http://pribadimanfaat.blogspot.com/2013/06/bahaya-bersetubuh-saat-haid.html
Blog Resmi DKM al-Muhajirin, berisikan kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh pengurus dan juga informasi-informasi yang diperuntukan untuk jamaah al-muhajirin khususnya dan ummat Islam umumnya, juga sebagai sarana berdakwah bagi kaum muslimin dan muslimat. kirimkan artikel jamaah ke almuhajirin026@gmail.com
Panitia Renovasi Masjid Al-Muhajirin
iklan
Minggu, 06 Oktober 2013
Jumat, 27 September 2013
MEMAKNAI IDUL QURBAN
MEMAKNAIIDUL
QURBAN
oleh:
Abdul Wahid
Idul adha atau idul qurban merupakan satu dari dua hari raya
(selain idul fitri) dalam Islam yang memiliki nilai tinggi bagi spiritualitas umat
Islam. Disebut idul qurban karena di dalamnya ada prosesi penyembelihan hewan qurban,
sebagaimana yang diteladankan oleh Nabi Ibrahim a.s. beserta Ismail a.s,
Selainteladan Ibrahim dan Ismail,
perintah qurban juga merupakan teladan dari anak-anak Nabi Adam a.s. Dalamsyari’at
Islam selanjutnyaqurbandijadikansebagaisalahsatuibadah yang
sangatdianjurkanbagimereka yang memilikikemampuanuntukmelaksanakannya.
Dalamhalhukumqurban, paraulamaterbagidalamduapendapat. Pertama, qurbanhukumnyawajibbagi orang
yang berkelapangan.Diantaradalilnyaadalahhadits Abu Hurairah yang
menyatakanbahwaRasulullahSAWbersabda, “Barangsiapa yang berkelapangan
(harta) namuntidakmauberqurbanmakajangansekali-kali mendekatitempatshalat
kami.”(HR. IbnuMajah)
Kedua, qurbanhukumnyasunnahmu’akkadah (sangatdianjurkan).
Iniadalahpendapatmayoritasulama. Merekaberdalildenganriwayat dari Abu
Mas’udr.a. bahwa Nabi bersabda; “Sesungguhnyaakusedangtidak akan berqurban,
padahalakuadalah orang yang berkelapangan.
Itukulakukankarenaakukhawatirkalau-kalauumatkumengiraqurbanituadalahwajibbagiku.”
(HR. AbdurRazzaq dan Baihaqi).
Sebagaimana
zakat, qurbanjugamemilikidimensisosial yang sangatkuat.
Denganpenyembelihanhewanqurban, ada pemerataanekonomiumat dan interaksisosial.
Fakir miskin dan kaumdhu’afalainnya
yang jarangsekalimakandaging, bahkan mungkintidakpernah,
makadenganqurbaninimerekaikutmerasakannikmatnyamakandaging. Para
peternakkeciljugaikutmerasakanuntung dari peristiwaidulqurbanini,
karenaadanyapeningkatanpermintaanhewanternakuntukdijadikanhewanqurban.
Qurban
sebagaimana dicontohkan oleh Nabin Ibrahim a.s. dan Ismail a.s. sesungguhnya
bukanlah semata-mata proses menyembelih hewan semata. Di dalamnya seolah ingin
diungkapkan bahwa kita harus menjadi umat yang memberi bukan umat yang meminta.
Umat yang optimis dan berinisiatif, bukan yang pesismis dan lemah kreatifitas.
Ada nilai-nilai
luhur yang sengaja Allah SWT. agendakan bagi umat manusia khususnya umat Islam
untuk dijadikan sebagai acuan dalam
hidup yang terdapat dalam perintah qurbanini.
