Salurkan Zakat, Infaq, Shadaqah dan Wakaf anda ke ZISWAF al-Muhajirin

Panitia Renovasi Masjid Al-Muhajirin

renovasi Masjid Al-Muhajirin ke Bank Syariah Mandiri KCP Jatinangor an. Panitia Renovasi Al Muhajirin Nomor Rekening 1000-555-777

iklan

jazakamullah ahsanal jaza' semoga Allah SWT akan membalas kalian dengan balasan yang terbaik. aamiin yaa robbal 'alamiin...

Rabu, 15 Januari 2014

DISIPLIN TANPA ADA POLISI DI JALAN RAYA


DISIPLIN TANPA ADA POLISI DI JALAN RAYA
Memet Casmat
Mahasiswa PhD di University of Adelaide Australia Selatan
Dengan biaya dari Beasiswa Unggulan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta
 Pagi ini saya pergi ke kampus University of Adelaide Australia Selatan (UoA), seperti biasa naik bis. Jadwal bis di sini selalu tepat waktu, kalaupun agak telat tidak terlalu lama, yang terpenting kita harus mengetahui jadwal keberangkatan bis (time table) yang biasanya sudah terpampang jadwal kedatangan dan keberangkatan bis di setiap halteu bis, atau kita melihat jadwalnya di internet (https://www.adelaidemetro.com.au). Yang sangat menarik adalah bis selalu berhenti dan menurunkan penumpang selalu di halteu bis, tidak pernah ada bis berhenti atau menurunkan penumpang selain di halteu bis.
Saya pernah menyaksikan, seorang ibu setengah baya harus berlari mengejar bis yang akan ditumpanginya, padahal bis tersebut melewati ibu yang yang sedang berlari. Ternyata, bis tidak mau berhenti di depan ibu tadi dan bis hanya mau berhenti di halteu bis saja sambil menunggu ibu yang sedang berlari mengejar bis tersebut. Sepintas rasanya seperti kasihan, melihat seorang ibu setengah baya harus berlari mengejar bis yang hanya berhenti di halteu bis saja.
Tapi, itulah peraturan, itulah disiplin, berlaku untuk semua orang, tidak pilih kasih, dan tidak pandang bulu. Sejenak saya melamun, “Bisakah disiplin seperti ini diberlakukan di Negara saya yang tercinta?”. Para supir mematuhi aturan, menjalankan mobilnya tidak ugal-ugalan, kendaraan berhenti tidak di sembarang tempat, kendaraan diparkir di tempat yang telah disediakan, kendaraan roda dua tidak naik ke atas trotoar, karena trotoar adalah hak untuk pejalan kaki. Hati kecilku terus berkata, “Indonesia pasti bisa!”. Mulailah dari sekarang, mulailah darihal yang kecil-kecil, dan mulailah dari diri sendiri. Mematuhi peraturan berlalulintas di jalan raya, walaupun tidak ada polisi, mulailah dari saat ini kita sebagai teladan untuk anak didik kita, berlalulintas yang baik dengan mematuhi semua peraturan berlalu-lintas. Karena, sesuatu tidak akan menjadi besar, tanpa dimulai dari hal yang kecil-kecil. Suatu saat nanti mustahil akan terwujud, tanpa dimulai dari saat ini, dan orang lain tidak akan merasa peduli, tanpa dimulai dari diri kita sendiri.
Pengalaman menarik lainnya, ketika itu jalanan sedang sepi, karena saya tinggal di Flagstaff Hill, sebuah suburb (pinggirkota) di Adelaide. Tiba-tiba bis yang saya tumpangi berhenti mendadak, karena di depan ada 3 mobil yang sedang berhenti. Saya kaget, kenapa kendaraan berhenti? Dan di depan ada kemacetan, padahal suasana pagi di jalan sedang lenggang dan sepi. Eh… tiba-tiba ada beberapa orang (sepertinya sekeluarga: Ayah, Ibu, dan anak-anaknya) dengan tenang menyeberang jalan, sehinggga kendaraan berhenti dulu mendahulukan penyeberang jalan. Yang saya kaget, kenapa kendaraan berhenti agak lama? Padahal semua penyeberang jalan sudah selesai menyeberang jalan. Ternyata, karena lampu merah masih menyala, kendaran yang paling depan tidak mau berjalan, walaupun jalanan di depannya kosong dan yang menyeberang jalan juga sudah selesai. Yang paling menarik lagi, “Tidak ada Polisi!”, tetapi pengguna jalan mematuhi aturan berlalu-lintas dengan baik. “Bisakah hal seperti ini terwujud di Negara saya?”, lagi-lagi lamunan itu terus terngiang-ngiang dalam hati saya. Semua pemakai jalan raya selalu mematuhi peraturan berlalu-lintas dengan baik, walaupun tanpa diawasi oleh Polisi di jalan raya.
Sejenak saya sadar dari lamunan, karena bis yang saya tumpangi sudah sampai di Rundle Street, saya memijit bel stop, agar bis berhenti pada bus stop yang kita inginkan.
Sambil berjalan kaki menuju kampus UoA, saya menunggu lampu hijau tanda untuk menyeberang jalan, selama berjalan kaki saya melamun, “Indonesia bisa”. Bangkit dan berubah dengan hal yang lebih baik. Tentu hal yang terpenting adalah pendidikan, dimulai dari anak-anak di sekolah, mulailah dari hal yang sederhana dengan teladan dari para guru, di sekolah. Teladan dari ara orang tua di rumah, dan teladan dari kita semua seluruh masyarakat Indonesia, mulai dari yang sederhana. Dan mari kita mulai pada saat ini juga. Salam Indonesia bisa berubah.

