Salurkan Zakat, Infaq, Shadaqah dan Wakaf anda ke ZISWAF al-Muhajirin

Panitia Renovasi Masjid Al-Muhajirin

renovasi Masjid Al-Muhajirin ke Bank Syariah Mandiri KCP Jatinangor an. Panitia Renovasi Al Muhajirin Nomor Rekening 1000-555-777

iklan

jazakamullah ahsanal jaza' semoga Allah SWT akan membalas kalian dengan balasan yang terbaik. aamiin yaa robbal 'alamiin...

Kamis, 01 Agustus 2013

HAKIKAT NUZUL AL-QURAN


Bp. Aris Saptiono
HAKIKAT NUZUL AL-QURAN
Sebagaimana yang kita yakini bahwa Al-Quran merupakan kalam Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhamad saw. melalui Malaikat Jibril dengan lafal dan maknanya. Allah berfirman:
“dan Sesungguhnya Al Quran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas.” (QS. As-Syu’ara:192-195)
Sebagai kitab Allah, Al-Quran menempati posisi sebagai sumber pertama dan utama dari seluruh ajaran Islam dan berfungsi sebagai petunjuk dan pedoman bagi umat manusia dalam mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.  
Posisi dan fungsi Al-Quran inilah yang senantiasa diapresiasikan oleh Nabi, melalui pengamalan dan pengajaran selama hidup di Mekah sekitar 13 tahun dan Madinah sekitar 10 tahun. (Lebih lanjut silahkan dibaca penjelasan Imam Az-Zarkasyi dalam kitab Al-Buurhan fii ‘Uluumil Qur’aan, I:232)
Sehubungan dengan itu, kita perlu mengetahui tentang turunnya Al-Quran agar tidak lepas dari posisi dan fungsi Al-Quran tersebut.
Makna dan Proses Nuzulul Quran
Nuzulul Quran (Nuzuul Al-Quran) secara literal berarti turunnya Al-Quran. Kata Nuzuul merupakan mashdar (kata dasar) bagi kata nazala yang secara etimologis memiliki dua pengertian: Pertama, singgah atau menempati. Kedua, turun atau berjalan dari atas ke bawah. Kedua pengertian ini, menurut Syaikh Muhammad Abdul ‘Azhim Az-Zarqani, tidak tepat untuk diterapkan pada Al-Quran. Sebab, singgah, menempati atau turun itu hanya tepat digunakan untuk sesuatu yang bersifat material. Sedangkan Al-Quran tidaklah demikian.
Pakar ilmu Al-Quran itu memaknai kata Nuzuul secara majazi (konotatif), yaitu Al-I’laam (pemberitahuan). Jadi, Nuzuul Al-Quran berarti bahwa Allah swt. memberitahukan Al-Quran kepada Nabi Muhammad saw. (Lihat, Manaahilul ‘Irfaan fii ‘Uluumil Qur’aan, juz 1, hlm. 30-31)
Sedangkan secara istilah, Nuzulul Quran, hemat kami, berarti keterangan tentang kronoligis pemberitahuan Al-Quran kepada Nabi Muhamad saw.
Para ulama sepakat bahwa Nuzulul Quran itu terjadi dalam tiga tahap:
Pertama, turun ke Lawhul Mahfuzh, sebagaimana difirmankan Allah swt.:
“Bahkan yang mereka dustakan itu ialah Al-Quran yang mulia. Yang (tersimpan) dalam lauhul mahfuzh.” (QS. Al-Buruj:21-22)
Menurut zahir ayat di atas, pada tahap ini Al-Quran turun sekaligus. Di dalam Al-Quran dan sunah tidak diterangkan cara dan waktu turunnya Al-Quran itu ke Lauhul Mahfuzh. Berarti cara dan waktu turun pada tahap pertama ini hanya diketahui oleh Allah.
Kedua, Turun dari Lawhul Mahfuzh ke Baitul Izzah  fii samaid dunya (langit dunia), sebagaimana difirmankan Allah:
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan  Al-Quran pada lailatul kadar.” (QS. Al-Qadr:1)
“Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi.” (QS. Ad-Dukhan:3)
“Bulan Ramadhan yang Al-Quran diturunkan padanya  sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil).” (QS. Al-Baqarah:185)
Ketiga ayat ini menunjukkan bahwa Al-Quran itu turun sekaligus pada satu malam di bulan Ramadhan, yaitu pada Lailatul Qadar yang disifati dengan Lailah Mubaarakah (malam yang diberkahi).
Dengan demikian, turun yang dimaksud pada ayat-ayat ini adalah dari lawhul mahfuzh ke langit dunia secara menyeluruh, bukan turun kepada Nabi saw. Hal itu sebagaimana ditegaskan oleh sahabat Rasul bernama Abdullah bin Abbas:
“Al-Quran diturunkan sekaligus ke langit dunia pada Lailatul Qadar, kemudian setelah itu diturunkan (kepada Rasul) pada masa 20 tahun.” Dan ia membaca ayat wa quranan faraqnahu…(QS. Al-Isra:106)” (H.r. An-Nasai, As-Sunan Al-Kubra, VI:421, No. hadis 11.372)
 Dalam riwayat lain dengan redaksi:
“Al-Quran diturunkan pada Lailatul Qadar sekaligus ke langit dunia, dan itu sesuai dengan masa turunnya bagian-bagian bintang, dan Allah ‘Azza wajalla menurunkannya kepada Rasul-Nya sebagian demi sebagian. Maka Allah ‘Azza wajalla berfirman, “Dan mereka mengatakan, ‘Lawlaa nuzzila ‘alaihil Quraanu… (QS. Al-Furqan:32)” (H.r. Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, juz 4, hlm. 306, No. hadis 8304; Al-Hakim, Al-Mustadrak ‘Alas Shahihain, juz 2, hlm. 578, No. hadis 3958)
Dalam riwayat lain dijelaskan:
Dari Ibnu Abas Ra., bahwa ia pernah ditanya oleh Athiyah bin Al-Aswad, ia berkata, ”Aku ragu-ragu tentang firman Allah ta’ala, ‘Syahru Ramadhaanalladzii unzila fihil Quraanu’ dan Firman-Nya, ‘Innaa anzaalnahu fii lailatil qadri.’ Apakah turunnya itu pada bulan Syawal, Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharam, Shafar, dan Ar-rabi’?” Ibnu Abbas menjawab, ”Bahwa Al-Quran itu diturunkan pada bulan Ramadhan pada malam Lailah Al-Qadar secara sekaligus, kemudian diturunkan lagi berdasarkan masa turunnya bagian-bagian bintang secara berangsur pada beberapa bulan dan hari.” (HR. Al-Baihaqi, Al-Asmaa was Shifaat, juz 2, hlm. 35, No. hadis 487)
Ketiga, Turun kepada Nabi saw.
Pada tahap ini Al-Quran turun kepada Nabi saw. itu secara berangsur-angsur, yakni: Pertama, ketika hidup di Mekah selama 12 tahun 5 bulan 13 hari, terhitung sejak tanggal 17 Ramadhan tahun ke-41 dari kelahiran Nabi atau bertepatan dengan 6 Agustus 610 M, hingga 1 Rabi’ul Awwal tahun ke-54 dari tahun kelahirannya. Pada periode ini turun 86 surat atau sekitar 4.780 ayat, dan turunnya bukan hanya di bulan Ramadhan. Kedua, ketika hidup di Madinah setelah hijrah selama 9 tahun 9 bulan 9 hari, terhitung semenjak hijrah ke Madinah sampai tanggal 9 Dzulhijjah tahun ke-63 dari tahun kelahirannya. Pada periode ini turun 28 surat atau sekitar 1.456 ayat, dan turunnya bukan hanya dibulan Ramadhan. Dalam hal ini, Ibnu Abbas menjelaskan:
“Rasulullah saw. diutus sebagai Rasul saat beliau berusia empat puluh tahun,beliau tinggal di  Makkah selama tiga belas tahun menerima wahyu, kemudian beliau diperintahkan untuk  berhijrah, Maka beliau berhijrah dan (menetap di Madinah) selama sepuluh tahun hingga beliauwafat ketika berusia enam puluh tiga tahun."                                                                 (HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, juz 3, hlm. 1416, No. hadis 3689)
Dari berbagai keterangan tersebut tampak jelas bagi kita bahwa Al-Quran itu turun kepada Nabi Muhamad melalui tahapan-tahapan, tidak secara sekaligus. Pada tahap pertama turun dari Allah ke Lawhul Mahfuzh. Kedua, turun dari Lawhul Mahfuzh ke Baitul Izzah di langit dunia, dan ketiga turun kepada Nabi secara bertahap kurang lebih selama 23 tahun.
Hikmah Turun Alquran Kepada Nabi Secara Bertahap
Penurunan Alquran secara bertahap kepada Nabi Muhammad saw. tentu bukan suatu kebetulan atau karena ketidaksengajaan. Para ulama telah berupaya menyingkap hikmah dibalik penurunan Alquran secara berangsur-angsur itu, di antaranya: (1) untuk meneguhkan hati Rasulullah SAW dengan cara mengingatkannya terus-menerus, (2) lebih mudah dimengerti dan diamalkan oleh pengikut-pengikut Rasulullah SAW, (3) di antara ayat-ayat itu ada yang merupakan jawaban atau penjelasan dari suatu pertanyaan atau masalah yang diajukan kepada Nabi SAW sesuai dengan keperluan, (4)  hukum-hukum Allah yang terkandung didalamnya mudah diterapkan secara bertahap, dan (5) memudahkan penghafalan. (Lebih lanjut silahkan dibaca penjelasan Syekh Manna’ul Qathan dalam kitab Mabaahits fii ‘Uluumil Quraan: 107-116)

