Salurkan Zakat, Infaq, Shadaqah dan Wakaf anda ke ZISWAF al-Muhajirin

Panitia Renovasi Masjid Al-Muhajirin

renovasi Masjid Al-Muhajirin ke Bank Syariah Mandiri KCP Jatinangor an. Panitia Renovasi Al Muhajirin Nomor Rekening 1000-555-777

iklan

jazakamullah ahsanal jaza' semoga Allah SWT akan membalas kalian dengan balasan yang terbaik. aamiin yaa robbal 'alamiin...

Senin, 11 November 2013

FIQHUL IKHTILAF Bag I


FIQHUL IKHTILAF Bag I
Diadaptasi dari tulisan :  Ahmad Mudzoffar Jufri, MA
Oleh:
Ust. Aminudin, M.Ag


A.  Macam-macam Ikhtilaf
 Ikhtilaf (perbedaan) bisa dibedakan menjadi dua. Pertama, ikhtilaful qulub (perbedaan dan perselisihan hati) yang termasuk kategori tafarruq (perpecahan) dan oleh karenanya ia tertolak dan tidak ditolerir. Dan ini mencakup serta meliputi semua jenis perbedaan dan perselisihan yang terjadi antar ummat manusia, tanpa membedakan tingkatan, topik masalah, faktor penyebab, unsur pelaku, dan lain-lain. Yang jelas jika suatu perselisihan telah memasuki wilayah hati, sehingga memunculkan rasa kebencian, permusuhan, sikap wala’-bara’, dan semacamnya, maka berarti itu termasuk tafarruq (perpecahan) yang tertolak dan tidak ditolerir. Kedua, ikhtilaful ‘uqul wal afkar (perbedaan dan perselisihan dalam hal pemikiran dan pemahaman), yang masih bisa dibagi lagi menjadi dua:
  1. Ikhtilaf dalam masalah-masalah ushul (prinsip). Ini jelas termasuk kategori tafarruq atau iftiraq(perpecahan) dan oleh karenanya ia tertolak dan tidak ditolerir. Maka pembahasannya tidak termasuk dalam materi fiqhul ikhtilaf, melainkan dalam materi aqidah, yang biasa saya sebut dan istilahkan dengan fiqhul iftiraq (fiqih perpecahan). Dan perselisihan jenis inilah yang melahirkan kelompok-kelompok sempalan dan menyimpang di dalam Islam yang biasa dikenal dengan sebutan firaq daallah (firqah-firqah sesat) dan ahlul bida’ wal ahwaa’ (ahli bid’ah aqidah dan mengikut hawa nafsu), seperti Khawarij, Rawafidh (Syi’ah), Qadariyah (Mu’tazilah dan Jabriyah), Jahmiyah, Murjiah, dan lain-lain.
  2. Ikhtilaf dalam masalah-masalah furu’ (cabang, non prinsip). Inilah perbedaan dan perselisihan yang secara umum termasuk kategori ikhtilafut tanawwu’ (perbedaan keragaman) yang diterima dan ditolerir, selama tidak berubah menjadi perbedaan dan perselisihan hati. Dan ikhtilaf jenis inilah yang menjadi bahasan utama dalam materi fiqhul ikhtilaf pada umumnya, dan dalam tulisan ini pada khususnya.
Antara Ikhtilaf (Perbedaan) dan Tafarruq (Perpecahan)
Setiap tafarruq (perpecahan) merupakan ikhtilaf (perbedaan), namun tidak setiap ikhtilaf (perbedaan) merupakan tafarruq (perpecahan). Namun setiap ikhtilaf bisa dan berpotensi untuk berubah menjadi tafarruq atau iftiraq antara lain karena:
  1. Faktor pengaruh hawa nafsu, yang memunculkan misalnya ta’ashub (fanatisme) yang tercela, sikap kultus individu atau tokoh, sikap mutlak-mutlakan atau menang-menangan dalam berbeda pendapat, dan semacamnya. Dan faktor pelibatan hawa nafsu inilah secara umum yang mengubah perbedaan wacana dalam masalah-masalah furu’ ijtihadiyah yang ditolerir menjadi perselisihan hati yang tercela.  
  2. Salah persepsi (salah mempersepsikan masalah, misalnya salah mempersepsikan masalah furu’ sebagai masalah ushul). Dan ini biasanya terjadi pada sebagian kalangan ummat Islam yang tidak mengakui dan tidak memiliki fiqhul ikhtilaf. Yang mereka miliki hanyalah fiqhut tafarruq wal iftiraq (fiqih perpecahan), dimana bagi mereka setiap perbedaan dan perselisihan merupakan bentuk perpecahan yang tidak mereka tolerir, dan karenanya senantiasa disikapi dengan sikap wala’ dan bara’ (?).
  3. Tidak menjaga moralitas, akhlaq, adab dan etika dalam berbeda pendapat dan dalam menyikapi para pemilik atau pengikut madzhab dan pendapat lain. 
B. Hakekat Ikhtilaf dalam  Masalah-masalah Furu’
  1. Ikhtilaf (perbedaan pendapat) yang dimaksud adalah : perbedaan pendapat yang terjadi di antara para imam mujtahid dan ulama mu’tabar (yang diakui) dalam masalah-masalah furu’ yang merupakan hasil dan sekaligus konsekuensi dari proses ijtihad yang mereka lakukan. Sehingga perlu ditegaskan di sini bahwa, yang dimaksudkan dengan ikhtilaf yang ditolerir itu bukanlah setiap fenomena perbedaan dan perselisihan atau kontroversi dalam bidang agama yang secara riil terjadi di antara kelompok-kelompok dan golongan-golongan ummat di masyarakat saat ini misalnya. Karena faktanya, sudah banyak sekali bentuk dan materi perselisihan di tengah-tengah masyarakat muslim saat ini, bahkan yang melibatkan sebagian kalangan yang dikenal ’ulama’ sekalipun, yang sudah termasuk kategori masalah ushul dan bukan masalah furu’ lagi.
  2. Fenomena perbedaan pendapat dalam masalah-masalah furu’ (ijtihadiyah) adalah fenomena yang normal, wajar dan alami, karena dua hal (minimal): 1) Tabiat banyak teks dalil syar’i (baik sebagian teks ayat Al-Qur’an, maupun khususnya teks Al-Hadits) yang memang dari sononya telah berpotensi untuk diperdebatkan dan diperselisihkan. 2) Tabiat akal manusia yang beragam daya pikirnya dan bertingkat-tingkat kemampuan pemahamannya. Maka hitungan matematikanya adalah: Teks dalil yang multi interpretasi + Akal yang berbeda-beda = Perbedaan dan perselisihan!
  3. Fenomena perbedaan pendapat dalam masalah-masalah furu’ (ijtihadiyah) adalah fenomena klasik yang sudah terjadi sejak generasi salaf, dan merupakan realita yang diakui, diterima dan tidak mungkin ditolak atau dihilangkan sampai kapanpun, karena memang sebab-sebab yang melatarbelakanginya akan tetap selalu ada, dan bahkan semakin bertambah banyak !

