke Bank Syariah Mandiri KCP Jatinangor an. Panitia Renovasi Al Muhajirin Nomor Rekening 1000-555-777

iklan

jazakamullah ahsanal jaza' semoga Allah SWT akan membalas kalian dengan balasan yang terbaik. aamiin yaa robbal 'alamiin...

Kamis, 07 November 2013

LEGALITAS PHBI


LEGALITAS PHBI
Oleh:
Ust. Aminudin, M.Ag
 
Dari literature yang sempat saya baca memang tidak ditemukan landasan yang kuat dan tegas yang memerintahkan untuk melakukan PHBI ( baca tahun baru hijrah, maulud Nabi, Isra Miraj, nuzul al-Quran). Namun didapati dari literature tersebut mengapa mereka terutama para ulama Syafi’iyah  berani melakukannya. Dan ternyata mereka melakukan hal itu bukan terdorong oleh syahwat dan nafsunya, ternyata mereka terinspirasi oleh pernyataan-pernyataan nash, al-Quran maupun Hadis.
Mereka melakukan peringatan tersebut  dengan mengambil dalil dari nash yang bersifat umum yang secara tersirat  di dalam nash yang bersifat umum itu menyuruh untuk merayakannya.  Dalil-dalil yang dipergunakan sebagai dasar untuk melakukan hal itu antara laian :
(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang umi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang makruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Qur'an), mereka itulah orang-orang yang beruntung. (Al-Araf: 157)
“Dari ibn Abbas r.a. beliau berkata, bahwa sannya Rasulallah Saw. Ketika tiba di Madinah beliau mendapati di sana orang Yahudi puasa pada hari Asyura. Maka Nabi bertanya kepada mereka: Hari apakah yang kamu puasakan ini? Mereka menjawab: ini hari besar di mana Allah telah membebaskan Musa dan kaumnya dan telah mengkaramkan Firaun dan kaumnya, maka Musa berpuasa pada hari semacam in karena bersyukur kepada Allah, dan kamipun mempuasakan pula. Lalu Rasulallah Saw. Berkata: Kami lebih berhak dan lebih patut menghormati Musa dibandingkan kamu. Maka Nabi berpuasa pada haru Asyura itu dan beliau menyuruh  umat berpuasa pada hari itu.”  (HR Muslim)
Menurut Al-Hafizh Ibn Hajar al Asqalani, yang dikutip oleh KH. Sirajudddin Abas ,bahwa dari hadits ini dapat dipetik hukum :
1.      Umat Islam boleh bahkan dianjurkan, agar memperingati hari-hari bersejarah, hari-hari yang dianggap besar, semisal maulid Nabi.
2.      Nabi pun memperingati hari karamnya Firaun dan bebas Musa, dengan melakukan puasa Asyura sebagai bersyukur atas hapusnya yang bathil dan tegaknya yang baik.
Jadi sampai di sini PHBI  merupakan product baru yang sudah menjadi agenda mayoritas  kaum Muslimin Indonesia dari tingkat RT sampai Pemerintah Pusat.  Ternyata memiliki landasan yang cukup kuat.
Untuk itu mari kita lihat dan pahami pula Hadis berikut dari perspektif yang lain:
عن عا ءشة (رض) قالت قال رسول الله (صعم) من احدث في امرنا هذا ماليس منه فهو رد
Diriwayatkan dari Sayidatina Aisyah Ra. katanya, “Rasulallah Saw bersabda, Sesiapa yang mengada-adakan sesuatu dalam urusan agama yang bukan dari agama, maka dengan sendirinya ia akan tertolak .”
Hadis di atas menjelaskan larangan membuat acara baru dalam urusan agama dalam kondisi sebagai berikut:
Yang bukan dari agama (yang tidak bersumber pada agama)     (ما ليس منه )
Yang bukan dari agama, yaitu suatu amal yang tidak ada hubungan dari sumbernya,
Maka sebaik apapun amal seseorang yang tidak ada hubungan dengan sumber ajaran Islam dan di luar jalur syariat, amalan tersebut adalah tertolak.
Lalu bagaimana dengan PHBI, tentu hal ini tidak tertolak sebab masih bersumber pada ajaran agama Islam.