Kapan Terjadinya Nuzulul Quran?
Mayoritas kaum muslimin di Indonesia tentu akan menjawab tanggal 17 Ramadhan. Jika pertanyaan itu dilanjutkan, mengapa 17 Ramadhan? Jawabannya belum tentu diketahui oleh mayoritas kaum muslimin di Indonesia.
Sejauh pengetahuan kami, gagasan ini berawal dari Ibnu Ishaq (w. 150 H), seorang pakar tarikh Islam. Ia menyatakan bahwa ayat Al-Quran pertama kali turun adalah pada tanggal 17 Ramadhan. Pendapat ini didasarkan pada firman Allah:
 “…jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang kami turunkan kepada hamba Kami  (Muhammad) di hari Furqan yaitu di hari bertemunya  dua pasukan.” (QS. Al- Anfal: 41).
Adapun kerangka metodologinya sebagai berikut: Furqan adalah pemisah antara yang hak dan yang batil. Yang dimaksud dengan hari Al-Furqan ialah hari  kemenangan kaum muslimin dan kekalahan orang kafir, yaitu hari bertemunya dua pasukan di perang Badar. Bertemunya dua pasukan, muslimin dan musyrikin, itu terjadi pada hari Jumat tanggal 17 Ramadhan tahun 2 H. Dan hari Furqan adalah hari ketika Al-Quran pertama kali diturunkan. Kedua hari itu sama-sama hari Jumat dan tanggal 17 Ramadhan, tapi tahunnya berbeda.
Selain itu didasarkan pada atsar (pendapat sahabat) sebagai berikut:
Dari Hawth Al-‘Abadiy, ia berkata, “Saya bertanya kepada Zaid bin Arqam tentang Lailatul Qadar?” Maka ia menjawab, “Saya tidak ragu bahwa Lailatul Qadar itu pada malam ke-17 sebagai malam turunnya Al-Quran dan hari bertemunya dua pasukan.” (HR. Ath-Thabrani, Al-Mu’jamul Kabir, V:131-132, No. hadis 4939
Kata Ibnu Hajar, “Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Abu Syaibah dan Ath-Thabrani dengan redaksi:
‘Saya tidak ragu bahwa Lailatul Qadar itu pada malam ke-17 Ramadhan sebagai malam turunnya Al-Quran.’  
Dan diriwayatkan pula oleh Abu Dawud dari Ibnu Mas’ud.”(Fathul Bari Syarh Shahih Al-Bukhari, juz 4, hlm. 263) 
Pendapat "17 Ramadhan" dipilih juga oleh Ustadz Muhammad Huzhari Bik dan Syekh Mushthafa Al-Maragi. Syekh al-Maraghi menjelaskan, “Surat Al-Qadr menegaskan, bahwa turunnya Al-Quran itu pada malam Lailah Al-Qadar.  Ayat dalam surat Ad-Dukhan menguatkan dan menjelaskan, bahwa turunnya (Al-Quran) itu pada malam yang diberkahi. Ayat yang terdapat pada surat Al-Baqarah menunjukkan bahwa turunnya al-Quran itu pada bulan Ramadan. Dan ayat pada Surat Al-Anfal menunjukkan, bahwa turunnya Al-Quran itu pada hari yang sama (nama harinya) dengan hari bertemunya dua pasukan besar pada perang Badar yang pada hari itu Allah memisahkan yang haq dan yang batal. Maka jelaslah bahwa malam itu adalah malam Jumat tanggal 17 Ramadhan. (Lihat, Tafsir Al-Maraghi, juz 10, hlm. 207)

