Salurkan Zakat, Infaq, Shadaqah dan Wakaf anda ke ZISWAF al-Muhajirin

Panitia Renovasi Masjid Al-Muhajirin

renovasi Masjid Al-Muhajirin ke Bank Syariah Mandiri KCP Jatinangor an. Panitia Renovasi Al Muhajirin Nomor Rekening 1000-555-777

iklan

jazakamullah ahsanal jaza' semoga Allah SWT akan membalas kalian dengan balasan yang terbaik. aamiin yaa robbal 'alamiin...

Senin, 07 Januari 2013

REZEKI HALAL PENYEBAB MAKBULNYA IBADAH

aris saptiono


REZEKI HALAL PENYEBAB MAKBULNYA IBADAH
Hai orang-orang yang beriman, makanlah yang baik-baik apa yang Kami rezekikan kepada kamu dan bersyukurlah kepada Allah jika hanya kepadaNya kamu beribadah.                  Q.S. Al Baqarah : 172
Tafsir Mufradat
Ath-thayyibaatu adalah bentuk jamak dari Ath-thayyibatu yang berarti baik. Makna asal thayyib adalah sesuatu yang dirasakan kelezatannya oleh indra perasa dan jiwa. Makanan yang thayyib menurut syariat adalah makanan yang didapat dengan cara, ukuran, dan tempat yang diperbolehkan. Jika memenuhi persyaratan ini, makanan tersebut thayyib di dunia dan akhirat serta tidak membahayakan kesehatan. Ar Raghib Al Ashfahani :321
Asy-syukru adalah mengakui adanya nikmat serta menyatakannya. Syukur terbagi tiga, Syukur kalbu adalah mengakui adanya satu nikmat, syukur lisan memuji kepada si pemberi nikmat, dan syukur anggota badan menggunakan kenikmatan tersebut pada semestinya.  Ar-Raghib : 272
Tafsir Ayat
Ayat diatas (Q.S. Al Baqarah : 172) secara khusus Allah swt. memerintah kaum mukminin mengkonsumsi rezeki yang thoyyib. Ayat ini merupakan penegasan dari perintah sebelumnya. (Al Baqarah : 168) yang secara umum Ia memerintah manusia memakan makanan yang halal dan thayyib. Dan yang dimaksud memakan pada ayat ini adalah mengambil manfaat dengan cara apapun. Al Qurtubi, Jamiul Ahkam, II:215
Firman Allah swt. ini diawali dengan kalimat Ya ayyuhal ladzina amanu, yang merupakan pertanda betapa pentingnya masalah yang akan disampaikan pada kalimat-kalimat selanjutnya. Dari Ibnu Abbas bahwasannya ada seseorang datang kepadanya, lalu berkata,”berwasiatlah Anda untukku”. Ia berkata, “Apabila mendengar Allah berfirman, “Ya Ayyuhal ladzina amanu’ pusatkanlah pendengaranmu kepadanya, karena ada sebaik-baik perkara yang Allah perintahkan atau sejelek-jelek perkara yang dilarangNya.                        Ad-Durul Mantsur,I:252
Pada ayat ini, setelah Allah swt. mengawali firmanNya dengan kalimat Ya ayyuhal ladzina amanu, Ia memerintahkan hamba-hambaNya yang mukmin memakan rezeki yang thayyib dan bersyukur kepadaNya jika mereka benar-benar beribadah kepadaNya.
Menurut Az Zamakhsyari, “yang dimaksud dengan rezeki yang thayyib adalah segala kelezatan yang Allah swt berikan. Karena setiap yang Allah rezekikan hanyalah dari sesuatu yang halal, baik zat maupun cara mendapatkannya. Selain itu pada hakekatnya bukanlah rezeki yang diperuntukan bagi mereka. Dan jika dipaksakan untuk meraih, memiliki dan menikmatinya,tentu akan menjadi satu penyakit yang kotor, yang suatu saat pasti akan memaksa keluar dari jalan yang tidak diinginkan.
Bersyukur kepada Allah swt. atas segala nikmat yang diberikannya akan terbit dari hati, lisan, dan anggota badan seseorang jika kenikmatan yang ia raih berasal dari rezeki yang halal. Sekecil apapun bagian yang ditetapkan Allah baginya, ia akan menerima dengan sebesar-besar penerimaan dan hidupnya akan merasa tercukupi dengan bagian tersebut. Sebaliknya jika kenikmatan yang diraihnya bearsal dari rezeki yang haram,sebesar apapun bagian yang Allah tetapkan akan selalu diterima dengan serba kekurangan dan batinnya akan selalu tersiksa dengan masalah-masalah yang tidak diharapkannya.
Ayat diatas mengisyaratkan adanya satu hubungan yang sangat erat antara diterima tidaknya ibadah kepada Allah dengan rezeki yang digunakan oleh seseorang. Menggunakan rezeki halal merupakan salah satu penyebab diterimanya doa dan ibadah, sebaliknya menggunakan rezeki haram merupakan penghalang diterimanya doa dan ibadah.
Nabi saw. bersabda, “Hai manusia, sesungguhnya Allah itu thayyib (Maha Baik). Ia tidak akan menerima sesuatu kecuali yang thayyib pula. Dan sesungguhnya Allah memerintah orang mukmin dengan apa yang diperintahkannya kepada para RasulNya. Ia berfirman, ‘Hai para rasul, makanlah dari yang baik-baik dan beramal shalihlah, karena sesungguhnya Aku mengetahui apa yang kamu kerjakan.’ (Q.S. Al Mukmin:51). Dan Ia berfirman, ‘Hai orang-orang yang beriman makanlah yang baik yang Kami rezekikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah jika hanya kepadanya kamu beribadah’. (Q.S. Al Baqarah:172). Kemudian Rasulullah saw. menceritakan sesorang yang sedang dalam perjalanan jauh, badannya penuh dengan debu, ia menadahkan kedua tangannya ke langit sambil berdoa,’Ya Rabbi’, Ya Rabbi’. Sedangkan makanannya dari yang haram, minumnya dari yang haram dan badannya pun tumbuh dari barang yang haram. Maka bagaimana mungkin doanya itu akan dikabulkan?” H.R. Ahmad dari Abu Hurairah