garis putu-putus adalah tempat menyebrang jalan, kita akan merasa aman untuk menyebrang jalan apabila lampu hijau sudah menyala  (koleksi photo pribadi)

Add caption
Text Box: Yang menarik, dari kesederhanaan bangunan halteu bis ini, dapat menjadi cikal bakal disiplin dalam berlalu lintas. Penumpang, naik dan turun bis di bangunan sederhana ini. Sedangkan Supir, menaikkan dan menurunkan penumpang dimulai dari bangunan yang sederhana ini. Sungguh patut  kita tiru. (Foto, dokumentasi pribadi)























Minggu, 05 Januari 2014

BERBEDA DALAM PERSATUAN DAN BERSATU DALAM PERBEDAAN



BERBEDA DALAM PERSATUAN DAN BERSATU DALAM PERBEDAAN
Oleh Memet Casmat
Jama’ah Masjid Al-Muhajirin
Sekarang tinggal dan sedang menuntut ilmu di Adelaide Australia Selatan

Saya masih teringat, ketika itu saya menengok anak saya ke Pondok Modern Gontor Ponorogo, Jawa Timur, Indonesia. Saat itu selesai shalat Shubuh di Masjid At-Tiq Gontor, seorang Ustad memberikan ceramah, salah satu perkataan beliau adalah “Kalau umat Islam Indonesia sekarang masih membicarakan perbedaan dalam pembacaan do’a Qunut ketika shalat Shubuh, ini adalah suatu kemunduran”.
Saat itu, saya tidak begitu memperhatikan dan tidak mengerti arti dan hikmah dibalik perkataan Ustad tersebut di atas. Tapi setelah saya tinggal di Adelaide Australia Selatan, ternyata baru terasa hikmahnya. Atau mungkin karena Ustad tadi sudah pernah lama tinggal di Mekah (karena ketika mudanya, Ustad tersebut bermukim dan menuntut ilmu di sana).
Saya baru merasakan sekarang, bahwa perbedaan-perbedaan dalam cara melaksanakan shalat 5 waktu itu sangat kelihatan, ketika kami shalat Jum’at berjamaah di Masjid dengan latar belakang orang dari seluruh belahan dunia (Iran, Irak, Saudi Arabia, Pakistan, Afghanistan, Kazastan, Urbekistan, Malaysia, Australia/muallaf, dan tentunya Indonesia).
Sangat mudah untuk membedakan ini Jama’ah Indonesia dan ini Jama’ah dari Timur Tengah. Yaitu ketika duduk dalam Tasyahud Akhir. Kalau Jama’ah Indonesia, berbeda antara duduk dalam Tasyahud awal dan duduk dalam Tasyahud akhir. Sedangkan orang Timur Tengah, duduk antara keduanya sama saja, tidak ada perbedaan (Ma’af  Jama’ah, saya tidak mengetahui sumbernya, Hadits-nya bagaimana sebaiknya dalam duduk Tasyahud Akhir ini, karena keterbatasan saya dalam ilmu agama, saya sedang terus belajar). Tapi yang menarik, walaupun kami berbeda dalam duduk Tasyahud, kami tetap bersatu dalam memakmurkan Masjid di Adelaide Australia Selatan ini.
Perbedaan berikutnya, saya belum bisa membedakan dari mana Jama’ah ini berasal? Ketika berdiri pada setiap raka’at, ketika kita membaca surat Al-Fatihah dan Surat pendek, ada beberapa Jama’ah yang tangannya tetap ke bawah (tidak bersedekap, tangannya di simpan di dada). Rasanya asing bagi saya sebagai Jama’ah yang berasal dari Indonesia, karena di Indonesia tidak terbiasa melihat cara seperti ini. Tapi lagi-lagi, kami tetap saling menghormati perbedaan-perbedaan ini.
Selanjutnya, ketika shalat Shubuh (biasanya yang selalu menjadi Imam shalat adalah Mahasiswa dari Timur Tengah). Mereka juga berbeda-beda, ada yang memakai do’a Qunut dan ada yang tidak memakai do’a Qunut. Tapi lagi-lagi, kami tetap saling menghormati perbedaan-perbedaan ini.
Dan tentunya, yang berbeda lainnya adalah ketika kami melaksanakan shalat Jum’at berjama’ah, sang Khatib berbicara dengan Bahasa Inggris. Karena Bahasa Inggris sebagai pemersatu bahasa kami, Khatib sangat fasih berbahasa Arab, karena selama ini yang selalu menjadi Khatib kebanyakan Mahasiswa yang berasal dari Timur Tengah. Ketika saya perhatikan, saat Khatib berkata dengan bahasa Arab, sang Khatib tidak membacakan panjang pendeknya (kalau di Indonesia, ketika kita membacakan bahasa Arab sangat jelas panjang pendeknya).