Paling tidak
ada tiga nilai luhur yang dapat diambil dari peristiwa qurban ini. Pertama,taqarubilallah,
yaitu merasa dekat dengan Allah SWT. Kesediaan seorang muslim untuk
mengorbankan hartanya dalam bentuk hewan qurban akan semakin mendekatkan diri
yang bersangkutan dengan Allah SWT., sebagaimana Nabi Ibrahim a.s, yang rela
untuk menyembelih putra tercintanya, Ismail a.s., karena ingin
mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Peristiwa ini
Allah ungkapkan dalam Q.S. as-Shofaat (37) ayat 100-107, walaupun pada
akhirnya Ismail digantikan dengan perintah untuk menyembelih seekor domba,
sebagaimana yang dilakukan umat Islam
sekarang ini. Taqorrubilallah hanya bisa dicapai dengan menjalankan
segala apa yang Allah perintahkan dan meninggalkan
seluruh larangan-Nya. Dengan cara demikian, komunikasi
kita dengan al-Khalik semakin dekat dan erat.
Orang yang
sudah merasa dekat dengan seseorang maka ia akan rela untuk mengorbankan apa
yang dimilikinya. Begitupun seorang hamba yang sudah merasa dekat dengan
Tuhannya, maka apapun yang diperintahkan Tuhan akan ia laksanakan, termasuk
ketika harus merelakan sebagian hartanya untuk diberikan kepada orang lain. Ia
merasa bahwa harta dan pengorbanan yang ia keluarkan tidak ada nilainya sama
sekali dengan kenikmatan perasaan dekat dengan Allah SWT.
Kedua, tho’atillah,ketaatan
(loyalitas) kepada Allah.Ketika seorang hamba rela untuk mengorbankan hartanya
karena perintah Tuhannya, maka sejatinya itu merupakan bentuk ketaatan yang
paripurna. Secara matematis tentu hartanya akan berkurang, tetapi karena
ketaatan kepada Tuhan, maka apapun ia lakukan. Inilah yang dicontohkan oleh
Nabi Ibrahim a.s.
Menanti
bepuluh-puluh tahun kedatangan seorang anak yang dicintai, tentu membutuhkan
kesabaran yang luar biasa. Setelah lahir
anak laki-laki yang saleh, kemudian Allah justru menyuruh untuk
menyembelihnya. Inilah cobaan yang sangat berat bagi seorang ayah, tetapi
Ibrahim berhasil mengalahkan kecintaan-kecintaan yang bersifat dunia demi
ketaatan dan kecintaannya kepada Allah SWT.
Akhirnya
sejarah membuktikan, ternyata Allah hanya menguji Ibrahim, sejauhmana
kecintaannya kepada dunia ini mengalahkan kecintaan dan ketaatan kepada Allah
SWT., dan Ibrahim lulus sehingga mendapat predikat khalilullah (kekasih
Allah).
Ketiga,
nilai sosial kemanusiaan. Praktik membagi-bagikan daging qurban kepada fakir
miskin dan kaum dhu’afa lainnya yang disyariatkan Islam merupakan bentuk
kepedulian terhadap orang yang tidak mampu. Islam menegaskan bahwa ada hak kaum
dhu’afa dalam harta yang kita miliki, sehingga harus dibayarkan,
diantaranya adalah dengan menyembelih hewan qurban yang dagingnya
dibagikan kepada fakir, miskin dan kaum
dhuafa yang lainnya.
Nilai-nilai qurbantersebut
sangat relevan sekarang ini, ketika bangsa ini tengah berada dalam kondisi
sosial ekonomi yang kurang baik. Nilai qurban ini bukan hanya saat momentun idulqurban saja, akan tetapi sudah
selayaknya untuk diaplikasikan dalam keseharian diluar idul adha.
Semoga
dengan peristiwa idulqurban tahun ini
kita mampu untuk mengambil hikmah didalamnya sehingga dapat lebih meningkatkan ibadah
dan semangat sosial kemanusiaan kita di tengah suasana bangsa yang sedang ditimpa banyak persoalan.