Pada riwayat lain Ibnu Abbas menceritakan bahwa Saad bin Abi Waqas pernah meminta kepada Nabi saw.
“Ya Rasulullah, berdoalah Anda kepada Allah, supaya Ia menjadikanku orang yang selalu dikabulkan bila berdoa!” Rasulullah saw. bersabda, ‘Ya Saad, bersihkanlah makananmu, pasti engkau menjadi orang yang selalu dikabulkan doanya. Dan demi yang diri Muhammad  berada pada kekuasaanNya, (demi Allah) sesungguhnya seseorang yang menelan sesuap barang haram di perutnya, tidak akan diterima doa dan ibadahnya selama empat puluh hari empat puluh malam. Serta hamba manapun yang badannya tumbuh dari barang haram dan riba, nerakalah yang pantas untuk menerimanya.” H.R. Mardawaih
Kedua riwayat diatas menunjukan betapa sangat menentukannya thayyib tidaknya rezeki yang kita gunakan terhadap diterima tidaknya doa yang kita panjatkan dan ibadah yang kita kerjakan.
Rasulullah saw. itu doanya selalu terkabul. Beliau bukan tidak mau atau tidak bisa mendoakan Saad bin Abi Waqas, akan tetapi apalah artinya doa Rasulullah saw. yang selalu terkabul itu, jika pada diri Saad bin Abi Waqas belum ada wadah untuk menerimanya, yakni masih terhalang oleh rezeki yang haram. Oleh karena itu, beliau terlebih dahulu menyuruh Saad membersihkan dirinya dari barang yang haram.
Wallahu a’lam bish Shawab

