Sebuah
Model Ibadah Dengan Rasa Cinta Kepada Allah
Oleh : Abdul Wahid
Dalam khasanah
dunia tasawuf, Rabi’ah Al-adawiyah adalah sebuah nama yang selalu
disebut-sebut. Rabi’ah hadir dengan satu konsep mahabbahnya kepada Allah SWT., menurut Rabi’ah, atas dasar cinta
kepada Allahlah seharusnya manusia menjalani hidup ini, bukan karena yang
lainnya.
Nama lengkap
Rabi’ah adalah Ummu al-Khair Rabi’ah Binti Isma’il Al-Adawiyah al-Qisiyah. Dia
lahir di Bashrah pada tahun 96 H/713 M. Rabi’ah berasal berasal dari keluarga
miskin, dan dari kecil tinggal di kota kelahirannya.[1]
Selama hidupnya
Rabi’ah Al-Adawiyah tidak menikah. Beliau merupakan wanita zahidah[2]
yang selalu menampik lamaran setiap pria yang datang dengan mengatakan : ”Akad Nikah adalah hak pemilik alam semesta.
Sedangkan bagi diriku, hal itu tidak ada, karena aku telah berhenti maujud dan
telah lepas dari diri!, aku maujud dalam Tuhan dan diriku sepenuhnya milikNya.
Aku hidup dalam naungan firmanNya. Akad nikah mesti diminta dariNya, bukan
dariku.”[3]
Isi pokok ajaran
tasawuf Rabi’ah adalah tentang
cinta. Karena itu, dia mengabdi, melakukan amal shalih bukan karena takut masuk neraka atau mengharap masuk surga,
akan tetapi karena cintanya kepada Allah SWT. Cintalah yang mendorongnya selalu
dekat dengan Allah SWT, dan cinta itu pulalah yang membuatnya sedih dan
menangis karena takut terpisah dari Zat yang dicintainya. Pendek kata, Allah
bagi Rabi’ah adalah Zat yang dicintainya,
bukan sesuatu yang harus ditakuti.[4]
Dalam sebuah
kisah diungkapkan betapa Rabi’ah sangat cinta kepada tuhannya. Disamping
jawaban diatas, ketika Hasan Bashri datang untuk melamarnya, Rabi’ah justru
mengajukan sarat dengan empat pertanyaan yang sulit untuk dijawab.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah :[5]
Pertama; ”Apakah yang akan dikatakan oleh hakim dunia ini saat
kematianku nanti, akankah aku mati dalam Islam ataukah murtad?”.
Kedua; ”Pada waktu aku dalam kubur nanti, disaat malaikat Munkar dan
Nakir menanyaiku nanti, dapatkah aku menjawabnya?”.
Ketiga; ”Pada saat manusia dikumpulkan di padang Mahsyar di hari
perhitungan nanti, semua akan menerima buku di tangan kanan dan di tangan kiri,
bagaimana denganku, apakah akan menerima di tangan kanan ataukah tangan kiri?”.
Dan keempat;”Pada saat hari perhitungan nanti, sebagian manusia akan
masuk surga, dan sebagian lain masuk neraka, dimanakah aku akan berada?” Dengan
pertanyaan-petanyaan semacam ini tentu Hasan Basri tidak mampu untuk
menjawabnya, sehingga tidak berhasil menyunting Rabi’ah.
Keengganan
Rabi’ah untuk menikah, nampaknya cukup bagi kita untuk menilai betapa sosok
Rabi’ah rela melakukan apapun demi mewujudkan rasa cintanya kepada Allah SWT.
Walaupun dari sudut pandang yang lain, hal ini masih dapat diperdebatkan. Sebab
menikah adalah sesuatu yang bernilai sunnah
dari kaca mata fiqih. Bahkan
Rasulullah menganggap bukan termasuk golongan beliau bagi mereka yang tidak mau
melaksanakannya karena alasan yang tidak kuat.