Pandangan para ulama Lainnya
Pendapat Ibnu Ishaq ini diterima secara meluas di Indonesia. Tapi Imam Az-Zarqani membantah pendapat ini, walaupun ia tidak menyebutkan secara jelas tanggal berapa ayat Al-Quran itu pertama kali turun.
Hemat kami, menurut pendapat ini yang dimaksud Nuzulul Quran adalah turunnya ayat Al-Quran untuk pertama kali kepada Nabi saw. Ini berarti dapat dikategorikan Nuzulul Quran pada tahap ketiga, yaitu ketika Al-Quran turun kepada Nabi saw. secara berangsur-angsur.
Adapun berkenaan dengan atsar, selain status hadisnya mauquf (perkataan shahabat Nabi), bukan sabda Nabi saw. (hadis marfu’), juga menurut para ahli hadis, hadis tersebut tidak lepas dari kedha’ifan.
Status Hadis Zaid bin Arqam
Ath-Thabrani meriwayatkan hadis di atas melalui rawi bernama Muhammad bin Abdullah Al-Hadhrami, dari Salm bin Junadah, dari Zaid Al-Hubbaab, dari Al-Mas’udiy, dari Hawth Al-‘Abadiy (Al-Mu’jamul Kabir, V:131) Sementara Ibnu Abu Syaibah melalui rawi Yazid bin Harun, dari Al-Mas’udiy, dari Hawth Al-‘Abadiy. (Al-Mushannaf, II:326).
Adapun sebab kedha’ifannya berporos pada rawi Hawth Al-‘Abadiy. Menurut Abul Fidaa Zainuddin Qasim Quthluubugha, namanya Hawth bin ‘Abdul ‘Aziz Al-‘Abadiy. Dia meriwayatkan hadis dari Ibnu Mas’ud dan Zaid bin Arqam. Sementara yang meriwayatkan darinya adalah Abdul Malik bin Maisarah dan Al-Mas’udiy. (Lihat, Ats-Tsiqat Mimman Lam Yaqa’ fiil Kutub As-Sittah, IV:71)
Kata Imam Al-Bukhari:
“Hadisnya ini munkar.” (Majma’uz Zawaa`id wa Manba’ul Fawaa`id, juz 3, hlm. 178)
Sementara dalam kitab At-Tarikh Al-Kabir-nya, setelah Imam Al-Bukhari menyebutkan riwayat “17 Ramadhan” tersebut, ia berkata:
“Ini adalah hadis munkar, tidak ada taa’bi’ (penguat) atasnya.” (At-Tarikh Al-Kabir, III:91)
Kata Ibnu Hajar Al-Asqalani:
“Dan tidak diketahui siapa dia.” (Lisaanul Miizaan, III:307)
Status Hadis Ibnu Mas’ud
Hadis Ibnu Mas’ud diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dengan redaksi sebagai berikut:
Dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata, “Carilah Lailatul Qadar itu pada malam ke-17 karena malam itu adalah permulaan siang hari Furqan sebagai hari bertemunya dua pasukan.” (HR. Ath-Thabrani, Al-Mu’jamul Kabir, X:130, No. hadis 10.203)
Hadis di atas diriwayatkan pula oleh Ibnu Abu Syaibah dan Abdurrazaq dengan redaksi sebagai berikut: 
“Carilah Lailatul Qadar itu pada malam ke-17 karena malam itu adalah permulaan siang hari Badar, sebagai hari Furqan, hari bertemunya dua pasukan.” (Mushannaf Ibnu Abu Syaibah, II:396, No. hadis 21; Mushannaf Abdurrazaq, II:251, No. hadis 8680) 
Ath-Thabrani meriwayatkan hadis di atas melalui rawi bernama "’Abdan bin Ahmad, dari Abu Bakar bin Abu Syaibah, dari Wakii’, dari Israil, dari Abu Ishaq, dari Hujair Ats-Tsa’labiy, dari Al-Aswad bin Yazid, dari Ibnu Mas’ud (Al-Mu’jamul Kabir, X:130)
Sementara Ibnu Abu Syaibah dan Abdurrazaq melalui rawi Wakii’, dari Israil dan ayahnya. Keduanya dari Abu Ishaq, dari Hujair Ats-Taghlabiy, dari Al-Aswad bin Ali’, dari Ibnu Mas’ud. (Mushannaf Ibnu Abu Syaibah, II:396; Mushannaf Abdurrazaq, II:251) 
Adapun sebab kedha’ifannya berporos pada rawi Abu Ishaq. Menurut Syekh Al-Albaniy, “Ini sanad yang dha’if, Abu Ishaq adalah As-Sabii’I, ia mudallis (menyamarkan sanad) dan mukhtalith (berubah daya hapalannya). Selain itu, hadis tersebut menyalahi riwayat yang shahih dari Ibnu Mas’ud dan lainnya bahwa bahwa Lailatul Qadar itu pada sepuluh hari terakhir (dari bulan Ramadhan).” (Lihat, Dha’iif Sunan Abu Dawud, II:65-66)
Berdasarkan penjelasan para ahli hadis di atas, maka hadis Mauquf (ucapan shahabat) dalam hal ini Zaid bin Arqam dan Ibnu Mas’ud tidak dapat dipergunakan sebagai hujjah bahwa Al-Quran itu diturunkan pada “17 Ramadhan”, karena statusnya dha’if (lemah).
Ada yang berpendapat bahwa Nuzulul Quran itu terjadi pada tanggal 21 Ramadhan. Pendapat "21 Ramadhan" menurut sebagian kalangan dipilih oleh Syekh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuriy. Beliau menjelaskan bahwa memang ada perbedaan pendapat di antara pakar sejarah tentang kapan awal mula turunnya wahyu, yaitu turunnya surat Al-Alaq: 1-5, dan beliau menguatkan pendapat yang menyatakan pada tanggal 21 Ramadhan. Beliau mengatakan:
Artinya: “Kami memilih pendapat yang menyatakan pada tanggal 21, sekalipun kami tidak melihat orang yang menguatkan pendapat ini. Sebab semua pakar tarikh atau setidak-tidaknya mayoritas di antara mereka sepakat bahwa beliau diangkat menjadi Rasul pada ahari senin, dan pendapat mereka diperkuat oleh riwayat para imam hadis, dari Abu Qatadah Ra., bahwa Rasulullah Saw. pernah ditanya tentang shaum hari senin. Maka beliau menjawab,
“Pada hari inilah aku dilahirkan dan pada hari ini pula turun wahyu  kepadaku.”
Dan dalam redaksi lain:
"Itu adalah hari dimana aku dilahirkan dan hari dimana aku diutus atau diturunkan (wahyu) atasku" (HR. Muslim, 1/368; Ahmad, 5/297; Al-Baihaqi, 4/286, 300; dan Al-Hakim 2/602).
