MUSTAJABNYA
DOA PADA LIMA WAKTU
oleh:
Bp. Aris Saptiono |
Rasulullah
saw. senantiasa memotivasi kaum muslimin agar memperbanyak doa, sebab
memperbanyak doa merupakan mukhul ibadah
(inti ibadah). Allah swt. sangat mencintai terhadap seorang hamba yang
memperbanyak berdoa, sebaliknya Allah swt. membenci terhadap hamba yang putus
asa dalam berdoa. Oleh sebab itu Rasulullah saw. mengajurkan apabila berdoa
agar memilih pada waktu-waktu yang doa itu akan diijabah. Seperti pada
sepertiga malam (akhir), pada waktu sujud dan akhir pada salat yang wajib.
Terdapat
beberapa riwayat bahwa doa seorang akan mustajab apabila dilaksanakan pada lima
waktu, yaitu pada awal malam dari bulan Rajab, awal malam Nisfu Sya’ban, malam
Jum’at, awal malam Idul Fitri dan awal malam Idul Adha. Adapun hadis-hadisnya
sebagai berikut :
Hadis ke - 1
Abul Fathi Nasrullah bin
Muhammad telah menghabarkan kepada kami, Nasr bin Ibrahim telah menceritakan
kepad kami, Abu Said Bundar bin Umar
Ar-Ruyani telah menghabarkan kepada kami, Abu Muhammad (Abdullah bin Ja’far
Al Khobazi, Abu Ali Al Hasan bin Ali bin Muhammad telah menghabarkan kepada
kami) bin Basyar Az Zahidi telah menghabarkan kepada kami - di Hamdan (tempat)
dengan membacakan dari asal simanya – Ali bin Muhammad Al Qozwini telah
menghabarkan kepada kami, Ibrahim bin Muhammad bin Burrah As Shanani telah
menceritakan kepada kami, Abdul Qudus telah menceritakan kepada kami, Ibrahim bin Abi Yahya telah
menceritakan kepada kami, dari Abu
Qo’nab, dari Abu Umamah Al Bahili berkata, Rasulullah saw. telah bersabda,
“Pada lima malam yang tidak akan ditolak (diijabah) padanya doa, yaitu : Awal
malam pada bulan Rajab, malam pertengahan bulan Sya’ban, malam Jum’at, malam
Idul Fitri dan malam Idul Adha”.
Hadis
ini diriwayatkan oleh Ibnu Asakir dalam kitabnya Tarikh Madina Dimasyq, yang lebih dikenal dengan Tarikh
Ibnu Asakir, X : 408.
Hadis
ini dlaif karena pada sanadnya terdapat tiga rawi yang dinyatakan dlaif, yaitu
:
1. Bundar
bin Umar Ar Ruyani,
An Nakhsyi mengatakan, “Ia rawi pendusta”. Mizanul ‘Itidal, I:353 dan Lisanul
Mizan, II:64.
2. Ibrahim
bin Abi Yahya, Ia
adalah Abu Ishaq Ibrahim bin Muhammad bin Abu Yahya al Aslamy al Madany, salah
seorang ulama yang lemah. Ibrahim bin ‘Ar’arah mengatakan, ‘saya mendengar
Yahya bin Said berkata,’Aku bertanya kepada Malik tentang dia apakah ia rawi
yang tsiqat dalam urusan hadis? Ia menjawab, ‘Tidak! Juga ia tidak terpercaya
dalam urusan agama. Yahya bin Main mengatakan, Aku mendengar al Qathan berkata,
“Ibrahim bin Abu Yahya, Kadzab
(pendusta)”. Abbas meriwayatkan dari Ibnu Main, ‘(Ibrahim bin Abu Yahya), Kadzab, Rafidly. An Nasai, Ad Daruqutni
juga yang lainnya mengatakan, “Matruk”. Mizanul ‘Itidal, I:57-58.
3. Abu
Qo’nab,
namanya ialah Muamal Ibnu Umaral Qaini. Ia seorang rawi yang tidak dikenal
dikalangan ahli hadis. Dan hanya tercantum dalam kitab Al Ikmal Libni Ma’kul, II:82/CD. Dan Al Albani mengatakan dalam kitab Silsilatul
ahaditsid dlaifah, III:643, ‘Saya tidak mengenal rawi itu’.