Pengertian Ushul Fiqh

aris saptiono
Pengertian Ushul Fiqh
Pengertian ushul fiqh dapat dilihat dari dua aspek: Pertama, sebagai rangkaian dari dua kata, yaitu ushul dan fiqh. Kedua, sebagai nama satu bidang/disiplin ilmu di antara ilmu-ilmu syariah. Menurut aslinya kalimat tersebut bukanlah nama bagi satu disiplin ilmu tertentu, tetapi masing-masing mempunyai pengertian sendiri-sendiri.
Aspek Pertama
Dilihat dari ilmu nahwu (tata bahasa Arab), rangkaian kata ushul dan fiqh tersebut dinamakan tarkib idhafi, yakni rangkaian mudhaf (ushul) dan mudhaf ilaih (al-fiqh), sehingga dari rangkaian dua kata itu memberi pengertian ushul bagi fiqh. Dalam menjelaskan definisi ushul fiqh secara tarkib para ulama ushul berbeda metode.
Metode pertama, mendahulukan definisi fiqih, baik secara bahasa maupun istilah, selanjutnya definisi ushul, baik secara bahasa maupun istilah, Metode kedua, mendahulukan definisi ushul, baik secara bahasa maupun istilah, selanjutnya definisi fiqih, baik secara bahasa maupun istilah. Cara pertama ditempuh oleh mayoritas ahli ushul fiqih, antara lain Imam al-Haramain (Abdul Malik bin Abdullah al-Juwaini) dalam al-Burhan fi Ushulil Fiqh (I:85), Saefuddin al-Amidi dalam al-Ihkam fi Ushulil Ahkam (I;5), Abu Ya’la (Muhamad bin al-Husen al-Farra) dalam al-Uddah fi Ushulil Fiqh (I:67), Abul Husen al-Bishri dalam al-Mu’tamad fi Ushulil Fiqh (I:8), dan Ibnu Qudamah dalam Raudhatun Nazhir wa Jannatul Manazhir fi Ushulil Fiqh (I:58). Cara mereka diikuti pula oleh ahli ushul fiqih kontemporer antara lain, Prof. Dr. Abu Zahrah dalam Ushul Fiqh (hal.7-8). Cara pertama dilakukan atas pertimbangan makna tarkib idhafi, yakni rangkaian mudhaf (ushul) dan mudhaf ilaih (al-fiqh). Karena mudhaf (ushul) itu tidak akan diketahui maksudnya sebelum diketahui maksud mudhaf ilaih (al-fiqh). Sehubungan dengan itu, Ibnu Qudamah berkata:
Ketahuilah bahwa Anda tidak akan mengetahui makna ushul fiqh sebelum mengetahui makna fiqh. (Raudhatun Nazhir, I:58)
Sedangkan cara kedua ditempuh oleh sebagian ahli ushul fiqih, antara lain Abu Ishaq as-Syirazi dalam Syarh al-Luma’ fi Ushulil Fiqh (I:157), Fakhrur Razi dalam al-Mahshul fi Ilmi Ushulil Fiqhi (I:91), Shadrus Syari’ah fit Tanqih (I:18), Ali as-Syaukani dalam Irsyadul Fuhul fi Ilmil Ushul (hal. 3). Cara mereka diikuti pula oleh ahli ushul fiqih kontemporer, antara lain Prof.Dr. Wahbah az-Zuhaili dalam Ushul Fiqh al-Islami (I:16), Prof.Dr. Abdul Kariem Zaidan dalam Al-Wajiz fi Ushul Fiqh (hal. 7-8). Dalam buku ini, kami mengikuti cara kedua, yakni mendahulukan definisi ushul, baik secara bahasa maupun istilah, selanjutnya definisi fiqih, baik secara bahasa maupun istilah.
A. Pengertian Ushul
Kata ushul adalah bentuk jamak dari kata ashl, secara bahasa mengandung beberapa arti, antara lain
:
(a)
“Sesuatu yang dijadikan dasar bagi yang lain”
Seperti, perkataan: (a) Ashl al-jidari (asal dinding) maksudnya asasuhu (pondasinya), (b) Ashl as-syajarah (asal pohon) maksudnya tharfuha ats-tsabit fil ardhi (akar)
Berdasarkan pengertian di atas, maka ushul fiqh secara bahasa berarti asas fiqih (dasar-dasar bagi fiqh).
(b)
“Sesuatu yang wujud sesuatu lainnya bersandar kepadanya”