Dan hari senin dari bulan Ramadhan pada tahun itu adalah jatuh pada tanggal 7, 14, 21, dan 28. Beberapa riwayat yang shahih telah menunjukkan bahwa Lailatul Qadar tidak jatuh kecuali pada malam-malam ganjil di sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan, dan berpindah di antara malam-malam itu. Jadi jika kita membandingkan antara firman Allah, “Sesungguhnya Kami menurunkannya (Al-Quran) pada Lailatul Qadar (QS. Al-Qadar:1)” dengan riwayat Abu Qotadah, bahwa diutusnya beliau sebagai rasul jatuh pada hari senin, serta berdasarkan hisab almanac ilmiah tentang jatuhnya hari senin dari bulan Ramadhan pada tahun itu, maka jelaslah bagi kita bahwa diutusnya beliau sebagai rasul jatuh pada malam tanggal 21 dari bulan Ramadhan." (Lihat Ar-Rahiiq Al-Makhtuum, Bahs fii As-Siirah An-Nabawiyyah ‘alaa Shaahibihaa Afdhal As-Shalaatu was Salaam, hlm. 66-67)
Hemat kami, bila penjelasan Syekh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuriy dianggap sebagai pendapat tentang Nuzulul Quran, maka yang dimaksud adalah turunnya ayat Al-Quran untuk pertama kali kepada Nabi saw. Ini berarti dapat dikategorikan Nuzulul Quran pada tahap ketiga, yaitu ketika Al-Quran turun kepada Nabi saw. secara berangsur-angsur.
Ada juga yang berpendapat bahwa Nuzulul Quran itu terjadi pada tanggal 24 Ramadhan. Pendapat ini didasarkan kepada hadis-hadis yang menyatakan tentang tanggalnya itu. Adapun hadis yang dimaksud adalah sebagai berikut:
Pertama, hadis dari Watsilah bin al-Asqa bahwa Rasulullah saw. bersabda:
“Lembaran-lembaran Ibrahim diturunkan pada hari pertama bulan Ramadhan. Taurat diturunkan pada hari keenam bulan Ramadhan, Injil diturunkan pada hari ketiga belas bulan Ramadhan. Sedangkan Al-Quran diturunkan pada hari kedua puluh empat bulan Ramadhan.” (H.r. Ahmad, Musnad Ahmad, XXXIV:346, No. 16.370)
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Al-Baihaqi, Ath-Thabrani, Ibnu Abu Hatim, Al-Mundziri, dan Al-Waahidiy, namun dengan penambahan redaksi:
Zabur diturunkan pada hari delapan belas bulan Ramadhan.” (Lihat, Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, IX:188, No. hadis 18.429 dan Syu’abul Iimaan, V:263; No. hadis 1671; Ath-Thabrani, Al-Mu’jam Al-Kabir, XXII:75, No. hadis 185 dan Al-Mu’jam Al-Awsath, VIII:435, No. hadis 3882; Ibnu Abu Hatim, Tafsir Ibnu Abu Hatim, VI:273, No. hadis 1671; Al-Mundziri, At-Targhiib wat Tarhiib, II:378, No. Hadis 1818; Al-Waahidiy, Asbaabun Nuzuul: 13) 
Kedua, penjelasan Jabir bin Abdullah yang diriwayatkan oleh Abu Ya’la, sebagai berikut:
“Allah menurunkan lembaran-lembaran Ibrahim pada hari pertama bulan Ramadhan. Taurat diturunkan kepada Musa pada hari keenam bulan Ramadhan, Zabur diturunkan pada Dawud di hari ketiga belas bulan Ramadhan, dan Al-Quran diturunkan pada Muhammad saw. di hari kedua puluh empat bulan Ramadhan.” (H.r. Abu Ya’la, Musnad Abu Ya’la, juz 4, hlm. 137. No. 2190)
Penjelasan Para Ahli Hadis
(a) Hadis Watsilah bin al-Asqa  
Seluruh jalur periwayatan hadis Watsilah bin al-Asqa melalui rawi ‘Imran Abul ‘Awwaam, dari Abu Qatadah, dari Abul Maliih, dari Watsilah bin al-Asqa, dari Raslullah Saw.
Kata Imam Al-Haitsami:
“Hadis itu diriwayatkan oleh Ahmad dan Ath-Thabari dalam Al-Mu’jam Al-Kabir dan Al-Mu’jam Al-Awsath dan di dalam sanadnya terdapat rawi ‘Imran bin Dawud Al-Qaththan. Ia dinyatakan dha’if oleh Yahya bin Ma’in dan dinyatakan tsiqah (kredibel) oleh Ibnu Hibban. Dan Ahmad berkata, ‘Aku berharap ia shalih al-hadits.’ Dan para rawi lainnya tsiqat.” (Lihat, Majma’uz Zawaa`id wa Manba’ul Fawaa`id, I:407)
Menurut Syekh Al-Albaniy, “Hadis ini hasan.” (Lihat, Silsilah Al-Ahaadits Ash-Shahiihah, IV:104)
(b)hadis Jabir bin Abdullah
Hadis Jabir diriwayatkan oleh Abu Ya’la melalui rawi Sufyan bin Wakii’, dari Wakii’, dari Ubaidullah, dari Abu Maliih, dari Jabir bin Abdullah.
Kata Imam Al-Haitsami:
“Hadis itu diriwayatkan oleh Abu Ya’la dan di dalam sanadnya terdapat rawi Sufyan bin Wakii’, dan ia rawi yang dha’if.” (Lihat, Majma’uz Zawaa`id wa Manba’ul Fawaa`id, I:408)
Kata Ibnu Hajar Al-Asqalani, “(Susunan sanad dari Abul Maliih, dari Jabir bin Abdullah) ini terbalik, seharusnya dari Watsilah Ra.” (Lihat, Al-Mathaalib Al-‘Aaliyyah Bi Zawaa`id Al-Masaaniid Ats-Tsamaaniyyah, IV:350)
Berdasarkan penjelasan para ahli hadis di atas, maka hadis Mauquf (ucapan shahabat) dalam hal ini Jabir bin Abdullah tidak dapat dipergunakan sebagai hujjah bahwa Al-Quran itu diturunkan pada “24 Ramadhan”, karena statusnya dha’if (lemah).
Namun jika kita mengacu kepada hadis Nabi riwayat Watsilah bin al-Asqa berdasarkan peniliaian para ahli hadis di atas, antara lain Syekh Al-Albani, maka kiranya menjadi sangat jelas bahwa atas dasar informasi yang diberikan secara tegas oleh hadis Nabi riwayat Watsilah bin al-Asqa, peristiwa turunnya Al-Quran itu dapat disimpulkan terjadi pada 24 Ramadhan.
Peringatan Nuzulul Quran?
Pada bulan Ramadhan banyak umat Islam yang menggelar acara peringatan Nuzulul Quran. Padahal memperingati peristiwa turunnya Al-Quran pertama kali tidaklah penting, sebab di samping hal itu tidak dicontohkan oleh Rasulullah Saw., para sahabatnya dan para tabi'in, Al-Quran diturunkan tidaklah untuk diperingati tetapi untuk memperingatkan kita.
Peristiwa Nuzulul Quran bukanlah diharapkan agar dijadikan sebagai hari raya oleh umat ini, yang dirayakan setiap tahun, karena Islam bukanlah agama perayaan sebagaimana halnya agama-agama lain.
Jadi turunnya Al-Quran bukan untuk diperingati setiap tahunnya, melainkan untuk memperingatkan kita setiap saat.
Wallahu a’lam bish-shawab