Rabu, 25 September 2013
HADIS TTG KURBAN
HADIS TTG KURBAN
Oleh :
Ust. Aam Aminudin, MAg
Ketua DKM Al-Muhajirin Griya Mitra
عَنْ
أَنَسِ بنِ مَالِكٍ رضي الله عنه أَنَّ
اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ يُضَحِّي بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ,
أَقْرَنَيْنِ, وَيُسَمِّي, وَيُكَبِّرُ, وَيَضَعُ رِجْلَهُ عَلَى صِفَاحِهِمَا.
وَفِي لَفْظٍ: ذَبَحَهُمَا بِيَدِهِ
مُتَّفَقٌ عَلَيْه. وَفِي لَفْظِ:
سَمِينَيْنِ وَلِأَبِي عَوَانَةَ
فِي "صَحِيحِهِ" :
ثَمِينَيْنِ بِالْمُثَلَّثَةِ
بَدَلَ اَلسِّين ِ
وَفِي لَفْظٍ لِمُسْلِمٍ, وَيَقُولُ: بِسْمِ اَللَّهِ. وَاَللَّهُ أَكْبَرُ
وَفِي لَفْظٍ لِمُسْلِمٍ, وَيَقُولُ: بِسْمِ اَللَّهِ. وَاَللَّهُ أَكْبَرُ
Dari Anas Ibnu Malik Radliyallaahu 'anhu
bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam biasanya berkurban dua ekor
kambing kibas bertanduk. Beliau menyebut nama Allah dan bertakbir, dan beliau
meletakkan kaki beliau di atas dahi binatang itu. Dalam suatu lafadz: Beliau
menyembelihnya dengan tangan beliau sendiri. Dalam suatu lafadz: Dua ekor
kambing gemuk. Menurut riwayat Abu Awanah dalam kitab Shahihnya: Dua ekor
kambing mahal -dengan menggunakan huruf tsa' bukan sin- Dalam suatu lafadz
riwayat Muslim: Beliau membaca bismillahi wallaahu akbar.
وَلَهُ: مِنْ حَدِيثِ عَائِشَةَ رَضِيَ
اَللَّهُ عَنْهَا; أَمَرَ بِكَبْشٍ
أَقْرَنَ, يَطَأُ فِي سَوَادٍ, وَيَبْرُكُ فِي سَوَادٍ, وَيَنْظُرُ فِي سَوَادٍ;
لِيُضَحِّيَ بِهِ, فَقَالَ: "اِشْحَذِي اَلْمُدْيَةَ" , ثُمَّ
أَخَذَهَا, فَأَضْجَعَهُ, ثُمَّ ذَبَحَهُ, وَقَالَ: "بِسْمِ اَللَّهِ,
اَللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ, وَمِنْ أُمّةِ
مُحَمَّدٍ"
Menurut riwayatnya dari hadits 'Aisyah Radliyallaahu
'anhu bahwa beliau pernah menyuruh dibawakan dua ekor kambing kibas
bertanduk yang kaki, perut, dan sekitar matanya berwarna hitam. Maka
dibawakanlah hewai itu kepada beliau. Beliau bersabda kepada 'Aisyah:
"Wahai 'Aisyah, ambillah pisau." Kemudian bersabda lagi:
"Asahlah dengan batu." 'Aisyah melaksanakannya. Setelah itu beliau mengambil
pisau dan kambing, lalu membaringkannya, dan menyembelihnya seraya berdoa:
"Dengan nama Allah. Ya Allah, terimalah (kurban ini) dari Muhammad,
keluarganya, dan umatnya." Kemudian beliau berkurban dengannya.
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه
قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى
الله عليه وسلم "مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ, فَلَا يَقْرَبَنَّ
مُصَلَّانَا" رَوَاهُ أَحْمَدُ,
وَابْنُ مَاجَه, وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِمُ, لَكِنْ رَجَّحَ اَلْأَئِمَّةُ غَيْرُهُ
وَقْفَه ُ
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa
mempunyai kemudahan untuk berkurban, namun ia belum berkurban, maka janganlah
sekali-kali ia mendekati tempat sholat kami." Riwayat Ahmad dan Ibnu
Majah. Hadits shahih menurut Hakim. Hadits mauquf menurut para imam hadits
selainnya.
