BERBEDA
DALAM PERSATUAN DAN BERSATU DALAM PERBEDAAN
Oleh Memet Casmat
Jama’ah
Masjid Al-Muhajirin
Sekarang
tinggal dan sedang menuntut ilmu di Adelaide Australia Selatan
Saya masih
teringat, ketika itu saya menengok anak saya ke Pondok Modern Gontor Ponorogo,
Jawa Timur, Indonesia. Saat itu selesai shalat Shubuh di Masjid At-Tiq Gontor,
seorang Ustad memberikan ceramah, salah satu perkataan beliau adalah “Kalau
umat Islam Indonesia sekarang masih membicarakan perbedaan dalam pembacaan do’a
Qunut ketika shalat Shubuh, ini adalah suatu kemunduran”.
Saat itu, saya tidak
begitu memperhatikan dan tidak mengerti arti dan hikmah dibalik perkataan
Ustad tersebut di
atas. Tapi setelah saya tinggal di Adelaide Australia Selatan, ternyata baru
terasa hikmahnya. Atau mungkin karena Ustad tadi sudah pernah lama tinggal di
Mekah (karena ketika mudanya, Ustad tersebut bermukim dan menuntut ilmu di
sana).
Saya baru
merasakan sekarang, bahwa perbedaan-perbedaan dalam cara melaksanakan shalat 5
waktu itu sangat kelihatan, ketika kami shalat Jum’at berjamaah di Masjid
dengan latar belakang orang dari seluruh belahan dunia (Iran, Irak, Saudi
Arabia, Pakistan, Afghanistan, Kazastan, Urbekistan, Malaysia,
Australia/muallaf, dan tentunya Indonesia).
Sangat mudah
untuk membedakan ini Jama’ah Indonesia dan ini Jama’ah dari Timur Tengah. Yaitu
ketika duduk dalam Tasyahud Akhir. Kalau Jama’ah Indonesia, berbeda antara
duduk dalam Tasyahud awal dan duduk dalam Tasyahud akhir. Sedangkan orang Timur
Tengah, duduk antara keduanya sama saja, tidak ada perbedaan (Ma’af Jama’ah, saya tidak mengetahui sumbernya,
Hadits-nya bagaimana sebaiknya dalam duduk Tasyahud Akhir ini, karena
keterbatasan saya dalam ilmu agama, saya sedang terus belajar). Tapi yang
menarik, walaupun kami berbeda dalam duduk Tasyahud, kami tetap bersatu dalam
memakmurkan Masjid di Adelaide Australia Selatan ini.
Perbedaan
berikutnya, saya belum bisa membedakan dari mana Jama’ah ini berasal? Ketika
berdiri pada setiap raka’at, ketika kita membaca surat Al-Fatihah dan Surat
pendek, ada beberapa Jama’ah yang tangannya tetap ke bawah (tidak bersedekap,
tangannya di simpan di dada). Rasanya asing bagi saya sebagai Jama’ah yang
berasal dari Indonesia, karena di Indonesia tidak terbiasa melihat cara seperti
ini. Tapi lagi-lagi, kami tetap saling menghormati perbedaan-perbedaan ini.
Selanjutnya, ketika
shalat Shubuh (biasanya yang selalu menjadi Imam shalat adalah Mahasiswa dari
Timur Tengah). Mereka juga berbeda-beda, ada yang memakai do’a Qunut dan ada
yang tidak memakai do’a Qunut. Tapi lagi-lagi, kami tetap saling menghormati
perbedaan-perbedaan ini.
Dan tentunya,
yang berbeda lainnya adalah ketika kami melaksanakan shalat Jum’at berjama’ah,
sang Khatib berbicara dengan Bahasa Inggris. Karena Bahasa Inggris sebagai
pemersatu bahasa kami, Khatib sangat fasih berbahasa Arab, karena selama ini
yang selalu menjadi Khatib kebanyakan Mahasiswa yang berasal dari Timur Tengah.
Ketika saya perhatikan, saat Khatib berkata dengan bahasa Arab, sang Khatib
tidak membacakan panjang pendeknya (kalau di Indonesia, ketika kita membacakan
bahasa Arab sangat jelas panjang pendeknya).
Tapi hal ini
saya maklumi, karena bagi mereka bahasa Arab adalah bahasa ibu, bahasa pertama
dan bahasa sehari-hari mereka). Sama dengan orang Australia saat berbicara
dengan bahasa Inggris, mereka tidak memperhatikan structure (grammar), karena bahasa Inggris merupakan mother tongue (bahasa ibu) bagi mereka.