Sabtu, 27 Juli 2013

SYAHADAT DENGAN RASA

SYAHADAT DENGAN RASA Oleh; Abdul Wahid Setiap manusia pasti memiliki kecenderungan untuk beragama, karena naluri itu telah dibawa sejak ia lahir. Hal ini telah dibuktikan secara ilmiah oleh Tim Universitas California melalui serangkaian penelitian. Hasil penelitian itu mengatakan bahwa dalam otak manusia ada satu noktah yang disebut dengan god spot, yaitu noktah otak yang dapat merespon ajaran moral keagamaan. Murtadha Mutahhari pernah mengungkapkan bahwa tak ada seorangpun yang tidak membutuhkan agama dan tidak membutuhkan aturan-aturan sebagai penuntunnya. Sekalipun agama menjadi kebutuhan dasar hidup manusia dan manusia memiliki kecenderungan untuk beragama, namun perlu diikrarkan kembali apa yang pernah diikrarkan sebelum ia lahir ke dunia (Q.S. al A’raf: 172), agar agama yang diyakini sesuai dengan fithrahnya. Pengikraran kembali akan kekuasaan Tuhan itulah yang disebut dengan syahadat. Dalam bersyahadat atau berikrar syahadat tidaklah cukup hanya dilakukan dengan lisan atau ungkapan verbal semata, akan tetapi hendaknya ikrar itu diiringi dengan perasaan dan dilanjutkan dengan amal perbuatan. Seyogyanya syahadat yang dilakukan oleh seorang muslim adalah syahadat yang penuh pemahaman dan penghayatan secara mendalam, sampai ia yakin betul bahwa Allah itu ADA, dirasakan kehadiran-Nya, dan merasa dirinya diawasi dan dilindungi oleh Allah. Dalam Islam, Allah SWT adalah pusat dalam menjalankan berbagai aktivitas peribadatan seorang muslim. Ekspresi keayakinan akan kekuasaan Tuhan diungkapkan dalam bentuk kalimat La ilaha illallah, tidak ada Tuhan kecuali Allah. Kemudian dilanjutkan dengan Muhammadur Rasulullah, Nabi Muhamad adalah utusan Allah. Pengakuan disini tidak hanya sekedar terucap secara lisan saja. Lebih dari itu melibatkan pula seluruh kesadarannya, serta memantul dalam setiap gerak dan aktivitas, dengan cara mengabdikan diri sepenuhnya kepada Allah SWT. Pentingnya bersyahadat dengan rasa adalah dalam rangka menghindari kemunafikan. Seorang muslim yang bersyahadat hanya di mulut saja, maka, ia tak ubahnya seorang munafik yang selalu menyatakan dirinya beriman padahal sesungguhnya ia ingkar kepada Allah. Alangkah indahnya kehidupan seorang muslim yang mengaplikasikan syahadat dengan rasa ini. Ia akan menjadi orang yang selalu merasa di awasi oleh Allah sebagai imbas dari keyakinannya akan kekuasaan-Nya yang ia ungkapkan dalam syahadat. Dalam momentum bulan ramadhan ini tentunya akan semakin memberikan kontribusi spiritual seorang muslim dan mengupayakan bersyahadat dengan rasa. Shaum yang dilakukan manusia sesungguhnya sebagai perwujudan keyakinan akan pengawasan Allah SWT terhadap mahluknya. Hal ini karena hanya ia dan Allah saja yang tahu bahwa ia sedang menjalankan ibadah shaum. Seandainya ia mau berbohong, maka bisa saja ia lakukan, orang lain tidak akan tahu, tetapi ini tidak dilakukan oleh orang yang shaum, karena ia merasakan keberadaan dan pengawasan dari Allah SWT. Semoga kita semua mampu menjadi seorang muslim yang dapat bersyahadat dengan rasa dan mampu mewujudkannya dalam bentuk perbuatan sehari-hari.