Senin, 04 November 2013

Hijrah


H I J R A H
oleh : 
Bp. Aris Saptiono

“Muslim (sejati) orang muslim yang lainnya selamat dari lisannya dan tangannya (perbuatannya). Dan Muhajir (orang yang hijrah) ialah orang y ang meninggalkan apa-apa yang dilarang Allah.” Shahih Al-Bukhari no.10 dan 6484 dari Abdullah bin Amr
Takhrij Hadis
Imam Al-Bukhari menempatkan hadis tersebut dalam kitab sahihnya dalam dua bab yang berbeda yaitu :
1.    Bab orang muslim (yang sejati) ialah orang muslim yang lainnya selamat dari lisannya dan tangannya (perbuatannya). Shahih Al-Bukhari, I:10 Hadis no.10
2.    Bab berhenti/tidak melakukan maksiat. Shahih Al-Bukhari, IV:145 hadis 6484
Pada kedua hadis diatas hanya diterangkan bahwa Amr (yaitu Asy-Sya’bi) mendengar dari Abdullah bin Amr. Tanpa menerangkan kejadian yang melatarbelakangi Abdullah bin Amr mengucapkan hadis tersebut dari Nabi saw.
Berbeda dengan yang terdapat dalam kitab Al-Adabul Mufrad. Disana diterangkan bahwa Asy-Sya’bi berkata, “Telah datang seorang laki-laki kepada Abdullah bin Amr r.a yang sedang dikelilingi orang-orang yang sedang duduk. Ia (laki-laki itu) melangkahi mereka, lalu mereka mencegahnya (menahannya). Maka Abdullah bin Amr berkata, “Biarkanlah laki-laki itu.” Kemudian laki-laki itu menghampirinya hingga duduk dihadapannya, lalu berkata, “Kabarkanlah sesuatu yang engkau dengar dari Rasulullah saw.!” Abdullah bin Amr berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Orang muslim (yang sejati) ialah orang muslim yang lainnya selamat dari lisannya dan tangannya (perbuatannya). Dan Muhajir (orang yang berhijrah) ialah meninggalkan apa-apa yang dilarang oleh Allah.” Al-Adabul Mufrad, 333 no. 1144
Sedangkan dalam kitab Al-Adabul Mufrad tersebut Imam Al-Bukhari menempatkannya pada bab melangkahi (orang yang sedang duduk) menuju pemilik majelis itu.
Pada matan diatas, beliau menerangkan dua hal. Pertama, tentang pengertian muslim. Kedua tentang Muhajir (orang yang hijrah). Dan pada kesempatan ini hanya akan mengupas tentang hal yang kedua, yaitu tentang Muhajir.
Hijrah Zhahir dan Bathin
Rasulullah saw. dan para sahabatnya pernah melakukan suatu perjalanan yang sangat melelahkan, yaitu ketika mereka pindah dari Mekah ke Madinah. Mereka meninggalkan tanah kelahiran dan harta bendanya yang sangat mereka cintai demi menunaikan perintah Allah swt.
Perpindahan mereka itu dinamakan hijrah. Sedangkan orang yang melakukan perpindahan tersebut diberi nama Muhajir.
Ibnu Qudamah menerangkan :
Hijrah itu ialah keluar dari negeri kafir menuju negeri Islam. Al-Mughni,IX:236
Demikianlah makna hijrah yang biasa kita kenal. Bahkan sebelumnya muncul sabda Nabi saw. diatas, para sahabat pun memahami hijrah itu demikian adanya.