Alasan kecintaan
kepada Allah yang dikemukakan oleh Rabi’ah, barangkali alasan yang bersifat
subyektif. Karena memang mahabbah, khauf,
dan raja’ adalah sesuatu yang berada pada wilayah rasa. Dan yang namanya
rasa adalah subyektif, tergantung kondisi orangnya, yang dipengaruhi oleh
tingkat pengetahuan, keimanan, pengalaman batin, ruhani dan sebagainya.
Al-Hujwiri dalam
Kasyf Al-Mahjub, sebagaimana
dikutip oleh Asmaran, A.S menyatakan sepenggal kisah Rabi’ah Al-Adawiyah : ”Suatu
ketika aku membaca cerita bahwa seorang hartawan berkata kepada Rabi’ah
Al-Adawiyah : ”Mintalah kepadaku segala kebutuhanmu!” Rabi’ah kemudian menjawab
:”Aku ini begitu malu meminta hal-hal
duniawi kepada Pemiliknya, maka bagaimana bisa meminta hal itu kepada orang
yang bukan pemiliknya”.[6]
Nampak jelas
bahwa betapa Rabi’ah selalu mengembalikan segala sesuatunya kepada pemiliknya,
dalam hal ini adalah allah SWT. Rabi’ah
tidak mau ada Zat selain Allah SWT. yang menjadi sumber kehidupannya.
Konsep kecintaan (al hub) ini kemudian memancar dalam seluruh hidupnya, sehingga
selama hidup ia selalu beribadah, bertaubat dan menjauhi hidup duniawi. Ia hidup dalam kemiskinan dan menolak segala
bantuan materi yang diberikan kepadanya. Bahkan dalam do’anya ia tidak mau
meminta hal-hal yang berbau materi kepada Tuhan. Ia betul-betul hidup dalam
keadaan zuhud dan hanya ingin berada
dekat dengan Tuhan.[7]
Allah SWT. bagi
Rabi’ah adalah Zat yang dicintai, bukan seuatu yang harus di takuti. Dalam hal
ini ia pernah berucap : ”Aku mengabdi kepada Tuhan bukan karena takut kepada
neraka.....bukan pula karena ingin masuk surga......tetapi aku mengabdi karena
aku mencintaiNya. Tuhanku, jika kupuja engkau karena takut neraka, bakarlah aku
di dalamnya; dan jika kupuji Engkau karena
mengharap surga, jauhkanlah aku dari padanya; tetapi jika kupuja engkau
karena semata-mata karena engkau, maka janganlah engkau sembunyikan
kecantikanMu yang kekal itu dari diriku.” [8]
Dalam syair yang
lain Rabi’ah berucap :
Engkau durhaka kepada Tuhan di dalam bathin
Tetapi di lidah engkau menyebut taat kepadaNya
Demi umurku, ini perbuatan yang amat ganjil
Jika cinta sejati, tentu kau turut apa kata perintah
Karena pecinta, ke yang di cinta taat dan patuh[9]
Nampak jelas
dari puisi-puisi Rabia’ah tersebut bahwa yang mendasari interaksi antara dia
dengan Tuhan adalah cinta, bukan yang lainnya, seperti harapan-harapan untuk
mendapat balasan dari Allah, ataupun sebaliknya karena rasa takut akan
ancaman-ancaman siksa Allah. Memang, rasa cinta itu akan merubah segalanya.
Orang yang sedang dimabuk cinta akan melalukan apapun yang diinginkan oleh yang
dicintainya, apaun halangan yang merintang, seterjal apapun medan yang harus ia
lalui, setinggi apapun bukit yang harus ia daki, securam apapun jurang yang
harus ia turuni, demi sang kekasih hati, maka apapun akan ia lakukan.
Pada dasarnya konsep al-hub
yang dikembangkan oleh Rabi’ah merupakan
hasil pengembangan konsep zuhudnya
Hasan Al-Bashri. Konsep zuhud Hasan
Al-Bashri adalah karena khauf (takut)
dan raja’ (harapan). Oleh Rabi’ah kemudian diubah menjadi zuhud karena cinta kepada Allah SWT.