(c)
“Yang diperlukan kepadanya”
(d)
“Sesuatu yang darinya sesuatu yang lain”
(e)
“Sesuatu yang darinya bercabang yang lain”
Menurut Dr. Abdul Karim bin Ali, makna yang rajih (yang kuat) adalah makna pertama (Tahqiq ‘ala Raudhatut Nazhir, I:61) . Dan makna ini merupakan pilihan Abul Husen al-Bishri dalam al-Mu’tamad fi Ushulil Fiqh (I:9), yang diikuti oleh mayoritas ahli ushul fiqh, antara lain Abul Khatab al-Hanbali (Mahfuzh bin Ahmad) dalam at-Tamhid fi Ushulil Fiqh (I:5), ‘Adhdudin al-Aiji dalam Syarh Mukhtashar Ibnil Hajib (I:25), Ali as-Syaukani dalam Irsyadul Fuhul (hal. 3)
Adapun menurut istilah, ashl mengandung beberapa pengertian:
[a] ad-dalil, seperti dalam ungkapan:
"Ashl bagi diwajibkan zakat adalah al-Kitab, artinya dalil diwajibkannya itu adalah Alquran, yaitu Allah Ta'ala berfirman: "...dan tunaikanlah zakat!."
[b] al-qaidah al-kulliyah, yaitu aturan atau ketentuan umum, seperti dalam ungkapan sebagai berikut :
"Dibolehkannya makan bangkai karena terpaksa adalah menyalahi ashl, artinya menyalahi ketentuan atau aturan umum, yaitu setiap bangkai adalah haram; Allah Ta'ala berfirman : "Diharamkan bagimu (memakan) bangkai... ".
[c] ar-Rajih (yang kuat), seperti dalam ungkapan
الْأَصْلُ فِي الْكَلَامِ الْحَقِيقَةُ
"Ashl dalam pembicaraan adalah makna hakiki. Maksudnya makna yang rajih (kuat) menurut pendengar adalah makna hakiki bukan majazi (kiasan)
[d] al-mustashab, seperti dalam ungkapan
الْأَصْلُ بَقَاءُ مَا كَانَ عَلَى مَا كَانَ
"Mustashab itu adalah ketetapan hukum sesuatu sebagaimana hukum yang ada sebelumnya. Maksudnya makna yang rajih (kuat) menurut pendengar adalah makna hakiki bukan majazi (kiasan)
Yang lebih tepat pengertian kata ushul secara istilah (dalam kata Ushul Fiqh) adalah ad-dalil. Makna ini merupakan pilihan mayoritas ahli ushul fiqih, antara lain Imam al-Haramain (Abdul Malik bin Abdullah al-Juwaini) dalam al-Burhan fi Ushulil Fiqh (I:85), Saefuddin al-Amidi dalam al-Ihkam fi Ushulil Ahkam (I;7), Abu Ishaq as-Syirazi dalam Syarh al-Luma’ fi Ushulil Fiqh (I:163), Ibnu Qudamah dalam Raudhatun Nazhir wa Jannatul Manazhir fi Ushulil Fiqh (I:60-61), al-Ghazali dalam al-Mustashfa min Ilmil Ushul (I:5), Ibnu Hajib dalam Mukhtashar Ibnil Hajib (I:18), Ibnu Subki (Tajuddin Abdul Wahhab) dalam Jam’ul Jawami’ fi Ushulil Fiqh (I:32), Badruddin az-Zarkasyi dalam al-Bahrul Muhith fi Ushulil Fiqh (I:17), Abdul Ala al-Anshari dalam Fawatihur Rahumut Syarh Muslim at-Tsubut fi Ushulil Fiqh (I:8), al-Futuhi al-Hanbali dalam Syarh al-Kaukab al-Munir fi Ushulil Fiqh (I:39). Dalam hal ini Ali as-Syaukani menyatakan:
“Yang paling sesuai dalam konteks ini adalah ad-dalil) (Irsyadul Fuhul fi Ilmil Ushul, hal. 3). Demikian pula Prof.Dr. Wahbah az-Zuhaili menyatakan:
“Saya berpendapat bahwa penggunaan kata ushul dengan makna dalil adalah lebih sesuai ketika diidhafatkan (disandarkan) kepada kalimat fiqh, karena lebih menuntun kepada tujuan dan lebih jelas dalam menjelaskan maksud” (Ushul Fiqh al-Islami I:17)
Meskipun demikian, ada sebagian ahli ushul fiqh yang tidak berpegang kepada makna istilah (dalil), tetapi tetap menggunakan makna bahasa (dasar).