Setelah mereka tinggal di Madinah, maka Rasulullah saw. menyabdakan hadis diatas, yaitu Muhajir ialah orang yang meninggalkan apa-apa yang dilarang oleh Allah. Dengan adanya hadis Nabi saw. ini, maka para ulama membagi hijrah menjadi dua.
Sebagaimana yang diterangkan dalam kitab Fathul Bari,I:54 dan Aunul Ma’bud,VII:113 :
Hijrah itu ada dua : Zhahir dan Bathin. Bathin ialah meninggalkan apa yang didorong oleh nafsu amarah (yang selalu memerintah) melakukan kejelekan dan (yang didorang) oleh setan. Sedangkan zhahir ialah menyelematkan diri demi agama dari fitnah-fitnah.
Dari kedua macam hijrah tersebut, hijrah bathin-lah yang paling sempurna dan utama, karena hijrah zhahir itu kontemporer. Sedangkan hijrah bathin selama hayat masih dikandung badan. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Abdurrauf Al-Manawi : Muhajir sejati itu ialah orang yang meninggalkan apa-apa yang dilarang oleh Allah swt. atau dengan kata lain, orang yang berhijrah yang sesungguhnya bukanlah orang yang berhijrah dari negeri kafir, akan tetapi orang yang mengendalikan nafsunya, memaksanya untuk taat dan membawanya menjauhi yang dilarang, karena nafsu itu lebih keras permusuhannya daripada orang kafir, karena dekatnya, menetapnya (tidak meninggalkannya) dan sangat tamak dalam menghalangi (melakukan) kebaikan. Maka Mujahid yang hakiki ialah orang yang berjihad terhadap dirinya, mengikuti sunah Nabinya, mengikuti jalannya dalam perkataan dan perbuatannya, dimana dia tidak akan bergerak atau tidak akan diam melainkan karena mengikuti sunah...Faidhul Qadir,VI:270
Imam Ibnu Hajar menjelaskan, ada yang berpendapat bahwa tujuan sabda Nabi saw. diatas adalah untuk menyenangkan (menghibur) hati kaum muslimin yang tidak memiliki kesempatan melakukan hijrah ke Madinah. Kemudian beliau memberitahu mereka bahwa orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah adalah Al-muhajirul Kamil (muhajir sejati). Atau untuk memotivasi orang-orang yang berhijrah ke Madinah agar mereka tidak merasa cukup karena telah melakukan hijrah secara fisik (seolah-olah dengan hijrah telah selesai semua urusan) sehingga menurun dalam beramal. Fathul Bari,XI:387
Imam Ibnu Hajar menjelaskan lagi bahwa sabda Nabi saw. tersebut Jawami’ul Kalam. Fathul Bari,XI:387
Imam As-Suyuti menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Jawami’ul Kalam ialah Lafadznya ringkas akan tetapi mengandung makna yang sangat luas sekali. Ad-Diybaj,V:57
Al-Manawi menambahkan (Jawami’ul Kalam) ialah dengan susunan rapi tanpa ada keruwetan. Faidhul Qadir,I:563
Dengan demikian, sabda Nabi saw. tersebut indah diucapkan dan disimak, mudah dipahami, ringkas kalimatnya (tidak bertele-tele), akan tetapi mengandung makna yang sangat luas.