R.A. Nicholson,
seorang orientalis menganggap sangat
penting kedudukan Rabi’ah karena ia menandai konsep zuhud dengan corak yang lain dari konsepnya Hasan Al-Bashri yang
ditandai dengan rasa takut. Rabi’ah melengkapinya dengan unsur baru, yaitu
cinta, yang menjadi sarana manusia dalam merenungkan keindahan Allah SWT. yang
abadi.[10] Hal ini
tampak dalam beberapa puisinya yang lain.
Di saat melakukan munajat,
Rabi’ah berdialog dengan Tuhan sebagai berikut: ”Tuhanku, bintang-bintang di langit telah gemerlapan, orang-orang
telah bertiduran, pintu-pintu istana
telah ditutup dan pada saat itulah semua pecinta telah menyendiri dengan yang
dicintainya. Inilah aku berada di hadiratMu.”
Pada saat yang
lain ia berujar : ”Tuhanku, malam telah berlalu dan siang segera menampakan
diri. Aku gelisah, apakah amalanku Engkau terima hingga aku merasa bahagia,
ataukah engkau tolak hingga aku merasa sedih. Demi kemahakuasaanMu, inilah yang
yang akan kulakukan selama aku engkau beri hayat. Sekiranya aku engkau usir
dari pintuMu, aku tidak akan pergi, karena cintaku padaMu telah memenuhi
seluruh lorong hatiku.”[11]
Barangkali
inilah gambaran sederhana dari kondisi ruhani Rabi’ah yang begitu menggebu
cintanya kepada allah SWT. Ia tidak mempedulikan apapun yang menimpa dirinya,
harta, dan kedudukan tidak ia hiraukan, bahkan sampai untuk berumah tanggapun
rela ia tanggalkan demi untuk mengejar kecintaannya kepada Allah SWT.
Pelajaran
berharga dari Rabi’ah adalah betapa sesungguhnya kecintaan seorang hamba kepada
Tuhannya mengalahkan segalanya dalam hidupnya. Walaupun memang masih ada hal
yang kemudian diperdebatkan oleh para ahli tentang sosok Rabi’ah ini. Semoga
kita bisa mengambil hikmah dari perjalanan hidup Rabi’ah ini. Wallahu a’lam
bi shawab.
[1] Asmaran A.S., Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1994. hlm.
268
[2] Istilah ini di berikan
kepada seorang wanita yang mempunyai perilaku zuhud. Menurut HAMKA zuhud
muncul sebagai manifestasi dari iman. Sehingga zuhud artinya tidak ada perhatian yang lain, kecuali kepada Allah,
selain dari Allah tidak ada yang terkenang dalam hati, sebab itu orang zuhud merasa tidak mempunyai apa-apa dan
tidak dipunyai oleh apa-apa. Dalam pandangan Aa Gym orang yang zuhud terhadap dunia melihat apapun yang
dimilikinya tidak mejadi jaminan. Ia lebih suka dengan jaminan Allah karena
walaupun tidak tampak dan tidak tertulis, tetapi Dia Mahatahu akan segala
kebutuhan kita, dan bahkan, lebih tahu dari kita sendiri. Lihat Sulaiman
Al-Kumayi, Kearifan Spiritual dari HAMKA
ke Aa Gym, Semarang, Pustaka Nun, 2004. hlm. 123
[3] Ibid.,
hlm. 268
[4] Ibid.,
hal.269
[5] Margareth Smith, Rabi’ah; Pergulatan Spiritual Perempuan, Surabaya, Risalah Gusti,
1997. hlm. 14
[6] Ibid.,
hlm. 269
[7] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1973.
hlm. 72
[8] Asmaran AS, op.cit., hal. 270
[9] HAMKA, Tasawuf
; Perkembangan dan Pemurniannya,Jakarta,
Pustaka Panjimas, Cet. IV., 1994.
hlm. 75
[10] Asmaran AS, op.cit., hlm.270
Tidak ada komentar:
Posting Komentar