Dengan demikian, bila pendapat mayoritas ushul fiqih yang dijadikan acuan maka ushul fiqh secara istilah (dalam konteks tarkib idhafi) berarti dalil-dalil bagi fiqh. Namun bila mengacu kepada pendapat sebagian ahli ushul fiqih (berpegang kepada makna bahasa), maka ushul fiqih secara istilah berarti dasar-dasar bagi fiqh.

Dari pengertian ushul secara istilah di atas kita mendapatkan beberapa definisi ushul fiqih versi mayoritas, antara lain sebagai berikut:
(a) Versi Ibnu Qudamah
اُصُوْلُ الفِقْهِ أَدِلَّتُهُ الدَالَّةُ عَلَيْهِ مِنْ حَيْثُ الْجُمْلَةُ لاَ مِنْ حَيْثُ التَّفْصِيْلُ
“Ushul fiqh itu adalah dalil-dalil fiqh yang menunjukkan kepadanya secara garis besar, tidak secara terperinci”(Lihat, Raudhatun Nazhir, I:60-61)
Definisi di atas merupakan ringkasan dari definisi Imam al-Ghazali
“Sesungguhnya ushul fiqh itu keterangan tentang dalil-dalil hukum ini dan pengetahuan akan aspek-aspek penunjukkannya terhadap hukum-hukum, secara garis besar tidak secara terperinci”(Lihat, al-Mustashfa, I:5)

Definisi versi al-Ghazali di atas mirip dengan versi Ibnu Burhan dalam sebagai berikut:
اُصُوْلُ الْفِقْهِ عِبَارَةٌ عَنْ جُمَلِ أَدِلَّةِ الاَْحْكَامِ
“Ushul fiqh itu keterangan tentang dalil-dalil hukum secara garis besar”(Lihat, al-Wushul ilal Ushul, I:51)
Kemiripan tersebut tidaklah mengherankan, karena Ibnu Burhan adalah murid al-Ghazali, dan Ibnu Qudamah telah meringkas kitab al-Mustashfa-nya al-Ghazali, melalui cara ini keduanya (Ibnu Burhan dan Ibnu Qudamah) bertemu.

(b) Versi Abu Ishaq as-Syirazi
دَلاَئِلُ الْفِقْهِ الاِجْمَالِيَةُ
“Ushul fiqh itu dalil-dalil fiqh secara garis besar”(Lihat, al-Wushul ilal Ushul, I:51)

(c) Versi Imam al-Haramain
“Sesungguhnya ushul fiqh itu adalah dalil-dalil fiqh. Dan dalil-dalil fiqh itu adalah dalil-dalil pendengaran (diterima secara riwayat), dan klasifikasinya: nash Alquran, sunah mutawatir, dan ijma”(Lihat, al-Burhan, I:85)

Dari berbagai difinisi di atas, khususnya Abu Ishaq as-Sirazi, Syekh Abdul Hamid Hakim membuat definisi sebagai berikut:
Ushul Fiqh itu adalah dalil fiqh secara ijmal (garis besar), seperti ucapan mereka: keumuman perintah itu menunjukan wajib, keumuman larangan itu menunjukan haram, keumuman ijma dan qiyas itu adalah hujjah (as-Sulam, hal. 5)

Kesimpulan
Dilihat dari aspek tarkib idhafi, ushul fiqh adalah dalil-dalil fiqh, bukan ilmu atau pengetahuan tentang dalil-dalil itu. Hal ini berbeda dengan pengertian ushul fiqh dilihat dari aspek ilmiah.