HUKUM MEMPERINGATI TAHUN BARU HIJRAH


HUKUM MEMPERINGATI TAHUN BARU HIJRAH
Oleh :
Bp. Aris Saptiono
Orang yang beriman tidak akan terkesan dan terpengaruh oleh sesuatu yang  mereka lihat dari musuh-musuh Allah swt. Sebab ia yakin didalam kepribadian Islam terdapat kebaikan serta kebahagian dunia dan akhirat. Karena itu, ia akan bersikap hati-hati terhadap berbagai cara dan pola hidup yang tidak jelas dalilnya. Sikap kehati-hatian itu diwujudkan dengan mempertanyakan berbagai macam acara dan upacara yang dikenal didalam Islam, meskipun dikemas dengan nama dan istilah arabi bahkan islami, seperti tahun baru hijriah atau tahun baru Islam.
Sejarah Penetapan Tahun Hijriah
Tatkala Ya’la bin Umayah menjadi gurbenur di Yaman pada zaman khalifah Abu Bakar r.a, ia pernah melontarkan gagasan tentang perlunya kalender Islam yang akan dipakai sebagai patokan penanggalan. Pada waktu itu, catatan yang dipergunakan kaum muslim belum seragam. Ada yang memakai tahun gajah (‘amul fiil), terhitung sejak raja Abrahah dari Yaman menyerang Kabah (yang secara kebetulan adalah tanggal kelahiran Nabi saw), ada yang mendasarkan pada peristiwa-peristiwa yang menonjol dan berarti yang terjadi di zaman mereka. Misalnya, tahun pertama hijrah Nabi dinamakan tahun al-Izn (Izin), karena izin hijrah diberikan pada tahun itu. Tahun kedua disebut tahun ‘amr, karena pada tahun itu Allah swt. telah memberikan perintah kepada kaum muslim untuk bertempur melawan kaum musyirkin Mekah.
Akan tetapi, realisasi tentang penetapan penanggalan yang dipakai oleh umat Islam barulah terjadi di zaman khalifah Umar r.a. Menurut keterangan al-Biruni, khalifah menerima sepucuk surat dari Abu Musa Al-Asy’ari yang menjadi gubernur di Bashrah (Irak), isinya menyatakan, “Kami telah banyak menerima surat dari Amirul Mu’minin, dan kami tidak tahu mana yang harus dilaksanakan. Kami sudah membaca satu perbuatan yang betanggal Sya’ban, namun kami tidak tahu Sya’ban mana yang maksud. Sya’ban sekarang atau Sya’ban mendatang di tahun depan?”
Surat Abu Musa rupanyaditerima/disikapi oleh khalifah Umar sebagai saran halus tentang perlu ditetapkannya satu penanggalan (kalender) yang seragam, yang dipergunakan sebagai tanggal, baik dikalangan pemerintahan maupun untuk keperluan umum.
Untuk menetapkan momentum apa yang sebaiknya dipergunakan dalam menentukan permulaan tahun Islam itu, Khalifah mengadakan musyawarah dengan semua ulama, dalam pertemuan itu ada empat usul yang dikemukan, yaitu :
1.    Dihitung dari kelahiran Nabi Muhammad saw.
2.    Dihitung dari wafat Rasulullah saw.
3.    Dihitung dari hari Rasulullah menerima wahyu pertama di gua Hira yang merupakan awal tugas risalah kenabian.
4.    Dihitung mulai dari tanggal dan bulan Rasulullah melakukan hijrah dari Mekah ke Madinah (usul yang terakhir ini diajukan oleh Ali bin Abi Thalib).
Tetapi baik kelahiran Nabi maupun permulaan risalah kenabian tidak diambil sebagai awal penanggalan Islam, karena tanggal-tanggal tersebut menimbulkan kontroversi mengenai waktu yang pasti dari kejadian-kejadian itu. Hari wafat Nabi juga tidak berhasil dijadikan tanggal permulaan kalender, karena dipertautkan dengan kenang-kenangan menyedihkan pada hari wafatnya. Besar kemungkinan nanti akan menimbulkan perasaan-perasaan sedih dan sendu dalam kalbu kaum Muslimin. Akhirnya disepakatilah agar penanggalan Islam ditetapkan berdasarkan hijrah Rasul dari Mekah ke Madinah.
Kapankah tepatnya Beliau hijrah ke Madinah?