Kamis, 25 Juli 2013

HADITS PERIHAL SHAUM

HADITS PERIHAL SHAUM 1. Memulai dan mengakhiri shaum Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berhari rayalah karena melihatnya, jika hilal hilang dari penglihatanmu maka sempurnakan bilangan Sya’ban sampai tiga puluh hari.(HR.Bukhari) Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: إِنَّمَا الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ فَلَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ Sesungguhnya sebulan itu 29 hari, maka janganlah kalian berpuasa sampai kalian melihatnya (hilal), dan janganlah kalian berhari raya sampai kalian melihatnya, jika kalian terhalang maka takarkan/perkirakan/hitungkanlah dia. (HR. Muslim) 2. Keutamaan shaum Ramadhan Abu Hurairah Radhiallahu 'Anhu bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: ومن صام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه "Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan karena iman dan ihtisab, maka akan diampuni dosa-dosanya yang lalu." (HR. Bukhari) Makna ‘diampuninya dosa-dosa yang lalu’ adalah dosa-dosa kecil, sebab dosa-dosa besar –seperti membunuh, berzina, mabuk, durhaka kepada orang tua, sumpah palsu, dan lainnya hanya bisa dihilangkan dengan tobat nasuha, yakni dengan menyesali perbuatan itu, membencinya, dan tidak mengulanginya sama sekali. 3. Keutamaan di antara Ramadhan ke Ramadhan Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ كَفَّارَاتٌ لِمَا بَيْنَهُنَّ “Shalat yang lima waktu, dari jumat ke jumat, dan ramadhan ke Ramadhan, merupakan penghapus dosa di antara mereka, jika dia menjauhi dosa-dosa besar.” (HR. Muslim ) 4. Keutamaan Shalat pada Malam Lailatul Qadar Dari Abu Hurairah Radhiallahu 'Anhu bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: من قام ليلة القدر إيمانا واحتسابا، غفر له ما تقدم من ذنبه "Barang siapa yang shalat malam pada malam Lailatul Qadar karena iman dan ihtisab (mendekatkan diri kepada Allah) , maka akan diampuni dosa-dosanya yang lalu." (HR. Bukhari) 5. Keutamaan Shalat malam (Tarawih) Dari Abu Hurairah Radhiallahu 'Anhu, bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ "Barang siapa yang shalat malam pada Ramadhan karena iman dan ihtisab, maka akan diampuni dosa-dosa yang lalu." (HR. Bukhari) 6. Dibuka Pintu Surga Dari Abu Hurairah Radhiallahu 'Anhu bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: إِذَا جَاءَ رَمَضَان فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ وَصُفِّدَتْ الشَّيَاطِين "Jika datang Ramadhan, maka dibukalah pintu-pintu surga, ditutup pintu-pintu neraka dan syetan dibelenggu." (HR. Muslim) Dalam hadits lain: إذا كان رمضان فتحت أبواب الرحمة، وغلقت أبواب جهنم، وسلسلت الشياطين "Jika bulan Ramadhan maka dibukalah pintu-pintu rahmat, ditutup pintu-pintu neraka dan syetan dirantai." (HR. Muslim) 7. Allah Ta’ala Langsung Membalas Pahala Shaum Firman Allah Ta’ala dalam hadist Qudsi : كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ، إِلَّا الصِّيَامَ، فَهُوَ لِي، وَأَنَا أَجْزِي بِهِ “Setiap amalan anak Adam itu adalah (pahala) baginya, kecuali puasa, karena puasa itu untuk-Ku dan Akulah yang akan membalasnya.” (HR. Bukhari) 8. Disediakan Pintu Al- Rayyan إِنَّ فِي الْجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ الرَّيَّانُ يَدْخُلُ مِنْهُ الصَّائِمُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ يُقَالُ أَيْنَ الصَّائِمُونَ فَيَقُومُونَ لَا يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ فَإِذَا دَخَلُوا أُغْلِقَ فَلَمْ يَدْخُلْ مِنْهُ أَحَدٌ “Sesungguhnya di surga ada pintu yang dinamakan Ar Rayyan, yang akan dimasuki oleh orang-orang yang berpuasa pada hari kiama nanti, dan tidak ada yang memasuki melaluinya kecuali mereka. Dikatakan: “Mana orang-orang yang berpuasa? Maka mereka berdiri, dan tidak ada yang memasukinya seorang pun kecuali mereka. Jika mereka sudah masuk, maka pintu itu ditutup, dan tidak ada lagi seorang pun yang masuk melaluinya.” (HR. Bukhari) 9. Bau mulut orang berpuasa lebih Allah Ta’ala cinta Dari Abu Hurairah, r.a., bahwa Rasulullah Saw. وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ … Demi Yang Jiwa Muhammad ada di tanganNya, bau mulut orang yang berpuasa lebih Allah cintai u dibanding bau misk (kesturi) …” (HR. Bukhari) 10. Dua kebahagiaan bagi orang berpuasa Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: للصائم فرحتان يفرحهما: إذا أفطر فرح، وإذا لقي ربه فرح بصومه “Bagi orang berpuasa ada dua kebahagiaan: yaitu kebahagiaan ketika berbuka, dan ketika berjumpa Rabbnya bahagia karena puasanya.” (HR. Bukhari) 11. Anjuran bersahur Dari Anas bin Malikr.a., bahwa Rasulullah, Saw. bersabda: تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السَّحُورِ بَرَكَةً “Bersahurlah kalian, karena pada santap sahur itu ada keberkahan.” (HR. Bukhari) 12. Keutamaan bersahur Dari Abu Sa’id Al Khudri,r.a, bahwa Rasulullah Saw. bersabda: السَّحُورُ أَكْلُهُ بَرَكَةٌ، فَلَا تَدَعُوهُ، وَلَوْ أَنْ يَجْرَعَ أَحَدُكُمْ جُرْعَةً مِنْ مَاءٍ، فَإِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الْمُتَسَحِّرِينَ Makan sahur adalah berkah, maka janganlah kalian meninggalkannya, walau kalian hanya meminum seteguk air, karena Allah ‘Azza wa Jalla dan para malaikat mendoakan orang yang makan sahur. (HR. Ahmad) Dari Amru bin