Rabu, 02 Januari 2013

IKRAMA BERBAGI,,,



IKRAMA BERBAGI, JAMAAH SIMPATI
I
katan Remaja Masjid Al-Muhajirin, atau akrab dengan panggilan IKRAMA menggelar acara bakti sosial dengan mengangkat Tema “Kumpul Untuk Ngaji Dan Berbagi.” Acara Bakti Sosial yang dilaksanakan pada Minggu (30/12) di selasar Masjid Al-Muhajirin tersebut berlangsung meriah, sekalipun dikemas dalam konsep acara yang sangat sederhana. IKRAMA mengundang anak-anak yatim dari Yaysan At-Tamim, Cileunyi Bandung.
Kegiatan bakti sosial tersebut merupakan kegiatan penutup di semester kedua akhir 2012. Sekalipun hanya sedikitpengurus DKM yang hadir (termasuk admin almuhajirin026.blogspot.com, hee...hee..) tapi antusias anak-anak remaja untuk bisa berbagi tetap berkobar.
Pagi pukul 9.00 area masjid Al-Muhajirin mulai diramaikan dengan bunyi-bunyian alat musik serta lantunan shalawat Anak-anak At-Tamim. Kelihaian mereka dalam melantunkan shalawat menghanyutkan para peserta dalam suasana khidmat, sedikitpun tak bergeming. Terutama saat dilantunkan shalawat yang berjudul “Shalatun”. Sesaat setelah selesai, barulah peserta bertepuk tangan.
Ahmad Syauqi Hidayat, ketua (regenarasi) IKRAMA menyampaikan sambutan singkat. Dalam sambutannya, ia sangat berharap IKRAMA bisa menjadi sebuah komunitas yang akan melahirkan generasi muslim yang bisa memberikan kebahagiaan dan menebar manfaat bagi masyarakat dan lingkungan. Tak hanya itu, ia pun mewacanakan IKRAMA bisa menyelenggarakan kegiatan bakti sosial dengan konsep acara yang lebih meriah (di tunggu ya, peran dari teman-teman Cartoon).
Ketua DKM, Ust. Aminudin, M.Ag dalam tausyiahnya mengungkapkan rasa bahagia dan terima kasih kepada seluruh Jamaah Al-Muhajirin yang telah berpartisipasi dengan memberikan sedekah, sehingga ada “oleh-oleh” yang bisa mereka (anak-anak Yatim At-Tamim) bawa pulang. Di antara inti tausyiahnya, beliau menuturkan bahwa keprihatinan Rasulullah SAW sebagai yatim piatu tidak membuatnya putus asa. Jika Rasul saja yang sudah di tinggal wafat sejak dalam kandungan oleh sang ayah, dan disusul oleh ibu tercinta tatkala masih balita maka rasanya tak ada alasan buat anak-anak remaja untuk bermalas-malas mencari ilmu dan membiarkan kedua orang tua dalam kesibukannya (gak bantuin mereka).
Sesaat setelah tausyiah, tadarus quran dimulai. Sesuai dengan tema ““Kumpul Untuk Ngaji Dan Berbagi”. Sebelum pembagian santunan, IKRAMA menggelar baca Al-Quran bersama. Kegiatan baca Al-Quran semacam ini bertujuan agar bacaan Al-Quran familiar, yang pada akhirnya diharapakan bisa menjadi kebiasaan membaca Al-Quran bagi anak-anak remaja.
Di penghujung acara, IKRAMA membagikan Santunan Sosial yang didapat dari para donatur jamaah masjid Al-Muhajirin berupa uang tunai sebesar Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) dan 4 kardus mie instan serta sejumlah sembako lainnya.  

Rabu, 26 Desember 2012

PUNGLI DI KUA BISA CAPAI Rp 1,2 TRILIUN/ TAHUN

PUNGLI DI KUA BISA CAPAI Rp 1,2 TRILIUN/ TAHUN

Pungli di Indonesia benar-benar telah menggurita. Bahkan pungli ada di lembaga negara yang bergerak di bidang keagamaan seperti Kantor Urusan Agama (KUA). Jumlahnya tak main-main, bisa mencapai Rp 1,2 triliun per tahun!

Irjen Kemenag, M Jasin mengatakan pungli paling besar yang terjadi di KUA terkait dengan penghulu pernikahan. Banyak pungutan liar yang dilakukan oleh penghulu kepada pihak yang meminta dinikahkan. Ironisnya, pungutan liar itu ditargetkan oleh KUA asal si penghulu.

Jasin mengatakan pungutan liar kebanyakan terjadi ketika penghulu meminta 'ongkos' menikahkan dari pasangan yang telah mendaftar ke KUA. Tak tanggung-tanggung, mereka minta Rp 500 ribu untuk tiap pernikahan. Padahal, ongkos sebenarnya hanya Rp 30 ribu. (dtc)
sumber: PRFM 

Senin, 24 Desember 2012

MENAG: TAK MASALAH ORANG ISLAM UCAPKAN SELAMAT NATAL

MENAG: TAK MASALAH ORANG ISLAM UCAPKAN SELAMAT NATAL

Menteri Agama (Menag), Suryadharma Ali menyatakan, bagi seorang umat Islam menyampaikan ucapan selamat kepada kalangan umat Nasrani yang merayakan Natal tak menjadi persoalan dan itu merupakan hal biasa.

Pernyataan Menag itu menjawab pertanyaan wartawan terkait dengan adanya fatwa MUI yang disampaikan KH Maruf Amin bahwa menyampaikan ucapan selamat Natal kepada umat Nasrani yang sedang merayakan hari Natal disebut sebagai perbuatan haram. Suryadharma menjelaskan, hal itu tak menjadi persoalan karena disampaikan di luar kontek ritual. Bukan ketika disampaikan dalam suasana ritual Natal.