Beragam informasi dijumpai pada kitab-kitab tarikh tentang peristiwa itu. Imam Ath-Thabari dan Ibnu Ishaq menyatakan,”Sebelum sampai di Madinah (waktu itu Yatsrib), Rasulullah saw. singgah di Quba pada hari senin 12 Rabi’ul Awwal tahun 13 kenabian/24 September 622 M waktu dhuha (sekitar jam 09.00). ditempat ini, beliau tinggal dikeluarga Amr bin Auf selama empat hari (hingga hari kamis 15 Rabi’ul Awwal/27 September 622 M dan membangun mesjid pertama (mesjid Quba). Pada hari Jum’at 16 Rabi’ul Awwal/28 September 622 M, beliau berangkat menuju Madinah. Ditengah perjalanan, ketika beliau berada di Bathni wadin (lembah disekitar Madinah) milik keluarga Banu Salim bin ‘Auf, datang kewajiban Jum’at (dengan turunnya ayat 9 surat Al-Jum’ah). Maka Nabi salat Jum’at bersama mereka dan khutbah ditempat itu. Inilah salat Jum’at yang pertama didalam sejarah Islam. Setelah melaksanakan salat Jum’at, Nabi melanjutkan perjalanan menuju Madinah”. (Lihat Tarikh Ath-Thabari,I:571; Sirah Ibnu Hisyam, Juz III, Hal. 22; Tafsir Al-Qurthubi, Juz XVIII, hal. 98)
Keterangan diatas menunjukan bahwa Nabi tiba di Madinah pada hari Jum’at 16 Rabi’ul Awwal/28 September 622 M. Sedangkan ahli tarikh lainnya berpendapat hari Senin 12 Rabi’ul Awwal/5 Oktober 621 M, Namun ada pula yang menyatakan hari Jum’at 12 Rabi’ul Awwal/24 Maret 622 M.
Terlepas dari perbedaan tanggal dan tahun, baik hijriah maupun masehi, namun para ahli tarikh semuanya bersepakat bahwa hijrah Nabi terjadi pada bulan Rabi’ul Awwal, bukan bulam Muharram (awal Muharram ketika itu jatuh pada tanggal 15 Juli 622 M).
Ketika para sahabat sepakat menjadikan hijrah Nabi sebagai permulaan kalender Islam, timbul persoalan lain di kalangan mereka tentang permulaan bulan pada kalender itu. Ada yang mengusulkan Rabi’ul Awwal (sebagai bulan hijrahnya Rasulullah saw ke Madinah). Namun ada pula yang mengusulkan bulam Muharram. Namun akhirnya Umar memutuskan bahwa tahun 1 Islam/Hijriah diawali dengan 1 Muharram bertepatan dengan tanggal 16 Juli 622 m. Dengan demikian antara permulaan hijrah Nabi dan permulaan kalender Islam sesungguhnya terdapat jarak sekitar 82 hari.
Peristiwa penetapan kalender Islam oleh Umar r.a ini terjadi pada hari Rabu, 20 hari sebelum berakhirnya Jumadil Akhir, tahun ke 17 sesudah hijrah atau pada tahun ke-4 dari kekhalifahan Umar bin Khatab. (lihat, tulisan Dr. Thomas Djamaluddin tentang “Kalender Hijriah” dalam buku Almanak Alam Islam, hal 183-184 dan Makalah tentang “Konsistensi Historis-Astronomis Kalender Hijriah”)
Asal Muasal Peringatan Tahun Hijriah
Peringatan tahun baru Islam tiap 1 Muharram baru dimulai sejak tahun 1970-an yang berasal dari ide pertemuan cendekiawan Islam di Amerika Serikat. Waktu itu terjadi fenomena maraknya dakwah, masjid-masjid dipenuhi jamaah dan munculnya jilbab hingga kemudian dikatakan sebagai kebangkitan Islam, Islamic Revival (lihat, PR online)
Dari kedua latar belakang sejarah diatas dapat diambil kesimpulan bahwa :
1.    Penetapan bulan Muharram oleh Umar bin Khatab sebagai permulaan tahun hijriah tidak didasarkan atas pengagungan dan peringatan peristiwa hijrah Nabi. Buktinya beliau tidak menetapkan bulan Rabi’ul Awwal (bulan hijrahnya Rasul ke Madinah) sebagai permulaan bulan pada kalender Hijriah. Lebih jauh dari itu, beliau pun tidak pernah mengadakan peringatan tahun baru hijriah, baik tiap bulan Muharram maupun Rabi’ul Awwal, selama kekhalifahannya.
2.    Peringatan tahun baru hijriah pada bulan Muharram dengan alasan memperingati hijrah Nabi ke Madinah merupakan kesalahkaprahan, karena Nabi hijrah pada bulan Rabi’ul Awwal, bukan bulan Muharram.
3.    Menyelenggarakan berbagai bentuk acara dan upacara untuk menyambut tahun baru Hijriah adalah perbuatan yang tidak sesuai sunah Rasulullah saw dan para sahabat.