Al ‘Ash Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السُّحُور “Perbedaan antara puasa kita dan puasa Ahli Kitab adalah pada makan sahur.” (HR. Muslim) 13. Disunnahkan menta’khirkan sahur: Dari ‘Amru bin Maimun, Radhiallahu ‘Anhu, katanya: كان أصحاب محمد صلى الله عليه و سلم أعجل الناس إفطارا وأبطأهم سحورا Para sahabat Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah manusia yang paling bersegera dalam berbuka puasa, dan paling akhir dalam sahurnya. (HR. Al Baihaqi ) 14. Kedermawanan Rasulullah Saw Ibnu ‘Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, menceritakan: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدَ النَّاسِ وَأَجْوَدُ مَا يَكُونُ فِي رَمَضَانَ حِينَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ وَكَانَ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَام يَلْقَاهُ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ فَلَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدُ بِالْخَيْرِ مِنْ الرِّيحِ الْمُرْسَلَةِ Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah manusia yang paling dermawan, dan kedermawanannya semakin menjadi-jadi saat Ramadhan apalagi ketika Jibril menemuinya. Dan, Jibril menemuinya setiap malam bulan Ramadhan dia bertadarus Al Quran bersamanya. Maka, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam benar-benar sangat dermawan dengan kebaikan melebihi angin yang berhembus. (HR. Bukhari) 15. Pahala memberikan makanan orang yang berbuka puasa Dari Zaid bin Khalid Al Juhani Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لَا يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا Barang siapa yang memberikan makanan untuk berbuka bagi orang berpuasa maka dia akan mendapatkan pahala sebagaimana orang tersebut, tanpa mengurangi sedikit pun pahala orang itu. 16. Memperbanyak doa Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: ثَلَاثَةٌ لَا تُرَدُّ دَعْوَتُهُمْ الصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ وَالْإِمَامُ الْعَادِلُ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُوم Ada tiga manusia yang doa mereka tidak akan ditolak: 1. Doa orang yang berpuasa sampai dia berbuka, 2. Pemimpin yang adil, 3. Doa orang teraniaya. (HR. At Tirmidzi) 17. I’tikaf Dari ‘Aisyah Radiallahu ‘Anha: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam beri’tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan sampai beliau diwafatka Allah, kemudian istri-istrinya pun I’tikaf setelah itu.(HR. Bukhari) Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, katanya: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ فِي كُلِّ رَمَضَانٍ عَشْرَةَ أَيَّامٍ فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الَّذِي قُبِضَ فِيهِ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا Dahulu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam I’tikaf di setiap Ramadhan 10 hari, tatkala pada tahun beliau wafat, beliau I’tikaf 20 hari. (HR. Bukhari) 18. Orang yang Sia-sia Shaumnya Dari Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah Saw. bersabda: كَمْ مِنْ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الْجُوعُ Betapa banyak orang berpuasa yang tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali hanya lapar saja. (HR. Ahmad) 19. Berpuasa ketika safar (berpergian) Dari Hamzah bin Amru Al Aslami, r.a., katanya: يا رسول الله: أجد بي قوة على الصيام في السفر. فهل علي جناح ؟، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "هي رخصة من الله فمن أخذ بها فحسن. ومن أحب أن يصوم فلا جناح عليه". “Wahai Rasulullah, saya punya kekuatan untuk berpuasa dalam safar, apakah salah saya melakukannya?” Maka RasulullahSaw. menjawab: “Itu adalah rukhshah (keringanan) dari Allah, barang siapa yang mau mengambilnya (yakni tidak puasa) maka itu baik, dan barang siapa yang mau berpuasa maka tidak ada salahnya.” (HR. Muslim) 20. Tentang Lailatul Qadar Secara spesifik, Lailatul Qadar ada pada sepuluh malam terakhir atau tujuh malam terakhir. Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: فَمَنْ كَانَ مُتَحَرِّيهَا فَلْيَتَحَرَّهَا مِنْ الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ “Maka, barangsiapa yang ingin mendapatkan Lailatul Qadar, maka carilah pada sepuluh malam terakhir.” (HR. Bukhari) 21. Doa ketika Lailatul Qadar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengajarkan doa khusus untuk kita baca ketika Lailatul Qadar. عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ عَلِمْتُ أَيُّ لَيْلَةٍ لَيْلَةُ الْقَدْرِ مَا أَقُولُ فِيهَا قَالَ قُولِي اللَّهُمَّ إِنَّكَ عُفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي Dari ‘Aisyah dia berkata “Aku berkata: Wahai Rasulullah, apa pendapatmu jika aku mengetahui bahwa pada suatu malam adalah Lailatul Qadar, apa yang aku ucapkan?” Beliau menjawab: “Ucapkanlah, ‘Allahumma innaka ‘afuwwun karim tuhibbul ‘afwa fa’fu’anni.” (HR. At Tirmidzi) 22. Orang g Tidak Berpuasa Tanpa Alasan Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, secara marfu’: مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ وَلَا مَرَضٍ لَمْ يَقْضِهِ صِيَامُ الدَّهْرِ وَإِنْ صَامَهُ Barang siapa yang tidak berpuasa pada Ramadhan tanpa adanya uzur, tidak pula sakit, maka tidaklah dia bisa menggantikannya dengan puasa sepanjang tahun, jika dia melakukannya. (HR. Bukhari)