وَعَنْ جُنْدُبِ بْنِ سُفْيَانَ رضي الله عنه قَالَ: شَهِدْتُ اَلْأَضْحَى مَعَ
رَسُولِ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم
فَلَمَّا قَضَى صَلَاتَهُ بِالنَّاسِ, نَظَرَ إِلَى غَنَمٍ قَدْ ذُبِحَتْ,
فَقَالَ: "مَنْ ذَبَحَ قَبْلَ اَلصَّلَاةِ فَلْيَذْبَحْ شَاةً مَكَانَهَا,
وَمَنْ لَمْ يَكُنْ ذَبَحَ فَلْيَذْبَحْ عَلَى اسْمِ اَللَّهِ" مُتَّفَقٌ عَلَيْه ِ
Jundab Ibnu Sufyan Radliyallaahu 'anhu
berkata: Aku mengalami hari raya Adlha bersama Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam Setelah beliau selesai sholat bersama orang-orang, beliau
melihat seekor kambing telah disembelih. Beliau bersabda: "Barangsiapa
menyembelih sebelum sholat, hendaknya ia menyembelih seekor kambing lagi
sebagai gantinya; dan barangsiapa belum menyembelih, hendaknya ia menyembelih
dengan nama Allah." Muttafaq Alaihi.
وَعَنِ اَلْبَرَاءِ بنِ عَازِبٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ:
قَامَ فِينَا رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله
عليه وسلم فَقَالَ: "أَرْبَعٌ لَا
تَجُوزُ فِي اَلضَّحَايَا: اَلْعَوْرَاءُ اَلْبَيِّنُ عَوَرُهَا, وَالْمَرِيضَةُ
اَلْبَيِّنُ مَرَضُهَا, وَالْعَرْجَاءُ اَلْبَيِّنُ ظَلْعُهَ ا وَالْكَسِيرَةُ اَلَّتِي لَا
تُنْقِي" رَوَاهُ اَلْخَمْسَة ُ وَصَحَّحَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ, وَابْنُ حِبَّان
َ
Al-Bara' Ibnu 'Azib Radliyallaahu 'anhu
berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam berdiri di
tengah-tengah kami dan bersabda: "Empat macam hewan yang tidak boleh
dijadikan kurban, yaitu: yang tampak jelas butanya, tampak jelas sakitnya,
tampak jelas pincangnya, dan hewan tua yang tidak bersumsum." Riwayat
Ahmad dan Imam Empat. Hadits shahih menurut Tirmidzi dna Ibnu Hibban.
وَعَنْ جَابِرٍ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ
رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم
"لَا تَذْبَحُوا إِلَّا مُسِنَّةً, إِلَّا أَنْ يَعْسُرَ عَلَيْكُمْ
فَتَذْبَحُوا جَذَعَةً مِنَ اَلضَّأْنِ"
رَوَاهُ مُسْلِم ٌ
Dari Jabir bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi
wa Sallam bersabda: "Jangan menyembelih kecuali hewan yang umurnya
masuk tahun ketiga. Bila engkau sulit mendapatkannya, sembelihlah kambing yang
umurnya masuk tahun kelima." Riwayat Muslim.