C. Sebab – Sebab Terjadinya  Ikhtilaf
Dapat disimpulkan dan dikelompokkan ke dalam empat sebab utama:
  1. Perbedaan pendapat tentang valid - tidaknya suatu teks dalil syar’i tertentu sebagai hujjah (tentu saja ini tertuju kepada teks hadits, yang memang ada yang shahih dan ada yang dha’if, dan tidak tertuju kepada teks ayat Al-Qur’an, karena seluruh ayat Al-Qur’an disepakati valid, shahih dan bahkan mutawatir).
  2. Perbedaan pendapat dalam menginterpretasikan teks dalil syar’i tertentu. Jadi meskipun suatu dalil telah disepakati keshahihannya, namun potensi perbedaan dan perselisihan tetap saja terbuka lebar. Dan hal itu disebabkan karena adanya perbedaan dan perselisihan para ulama dalam memahami, menafsirkan dan menginterpretasikannya, juga dalam melakukan pemaduan atau pentarjihan antara dalil tersebut dan dalil-dalil lain yang terkait.
  3. Perbedaan pendapat tentang beberapa kaidah ushul fiqh dan beberapa dalil (sumber) hukum syar’i (dalam masalah-masalah yang tidak ada nash-nya) yang memang diperselisihkan di antara para ulama, seperti qiyas, istihsan, mashalih mursalah, ’urf, saddudz-dzara-i’, syar’u man qablana, dan lain-lain.
  4. Perbedaan pendapat yang dilatar belakangi oleh perubahan realita kehidupan, situasi, kondisi, tempat, masyarakat, dan semacamnya. Oleh karenanya, di kalangan para ulama dikenal ungkapan bahwa, suatu fatwa tentang hukum syar’i tertentu bisa saja berubah karena berubahnya faktor zaman, tempat dan faktor manusia (masyarakat). Dan sebagai contoh misalnya, dalam beberapa masalah di madzhab Imam Asy-Syafi’i rahimahullah dikenal terdapat qaul qadiim (pendapat lama, yakni saat beliau tinggal di Baghdad Iraq) dan qaul jadiid (pendapat baru , yakni setelah beliau tinggal di Kairo Mesir). Begitu pula dalam madzhab Imam Ahmad rahimahullah, dikenal banyak sekali riwayat-riwayat yang berbeda-beda dari beliau tentang hukum masalah-masalah tertentu.