Pendidikan Adab Gagasan KH.Hasyim Asyari


Pendidikan Adab Gagasan KH.Hasyim Asyari
 disampaikan oleh: 
Ust. Dikry Zakrya


Masalah pendidikan di negeri ini, selain kurikulum, metode juga menjadi sorotan. Ini dapat dipahami karena metode memang lebih penting dari kurikulum, Ath-thoriqah ahammu minal madah. Namun metode juga sangat tergantung pelaksanaannya pada guru, sebab guru lebih penting dari metode itu sendiri, al-mudarris ahammu min ath thariqah. Namun, roh seorang guru lebih bermakna dari jasadnya sendiri, wa ruhul mudarris ahammu min mudarris nafsuhu. Karena metode secanggih apa pun, jika berada pada guru yang tidak bersemangat akan nihil hasinya. Prinsip keterkaitan antara kurikulum, metode,  dan guru, telah disadari pentingnnya oleh Hasyim Asy’ari dan para ulama-ulama muktabar yang terjun langsung mengurus lembaga pendidikan.

Di pondok pesantren misalnya, ada prinsip bahwa metode lebih penting dari materi; guru lebih penting dari metode; dan jiwa guru lebih penting dari guru itu sendiri. Jadi selain materi dan guru, jiwa guru sangat berperang penting dalam keberhsilan pengajaran. Karena dengan jiwa keikhlasan dan pengabdiannya, guru akan dapat mewarnai murid.  Ini sesuai pendapat Sir Pency Nunn, seorang guru besar pendidikan di University of London yang mengatakan bahwa baik buruknya suatu pendidikan tergantung kebaikan, kebijakan, dan kecerdasan pendidik.

Hasyim Asy’ari, juga tampil menawarkan beberapa etika yang harus dimiliki oleh seorang pendidik sebagai bekal dalam melaksanakan tuganya, sebagaimana berikut ini: seorang guru harus senantiasa mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub ilallah); senantiasa takut kepada Allah (al-khauf ilallah); senantiasa bersikap tenang dan selalu berhati-hati (wara’); senantiasa tawadhu’, khusyuk, mengadukan segala persoalannya hanya kepada Allah; tidak menggunakan ilmunya hanya untuk meraih kepentingan dunia semata; tidak terlalu memanjakan anak didik; berlaku zuhud dalam kehidupan duniawi; menghindari berusaha dalam hal-hal yang rendah; menghindari tempat-tempat yang kotor dan tempat maksiat; senantiasa mengamalkan sunnah Nabi; istiqamahn dalam membaca Al-Qur’an; selalu bersikap ramah, ceria, dan suka menaburkan salam; membersihkan diri dari segenap perbuatan yang tidak disukai oleh Allah (ijtniabul manhiyat); selalu menumbuhkan semangat untuk menambah ilmu oengetahuan; tidak menyalahgunakan ilmu dengan cara menyombongkannya; dan membiasakan diri menulis, mengarang, dan meringkas.