وَعَنْ عَلِيٍّ رضي الله عنه
قَالَ: أَمَرَنَا رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَنْ نَسْتَشْرِفَ
اَلْعَيْنَ وَالْأُذُنَ, وَلَا نُضَحِّيَ بِعَوْرَاءَ, وَلَا مُقَابَلَةٍ, وَلَا
مُدَابَرَةٍ, وَلَا خَرْمَاءَ, وَلَا ثَرْمَاءَ" أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ,
وَالْأَرْبَعَة ُ . وَصَحَّحَهُ
اَلتِّرْمِذِيُّ, وَابْنُ حِبَّانَ, وَالْحَاكِم
Ali Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam memerintahkan kami agar memeriksa mata dan telinga, dan
agar kami tidak mengurbankan hewan yang buta, yang terpotong telinga bagian
depannya atau belakangnya, yang robek telinganya, dan tidak pula yang ompong
gigi depannya. Riwayat Ahmad dan Imam Empat. Hadits shahih menurut TIrmidzi,
Ibnu Hibban dan Hakim.
وَعَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي
طَالِبٍ رضي الله عنه قَالَ: أَمَرَنِي اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم أَنَّ أَقْوَمَ عَلَى بُدْنِهِ, وَأَنْ
أُقَسِّمَ لُحُومَهَا وَجُلُودَهَا وَجِلَالَهَا عَلَى اَلْمَسَاكِينِ, وَلَا
أُعْطِيَ فِي جِزَارَتِهَا مِنْهَا شَيْئاً
مُتَّفَقٌ عَلَيْه ِ
Ali Ibnu Abu Thalib Radliyallaahu 'anhu
berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memerintahkan
kepadaku untuk mengurusi kurban-kurbannya; membagi-bagikan daging, kulit dan
pakaiannya kepada orang-orang miskin, dan aku tidak diperbolehkan memberi suatu
apapun dari kurban kepada penyembelihnya. Muttafaq Alaihi.
وَعَنْ جَابِرِ بنِ عَبْدِ اَللَّهِ رَضِيَ
اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: نَحَرْنَا مَعَ
اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم عَامَ اَلْحُدَيْبِيَةِ: اَلْبَدَنَةَ عَنْ سَبْعَةٍ,
وَالْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ - رَوَاهُ مُسْلِم
Jabir Ibnu Abdullah berkata: Kami
pernah menyembelih bersama Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
pada tahun Hudaibiyyah seekor unta untuk tujuh orang dan seekor sapi untuk
tujuh orang. Riwayat Muslim.
Sumber :
Bulughul
Maram: Ibnu Hajar Al-Asqolani
Senin, 23 September 2013
Shalat Sunnah di Rumah
Shalat Sunnah di Rumah
(Menghidupkan Sunnah)
oleh
Deden Iyan Rofiyanto
(Bendahara Pembangunan Masjid Al-Muhajirin)
Beberapa sabda dan
perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam (yang terbanyak) menyebutkan
tentang shalat sunnah yang utamanya dilakukan di dalam rumah, diantaranya :
1.
Hadits yang diriwayatkan oleh
al-Bukhari dan Muslim, dari Zaid bin Tsabit Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata
bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :
“Wahai manusia, kerjakanlah shalat di dalam
rumah kalian; karena sesungguhnya sebaik-baik shalat seseorang adalah yang
dikerjakan di dalam rumah, kecuali shalat fardhu (di masjid).” [1]
Imam An-Nawawi rahimahullah berkata : “Hadits ini umum, berlaku untuk semua
shalat baik yang rawatib sebelum ataupun setelah shalat fardhu maupun bukan,
kecuali shalat sunnah yang merupakan syi’ar Agama Islam, seperti shalat Ied,
shalat Gerhana, shalat Istisqa’, demikian juga shalat Tarawih, menurut pendapat
yang paling shahih. Shalat-shalat tersebut disyariatkan agar dilaksanakan
secara berjamaah di masjid, terkecuali shalat Istisqa’ yang dilaksanakan di
lapangan luas.” Demikianlah pendapat beliau dalam kitab Syarh Muslim. [2]
Ibnu Hibban menjadikannya sebagai judul bab
dalam kitabnya, yakni : “Dzikrul Bayaan
bi anna Shalaatal Mar-i an-Nawaafila fii Baitihi Kaana A’zham li Ajrihi”
(Menyebutkan Bahwa Shalat Sunnah Seseorang di Dalam Rumahnya Itu Pahalanya Amat
Besar).” [3]
2.
Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan
hadits dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
Sallam, belau bersabda :
“Jadikanlah sebagian dari shalat-shalat
kalian di dalam rumah kalian dan jangan jadikan rumah kalian seperti kuburan.”
Dalam redaksi lain : “Shalatlah kalian di
rumah-rumah kalian dan jangan jadikan rumah-rumah kalian seperti kuburan.” [4]
3.
Muslim meriwayatkan dari Jabir
Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
Sallam bersabda :
“Apabila diantara kalian telah mengerjakan
shalat (fardhu) di dalam masjid, hendaklah dia menjadikan sebagian shalatnya di
rumah, karena Allah Azza wa Jalla akan menjadikan rumahnya penuh kebaikan dari
shalat itu.” [5]
Beliau Imam An-Nawawi menyebutkan dalam Syarh Muslim-nya :
“Dorongan agar mengerjakan shalat Sunnah di
dalam rumah bertujuan agar seseorang lebih aman dan jauh dari sikap riya’,
lebih terjaga dari hal-hal yang membatalkan, agar rumah diliputi dengan
keberkahan, dilimpahi rahmat dan dikunjungi para Malaikat, serta dijauhi
syaitan; sebagaimana yang disebutkan pada hadits yang lain. Demikianlah makna
hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam : “Karena Allah Azza wa Jalla akan
menjadikan rumahnya penuh kebaikan dari shalat itu.” [6]
Adalah Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam
mengerjakan shalat-shalat sunnah dan tathawu’
yang tidak mempunyai sebab di rumahnya, terutama shalat sunnah maghrib, karena
tidak pernah disampaikan keterangan darinya bahwa beliau pernah mengerjakannya
di masjid sama sekali. Dalam riwayat Imam Hambal disebutkan, Imam Ahmad
berkata, “Yang menjadi sunnah ialah agar seseorang mengerjakan shalat dua
rakaat sesudah maghrib di rumahnya. Demikian diriwayatkan dari Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Sallam serta para sahabatnya. [7]
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh
An-Nasa’i, Abu Dawud, dan At-Tirmidzi yang diterima dari Ka’ab bin Ujrah, dia
bercerita, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam datang ke masjid Bani
Al-Asyhal, lalu shalat maghrib di sana mengimami mereka. Ketika mereka selesai
shalat, beliau melihat mereka mengerjakan shalat sunnah sesudah maghrib, lantas
beliau bersabda, “Kerjakan shalat ini di rumah-rumah kalian.”
Sa’ib bin Yazid berkata, “Saya telah
menyaksikan orang-orang di zaman Umar bin Al-Khattab, jika mereka usai
melaksanakan shalat maghrib, mereka semuanya pergi hingga tak tersisa
seorangpun di masjid, seolah-olah mereka tidak melaksanakan shalat sesudah
maghrib hingga mereka kembali kepada keluarga mereka.” [8]
Dalam Shahih
Muslim tertulis riwayat dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha bahwa ia berkata :
“Dulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam
mengerjakan shalat di rumahku empat rakaat sebelum zhuhur, kemudian keluar lalu
mengerjakan shalat bersama orang banyak, kemudian masuk (ke rumah) lalu
mengerjakan shalat dua rakaat. Beliau mengerjakan shalat maghrib bersama orang
banyak, kemudian masuk ke rumah dan mengerjakan shalat dua rakaat. Mengerjakan
shalat ‘Isya bersama orang banyak kemudian masuk ke rumahku, lalu mengerjakan
shalat dua rakaat.” [9]
Begitu pula cerita yang diterima darinya
tentang shalat sunnah sebelum subuh, bahwa beliau mengerjakannya di rumahnya,
sebagaimana yang dikatakan Hafshah. [10]
Di dalam As-Shahihain
terdapat hadits Ibnu Umar yang menceritakan bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wa
Sallam dulu mengerjakan shalat dua rakaat setelah Jum’at di rumahnya. [11]
Mengenai keutamaan shalat sunnah di rumah, Ibnu
‘Utsaimin menyebutkan dalam Fataawaa-nya:
“Sungguh, mengerjakan shalat sunnah di rumah
lebih utama daripada di masjid, walaupun tempat itu adalah Masjidil Haram. Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam besabda: ‘Sebaik-baik shalat seseorang adalah
yang dikerjakan di dalam rumahnya, kecuali shalat fardhu (di masjid).’ Beliau
menyampaikan hadits ini sewaktu berada di Madinah, di dalam Masjid yang
kebaikan (pahala) didalamnya lebih besar daripada 1.000 shalat di tempat lainnya,
kecuali Masjidil Haram. Akan tetapi beliau sendiri mengerjakan shalat sunnah di
rumahnya.