Minggu, 10 November 2013

Bersatu Dalam Perbedaan



Bersatu Dalam Perbedaan
Oleh : 
K.H. Abdullah Gymnastiar

SAUDARAKU, alangkah indahnya taman bunga di sekeliling kita; aneka warna, aneka perbedaan, aneka ragam, dan bau wewangian. Sungguh, keindahan itu dapat diwujudkan karena adanya perbedaan. Keindahan bukan terwujud dari persamaan atau kesamaan warna kulit, bentuk, bahasa, dan lainnya. Perbedaan akan menjadi keindahan dan kian indah, apabila diikat dengan hati.
Saudaraku, Allah menghadirkan perbedaan dalam kehidupan di negeri ini. Alangkah indahnya kalau perbedaan ini kita pahami dan kita jadikan sebagai suatu potensi bagi terwujudnya persatuan. Ketahuilah, kita berbeda tapi sama-sama ciptaan-Nya.
Sudah cukup kita saksikan dan rasakan bersama, betapa tindakan-tindakan yang tidak bijaksana, bahkan anarkis (membuat kerusakan), tidak menyelesaikan masalah. Bahkan, yang terjadi adalah semakin buruknya masalah. Betapa tindakan-tindakan yang mengakibatkan kerusakan di mana pun dan kapan pun, ternyata memunculkan beragam masalah yang tiba-tiba datang.
Janganlah karena adanya perbedaan ini, kita malah saling menzalimi. Kejadian apa pun yang telah menimpa negeri ini, sudah semestinya menjadi pelajaran bagi kita semua. Di antara yang bisa kita ambil hikmahnya adalah kita harus memiliki tekad yang sama untuk membangun kebersamaan di negeri tercinta ini. Jangan biarkan kekerasan menjadi solusi dari permasalahan yang ada.
Lebih dari itu, masalah yang sedang menimpa kita semua adalah bagian dari karunia Allah SWT. Karunia Allah ini --sepanjang kita sikapi dengan cara yang benar-- dapat membuat kita menjadi semakin maju, beradab, dan semakin kuat dalam menghadapi masa yang akan datang.
Orang yang imannya kokoh tidak akan pernah merasakan kerugian dari setiap peristiwa yang terjadi. Ketika merasakan nikmat, kita bersyukur. Syukur itu adalah kebaikan. Jika tiba waktunya Allah memberikan ujian kepada kita, sabar adalah pilihannya. Kerugian hanyalah milik orang-orang yang tidak punya keyakinan yang kokoh dan tidak memiliki akhlak yang mulia.
Insya Allah, tidak ada yang salah dari perbedaan. Hal yang sering menjadi masalah adalah ketika kita tidak bisa menyikapi perbedaan yang ada. Bukankah Allah menciptakan keindahan itu justru dari perbedaan yang ada?
Indahnya kebersamaan justru dapat dirasakan jika kita memiliki pandangan untuk memandang sesuatu sebagaimana kita melihat suatu rangkaian bunga. Lihatlah, dalam sebuah rangkaian kita dapat menemukan bunga yang berwarna cokelat, merah, jingga, atau merah muda. Semuanya berpadu memberikan nuansa indah yang memikat mata untuk melihat. Ya, kita melihat keindahan justru melalui perbedaan.
Lantas, mengapa negeri kita ini harus tercabik-cabik satu sama lain hanya karena adanya perbedaan? Sadarilah, negeri kita menjadi sakit bukan karena perbedaan, tetapi karena kita belum terbiasa menyikapi perbedaan. Oleh karena itu, dalam kesempatan kali ini, insya Allah kita akan mencoba menggali rumus sederhana dalam upaya membuat rangkaian bunga yang indah dari perbedaan yang ada. Kita mencoba merajut kebersamaan melalui suatu rumus sederhana, yakni rumus 5M.
M yang pertama adalah menyadari. Kita harus mulai melihat perbedaan ini dengan menyadari bahwa perbedaan itu pasti ada, dan bahkan harus ada.