Ada pun etika adab-adab seorang guru ketika mengajar, Hasyim As’Ari menawarkan gagasan tentang etika atau adab-adab guru ketika mengajar sebagaimana berikut: Mensucikan diri dari hadas dan kotoran; berpakaian yang sopan dan rapi serta usahakan berabau wangi; berniatlah beribadah ketika dalam mengajarkan ilmu kepada anak didik; sampaikanlah hal-hal yang diajarkan oleh Allah; biasakanlah membaca untuk menambah ilmu pengetahuan; berilah salam ketika masuk ke dalam kelas; sebelum mengajr mulailah terlabih dahulu dengan berdoa untuk para ahli ilmu yang telah lama maninggalkan kita; berpenampilan yang kalem dan jauhi hal-hal yang tidak pantas dipandang mata; menjauhkan diri dari banyak bergurau dan banyak tertawa; jangan sekali-kali mengajar dalam kondisi lapar, marah, mengantuk, dan sebagainya; pada waktu mengajar hendaklah mengambil duduk yang strategis; usahakan tampil dengan sikap ramah, lemah lembut, jelas dalam betutut, tegas, lugas, dan tidak sombong; dalam mengajar hendaklah mendahulukan materi-materi yang penting dan sisesuikan dengan profesi yang dimiliki; jangan sekali-sekali mengerjakan hal-hal yang bersifat syubhat dan bisa membinasakan; perhatikan masing-masing kemampuan murid dalam mengajar dan tidak terlalu lama, serta menciptakan ketenangan dalam ruangan belajat; menasihati dan menegur dengan baik bila mterdapat anak didik yang bandel; bersikaplah terbuka terhadap berbagai macam persoalan yang ditemukan; berilah kesempatan kepada peserta didik yang datangnya ketinggalan dan ulangilah penjelasan agar tahu apa yang dimaksud; dan bila sudah selesai, berilah kesempatan kepada anak didik untuk menanyakan hal-hal yang kurang jelas atau belum dipahami.

Tidak hanya itu, Hasyim Asy’ari masih menawarkan bebrapa adab guru terhadap para murid-muridnya, sebagaimana berikut: seorang guru harus berniat mendidik dan menyebarkan ilmu pengetahuan serta menghidupkan syariat Islam; menghindari ketidak ikhlasan dan mengejar keduniawian; hendaknya selalu melakukan intrsopeksi diri; menggunakan metode yang mudah dipahami oleh para murid; membangkitkan antusias peserta didik dengan memotivasinya; memberikan latihan-latihan yang bersifat membantu; selalu memperhatikan kemampuan peserta didik; tidak terlalu mengorbitkan salah seorang peserta didik dan menafikan yang lainnya; mengarahkan minat peserta didik; bersikap terbuka dan lapang dada terhadap peserta didik; membantu memecahkan masalah dan kesulitan para peserta didik; bila terdapat  pseta didik yang berhalangan hendaknya mencari hal ikhwal kepada teman-temannya; tunjukkan sikap arif dan penyayang kepada peserta didik; dan selalulah rendah hati, tawadhu’.