Pendapat berbeda antara MUI dan Kemenag itu, menurut dia, bisa saja terjadi. Hal itu dilatarbelakangi oleh referensi hukum yang berbeda-beda. Sumber hukum Islam adalah Alquran, Sunnah, dan pendapat para ulama. Pihaknya harus menghormati adanya perbedaan tersebut. Tetapi bagi Suryadharma Ali menyampaikan ucapan seperti itu tidaknya menjadi persoalan. (mrd)

Jumat, 21 Desember 2012

Wahyu Pertama



Wahyu Pertama
Oleh : Iyan Rofianto
Bismillahirrahmaanirrahiim,
Bacalah dengan (menyebut) Nama Rabb-mu yang menciptakan, (QS . 96:1) Dia telah menciptakan manusia dengan segumpal darah. (QS. 96:2) Bacalah, dan Rabb-mulah Yang Paling Pemurah, (QS. 96:3) Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. (QS. 96:4) Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (QS. 96:5)

Menurut pendapat yang paling kuat, ayat-ayat Al-Qur’an ini adalah ayat yang pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ayat-ayat tersebut merupakan rahmat yang dengannya Allah memuliakan hamba-Nya sekaligus sebagai nikmat pertama yang diberikan kepada mereka. Alhamdulillah, banyak diantara kaum muslimin baik muda maupun tua, yang hafal ayat yang mulia ini. Dan pada kesempatan yang baik ini, sebagai bahan renungan saya pribadi dan para pembaca, insya Allah saya akan menyampaikan apa yang tercantum dalam hadits shahih mengenai peristiwa pada saat turunnya wahyu pertama ini, yang juga haditsnya dinukil oleh Al Hafizh Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya ketika beliau menafsirkan ayat ini, yaitu sebagai berikut,
Imam Ahmad meriwayatkan dari ‘Aisyah, dia mengatakan : “Wahyu yang pertama kali diturunkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah mimpi yang benar melalui tidur. Dimana beliau tidak bermimpi melainkan datang sesuatu seperti falaq Shubuh. Setelah itu, beliau menjadi lebih senang mengasingkan diri. Kemudian beliau mendatangi Gua Hira. Di sana beliau beribadah untuk beberapa malam dengan membawa perbekalan yang cukup. Setelah itu, beliau pulang kembali kepada Khadijah untuk mengambil bekal yang sama sampai akhirnya datang kepada beliau wahyu secara tiba-tiba, yang ketika itu beliau masih berada di Gua Hira. Di gua itu beliau didatangi oleh Malaikat Jibril seraya berkata : ‘Bacalah!’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, maka kukatakan : ‘Aku tidak dapat membaca.’ Lebih lanjut beliau bersabda : : “lalu Jibril memegangku seraya mendekapku sampai aku merasa kepayahan. Selanjutnya, Jibril melepaskanku dan berkata : ‘Bacalah’. ‘Aku tidak dapat membaca’ jawabku. Kemudian Jibril mendekapku untuk kedua kalinya sampai aku merasa benar-benar kepayahan. Selanjutnya, dia melepaskanku lagi seraya berkata, ‘Bacalah’. Aku tetap menjawab : ‘Aku tidak dapat membaca.’ Lalu dia mendekapku untuk ketiga kalinya sampai aku benar-benar kepayahan. Setelah itu, dia melepaskanku lagi seraya berketa : “Bacalah dengan nama Rabb-mu yang menciptakan - sampai pada ayat- ‘Apa yang tidak diketahuinya’.”
Dia berkata : “Maka beliaupun pulang dengan sekujur tubuh dalam keadaan menggigil hingga akhirnya masuk menemui Khadijah dan berkata : “Selimuti aku, selimuti aku.” Mereka pun segera menyelimuti beliau sampai akhirnya rasa takut beliau hilang. Selanjutnya beliau bersabda, “Apa yang terjadi padaku?’ Lalu beliau menceritakan peristiwa yang dialaminya  seraya bersabda, “Aku khawatir sesuatu akan menimpa diriku.” Maka Khadijah pun berkata kepada beliau : “Tidak, bergembiralah. Demi Allah, Allah tidak akan pernah menghinakanmu. Sesungguhnya engkau adalah orang yang paling suka menyambung tali silaturrahmi, berkata jujur, menanggung beban (orang lain), menghormati tamu, dan membantu menegakkan pilar-pilar kebenaran.”