M yang kedua adalah memahami. Artinya, kita harus senantiasa mencoba memahami setiap perbedaan yang ada.

M yang ketiga adalah memaklumi. Sejak saat ini, kita harus belajar untuk memaklumi setiap perbedaan yang ada di antara kita.

M yang keempat adalah memaafkan. Tidak jarang, perbedaan membuat adanya ketersinggungan-ketersinggungan. Oleh karena itulah kita harus mampu memberi keluasan maaf.

M yang kelima adalah memperbaiki. Terkadang perbedaan memang tidak selalu baik. Di sinilah perlu kemauan keras dari kita untuk memperbaiki, bukan menyalahkan.

**

Di sinilah, kita --umat Islam-- harus mulai memikirkan jalinan ukhuwah Islamiyah daripada memperbesar jurang perbedaan. Dalam suatu riwayat, Rasulullah saw. pernah bertanya kepada para sahabatnya, "Maukah kalian aku tunjukkan amal yang lebih besar pahalanya daripada salat dan saum?"

Sahabat menjawab, "Tentu saja!"

Rasulullah pun kemudian menjelaskan, "Engkau damaikan yang bertengkar, menyambungkan persaudaraan yang terputus, mempertemukan kembali saudara-saudara yang terpisah, menjembatani berbagai kelompok dalam Islam, dan mengukuhkan ukhuwah di antara mereka, (semua itu) adalah amal saleh yang besar pahalanya. Barangsiapa yang ingin dipanjangkan usianya dan dibanyakkan rezekinya, hendaklah ia menyambungkan tali persaudaraan" (H.R. Bukhari-Muslim).

Saudaraku, dari hadis di atas, dapat kita renungkan bahwa betapa besar nilai sebuah jalinan persaudaraan. Oleh karena itu, memperkokoh pilar-pilar ukhuwah Islamiyah merupakan salah satu tugas penting bagi kita.

Lalu, bagaimana caranya agar roh ukhuwah tetap kokoh? Rahasianya ternyata terletak pada sejauh mana kita mampu bersungguh-sungguh menata kesadaran untuk memiliki kalbu (hati) yang bening, bersih, dan selamat.

Kalbu yang kotor yang dipenuhi sifat iri, dengki, hasud, dan buruk sangka --hampir dapat dipastikan-- akan membuat pemiliknya melakukan perbuatan-perbuatan tercela yang justru dapat merusak ukhuwah. Mengapa? Jika di antara sesama Muslim saja sudah saling berburuk sangka, iri, dan dengki, bagaimana mungkin akan tumbuh nilai-nilai persaudaraan yang indah?

Sekali lagi Saudaraku, adakah rasa persaudaraan dapat kita rasakan dari orang yang tidak memiliki kemuliaan akhlak? Tentu saja tidak! Kemuliaan akhlak tidak akan pernah berpadu dengan hati yang penuh iri, dengki, `ujub, riya, dan takabur. Di dalam kalbu yang kusam dan busuk inilah justru tersimpan benih-benih tafarruq (perpecahan) yang muncul dalam aneka bentuk permusuhan dan kebencian kepada sesama Muslim.