Dalam pandangan KH. Hasyim Asy’ari, pembentukan adab merupakan suatu keniscayaan dalam dunia pendidikan, karena dengan adab peserta dapat menuntut ilmu dengan baik. Asy’ari lalu mengutif sebuah kisah bahwa ketika Imam Syafi’i pernah ditanya seseorang, “Sejauh manakah perhatianmu terhadap adab?” beliau lalu menjawab, “Setiap kali telingaku menyimak suatu pengajaran budi pekerti meski hanya satu huruf maka seluruh organ tubuhku akan ikut merasakan [mendengarkan] seolah-olah setiap orang memiliki alat pendengaran [telinga]. Demikian perumpamaan hasrat kecintaanku terhadap pengajaran budi pekerti.” Beliau lantas ditanya lagi, “Lalu bagaimanakah usaha-usaha dalam mencari adab itu?” beliau menjawab, “Aku akan senantiasa mencarinya laksana usaha seorang ibu yang mencari anak satu-satunya yang hilang.” Maka dalam bukunya itu, Hasyim Asy’ari menuliskan kesimpulan kaitannya dengan masalah adab ini bahwa sebagia ulama menjelaskan konsekwensi dari pernyataan tauhid yang telah diikrarkan seseorang adalah mengharuskan beriman kepada Allah (dengan membenarkan dan meyakini Allah tanpa sedikit pun keraguan). Karena apabila ia tidak memiliki keimanan itu, tauhidnya dianggap tidak sah. Demikian pula keimanan jika keimanan tidak dibarengi dengan pengamalan syariat (hukum-hukum Islam) dengan baik maka sesungguhnya ia belum memiliki keimanan dan tauhid yang benar. Begitu pula dengan pengamalan syariat, apabila ia mengamalkannya tanpa dilandasi adab maka pada hakikatnya ia belum mengamalkan syariat dan belum dianggap beriman serta bertauhid kepada Allah. Berdasarkan beberapa hadis Rasulullah SAW dan keterangan para ulama di atas, kiranya tidak perlu kita ragukan lagi betapa luhurnya kedudukan adab di dalam ajaran agama Islam. Karena tanpa adab dan prilaku yang terpuji maka apa pun amal ibadah yang dilakukan seseorang tidak akan diterima di sisi Allah SWT sebagai satu amal kebaikan, baik menyangkut amal qalbiyah (hati), badaniyah (badan), qauliyah (ucapan), maupun fi’liyah (perbuatan). Dengan demikian, dapat kita maklumi bahwa salah satu indikator amal ibadah seseorang diterima atau tidak di sisi Allah adalah melalui sejauhmana aspek adab disertakan dalam setiap amal perbuatan yang dilakukan.

Melihat gagasan-gagasan yang ditawarkan di atas, nampak jelas nuansa kesufian dalam diri Hasyim Asy’ari. Hal ini tidaklah mengherankan sebab dalam prilaku kehidupannya ia meang lebih cenderung pada kehidupan sufi. Dengan ilmu tasawuf dan hadis yang dikuasainya, sangat mewarnai gagasan pemikiran keagamaan dan juga dalam bidang pendidikan. Beliau adalah sufi yang tidak hanya sibuk dengan zikir dan fikir, tapi masuk berbaur dengan masyarakat untuk membebaskan umat dari belenggu kebodohan. Ada bebrapa catatan menarik dari gagasan-gagasan Asy’ari terkait dengan integritas seorang guru, seperti seorang guru haruslah membiasakan diri menulis, mengarang, dan meringkas. Hasyiam Asy’ari memandang bahwa perlu adanya tulisan dan karangan, sebab media tulisan itula ilmu yang dimiliki seseorang akan terabadikan dan akan benyak memberi manfaat pada orang yang datang setelahnya, atau pada genrasi mendatang, di samping dirinya akan dikenang sepanjang masa. Sayang tradisi ini belum begitu membudaya di pondok pesantren.

Tapi harus diakui bahwa gagasan  Hasyim Asy’ari di atas tidak terlepas dari praktik pendidikan yang telah dialaminya selama hidupnya, yang telah mengabadikan dirinya dalam dunia pendidikan. Inilah yang menjadi kekuatan tersendiri dalam mengeluarkan gagasan-gagasan. Sampai-sampai hal-hal yang sepele seperti cara menegur dan menyikapi anak yang terlambat masuk kelas juga diangkatnya. Jelas, hal ini hanya wujud dari para praktisi pendidikan yang paham betul dunia pendidikan, yang sangat sulit disentuh oleh para penggagas dan pengamat pendidikan yang hanya duduk di kursi kantor. Belum lagi pada penampilan, baik fisik maupun sikap, semua disajikan secara detail. Dengan mengaplikasikan pemikiran pendidikan KH. Hasyim Asy’ari di atas, dengan haqqul yaqin, pendidikan karakter yang minus teladan akan terealisasi dengan sendirinya. Wallahu A’lam!