Tapi hal ini saya maklumi, karena bagi mereka bahasa Arab adalah bahasa ibu, bahasa pertama dan bahasa sehari-hari mereka). Sama dengan orang Australia saat berbicara dengan bahasa Inggris, mereka tidak memperhatikan structure (grammar), karena bahasa Inggris merupakan mother tongue (bahasa ibu) bagi mereka. Sama dengan seorang anak asli Indonesia ketika berbicara bahasa Indonesia kepada orangtuanya. Anak tersebut berkata, “Apakah Bapak akan pergi ke kantor pada jam 06:00 pagi ini dengan memakai motor bersama-sama dengan Ibu? Rasanya, ribet sekali yah. Padahal itulah yang benar menurut aturan Grammar: ada Subyek, Predikat, Obyek, Keterangan Waktu, dan Keterangan Tambahan). Terkadang anak tersebut cukup berkata, “Bokap mau pergi dengan nyokap?”, begitu kalau bahasa Ibu di Jakarta. Atau “Bapa bade sareng Ibu?”, itu kata orang Sunda, Lagi-lagi itulah perbedaan.
Maaf, saya membahas Bahasa Ibu. Maksud saya, ternyata setelah kita berkumpul dengan orang-orang dari seluruh belahan dunia, banyak sekali perbedaan-perbedaan, baik dalam beribadah dan bermuamalah. Untuk pembahasan berikutnya, saya ingin membahas tentang perbedaan culture (budaya) orang Australia, karena saya ada pengalaman menarik dengan perbedaan budaya ini.
Tapi, dari sekian banyak perbedaan-perbedaan tersebut, dalam Syariah beribadah kami tetap sama. Kami melaksanakan shalat Dzuhur 4 raka’at, shalat Ashar 4 raka’at, shalat Magrib 3 raka’at, shalat Isya 4 raka’at, dan shalat Shubuh 2 raka’at. Hukum beribadah kami tidak ada perbedaan, yang berbeda hanya caranya saja, ada yang tangannya bersedekap di dada ketika berdiri, ada yang tangannya di bawah saja, ada yang pakai Qunut, ada yang tidak pakai Qunut. Tapi kami tetap bersatu dan saling menghormati
Hal lain yang menarik, mungkin karena kami datang dari negeri yang sama-sama jauh, dan kami satu Aqidah berada di lingkungan yang tidak mengenal Syariat Islam (masyarakat di sini belum mengetahui hukumnya menjaga aurat, mereka belum mengetahui bahwa minuman  keras itu haram, dan sebagainya). Maka ketika kami bertemu di Masjid, rasanya seperti bertemu dengan saudara kandung yang sudah lami hilang, maka kami selalu saling menunggu untuk melaksanakan shalat lima waktu berjamaah, rasanya tenang hati ini kalau kami sama-sama bertemu di Masjid.
Terkadang saya suka diskusi di Masjid dengan Mahasiswa dari Oman, Pakistan, Syiria atau Afghanistan. Ternyata di negara mereka masih sering terjadi perang antar suku/etnik, perang antar daerah, padahal meraka sama-sama beragama Islam. Maka bersyukurlah kepada Allah SWT, di negara kita aman dan damai, salah satunya dengan melaksanakan shalat berjamaah, sebagai rasa syukur kita untuk memakmurkan rumah Allah.
Bersyukurlah, karena di negara kita masih terdengar suara Adzan dan Qomat di Masjid, di negara kita sangat banyak masjid dan hampir di setiap RT atau RW selalu ada Masjid. Berbeda dengan di sini, untuk mengetahui waktu shalat cukup dengan cara memasang software adzan di handphone atau laptop, lalu untuk tempat shalat kita tidak bisa pergi ke Masjid karena jauh, akhirnya kita cari lorong-lorong di antara rak buku di perpustakaan, gelar sajadah dan melaksanakan shalat.
Kesimpulannya, walaupun kita berbeda tetapi tetap menjaga persatuan dan mari kita bersatu walaupun dalam perbedaan. Mohon ma’af  pembahasan yang saya kemukakan ini sangat sederhana, karena keterbatasan ilmu agama saya. Salam untuk seluruh Jama’ah Masjid Al-Muhajirin, mari kita saling mendo’akan untuk kebaikan kita semua. Amien.
Semoga bermanfaat. Wallahualam bishawab.