Kamis, 11 Juli 2013

Sambutan Ketua DKM Al-Muhajirin

Ust. Aminudin, M.Ag

MARHABAN YA RAMADHAN
Assalamualaikum Wr.Wb.
Jama’aah yang sama-sama mengharapkan ridha dan kasih sayang Allah Swt .,  tiada kata yang lebih indah yang mesti  terucap selain puji dan syukur  kehadirat Allah Swt., alhamdulillah dengan sebab nikmat dan kasih sayang-Nya kita dipertemukan kembali dengan bulan Ramadhan bulan yang penuh dengan berkah,  rahmat dan ampunan-Nya.  Shalawat dan salampun semoga tetap tercurah bagi Rasulallah Muhammad Saw., keluarga, dan para shahabatnya serta pengikutnya yang setia samapai akhir zaman.
Jama’aah yang sama-sama mengharapkan ridha dan kasih sayang Allah Swt ., selanjutnya kami pengurus DKM Al-Muahijirin menyampaikan selamat menunaikan ibadah puasa kepada jamaah khususnya dan kaum muslimin dan muslimat pada umumnya, mudah-mudahan kita mendapati kebaikan dan kemuliaan yang dihadirkan oleh Allah Swt di bulan Ramadhan ini. Di samping itu permohonan maaf kami sampaikan, bahwa dalam mengemban amanah dalam  memakmurkan masjid masih jauh dari kesempurnaan, baik yang berkaitan dengan pelayanan dan pembinaan jamaah, maupun dalam penyediaan sarana dan prasarana ibadah. Mudah-mudahan dengan seiring berjalannya waktu dan kerja sama yang baik antar pengurus serta partisipasi aktif seluruh jamaah dan terutama dengan pertolonagn Allah Swt.,  berbagai kekurangan dapat di atasi.
Jama’aah yang sama-sama mengharapkan ridha dan kasih sayang Allah Swt., Sejak bulan Sya'ban, Rasulullah menganjurkan ummatnya agar mempersiapkan diri menyambut kedatangan 'tamu mulia' bernama Ramadhan dengan memperbanyak ibadah, terutama ibadah shaum sunah. Hal ini sebagai persiapan mental sekaligus fisik untuk menghadapi bulan yang disucikan itu. Begitupun para shahabat bersikap yang begitu mengagumkan, saat-saat menanti Ramadhan, mereka tak bedanya seperti calon pengantin yang merindukan hari-hari pernikahannya. Tiada seorangpun di antara mereka yang bersedih hati ketika menghadapi Ramadhan. Sebaliknya mereka bersuka cita dan bergembira, menyambutnya dengan penuh antusias dan semangat membara.
Jama’aah yang sama-sama mengharapkan ridha dan kasih sayang Allah Swt ., adalah merupakan tradisi di masa Rasulullah, pada saat akhir bulan Sya'ban para sahabat berkumpul di masjid untuk mendengar khutbah penyambutan Ramadhan. Saat itu dimanfaatkan oleh mereka untuk saling meminta maaf di antara mereka. Seorang sahabat kepada sahabatnya, seorang anak kepada orang tuanya, seorang adik kepada kakaknya, dan seterusnya. Mereka ingin memasuki bulan Ramadhan dengan tanpa beban dosa. Mereka ingin berada dalam suasana Ramadhan yang disucikan itu dalam keadaan suci dan bersih.
Jama’aah yang sama-sama mengharapkan ridha dan kasih sayang Allah Swt., untuk memberikan motivasi beribadah di bulan Ramadhan dengan optimal, sebelum Ramadhan datang Rasulullah SAW mengumpulkan para sahabatnya guna memberikan persepsi yang benar dan mengingatkan betapa mulianya bulan Ramadhan. Dalam sebuah hadits yang panjang Rasulullah Saw. bersabda:
Dari Salman r.a. meriwayatkan, “pada hari terakhir bulan Sya’ban Rasulallah berkhutbahkepada kami, “Wahai manusia, kini telah dekat kepadamu satu bulan yang agung, bulan yang sarat dengan berkah, yang di dalamnya terdapat satu malam yang lebih baik (nilainya) dari seribu bulan. Inilah bulan yang Allah tetapkan puasa di siang harinya sebagai fardhu dan shalat tarawikh di malam harinya sebagai sunnah. Barang siapa yang ingin mendekatkan dirinya kepada Allah di bulan ini dengan suatu amalan sunnat, maka pahalanya seolah-olah dia melakukan amalan fardhu pada bulan-bulan yang lain. Dan barang siapa yang melakukan amalan fardhu pada bulan ini, maka dia akan dibalas dengan pahala seolah-olah telah melakukan tujuh puluh amalan fardhu pada bulan yang lain. Inilah bulan kesabaran dan ganjaran bagi kesabaran yang sejati adalah surga, bulan ini pula merupakan bulan simpati terhadap sesama. Pada bulan inilah rezeki orang-orang beriman di tambah. Barang siapa memberi makan (untuk berbuka puasa) kepada orang yang berpuasa maka kepadanya dibalas dengan keampunan terhadap dosa-dosanya dan dibebaskan dari api neraka Jahanam dan dia memperoleh ganjaran yang sama sebagaimana orang yang berpuasa tadi tanpa sedikit pun mengurangi pahala orang yang berpuasa itu.” Kami pun bewrkata, “Ya Rasulallah! Tidak semua orang di antara kami mempunyai sesuatu yang dapat diberikan kepada orang yang berpuasa untuk berbuka.”
Rasulallah Saw. menjawab, “Allah akan mengaruniakan balasan ini kepada seorang yang memberi buka walaupun hanya dengan sebiji kurma, atau seteguk air, atau seisap susu. Inilah bulan yang pada sepuluh hari pertamanya Allah menurunkan rahmat, sepuluh hari pertenganhannya Allah memberikan ampunan, dan pada sepuluh hari yang terakhir Allah membebaskan hamba-Nya dari api neraka Jahanam. Barangsiapa yang meringankan beban hamba sahayanya pada bulan ini, maka Allah akan mengampuninya dan membebaskannya dari api neraka. Perbanyaklah di bulan ini empat perkara. Dua perkara dapat mendatangkan keridhaan Tuhanmu, dan dua lagi kamu pasti memerlukannya. Dua perkara yang mendatangkan keridhaan Allah yaitu, hendaknya kalian membaca kalimat thayibah dan istighfar sebanyak-banyaknya. Dan dua perkara yang kita pasti memerlukannya, yaitu hendaknya kamu memohon kepada-Nya untuk masuk surga dan berlindung kepada-Nya dari api neraka Jahanam. Dan barangsiapa memberi minum kepada orang yang berpuasa (untuk berbuka0, maka Allah akan memberinya minum dari telagaku (Haudh) yang sekali minum saja dia tidak akan merasakan dahaga lagi sehingga dia memasuki surga.” (HR. Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya)
Demikianlah apa yang dapat disamapikan, “Marhaban Ya Ramadhan,  Selamat Datang Ya Ramadhan”  kami menyambutmu  dengan  jiwa yang suci dan tekad yang kuat untuk memakmurkan  siang dan malam dengan beribadah demi memperoleh kemulian dan kebaikan yang Allah janjikan.

Griya Mitra, 9 Juli 2013

MARHABAN YAA RAMADHAN





MARHABAN YA RAMADHAN 

Shalat tarawih hari pertama di Masjid Al-Muhajirin diawali dengan sambutan Ust. Dikry Jakarya    (Ketua Panitia Ramadhan) dan Ceramah Tarawih        Ust. Aminudin, M.Ag (Ketua DKM Al-Muhajirin)