Sebagian orang mengira bahwa shalat sunnah di
Masjid Nabawi atau Masjidil Haram lebih utama daripada di rumah, namun
sebenarnya tidaklah demikian. Benar, jika kita tahu bahwa seseorang itu sangat
sibuk dan khawatir apabila keluar dari masjid dia lupa mengerjakan shalat
sunnah, maka kami fatwakan agar ia melakukan shalat sunnah di masjid karena itu
lebih baik baginya. Demikian juga kalau di rumahnya terdapat banyak anak kecil
dan khawatir akan terganggu, maka shalat sunnah di masjid baginya adalah lebih
utama.
Shalat sunnah yang dikerjakan di rumah itu
lebih baik, karena shalat di rumah lebih bisa terhindar dari riya’. Jadi, tidak
ada yang mengetahuinya selain keluargamu, bahkan terkadang mereka tidak
melihatmu sedang shalat. Adapun jika kamu mengerjakan shalat sunnah di masjid,
semua orang akan melihatmu. Disamping itu, shalat di rumah bisa dijadikan
metode dakwah agar anggota keluarga yang lainnya tebiasa mengerjakan shalat.
Atas dasar itu, jika kamu memilki seorang anak kecil yang berusia 2 atau 3
tahun, dan dia melihamu sedang mengerjakan shalat, maka sudah tentu anak itu akan
mengikuti gerakan shalatmu, padahal kamu tidak pernah menyuruhnya untuk
mengerjakannya bersamamu. Hal ini menunjukkan betapa banyaknya faedah dalam hal
mengerjakan shalat di rumah.
Shalat di dalam rumah juga menunjukkan bahwa
kamu telah menghindarkan diri dari hal-hal yang dilarang oleh Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dalam sabdanya: ‘Janganlah kamu jadikan rumahmu
seperti kuburan.’ Maksudnya, janganlah kamu menjadikannya seperti kuburan,
yakni sebuah tempat yang tidak ada orang yang shalat di dalamnya.” Sampai
disini perkataan Ibnu ‘Utsaimin.
Demikian yang dapat saya sampaikan, semoga
bermanfaat khususnya bagi diri saya pribadi, dan umumnya bagi para pembaca yang
memerlukannya. Dan semoga shalawat serta salam senantiasa tercurah kepada Nabi
kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, para keluarganya dan para
sabahabatnya hingga akhir zaman.
Wallahu
a’lam bishshawab
--------------------------
[1] HR. Al-Bukhari
(no. 731) dan Muslim (no. 781)
[2] III/328
[3] VI/238 no.2941
[4] HR. Al-Bukhari (no. 432) dan Muslim (no. 777)
[5]HR. Muslim (no. 778)
[6] III/326-327
[7] Zaadul Ma’ad (I/278)
[8] Zaadul Ma’ad (I/278-279)
[9] HR. Ahmad, Muslim, dan Abu Dawud
[10] HR. Al-Bukhari dan Muslim
[11] HR. Al-Bukhari dan Muslim
Langganan:
Postingan (Atom)