Nah, dari sinilah seyogianya memulai langkah untuk merenungkan dan mengkaji ulang, sejauh mana kita telah memahami makna ukhuwah Islamiyah. Dari ikatan persaudaraan ini pula Rasulullah saw. mengawali amanah kerasulannya.

Saudaraku, kekuatan ukhuwah memang hanya dapat dibangkitkan oleh kemuliaan akhlak. Oleh karena itu, tampaknya kita amat merindukan pribadi-pribadi yang bisa menorehkan keluhuran akhlak. Pribadi-pribadi yang buah pikirannya --walau sesederhana apa pun-- adalah buah pikiran yang sekuat-kuatnya dicurahkan untuk meringankan atau bahkan memecahkan masalah. Bukan hanya masalah yang menimpa dirinya, tetapi masalah yang terjadi pada orang-orang di sekelilingnya. Dengan begitu, berdialog dengannya, akan selalu membuahkan kelapangan. Wallahualam bishawab

WA JAADILHUM BILLATI HIYA AHSAN



WA JAADILHUM BILLATI HIYA AHSAN
Oleh; 
Ust. Cecep Sarip Hidayat

Alhamdulilahi robbilalamin. Shalawat dan Salam semoga Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, dan mudah mudahan  Allah SWT  mengampuni segala kesalahan yang kita lakukan baik yang disadari  maupun tidak.
Mari kita perhatikan keterangan-keterangan berikut ini:
  1. “Sesungguhnya agama Islam inilah agama kamu, agama yang satu asas pokoknya, dan Akulah Tuhan kamu; maka sembahlah kamu akan Daku. Kebanyakan manusia masih berselisihan dan berpecah-belah dalam urusan agama mereka; mereka semuanya akan kembali kepada Kami.” (Q.S. Al-Anbiyaa, ayat 92-93)
  2. “Dan taatlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kamu berbantah-bantahan; kalau tidak niscaya kamu menjadi lemah semangat dan hilang kekuatan kamu, dan sabarlah kamu; sesungguhnya Allah beserta orang yang sabar.” (Q.S. Al-Anfal, ayat 46) 
  3. Dan dalam Al-Musnad dan Sunan Ibnu Majah –dan asalnya dalam Shohih Muslim- dari ‘Abdullah bin ‘Amr :  “Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah keluar sedangkan mereka (sebagian shahabat-pent.) sedang berselisih tentang taqdir, maka memerahlah wajah beliau bagaikan merahnya buah rumman karena marah, maka beliau bersabda : “Apakah dengan ini kalian diperintah?! Atau untuk inikah kalian diciptakan?! Kalian membenturkan sebagian Al-Qur’an dengan sebagiannya!! Karena inilah umat-umat sebelum kalian binasa. 
  4.  “Barangsiapa meninggalkan, menghindari perbantahan, padahal ia posisinya adalah salah, maka Allah akan membangunkan rumah baginya di taman surga. Dan barangsiapa menghindari perbantahan, padahal dirinya posisinya benar, maka Allah membangunkan rumah untuknya di surga yang tinggi” (H.R. Turmudzi dan Ibnu Majah). 
  5.  Rasulullah SAW mengingatkan: “Tidaklah suatu kaum tersesat setelah mendapatkan petunjuk, kecuali karena mereka suka berdebat (berbantah-bantahan)“ (HR. At-Tirmidzi). 
  6. Dalam Sunan At-Tirmidzy dan Ibnu Majah dari hadits Abu Umamah radhiallahu ‘anhu, Beliau berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidaklah sebuah kaum menjadi sesat setelah mereka dulunya berada di atas hidayah kecuali yang suka berdebat, kemudian beliau membaca (ayat) “Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja”. 