Sama dengan seorang anak asli Indonesia ketika berbicara bahasa Indonesia
kepada orangtuanya. Anak tersebut berkata, “Apakah Bapak akan pergi ke kantor
pada jam 06:00 pagi ini dengan memakai motor bersama-sama dengan Ibu? Rasanya,
ribet sekali yah. Padahal itulah yang benar menurut aturan Grammar: ada Subyek,
Predikat, Obyek, Keterangan Waktu, dan Keterangan Tambahan). Terkadang anak
tersebut cukup berkata, “Bokap mau pergi dengan nyokap?”, begitu kalau bahasa
Ibu di Jakarta. Atau “Bapa bade sareng Ibu?”, itu kata orang Sunda, Lagi-lagi itulah
perbedaan.
Maaf, saya
membahas Bahasa Ibu. Maksud saya, ternyata setelah kita berkumpul dengan
orang-orang dari seluruh belahan dunia, banyak sekali perbedaan-perbedaan, baik
dalam beribadah dan bermuamalah. Untuk pembahasan berikutnya, saya ingin
membahas tentang perbedaan culture
(budaya) orang Australia, karena saya ada pengalaman menarik dengan perbedaan
budaya ini.
Tapi, dari
sekian banyak perbedaan-perbedaan tersebut, dalam Syariah beribadah kami tetap
sama. Kami melaksanakan shalat Dzuhur 4 raka’at, shalat Ashar 4 raka’at, shalat
Magrib 3 raka’at, shalat Isya 4 raka’at, dan shalat Shubuh 2 raka’at. Hukum
beribadah kami tidak ada perbedaan, yang berbeda hanya caranya saja, ada yang
tangannya bersedekap di dada ketika berdiri, ada yang tangannya di bawah saja,
ada yang pakai Qunut, ada yang tidak pakai Qunut. Tapi kami tetap bersatu dan
saling menghormati
Hal lain yang
menarik, mungkin karena kami datang dari negeri yang sama-sama jauh, dan kami
satu Aqidah berada di lingkungan yang tidak mengenal Syariat Islam (masyarakat
di sini belum mengetahui hukumnya menjaga aurat, mereka belum mengetahui bahwa
minuman keras itu haram, dan
sebagainya). Maka ketika kami bertemu di Masjid, rasanya seperti bertemu dengan
saudara kandung yang sudah lami hilang, maka kami selalu saling menunggu untuk
melaksanakan shalat lima waktu berjamaah, rasanya tenang hati ini kalau kami
sama-sama bertemu di Masjid.
Terkadang saya
suka diskusi di Masjid dengan Mahasiswa dari Oman, Pakistan, Syiria atau
Afghanistan. Ternyata di negara mereka masih sering terjadi perang antar
suku/etnik, perang antar daerah, padahal meraka sama-sama beragama Islam. Maka
bersyukurlah kepada Allah SWT, di negara kita aman dan damai, salah satunya
dengan melaksanakan shalat berjamaah, sebagai rasa syukur kita untuk
memakmurkan rumah Allah.
Bersyukurlah,
karena di negara kita masih terdengar suara Adzan dan Qomat di Masjid, di
negara kita sangat banyak masjid dan hampir di setiap RT atau RW selalu ada
Masjid. Berbeda dengan di sini, untuk mengetahui waktu shalat cukup dengan cara
memasang software adzan di handphone atau laptop, lalu untuk tempat shalat kita
tidak bisa pergi ke Masjid karena jauh, akhirnya kita cari lorong-lorong di
antara rak buku di perpustakaan, gelar sajadah dan melaksanakan shalat.
Kesimpulannya,
walaupun kita berbeda tetapi tetap menjaga persatuan dan mari kita bersatu
walaupun dalam perbedaan. Mohon ma’af
pembahasan yang saya kemukakan ini sangat sederhana, karena keterbatasan
ilmu agama saya. Salam untuk seluruh Jama’ah Masjid Al-Muhajirin, mari kita
saling mendo’akan untuk kebaikan kita semua. Amien.
Semoga
bermanfaat. Wallahualam bishawab.
Ass, ust memet...sehat....alhamdulillah tos teras maparin informasi tentang hal tersebut...mugi janten informasi srg penegasan ka urang sadaya, yen luasna elmu alloh, sareng mung sakedik pisan katerang urang sadaya...
BalasHapus