|
Aris Saptiono |
FIQIH BANJIR
Memperhatikan perjalanan hidup kita hingga tahun 2013 ini,
sungguh teramat banyak peristiwa yang terjadi dalam kehidupan kita yang layak
dijadikan ‘ibrah (cermin) sebagai bahan evaluasi sekaligus introspeksi
atas perilaku kita dalam mengelola kehidupan dunia.
Di antara peristiwa itu, bagi warga kabupaten Bandung
khususnya, terjadi di penghujung tahun 2012 dan awal tahun 2013, ketika curah
hujan tinggi selama dua hari itu “menyebabkan” meluapnya air sungai dan
terjadinya banjir, khususnya di sekitar jalan Pandanwangi Cibiru, Perumahan
Bumi Orange & Perumahan Griya Mtra Desa Cinunuk, Kecamatan Ciluenyi terjadi
luapan air.
Di tempat tinggal kami, Griya Mitra RW 26 Desa Cinunuk
Kecamatan Cileunyi, yang dialiri sungai & saluran irigasi, ketinggian air
mencapai +1 m. Peristiwa itu telah menggugah kembali kenangan lama kami sebagai
warga masyarakat yang tinggal di daerah itu.
Uniknya, hujan yang turun selama dua hari
berturut-turut itu bukan saja menyebabkan terjadinya banjir di daerah kami,
namun dalam waktu yang hampir bersamaan juga telah menyebabkan banjir di 6
kecamatan di Kabupaten Bandung, meliputi Kecamatan Baleendah, Dayeuhkolot,
Bojongsoang, Rancaekek, Cileunyi dan Banjaran.
Peristiwa fenomenal itu kembali menyambangi ibu kota
Indonesia, Jakarta, tepatnya Kamis 17 Januari 2013, dini hari sampai jelang
siang. Banjir pada hari itu telah menggenangi perumahan, perkantoran,
sekolah, hingga jalan-jalan ibukota yang dihuni 14 juta orang. Bahkan balaikota
dan Istana Negara pun terkena imbas banjir Ibu Kota. Daerah yang terendam
banjir Jakarta meliputi 720 RT, 309 RW, 73 kelurahan. 31 kecamatan dengan
jumlah penduduk terdampak 30.964 KK atau 114.248 jiwa. Jumlah pengungsi hingga
saat ini (Jumat 18 Januari 2013) sekitar 15.423 jiwa.
Peristiwa Banjir Desember 2012 di Bandung dan Januari
2013 di Jakarta hanyalah sebagian kecil potret bencana banjir yang terjadi di
seluruh negeri ini. Pasalnya, menurut Kepala Pusat Data Informasi dan Hubungan
Masyarakat (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho, sebanyak 315 kabupaten dan kota dengan
60,9 juta jiwa tinggal di daerah rawan sedang dan rawan tinggi banjir di
Indonesia.
Ketika manusia membicarakan permasalahan Banjir, baik
tentang sebab dan cara-cara menanggulanginya, pada umumnya manusia tidak
“melibatkan” pandangan Allah yang tercantum dalam Al-Quran dan melalui sabda
Nabi saw. Sehingga yang disebut sebagai penyebab biasanya berkaitan dengan
curah hujan yang tinggi, kerusakan DAS (daerah aliran sungai), sedimentasi
(pengendapan) sungai, masalah sampah di sungai, tidak tepatnya perencanaan landscape dan sebagainya. Padahal dalam
pandangan Al-Quran, perkara-perkara itu pada hakikatnya hanyalah sebab
pelengkap atau efek samping, bukan sebagai sebab utama. Jika demikian halnya,
bagaimana banjir menurut Al-Quran dan Sunnah?
Untuk menjawab itu, mari kita perhatikan pandangan
Al-Quran tentang hujan. Dalam pandangan Al-Quran, hujan merupakan anugerah yang
diberikan Allah Swt. bagi semua makhluk di alam semesta ini. Tetesan air
yang turun dari langit itu menjadi sumber kehidupan bagi semua makhluk hidup.
Al-Quran menyebut hujan sebagai rahmat (Al-A’raf:57, An-Naml:63, Al-Furqan:48),
rezeki (Ghafir:13 dan Adz-Dzariyat:22), dan Raj'i (berarti kembali,
surat Ath-Thariq:11).
Secara ilmiah, rahmat dan rezeki itu dapat dimaknai dalam
berbagai dimensi, antara lain keseimbangan ekologis. Manfaat dan rezeki dalam
konteks ini dapat dipetakan sebagai berikut:
Pertama, berkat kekuasaan Allah Swt., air dapat diubah menjadi
kumpulan gas di atmosfer dengan bantuan sinar matahari, yang disebut awan
dengan bentuk yang bergumpal-gumpal. Dalam bahasa ilmiah, proses ini disebut
evaporasi. Proses evaporasi ini telah dijelaskan dalam Al-Quran:
“Allah, Dialah yang
mengirim angin, lalu angin itu menggerakkan awan dan Allah membentangkannya di
langit menurut yang dikehendaki-Nya, dan menjadikannya bergumpal-gumpal...” QS.
Ar-Rum:48
Dalam proses ini, setiap saat air asin sebanyak 97
% dari jumlah air di Bumi berpindah menuju atmosfer dengan perkiraan
sekitar 16 juta ton per detik, sehingga menghasilkan 513 trilyun ton air
per tahun.
Kedua, berkat kekuasaan Allah pula angin dihembuskan dan
menghalaukan awan, hingga awan itu terkumpul dan bertumpuk dalam
gumpalan-gumpalan di langit. Ketika awan tersebut semakin hitam dan berat maka
akan terjadi hujan di antara celah-celahnya. Dalam bahasa ilmiah, proses
jatuhnya air dari atmosfer ke permukaan bumi disebut presipitasi. Proses
presipitasi ini telah dijelaskan dalam Al-Quran:
“Tidakkah kamu melihat bahwa Allah
mengarak awan, kemudian mengumpulkan antara (bagian-bagian) nya, kemudian
menjadikannya bertindih-tindih, maka kelihatanlah olehmu hujan keluar dari
celah-celahnya dan Allah (juga) menurunkan (butiran-butiran) es dari langit,
(yaitu) dari (gumpalan-gumpalan awan seperti) gunung-gunung, maka
ditimpakan-Nya (butiran-butiran) es itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan
dipalingkan-Nya dari siapa yang dikehendaki-Nya…” (QS. An-Nuur:43)
Pada ayat tersebut, Allah Swt. menghendaki pada tempat
jatuhnya air di daerah beriklim dingin menjadi salju sedangkan jatuhnya air di
daerah iklim tropis menjadi air hujan.
Menurut penelitian modern, air hujan yang menguap dan turun
kembali ke Bumi dalam bentuk hujan berjumlah "tetap", yakni 513
triliun ton pertahun. Jumlah yang tetap ini dinyatakan dalam Al Qur'an dengan
menggunakan istilah "menurunkan air dari langit menurut kadar". Allah
Swt. Berfirman:
Dan Yang menurunkan air dari langit menurut kadar (yang
diperlukan) lalu Kami hidupkan dengan air itu negeri yang mati, seperti itulah
kamu akan dikeluarkan (dari dalam kubur). (QS. Az-Zukhruf:11)
Ketiga, setelah air hujan turun ke bumi, dengan kekuasaan Allah,
air itu diatur menjadi dua bagian: Pertama, meresap ke dalam tanah. Proses ini
disebut infiltrasi. Kedua, meluap ke permukaan tanah. Proses ini disebut surface
run-off.
Dalam proses infiltrasi, air yang meresap ke dalam tanah
sebagian akan tertahan oleh partikel-partikel tanah dan menguap kembali ke
atmosfer, sebagian lagi diserap oleh tumbuhan dan yang lain akan terus meresap
di bawah permukaan bumi hingga zona yang terisi air yaitu zona saturasi. Proses
ini disebutkan dalam Al-Quran:
“Dan Kami turunkan
air dari langit menurut suatu ukuran; lalu Kami jadikan air itu menetap di
bumi, dan sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa menghilangkannya.” (QS.
Al-Mu’minuun:18)
Air yang meresap melalui pori-pori tanah kemudian
tersimpan di bawah permukaan bumi yang impermeabel (tak dapat ditembus oleh
air) sehingga disebut air tanah.
Dalam proses surface runoff, ketika
zona saturasi terus terisi oleh air maka air tersebut akan mencari cara untuk
meloloskan diri ke permukaan bumi. Apabila air hujan terus jatuh ke permukaan
bumi tetapi tanah tidak mampu menyerap maka air permukaan ini mencari celah
untuk mengalir di antara palung sungai dan danau. Proses surface runoff
ini disebutkan dalam Al-Quran:
“Allah telah
menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah
menurut ukurannya…” (QS Ar Ra’d : 17)
Kedua proses ini (infiltrasi dan surface runoff) juga
diisyaratkan oleh Nabi saw.
“Perumpamaan apa yang
ditugaskan kepadaku oleh Allah untuk kusampaikan dari tuntunan dan pengetahuan
adalah bagaikan hujan yang lebat yang tercurah ke bumi. Ada di antaranya yang
subur, menampung air sehingga menumbuhkan aneka tumbuhan dan rerumputan yang
banyak. Ada juga yang menampung air itu, lalu Allah menganugerahkan kepada
manusia kemampuan untuk memanfaatkannya, maka mereka dengan air itu dapat
minum, mengairi sawah dan menanam tumbuhan, dan ada lagi yang turun di daerah
yang datar tidak dapat menampung air, tidak juga menumbuhkan tanaman….” (HR.
Al-Bukhari dan Muslim)
Menurut penelitian para ahli, ketika keseimbangan
ekologis terpelihara dengan baik air yang meresap ke dalam tanah sekitar 75% -
85%, sedangkan menjadi run-of yang mengalir ke sungai dan terbuang
ke laut sekitar 15 % sampai 25%.
Proses siklus air yang berulang-ulang ini sangat
penting bagi keberlangsungan keseimbangan ekologis dan kelangsungan kehidupan
di dunia. Dalam konteks inilah Al-Quran menyebut air hujan dengan Raj’i.
Dengan demikian, karena hujan itu sebagai karunia yang
diberikan Allah kepada makhluk-Nya, maka sejatinya air hujan tidak akan
menimbulkan madharat bagi manusia, sehingga tidak layak dijadikan sebagai
“kambing hitam” penyebab banjir.
Setelah kita diajak berdialog oleh Al-Quran tentang manfaat
air hujan, dan kita menemukan jawaban bahwa air hujan bukan sebagai penyebab
banjir, maka pencarian penyebab itu kita lanjutkan dengan memperhatikan
pandangan Al-Quran tentang bencana pada umumnya dan banjir pada khususnya.
Untuk memaknai peristiwa atau malapeta yang kita kenal
sebagai bencana, Al-Quran menggunakan kata mushiibah. Ini paling tidak
terlihat dalam bentuk fi’il madhi (verba perfektif atau aspek yang
menggambarkan perbuatan selesai), yaitu ashaaba seperti tercantum pada
surah Ali Imran: 146; dalam bentuk fi’il mudhari (verba
imperfektif atau aspek yang menggambarkan perbuatan belum selesai), yaitu yushiibu
seperti tercantum pada surah ar-Ra’du: 31; dan dalam bentuk isim mashdar
(nomina verbal), yaitu mushiibah, seperti tercantum pada surah
at-Taubah: 50.
Selain kata ini, Al-Quran menggunakan kata lain yang
berkonsep bencana. Sedikitnya ada delapan kata yang kemudian dipadankan dengan
bencana. (1) kata zhulumaat (bentuk plural dari zhulmah), seperti
terdapat pada surah al-‘An’am: 63. (2) kata al-kubar, seperti terdapat pada
surah al-Mudatsir: 35. (3) kata al-karb, seperti terdapat pada surah Al-An’am:
64, Al-Anbiya: 76, as-Shafaat: 76 & 115. (4), kata su', seperti terdapat
pada surah al-Ahzab: 17. (5) kata nailan, seperti terdapat pada surah
at-Taubah: 120. (6) kata 'adzab, seperti terdapat pada surah at-Taubah: 26. (7)
kata sayyi'ah (bentuk tunggal), seperti terdapat pada surah Ali Imran: 120,
an-Nisa: 78-79. Kata sayyi'at (bentuk jamak), seperti terdapat pada surah
al-A’raf : 168. (8) kata da'irah, seperti terdapat pada surah al-Maidah: 52.
Namun demikian, kata mushibah-lah yang paling banyak
dipergunakan sebagai pengganti konsep bencana dalam bahasa Indonesia. Kata itu
sendiri sedikitnya terdapat pada 50 ayat di dalam Al-Quran. Kelima puluh ayat
itu dikelompokkan menjadi 16 tema.
Hanya saja kata mushibah berikut derivasi dan
infleksinya yang terdapat di Al-Quran itu tidak selalu mengacu pada konsep
bencana alam. Kata mushibah dalam Al-Quran itu mengacu pada definisi kata ini
dalam bahasa Arab. Konsepnya lebih luas daripada kata bencana alam, karena
musibah apa pun meskipun skala dan efeknya kecil tetap saja bisa disebut
mushibah, yang tentu saja dalam bahasa Indonesia tidak bisa disebut bencana
alam.
Ujian atau Siksa?
Pertanyaan ini selalu saja menarik peneliti yang mengkaji
tema bencana alam dalam tinjauan agama apa pun. Dalam Islam pun, pertanyaan ini
juga banyak muncul. Kesan ini pun tercermin dalam beberapa ayat Al-Quran.
Sejauh pengamatan kami, Al-Quran mengelompokkan bencana menjadi dua kelompok
ini. Pertama, kelompok bencana yang menjadi ujian, terdapat setidaknya pada
surah Ali Imran: 165. Kedua, kelompok bencana yang menjadi siksa yang
diakibatkan tidak beriman, perilaku zalim, dan maksiat. Dengan perincian
sebagai berikut: (a) Bencana akibat tidak beriman, terdapat pada surah Ar-Ra'd:
31. (b) Bencana akibat perilaku zalim, terdapat pada surah Ali Imran: 117. (c)
Bencana akibat perilaku maksiat, terdapat pada surah Al-A'raf: 165.
Pada ayat-ayat di atas parameternya sangat jelas, mana
bencana yang menjadi ujian dan mana bencana yang menjadi siksa. Bila bencana
itu diakibatkan karena kesalahan yang tidak disengaja, maka bencana itu menjadi
ujian bagi pelakunya, untuk kemudian mengukur seberapa besar kadar keimanannya.
Sebaliknya, bila bencana itu diakibatkan oleh perilaku maksiat, zalim, dan
tidak beriman, maka bencana itu menjadi siksa.
Namun, bila yang dimaksudkan bencana alam, maka
Al-Quran selalu mengelompokkannya ke dalam bencana yang menjadi siksa dan
berkait dengan perilaku maksiat, zalim, dan tidak beriman. Ada enam bencana
alam yang disinggung dalam Al-Quran: (1) gempa (QS Al-An'am:65, Al-A'raf : 78
& 155, Al-Ankabut: 37); (2) angin topan (QS Al-Fath: 4, Al-Ahqaf: 24,
Fushshilat: 16, Al-Isra: 69, Al-Ahzab: 9, Al-Qamar: 19 & 34, Al-Isra: 68,
Al-Haqqah: 6 & 7, Adz-Dzariyat: 41 & 42; (3) petir (Asy-Syura:
13, An-Nisa: 153 & 155, Al-Kahf: 40, Fushshilat: 17, Adz-Dzariyat: 44,
Al-Haqqah: 5), (4) hujan batu (An-Naml: 58, Al-Furqan: 40, Asy-Syu’ara: 173,
Al-A'raf: 84, Al-Ankabut: 40; (5) paceklik dan kelaparan (QS Al-Mukminun: 75,
Al-A'raf: 130, At-Thur: 47, An-Nahl: 112, Ad-Dukhan: 10).
Sementara terkait dengan banjir, secara khusus Al-Quran
menginformasikan pada beberapa ayat berikut:
"Tetapi mereka berpaling, Kami pun datangkan kepada
mereka banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun
yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl, dan sedikit dari
pohon Sidr," (QS Saba' [34]: 16).
"Lalu Kami wahyukan kepadanya, 'Buatlah bahtera di
bawah pantauan dan petunjuk Kami. Lalu, apabila perintah Kami telah datang dan
tanur telah memancarkan air, maka masukkanlah ke dalam bahtera itu sepasang
dari tiap-tiap (jenis), dan (juga) keluargamu, kecuali orang yang telah lebih
dahulu ditetapkan (akan ditimpa azab) di antara mereka. Janganlah kamu
bicarakan dengan Aku tentang orang-orang yang zalim, karena sesungguhnya mereka
itu akan ditenggelamkan," (QS Al-Mukminun [23]: 27).
"Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya. Dia tinggal di
antara mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun, lalu mereka ditimpa banjir
besar, dan mereka adalah orang-orang yang zalim," (QS Al-Ankabut [29]:
14).
Menurut Imam Al-Qurthubi, kandungan Saba' [34]: 16
terkait dengan kaum Saba' yang mengingkari nikmat Tuhan. Banjir itu sebagai
akibat atas ketidakberiman mereka pada Zat yang memberi nikmat. Banjir besar
itu sendiri disebabkan oleh runtuhnya bendungan Ma'rib. Tanur yang disebutkan
pada Al-Mukminun [23]: 27 adalah semacam alat pemasak roti yang diletakkan di
dalam tanah terbuat dari tanah liat. Biasanya, tidak ada air di dalamnya.
Terpancarnya air di dalam tanur itu menjadi tanda bahwa banjir besar akan
melanda negeri itu. Informasi pada Al-Mukminun [23]: 27 itu dilengkapi oleh
Al-Ankabut [29]: 14 bahwa banjir itu diakibatkan perilaku tidak beriman kaum
Nuh terhadap kenabian Nuh (Noah).
Kandungan ayat-ayat di atas sangat jelas menunjukkan bahwa
berbagai bencana alam pada umumnya dan banjir pada khususnya—yang
diinformasikan dalam Al-Quran—berkaitan dengan siksa sebagai akibat
perilaku maksiat, zalim, dan tidak beriman. Kandungan itu sekaligus membantah
pandangan yang menyatakan bahwa bencana alam yang terjadi murni akibat gejala
alam semata. Pasalnya, bencana alam selalu berkaitan erat dengan perilaku
maksiat, zalim, dan tidak beriman yang berbuah siksa. Gejala alam memang ada,
tetapi itu bukan satu-satunya. Ada kesalahan yang kita buat baik sebagai
pribadi maupun sebagai bangsa, sehingga Allah melalui alam sebagai makhluk-Nya
menunjukkan kekuatan-Nya. Kesalahan yang diperbuat manusia sebagai penyebab
bencana ditegaskan oleh Allah dalam Al-Quran:
Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan
karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian
dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (QS.
Ar-Rum:41)
Kata zhahara pada asalnya
berarti terjadinya sesuatu di permukaan bumi. Sehingga, karena dia
dipermukaan, maka menjadi nampak dan terang serta diketahui dengan jelas.
Sementara kata Al-Fasaad, menurut Ar-Raghib Al-Ashfahani,
antonim (kata yang berlawanan) dari Shalaah. Al-Fasaad berarti
keluarnya sesuatu dari keseimbangan, baik sedikit maupun banyak. Kata ini
digunakan untuk menunjuk apa saja, baik jiwa, jasmani, maupun hal-hal lain.
(Lihat, Al-Mufradat fi Gharib Al-Quran, hal. 636)
Ayat di atas menyebut darat dan laut sebagai tempat
terjadinya fasad itu. Ini dapat dimaknai bahwa daratan dan lautan
menjadi arena kerusakan, yang berakibat terjadinya ketidakseimbangan ekologis.
Sehubungan dengan itu, Ibnu Abbas menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Al-Barr
dapat berupa tanah kosong atau hutan belantara, sementara Al-Bahr
mengacu pada kota-kota yang berada di bantaran sungai. (Lihat, Tafsir Ibnu
Katsir, VI:319)
Dari pernyataan Ibnu Abbas dapat dimaknai bahwa kemaksiatan
manusia menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan baik di hulu maupun di
hilir. Kemaksiatan itu dapat berupa pelanggaran tata ruang, pembangunan yang
kurang memperhatikan lingkungan, seperti hutan lindung yang asalnya sebagai
daerah resapan air diubah menjadi “hutan beton”. Demikian pula daerah rawa
diubah menjadi pemukiman beton. Dalam konteks banjir, kerusakkan itu telah
mengganggu proses siklus air yang telah dijelaskan diawal. Sehingga pada
saat tanah telah mengalami kerusakan, maka daya serapnya semakin berkurang, lalu
semakin banyak air yang terlimpas di permukaan dan semakin sedikit air yang
diserap tanah. Dengan perkataan lain, curah hujan yang seharusya masuk ke
dalam tanah antara 75% - 85% dan mengalir di permukaan tanah antara 25 %
- 15% justru yang terjadi malah sebaliknya, sehingga terjadilah bencana banjir
pada musim hujan dan bencana kekeringan pada musim kemarau.
Apabila kemaksiatan itu tidak segera dicegah, maka
dampak bencana ini tidak saja menimpa pelaku kemaksiatan namun juga mereka yang
tidak berbuat maksiat. Bahkan, bisa jadi pelaku itu sendiri tidak mendapat
dampak apapun, sementara orang lain yang kena getahnya. Sehubungan dengan itu
Allah telah memberi peringatan:
“Dan peliharalah
dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja
di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.” QS.
Al-Anfal:25
Ayat ini diperjelas oleh Nabi saw. melalui sabdanya,
sebagaimana dilaporkan oleh Ummu Salamah, istri Nabi saw. ia berkata, “Aku
mendengar Nabi saw. bersabda:
“Sesungguhnya
kejahatan bila telah merajalela di muka bumi lalu tidak dicegah, maka Allah
akan menurunkan siksa-Nya kepada penduduk bumi.” Ia (Ummu Salamah) berkata,
"Aku bertanya, ‘Ya Rasululah, walaupun di kalangan mereka masih ada
orang-orang shaleh?” Rasul menjawab, "Ya, walaupun di kalangan mereka
masih ada orang-orang shaleh. Dia akan menimpakan kepada mereka apa yang
menimpa kepada orang-orang, lalu Allah akan melepaskan mereka menuju ampunan
dan keridaan-Nya atau menuju keridaan dan ampunan-Nya.” (HR. Ahmad, Musnad
Ahmad, 44:148, No. hadis 26.527)
Sehubungan dengan itu, jika penanganan banjir selama
ini hanya terfokus pada masalah teknis dan sarana fisik semata, maka sampai
kapan pun masalah banjir tidak akan dapat teratasi. Pasalnya, cara-cara itu
hanya akan menyentuh “bagian kulit” saja, tak ubahnya mengoleskan obat gosok
sebagai penyembuh sesaat, sementara akar permasalahannya—yang jauh berada pada
“bagian dalam”—sama sekali kurang mendapat perhatian, yaitu kemaksiatan
manusia terhadap alam.
Demikianlah sebagian kecil pandangan Al-Quran dan
Sunnah mengenai banjir. Bila sikap kita salah dalam menanggapi Al-Quran dan
Sunnah, apalagi cenderung mengabaikan, maka petaka akan selalu datang seperti
yang terjadi pada jaman para nabi dahulu. Al Qur’an ibarat guruh dan kilat, dia
adalah kabar gembira (basyiran) sekaligus pemberi peringatan (nadziran).
Wallahu
a’lam bish-shawab
Aris saptiono
Griya Mitra A4/21 Ds.Cinunuk Kec. Cileunyi