  7.  Sebagian kutipan dari Salafus Shalih: “Jika ia menanyakannya kepadamu dengan pertanyaan untuk mencari petunjuk kepada jalan yang haq tanpa ingin berdebat maka tunjukilah dia dengan tuntunan yang berisi keterangan ilmu dari Al-Quran dan As Sunnah serta pendapat para shahabat dan para imam kaum muslimin. Adapun jika ia ingin berdebat denganmu dan ia membantahmu maka inilah yang tidak disukai ulama untukmu, maka jangan kamu berdialog dengannya dan berhati-hatilah terhadapnya dalam agamamu”. Kemudian jika ada yang berkata: “Apakah kami biarkan mereka berbicara dengan kebatilan dan kami berdiam diri dari mereka?”.  Katakan kepadanya : “Diamnya kamu dari mereka (tidak memperdulikan mereka), menyingkirnya kamu dari mereka jauh lebih menyakitkan bagi mereka daripada kamu berdiskusi dengan mereka. 
  8.  Dari Abul Harits berkata, saya mendengar Imam Ahmad (Abu Abdillah) berkata: “Apabila kamu lihat seseorang suka berdebat maka jauhilah dia”.  dan diceritakan kepadaku tentang Abu Imran Al Ashbahani ia berkata, saya mendengar Imam Ahmad berkata : “Jangan duduk dengan orang yang suka berdebat meskipun untuk membela As Sunnah sebab sesungguhnya yang demikian tidak akan berubah menuju kebaikan.”
BERBANTAH-BANTAHAN, BERDEBAT atau silang pendapat, jika tidak dilakukan dengan baik dan santun, akan berujung pada permusuhan, kebencian, prasangka buruk dan dendam. Dengan seringnya BERBANTAH-BANTAHAN, BERDEBAT atau silang pendapat, maka akan menimbulkan sikap takabur, yakni menolak kebenaran. “(Orang sombong adalah) orang yang menolak kebenaran dan merendahkan orang lain” (HR Muslim). 
Dengan debat berkepanjangan lazim berpotensi menjerumuskan pelakunya ke jurang kemaksiatan dan bisa berujung pada permusuhan atau merusak ukhuwah. Berda’wah itu bukan memaksakan yang kita anggap kebenaran supaya diterima oleh orang lain.  Kita boleh bahkan wajib membantah pandangan yang dianggap keliru dan sesat, sebagai bagian dari “mujadalah”, yakni adu argumentasi dengan catatan “billati hiya ahsan”, dengan argumentasi baik  dan dengan cara yang baik pula.
Perbedaan paham dalam masalah furu’ atau perkara yang belum terjadi di zaman nabi atau para sababat langsung dihakimi menjadi sesuatu yang bid’ah atau tidak sesuai sunnah nabi, tapi bertanyalah dengan cara yang baik ke orang alim diantara orang yang melakukan perbuatan itu sehingga bisa mendapatkan jawaban yang dinginkan sehingga tidak menyebabkan permusuhan dan kebencian.
Sesungguhnya para ulama dari kalangan sahabat, tabi’in, dan orang setelah mereka, bila berbeda pendapat dalam suatu urusan, maka mereka mengikuti perintah Allah: ‘Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rosul (Sunnahnya), jika kamu benar benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya (QS. An-Nisa’ /4:59 ). Kemudian apabila mereka tidak menemukan keterangan yang jelas dari al-Quran dan hadits nabi, maka qiyas dan ijma para ulama menjadi solusinya.
Karena kebenaran pendapat kita itu nisbi atau relatif, kita tidak pernah bisa mengklaim bahwa pendapat kita yang paling rojih atau paling sholih, orang  lain hanya perbuatan bid’ah dan khurafat, padahal kita pun tidak pernah ketemu nabi, para sahabat dan tabiin dll,  tapi sama, hanya bisa mengutip dan berdasarkan pendapat para ulama  atau mujtahid sebelum kita yang kita percayai. Mudah-mudahan kita dijauhkan dari sifat takabur, sombong, berprasangka buruk kepada sesama muslim dan dijauhkan dari sifat yang merasa paling benar karena kebenaran yang mutlak hanyalah  milik Allah SWT.
Marilah kita belajar mencari dan berbagi ilmu di mesjid Almuhajirin Griya Mitra Posindo yang kita cintai ini, bagi yang sudah faham ilmu agama maka ajari orang yang baru tahu agama, orang yang baru tahu agama maka ajari dan ajak yang belum tahu ilmu agama. Marilah kita mema’murkan mesjid kita ini dengan majlis ilmu.