Hadis ke – 2
Hadis
ini diriwayatkan oleh al Baihaqi dan Abdurrazaq dari sahabat Ibnu Umar.
Abdullah al Hafidz
memberitahukan kepadaku dengan cara Ijazah dan Imam Abu Usman Ismail bin
Abdurrahman As Shabuni meriwayatkan pula darinya, Abu Abdillah Muhammad bin Ali
bin Abdil Hamid menghabarkan kepada kami, Ishaq bin Ibrahim menghabarkan kepada
kami, Abdur Razaq menghabarkan kepada kami, orang yang mendengar dari al
Bailamani telah menghabarkan kepada kami, ia menceritakan dari ayahnya, dari
Ibnu Umar berkata, “Lima malam yang tidak akan ditolak padanya doa, yaitu malam
Jum’at, awal malam dari bulan Rajab, malam Nisfu Sya’ban dan dua malam hari
raya (Idul Adha & Idul Fitri)”. Syu’abul
Iman, III:342, Abdurrazaq, IV:317.
Hadis
ini pun dlaif karena terdapat beberapa kelemahan antara lain :
- Rawi yang tertulis dengan
lafadz man sami’al Bailamani adalah
mubham yang tidak diketahui nama dan identitasnya. Sedangkan Al Bailamani
sendiri adalah termasuk rawi yang lemah. Ia adalah Abdurrahman bin al
Bailamany. Bapak Muhammad bin Abdurrahman bin al Bailamany, Maula Umar bin
Khatab.
- Abu Hatim mengatakan, ‘Ia seorang
rawi yang lemah’, Al Bazar mengatakan,’baginya memiliki periwayatan yang
munkar’. Ia rawi yang dlaif menurut kalangan ahli ilmu”.
- Ad Daruqutni
mengatakan,”Dlaif, tidak bisa dijadikan hujjah apabila hadis yang ia riwayatkan
secara mausul, terlebih lagi apabila
ia meriwayatkan hadis secara mursal”.
- Ibnu Hajar menerangkan dalam
kitabnya At Taqrib, ‘Ia rawi yang dlaif’. Tahdzibul Kamal, XVII:9.
Hadis ke – 3
Hadis
ini diriwayatkan oleh al Baihaqi dari sahabat Abu Darda.
Abu Sa’id muhammad bin Musa
telah menghabarkan kepada kami, Abul Abbas Al Asham telah menghabarkan kepada
kami, Ar Rabi telah menghabarkan kepada kami, Asy Syafi’i telah menghabarkan
kepada kami, Ibrahim bin Muhammad
telah menghabarkan kepada kami, ia berkata, Tsaur bin Yazid berkata, dari
Khalid bin Ma’dan dari Abu Darda berkata, “Barangsiapa yang berdiri (salat)
pada dua malam ‘Id karena mengharap ridha Allah, hatinya tidak akan mati disaat
semua hati itu mati. As Syafi’i berkata, telah sampai kepada kami, bahwa beliau....
Sesungguhnya doa itu akan diijabah pada lima malam, yaitu malam Jum’at, malam
Idul Adha, Malam Idul Fitri, awal malam bulan Rajab dan awal malam pertengahan
bulan Sya’ban”. H.R. Al Baihaqi,
Syu’abul Iman, III:34
Pada
sanad hadis ini terdapat rawi yang bernama Ibrahim
bin Muhammad. Ia adalah salah satu guru Imam Asy-Syafi’i. Yang dimaksud
Ibrahim bin Muhammad dalam sanad hadis ini adalah Ibrahim bin Muhammad bin Abu Yahya karena yang menjadi guru Imam
Asy-Syafi’i sebagaimana yang diterangkan oleh Al-Mizi dalam kitab Tahdzibul Kamal bahwa tidak terdapat
nama Ibrahim bin Muhammad yang menjadi guru Imam Asy-Syafi’i selain Ibrahim bin Muhammad bin Abu Yahya Al-Aslami.
Adapun tentang kedlaifannya sebagaimana yang telah diterangkan diatas.
Dengan
memperhatikan keterangan-keterangan diatas, meyakini diijabahnya doa pada lima
waktu sebagaimana dalam hadis diatas adalah tidak pernah dicontohkan oleh Nabi
saw. & tidak bisa dijadikan hujjah.
Assalamu 'alaikum pa ustad, kalau pada saat yang lima itu ada orang yang berdo'a, apakah menjadi terlarang atau masuk katagori bid'ah perbuatan tersebut. Saya belum tahu kalau ada hadis yang sohih melarang untuk berdo'a di saat itu.
BalasHapus- Tidak termasuk keduanya, Maksud hadits diatas adalah meyakini dengan 5 waktu diatas akan lebih utama kalau berdoa pada waktu tersebut. Apalagi menetapkan waktu & bacaan-bacaannya.
BalasHapus- Hadis sohih yang melarang berdoa disaat itu tidak ditemukan tetapi kalau hadis dloif terkait keyakinan seperti itu sudah dijelaskan diatas.
kalau menurut saya berdo'a dimana saja, kapan saja tentu boleh. sampai masuk dan keluar kamar mandi saja kita dianjurkan untuk berdo'a. yang saya tau yang tidak boleh berdo'a ketika kita sedang maaf BAB atau pipis..jangan sedikit-sedikit bid'ah pak cecep. gitu menurut saya. mohon maaf pak.
BalasHapus- Saya sepakat dengan satria pertamax, tetapi dalam beribadah, Nabi saw telah memberikan petunjuk teknis, salah satu adab berdoa, baik itu terkait tempat, waktu maupun redaksi dari doa itu sendiri ada yang redaksinya ditetapkan oleh Nabi saw maupun redaksinya yang dipersilahkan kita membuat sendiri. begitupun dengan masalah waktu, Rasulullah saw memberikan petunjuk (contoh) beberapa waktu yang apabila kita berdoa diwaktu tersebut terijabahnya doa.
BalasHapus- Terkait beberapa hadis yang tertulis diatas, saya hanya memberikan informasi bahwa dalam kaidah ilmu hadis, berita atau hadis yang didalamnya kedapatan rawi yang lemah menurut para ahli hadis, maka hadis tersebut tidak bisa dijadikan dalil. meskipun hadis tersebut "seolah-olah" datangnya dari Nabi saw.
- Jangankan untuk perkara yang besar (seperti judul tulisan diatas), untuk perkara yang kecil saja, Nabi saw memberikan petunjuk teknis (adab) dalam beramal dan teriwayatkan oleh beberapa sahabat. Nah ketika si Pembawa berita itu kedapatan "cela", maka para ahli hadis sangat hati-hati sekali dalam menyeleksi hadis-hadis yang ujungnya mengatasnamakan Nabi. Jadi yang dloif itu bukan isinya, tetapi apakah benar Nabi berbuat seperti itu?. kita periksa satu persatu si pembawa beritanya, Bukankah sifat orang bertaqwa itu "hati-hati" ?
itulah fungsinya belajar Mushtolah Hadis
oh gitu ya pa ustadz? jadi kita harus menelusuri perawi hadits tersbt apabila kita mau tau suatu hadits itu dhoif atau bahkan palsu sekalipun..apakah ada cara yang lebih mudah untuk menentukan suatu hadits itu lemah atau palsu selain dari melihat perawinya? misalnya dari susunan kata ataupun isi dari hadits tersebut, masalahnya saya kurang begitu paham tentang perawi atau sanad suatu hadits..terimakasih pa ustadz
BalasHapusKang Satria, sekarang sudah buku-buku terkait bahasan tentang hadis, baik dalam tulisan aslinya (arab) atau yang sudah diterjemahkan. apakah itu bahasan tentang hadis shahih maupun hadis dhaif.. mangga kantun searching di toko-toko buku. tetapi kembali lagi kepada kita, bagaimana kemampuan kita membaca dan menelaahnya.... selamat berjuang!
BalasHapusmaksudnya sudah "banyak"
BalasHapus