Kemudian Khadijah mengajak beliau pergi hingga akhirnya dia membawa beliau menemui Waraqah bin Naufal bin Asad bin ‘Abdil ‘Uzza bin Qushay, yaitu anak paman Khadijah, saudara laki-laki ayahnya. Dia seorang penganut Nashrani pada masa jahiliyah. Dia menulis kitab berbahasa Arab dan juga menulis Injil dalam Bahasa Arab dengan kehendak Allah. Dia adalah seorang yang sudah berumur lagi buta. Lalu Khadijah berkata : “Wahai anak paman, dengarkanlah cerita dari anak saudaramu ini.” Kemudian Waraqah berkata, “Wahai anak saudaraku, apa yang telah terjadi padamu?” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan apa yang beliau alami kepadanya. Lalu Waraqah berkata, “Ini adalah Namus (malaikat Jibril) yang diturunkan kepada Musa. Andai saja saat itu aku masih muda. Andai saja nanti aku masih hidup saat engkau diusir oleh kaummu.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apakah mereka akan mengusirku?” Waraqah menjawab, “Ya. Tidak akan ada seorang pun yang datang dengan membawa apa yang engkau bawa melainkan akan disakiti. Dan jika aku masih hidup pada masamu, niscaya aku akan mendukungmu dengan pertolongan yang sangat besar.” Dan tidak lama kemudian, Waraqah meninggal dunia dan wahyu terhenti, sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam benar-benar bersedih hati.
Hadits di atas diriwayatkan di dalam kitab Shahih Bukhari, dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha. Menurut Ibnu Katsir, kesedihan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam disebabkan oleh kerinduan beliau yang amat sangat untuk dapat melihat kembali apa yang pernah dilihatnya dahulu. Kerinduan yang terbersit karena kelezatan  apa yang beliau saksikan dari wahyu Allah yang diturunkan [kepada beliau]. Para ulama berbeda pendapat mengenai jeda waktu turunnnya wahyu ini, namun terdapat riwayat yang menyebutkan bahwa masa terhentinya wahyu tersebut lebih kurang selama dua tahun atau lebih. Setelah itu, datanglah Malaikat menampakkan wujudnya kepada beliau di antara langit dan bumi, di atas sebuah kursi. Malaikat itu meneguhkan hati beliau dan menyampaikan kabar gembira bahwasanya beliau benar-benar utusan Allah. Ketika melihat Malaikat itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merasa takut terhadapnya. Beliau segera mendatangi Khadijah sambil berkata : “Selimuti aku, selimuti aku.” Maka Allah pun menurunkan firman-Nya :
Hai orang-orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berikanlah peringatan! Dan Rabb-mu agungkanlah, dan pakaianmu bersihkanlah.” (Q.S. Al-Muddatstsir : 1-4)
                Demikian yang tercantum dalam kitab Sahiihul Bukhari dan Shahih Muslim. Banyak sekali ibrah atau pelajaran dan hikmah yang dapat diambil dari riwayat di atas, sangat banyak bahkan. Dan Insya Allah, pada kesempatan yang lain saya berkeinginan untuk menyampaikan sebagian kecilnya sebagai bahan renungan saya pribadi, dan pembaca yang memerlukannya. Untuk saat ini, kiranya cukuplah apa yang telah saya sampaikan dapat menambah keyakinan kita terhadap risalah yang dibawa oleh Nabi kita tercinta, dan sebagai pengingat betapa beratnya perjuangan beliau dalam menegakkan risalah Islam, dan bahkan riwayat di atas hanya menggambarkan setetes saja dari beratnya perjuangan beliau.
 Akhirnya, semoga artikel ini bermanfaat, dan semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga hari Kiamat. Wallaahu A’lam.
_____________
Sumber rujukan :
1.       Tafsir Ibnu Katsir, karya Al-Hafizh Ibnu Katsir
2.       Sirah Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam, karya Al-Hafizh Ibnu Katsir
3.       Fathul Bari, Syarah Shahih Al Bukhari, karya Ibnu Hajar al-Asqalani
4.       Zaadul Ma’ad, karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyah