Blog Resmi DKM al-Muhajirin, berisikan kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh pengurus dan juga informasi-informasi yang diperuntukan untuk jamaah al-muhajirin khususnya dan ummat Islam umumnya, juga sebagai sarana berdakwah bagi kaum muslimin dan muslimat. kirimkan artikel jamaah ke almuhajirin026@gmail.com
Panitia Renovasi Masjid Al-Muhajirin
iklan
Senin, 22 September 2014
LAPORAN KEUANGAN DKM & PAN. PEMB. MASJID ALMUHAJIRIN PER. 31 AGUSTUS 2014
http://www.mediafire.com/view/1h7deie2b5euqg3/lap_keuangan_dkm_2014.xlsxhttp://www.mediafire.com/view/k7cchbdt1033w13/lap._keuangan_panitia_pemba.masjid_per_31_agustus_2014.xlsx
Senin, 18 Agustus 2014
Sabtu, 09 Agustus 2014
Idul Fitri dan Rekonsiliasi Sosial
Idul Fitri dan Rekonsiliasi Sosial
Oleh
Abdul Wahid
Sesungguhnya hakikat hari raya Idul Fitri adalah perayaan
kemenangan atas nafsu di bulan Ramadhan. dan kita dapat kembali ke fitrah,
‘idul Fitri. Sebagaiman diketahui bahwa di bulan ramadhan, orang beriman
diwajibkan untuk melaksanakan puasa agar menjadi orang yang bertakwa. (QS.
Al-Baqarah; 183)
Ada dua makna dalam ‘idul fitri yang kita rayakan tersebut. Pertama, kembali kepada dihalalkannya
makan dan minum serta hubungan suami isteri pada siang hari. Kedua, kembali kepada fitrah manusia
yang suci setelah sebulan lamanya diuji keimananya.
Manusia terlahir dalam keadaan suci tanpa beban kesalahan apa
pun. Nabi Muhammad SAW bersabda dalam sebuah hadis, "Setiap bayi yang
dilahirkan adalah fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan (mereka)
Yahudi, Nasrani, ataupun Majusi.'' (HR. Muslim)
Sebagai manusia yang memiliki potensi untuk berbuat salah dan
khilaf, maka ‘idul fitri menjadi saat
yang tepat untuk menyadari segala kesalahan
dan dosa yang dilakukan selama ini, dan selanjutnya meminta maaf kepada orang
lain atas segala kesalahan tersebut.
Bangsa Indonesia yang dalam beberapa bulan terakhir disibukan
dengan agenda pemilu legislatif dan pemilihan presiden, tentu dalam praktiknya
banyak melibatkan berbagai bentuk perilaku dan perbuatan yang saling
menjatuhkan lawan, menghina, mencaci maki, memfitnah dan perilaku buruk
lainnya.
Maka, momentum ‘idul fitri ini menjadi saat yang baik untuk
adanya rekonsiliasi sosial, saling memaafkan, saling memahami orang lain. Sebab
dalam sebuah kompetisi pasti ada yang menang dan yang kalah. Yang menang tidak
sombong dan jumawa. Yang kalah tidak
perlu dendam dan putus asa. Yang harus dikedepankan adalah kepentingan bersama,
kepentingan umat, bukan kepentingan satu golongan dan segelintir orang saja.
‘Idul Fitri
mencerminkan tiga sikap yang mesti dimiliki setiap Muslim.
Pertama,
mempertahankan nilai-nilai kesucian yang diraih umat Islam pada bulan ramadhan.
Berlalunya momentum puasa hendaknya tidak dijadikan sebagai kembalinya manusia
ke kebiasaan dan perilaku yang jauh dari perintah Allah atau malah dekat dengan
segala larangan-Nya.
Kedua, berharap agar
Allah SWT mengampuni dosa-dosa umat Islam yang telah lalu dan meminta selalu
dibimbing agar dijauhkan dari perbuatan dosa pada hari-hari setelah ramadhan.
Ketiga, melakukan
evaluasi diri terhadap ibadah puasa kita, apakah sudah sesuai dengan yang diharapkan Allah?
Jangan sampai kita seperti yang disabdakan Nabi SAW, "Banyak sekali orang
yang berpuasa, yang puasanya sekadar menahan lapar dan dahaga."
Keharusan yang dilakukan oleh seorang muslim setelah
menjalankan ibadah shaum di bulan ramadhan adalah berusaha untuk istiqamah.
Ajeg dalam melaksanakan segala
perintah Allah. Tidak mudah goyah, sungguh-sungguh dan sabar dalam menjalankan
ibadah.
Allah SWT berfirman: "Sesungguhnya orang-orang yang
berkata: "Tuhan kami adalah Allah" kemudian mereka meneguhkan
pendirian mereka, maka malaikat-malaikat akan turun kepada mereka (dengan
berkata), "Janganlah kalian merasa takut dan bersedih hati; dan
bergembiralah dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan kepadamu."
(QS. Fuhsilat: 30).
Orang yang bertakwa menjadikan
sebelas bulan setelah ramadhan sebagai saat untuk menerapkan nilai-nilai
kebaikan yang ia dapat di bulan ramadhan. Dalam sebelas bulan di luar ramadhan
ia tetap rajin membaca al-Qur’an, infaq, shodaqoh, zakat, peduli terhadap orang
yang tidak mampu dan kaum dhu’afa,
dan menjalin silaturrahmi dengan
saudaranya.
Tetap memakmurkan masjid, istiqomah dalam segala kebaikan, amar ma’ruf
dan nahi munkar. Itulah hakikat muttaqiin
yang menjadi tujuan diwajibkannya puasa ramadhan.
Semoga Allah SWT. Tuhan yang Maha Rahman dan Rahiim, senantiasa mencurahkan kasih dan sayangnya kepada kita
semua, sehingga kita mampu menjadi insan
muttaqiin yang mampu untuk istiqomah dalam menjalankan segala
kebaikan di luar bulan ramadhan, amiin
ya rabbal ‘alamiin.
Selamat Hari Raya Idul
Fitri 1435 H. Mohon Maaf Lahir dan Batin
Sabtu, 12 Juli 2014
Laporan Keuangan DKM dan Pembangunan/Renovasi Masjid Al-Muhajirin Per 30 Juni 2014
Lap Keu DKM/Pemb. Masjid Al-Muhajirin Per 30 Juni 2014
http://www.mediafire.com/view/5kc2bhuo4dwa3ww/lap_keuangan_dkm_PER_30_JUNI_2014.xlsx
http://www.mediafire.com/view/424l010h63g227d/lap._keuangan_panitia_pemba.masjid_PER_30_JUNI_2014.xlsx
http://www.mediafire.com/view/5kc2bhuo4dwa3ww/lap_keuangan_dkm_PER_30_JUNI_2014.xlsx
http://www.mediafire.com/view/424l010h63g227d/lap._keuangan_panitia_pemba.masjid_PER_30_JUNI_2014.xlsx
Senin, 07 Juli 2014
Menggapai Surga di Bulan Ramadhan
Menggapai Surga di Bulan Ramadhan
Oleh
Abdul Wahid |
Ketua Panitia Ramadhan 1435 H DKM Al-Muhajirin
Ramadhan adalah bulan penuh rahmat dan
keberkahan. Diantara keutamaan bulan ini adalah dapat menghantarkan orang yang
berpuasa akan terbebas dari neraka dan tentunya akan masuk surga. Kita akan
memperoleh surga manakala ampunan Allah Swt. sudah kita peroleh. Dan ampunan
Allah SWT. akan diperoleh manakala kita sudah mendapat rahmat-Nya melalui
pelaksanaan ibadah puasa yang baik.
Karena surga Allah SWT. dapat kita peroleh
melalui rahmat-Nya maka, bagaimana cara
kita memperoleh rahmat Allah SWT tersebut. Puasa merupakan salah satu bentuk
ibadah yang mengandung nilai-nilai pendidikan baik individual maupun sosial.
Orang yang berpuasa secara sengaja menahan lapar, dahaga, dan syahwat mulai
dari terbit fajar sampai terbenam matahari dengan niat karena Allah semata.
Upaya seperti ini bila dilakukan dengan penuh keimanan dan kesadaran akan
melahirkan sikap empati dan simpati kepada orang miskin dan mustadh’afin (orang yang tertindas).
Rasa empati dan simpati terhadap orang
miskin dan mustadh’afin pada
gilirannya akan melahirkan sifat dan sikap kasih sayang terhadap mereka. Sikap
kasih sayang ini kemudian akan mengundang rahmat dari Allah Swt. sebagaimana
ditegaskan oleh Rasulallah saw, ”Orang-orang penyayang itu akan disayangi oleh ar-Rahmaan
(Yang Maha Penyayang), (oleh karena itu) sayangilah oleh kamu sekalian yang ada
di bumi, niscaya yang di langit akan menyayangimu. Ar-rahim (kasih sayang)
itu bagian dari ar-Rahmaan (Allah SWT), maka barang siapa
yang menyambungkannya, Allah akan menyambungkan rahmat-Nya kepadanya, dan
barang siapa yang memutuskannya, Allah akan memutuskan rahmat-Nya kepadanya”
(H.R at-Tirmidzi).
Kasih sayang kepada sesama makhluk Allah SWT,
terutama kepada kelompok miskin dan muatadh’afin
dapat dilakukan dengan berbagai cara. Bisa dengan cara bertutur kata yang baik, tersenyum, berdoa
untuk kebaikan, sampai pada membebaskan mereka dari berbagai macam kesulitan
hidup.
Pada saat kita berbagi dengan dengan
sesama, menyayangi mereka dengan tulus ikhlas karena Allah semata, maka pada
saat bersamaan Allah akan merahmati dan menyayangi kita. Dan apabila Allah
sudah menyayangi kita, pasti Ia akan mengampuni dosa-dosa kita. Jangankan dosa
kecil, dosa besar sekalipun pasti akan diampuni-Nya asalkan kita meminta ampun
kepada-Nya. Hal tersebut dikarenakan kasih sayang Allah SWT. meliputi segala
sesuatu, kasih sayang-Nya senantiasa mengalahkan amarah-Nya.
Ampunan Allah SWT. yang disebabkan oleh sedekah
atau kebiasaan kita berbagi dengan sesama dijelaskan dalam banyak hadits
Rasulallah SAW. diantaranya, ”Sesungguhnya sedekah itu akan memadamkan amarah
Tuhan dan menghindarkan diri dari kematian yang buruk” (H.R. at-Tirmidzi).
Dalam hadits yang lain dinyatakan bahwa, “…Setiap kebajikan adalah sedekah, dan
ahli kebajikan di dunia mereka akan menjadi ahli kebajikan di akhirat, ahli
kemunkaran di dunia, mereka akan menjadi ahli kemungkaran di akhirat, dan orang
yang paling pertama dimasukan surga adalah ahli kebajikan” (H.R ath-Thabrany).
Menurut Abu Hurairah, Rasulallah saw
pernah bercerita, ”Saya telah melihat seseorang masuk surga, dan
bersenang-senang karenanya, hanya karena ia telah memotong satu batang pohon
yang mengganggu jalanan kaum muslimin” (H.R. Muslim).
Bayangkan oleh kita, hanya memotong dahan
pohon yang menghalangi orang berjalan saja dapat memasukan orang ke dalam
surga. Bagaimana dengan menolong sesama manusia, membebaskan mereka dari
himpitan kesulitan, memasukan kebahagiaan ke dalam hati-hati mereka, tentunya
bila semua itu kita lakukan dengan tulus ikhlas, karena iman dan mengharap
pahalanya, pasti akan memasukan kita ke dalam surga-Nya.
Puasa ramadhan yang dilakukan dengan penuh
kesadaran dan keikhlasan, pada akhirnya akan mengantarkan kita pada pencapaian
rahmat Allah SWT. tersebut. Kemampuan untuk menahan rasa lapar, dahaga dan
syahwat lainnya, padahal kita memiliki sesuatu yang dapat kita makan,
sesungguhnya sebagai simulasi jiwa dan ruhani kita dalam menghadapi godaan
hidup yang sangat berat seperti saat ini.
Di tengah persaingan hidup yang sangat
ketat dan tajam. Saat semua orang dengan sangat mudahnya mengumbar hawa
nafsunya. Nafsu untuk mengumpulkan harta. Nafsu untuk berkuasa. Dan nafsu untuk
mendapatkan penghargaan dan pujian dari orang lain. Untuk mencapainya ia
melakukan segala cara. Tidak peduli apakah itu halal ataukah haram. Tidak
penting apakah itu menyakiti orang lain ataukah tidak. Tidak jadi masalah
apakah itu mengecewakan orang lain ataukah menyenangkannya. Yang penting adalah
nafsu dia tersampaikan untuk memperoleh yang diinginkannya.
Nafsu yang terkendali dalam praktik
pelaksanaan puasa, merupakan latihan yang sangat baik bagi seorang muslim untuk
pada saatnya nanti dalam kehidupan nyata agar mampu juga mengendalikan hawa
nafsunya. Rasa lapar dan dahaga yang dirasakan orang yang sedang puasa, pada
saatnya nanti harus mampu melahirkan rasa empati dan simpati seorang muslim
terhadap sesamanya yang kurang beruntung dalam kehidupannya.
Kuncinya adalah jika kita melaksanakan
puasa dengan baik dan benar. Baik dalam niatnya dan dilaksanakan dengan penuh penghayatan. Benar dalam tata cara
pelaksanaannya sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Insya Allah
predikat menjadi orang yang bertakwa yang akan mendapatkan surga melalui pintu ar-rayyan
akan tercapai. Amiin ya rabbal ’alamiin.
Rabu, 18 Juni 2014
Laporan Keuangan DKM & Panitai Pembangunan Masjid Al-Muhajirin Periode 31 Mei 2014
LAPORAN KEU DKM & PAN.PEMB. MASJID AL-MUHAJIRIN PER.31 MEI 2014
http://www.mediafire.com/view/x0bi538dx1dgbsx/lap._keuangan_panitia_pemba.masjid_per_31_mei_2014.xlsx
http://www.mediafire.com/view/0ihkdi8id7k9kb3/lap_keuangan_dkm_PER_31_MEI_2014.xlsx
http://www.mediafire.com/view/x0bi538dx1dgbsx/lap._keuangan_panitia_pemba.masjid_per_31_mei_2014.xlsx
http://www.mediafire.com/view/0ihkdi8id7k9kb3/lap_keuangan_dkm_PER_31_MEI_2014.xlsx
Selasa, 03 Juni 2014
HAFIDZUN ALIMUUN
HAFIDZUN ALIMUUN
Oleh:
Abdul Wahid
قَالَ اجْعَلْنِي عَلَى خَزَائِنِ الْأَرْضِ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ
Artinya: ''BerkataYusuf, 'Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir), sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga (hafidzun), lagi berpengetahuan (alimun).'' (QS Yusuf [12]: 55).
Islam memberikan perhatian besar dalam masalah kepemimpinan.
Rasulullah SAW memerintahkan untuk memilih seorang pemimpin jika ada tiga orang
yang bepergian. Dalam sebuah riwayat dinyatakan; ''Jika tiga orang bepergian,
mereka wajib menunjuk salah seorang di antara mereka sebagai pemimpinnya.'' (HR.
Abu Dawud).
Salah satu panduan bagi kita adalah firman
Allah dalam Q.S. Yusuf ayat 55 yang mengisyaratkan tentang dua kriteria mendasar
yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin.
Pertama, hafidzun (yang pandai menjaga).
Seorang pemimpin harus mampu menjaga agamanya dengan selalu menjaga hubungan dengan
Allah SWT (hablumminallah). Seorang pemimpin juga harus mampu menghadirkan
Allah SWT dalam setiap aktivitas dan perilakunya (muraqabatullah).
Melalui hablumminallah dan
muraqabatullah ini, seorang pemimpin tidak akan menjatuhkan dirinya kedalam
perilaku negatif, seperti korupsi,
kolusi, dan nepotisme (KKN). Ia akan bekerja dengan amanah, jujur, memiliki integritas,
dan komitmen terhadap kemajuan bangsa dan negara.
Kedua, 'alimun (berpengetahuan). Seorang pemimpin harus memiliki
dan menguasai beragam disiplin ilmu untuk menunjang keberhasilan kepemimpinannya.
Di antara ilmu itu adalah ilmu agama, manajerial dan leadership,
ketatanegaraan, pengetahuan tentang problematika masyarakat, dan ilmu kepemimpinan
lainnya. Dengan kekuatan keilmuan yang dimilikinya, seseorang dapat memimpin secara
profesional, sehingga kebijakan yang dibuatnya akan berorientasi pada kemaslahatan
rakyat yang dipimpinnya.
Rakyat Indonesia, terutama umat Islamnya, yang
saat ini sedang berada dalam suasana hiruk pikuk pemilihan presiden, seyogyanya
mampu untuk mengedukasi dirinya
sehingga menjadi pemilih yang cerdas, yaitu pemilih yang bebas dari berbagai
tekanan dan iming-iming materi. Ingatlah salah dalam memilih pemimpin dan wakil
rakyat akan berakibat fatal bagi masa depan bangsa ini.
Memang, sulit bagi
kita untuk mendapati manusia yang sangat istimewa yang tidak memiliki kekurangan.
Dengan mendasarkan pada keyakinan bahwa manusia adalah mahluk yang pasti
melakukan kesalahan dan dosa, maka, tindakan calon pemilih seperti kita adalah menentukan
mana diantara calon pemimpin itu yang paling sedikit memiliki cela dan paling
banyak memiliki kompetensi. Inipun tentunya akan sangat subyektif, tergantung
dari sudut mana dan siapa yang melihatnya.
Saya mencoba untuk menganalogikan ‘kewajiban’ memilih
ini sebagai upaya seorang muslim dalam berijtihad untuk menentukan sebuah
kepastian hukum. Bukankah Rasulullah SAW dalam sebuah kesempatan dengan para
sahabatnya pernah menyatakan bahwa dua pahala diberikan kepada yang benar dalam
mengambil keputusan (ijtihad) dan satu pahala bagi yang keliru dalam mengambil
keputusannya.
Peristiwa ini terjadi dalam konteks pelaksanaan
sholat wajib lima waktu dalam perjalanan, yang kemudian para sahabat berbeda
dalam memahami perintah yang diungkapkan
oleh rasul sebelum mereka pergi. Dari sini nampak betul bahwa rasul sangat
menghargai keputusan yang diambil seseorang yang dilandasi atas niat baik untuk
menjalankan perintah Allah dan rasulNya.
Begitupun dalam kaitannya dengan pemilihan
presiden Republik Indonesia saat ini. Tentu menjadi masalah yang sulit bagi
kita untuk mendapatkan pilihan yang sempurna. Masing-masing menawarkan dirinya
sebagai calon pemimpin yang memiliki kapasitas, kapabilitas dan kompetensi yang
mumpuni.
Dengan mengacu pada peristiwa sahabat rasul di
atas, maka, kita harus berani untuk mengambil keputusan, apapun dan siapapun
pilihannya. Sambil berharap agar pilihan kita yang terpilih nantinya, maka kita
serahkan “ijtihad” kita tersebut kepada Allah SWT. Mudah-mudahan saja kita tetap
mendapatkan pahala, seandainya nanti pilihan yang kita tentukan ternyata
melenceng dari kesempurnaan sebagaimana sahabat Nabi yang berbeda dalam
menjalankan sholat dalam perjalanan.
Dan, sebagai bekal kita dalam berijtihad adalah kandungan makna dalam Q.S. Yusuf ayat
55 di atas. Semoga Allah senantiasa menganugerahkan hidayahNya kepada kita
semua, sehingga kita mampu menjadi pemilih yang cerdas dan pada akhirnya nanti
bangsa dan negara kita akan menjadi negara dan bangsa yang sejahtera, aman,
adil dan makmur.
Rabu, 14 Mei 2014
ISLAM BERBICARA TENTANG BURUH
ISLAM BERBICARA TENTANG BURUH
oleh :
Ust. Aminudin,M.Ag
Ketua DKM Al-Muhajirin
Kata-kata
terakhir yang keluar (dari mulut) Nabi Muhammad Saw adalah (umatku peliharalah)
shalat, shalat, takutlah kepada Allah atas hamba yang kalian miliki… (HR. Abu
Dawud)
Hamba
sahaya merupakan kedudukan yang paling rendah yang disandang oleh seorang
manusia, lebih rendah kedudukannya daripada buruh ataupun pembantu rumah
tangga. Seorang hamba sahaya tidak hanya harus bekerja bagi majikannya, ia pun
tidak memiliki harta dan bahkan kemerdekaan dan kebebasan dirinya sendiri. Ia
selalu harus mengabdi kepada tuannya, bahkan pada zaman pra Islam diperlakukan semena-mena.
Ketika
Al-Quran dan Sunnah berbicara tentang perbudakan, bukan berarti bahwa Islam
melegalkan perbudakan tetapi sebaliknya
Al-Quran dan Sunnah berbicara penghapusan secara perlahan-lahan. Hal ini
terbukti dengan banyaknya sanksi hukum dalam Al-Quran dan Sunnah selalu mensyaratkan
pembebasan budak sebagai penggantinya.
Pada
zaman yang sangat kejam menindas para buruh, Nabi Saw senantiasa memuliakan para buruh dengan
pemulian yang tidak terbayangkan dapat dilakukan, karena begitu mengagumkan.
Dalam satu riwayat Beliau mengingatkan kepada Ali bin Abi Thalib dengan
sabdanya, “ jangan engkau pukul dia karena aku dilarang memukul seseorang yang
ahli shalat, dan aku lihat dia selalu shalat sejak dia dating kepada kami (HR.
Bukhari)
Demikian
perhatian dan pengasihnya Nabi Saw terhadap buruh, sehingga beliau sering
menasehati dan bahkan memarahi para sahabat yang bersikap keras terhadap
buruhnya. Dalam saat lain Ibnu Mas’ud memukul buruhnya dan diketahui oleh Nabi
Saw, kemudian Ibnu Mas’ud ditegurnya,
kemudian Ibnu Mas’ud memerdekakan budak tersebut. Maka kata Nabi Saw, “Jika
hal itu tidak dilakukan sungguh api neraka itu akan mengenaimu atau api neraka
itu akan menghanguskanmu.” (HR.
Muslim)
Sedemikian
tinggi kedudukan buruh dan haknya dalam Islam sehingga Nabi Saw memerintahkan
untuk memberikan upah para buruhnya, “ Bayarkanlah upah sebelum kering
keringatnya!”. Nabi Saw pun
memerintahkan para sahabat untuk memberikan kepada para buruh makanan yang
mereka makan, pakaian yang mereka pakai. “ Berilah makanan kepada mereka dari makanan yang engkau makan …”
(HR. Muslim)
Tidak
sampai di situ Nabi Saw pun memerintahkan kepada para sahabat , agar memberi
beban pekerjaan sesuai dengan kemampuannya dan merlarang untuk mempekerjakan
yang tidak sanggup dilakukannya. Jika syariat aturan Islam diterapkan, maka
tidak akan ada lagi demo buruh untuk menuntut upah kerja minimal atau pesangon
jika terjadi PHK, dan hak hidup layak.
Langganan:
Postingan (Atom)