Berjabat Tangan setelah Sholat
Artikel ini mungkin sangat
perlu diketahui oleh Jemaah Almuhajirin karena perbuatan tersebut diatas
biasa kita lakukan di Mesjid Almuhajirin termasuk oleh saya. Untuk itu
mohon komentarnya atau pencerahan dari sesepuh dan alim ulama kita seperti
Bapak Aminudin, Bapak Abdul Wahid atau Bapak Zikri Zakaria supaya
kita tidak menjadi galau dan selalu mengikuti sunnah Nabi Muhammad S.A.W
Terima kasih atas perhatiannya
Hormat saya
Sumber http://almakassari.com/ dan http://darussalam.wordpress.com/2009/11/15/hukum-islam-berjabat-tangan-setelah-sholat/
Mengucapkan salam dan berjabat tangan kepada
sesama Muslim adalah perkara yang terpuji dan disukai dalam Islam. Dengan perbuatan ini hati kaum
Muslimin dapat saling bersatu dan berkasih sayang di antara mereka. Sunnah ini
sudah lama diamalkan oleh para sahabat -radhiyallahu ‘anhum-. Qotadah berkata,
“Aku bertanya kepada Anas bin Malik -radhiyallahu ‘anhu-, “Apakah ada jabat tangan di kalangan sahabat Rasulullah
-Shallallahu ‘alaihi wa sallam-?” Anas berkata, “Ya, ada”.[HR.
Al-Bukhoriy dalam Ash-Shohih (5908), Abu Ya’la dalam Al-Musnad (2871), Ibnu
Hibban (492), dan Al-Baihaqiy dalam Al-Kubra (13346)].
Sunnah ini dilakukan oleh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa
sallam- , dan para sahabatnya ketika mereka bertemu dan berpisah. Nabi
-Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
مَا مِنْ
مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلاَّ غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ
يَفْتَرِقَا.
“Tidaklah dua orang muslim bertemu, lalu keduanya
berjabatan tangan, kecuali akan diampuni keduanya sebelum berpisah”. [HR. Abu Dawud dalam As-Sunan
(5212), At-Tirmidziy dalam As-Sunan (2727), Ahmad dalam Al-Musnad (4/289), dan
lainnya. Hadits ini di-shohih-kan oleh Al-Albaniy dalam Shohih At-Targhib
(3/32/no.2718)]
إِنَّ
الْمُؤْمِنَ إِذَا لَقِيَ الْمُؤْمِنَ وَأَخَذَ بِيَدِهِ فَصَافَحَهُ تَنَاثَرَتْ
خَطَايَاهُمَا كَمَا يَتَنَاثَرُ وَرَقُ الشَّجَرُ.
“Sesungguhnya seorang mukmin jika bertemu dengan
seorang mukmin, dan mengambil tangannya, lalu ia menjabatinya, maka akan
berguguran dosa-dosanya sebagaimana daun pohon berguguran”. [HR. Ath-Thobroniy dalam Al-Ausath
(245). Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Shohih At-Targhib
(no.2720)]
كَانَ
أَصْحَابُ النَّبِيِّ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا تَلاَقَوْا تَصَافَحُوْا وَإِذَا
قَدِمُوْا مِنْ سَفَرٍ تَعَانَقُوْا.
“Dulu para sahabat Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa
sallam-, apabila mereka bertemu, maka mereka berjabatan tangan. Jika mereka
datang dari safar, maka mereka berpelukan”. [HR. Ath-Thobroniy dalam Al-Ausath. Hadits ini
di-hasan-kan oleh Al-Albaniy dalam Shohih At-Targhib (2719)]
Namun apa yang terjadi jika perbuatan
terpuji ini dilakukan tidak pada tempat yang semestinya?! Tidak ada kebaikan yang didapat,
bahkan pelanggaran syari’atlah yang terjadi, dan perpecahan, karena ada
sebagian jama’ah, jika selesai sholat, ia langsung menjabati (tangan, -ed.) orang.
Jika tidak dilayani jabatan, maka ia marah, dan jengkel kepada saudaranya yang
tak mau jabatan setelah sholat.
Syaikh Abdullah bin Abdur Rahman
Al-Jibrin-hafizhohullah- berkata, “Mayoritas orang
yang shalat mengulurkan tangan mereka untuk berjabat tangan dengan orang di
sampingnya setelah salam dari shalat fardlu dan mereka berdoa dengan ucapan
mereka ‘taqabbalallah’. Perkara ini adalah bid’ah yang tidak pernah dinukil
dari Salaf”. [Lihat Majalah Al-Mujtama’ (no. 855)].
Bagaimana mereka melakukan hal itu sedangkan para
peneliti dari kalangan ulama telah menukil bahwa jabat tangan dengan tata cara
tersebut (setelah salam dari shalat) adalah bid’ah? Suatu perbuatan yang tak
ada contohnya dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- , dan para sahabatnya. Tragisnya
lagi, jika ada diantara kaum muslimin yang menganggap jabat tangan sebagai
sunnah, apalagi wajib, sehingga mereka membenci saudaranya yang tak mau
berjabatan tangan habis sholat dengan berbagai macam dalih, bahwa yang tidak
berjabat tangan menganggap orang lain najis, benci kepada saudaranya, tidak ada
rasa ukhuwahnya, dan kekompakan, serta anggapan dan buruk sangka lainnya.
Padahal saudaranya tidak mau berjabatan tangan usai sholat karena ia tahu hal
ini tak ada contoh jika dilakukan habis sholat, bahkan itu merupakan bid’ah.
Bukan karena benci !!!
Al ‘Izz bin Abdus Salam Asy-Syafi’iy (ulama abad pertengahan, -ed.)
-rahimahullah- berkata, “Jabat tangan setelah shalat Shubuh dan Ashar
termasuk bid’ah, kecuali bagi yang baru datang dan bertemu dengan orang yang
menjabat tangannya sebelum shalat. Maka sesungguhnya jabat tangan disyaratkan
tatkala datang. Nabi Shallallahu ‘ Alaihi Wa Sallam berdzikir setelah shalat
dengan dzikir-dzikir yang disyariatkan dan beristighfar tiga kali kemudian
berpaling. Diriwayatkan bahwa beliau berdzikir:
رَبِّ
قِِنِيْ عَذَابَكَ يَوْمَ تَبْعَثُ عِبَادَكَ
“Wahai Rabbku, jagalah saya dari adzab-Mu pada hari
Engkau bangkitkan hamba-Mu.” [HR. Muslim 62, Tirmidzi 3398 dan 3399, dan Ahmad
dalam Al-Musnad (4/290)]. Kebaikan seluruhnya adalah dalam mengikuti Rasul”.
[Lihat Fatawa Al ‘Izz bin Abdus Salam (hal.46-47),
dan Al-Majmu’ (3/488)].
Apabila bid’ah ini di masa penulis terbatas setelah
dua shalat tersebut, maka sungguh di jaman kita ini, hal itu telah terjadi pada
seluruh shalat. Laa haula wala quwwata illa billah.
Al Luknawiy -rahimahullah- berkata, “Sungguh telah
tersebar dua perkara di masa kita ini pada mayoritas negeri, khususnya di
negeri-negeri yang menjadi lahan subur berbagai bid’ah dan fitnah.
Pertama, mereka tidak mengucapkan salam ketika masuk masjid
waktu shalat Shubuh, bahkan mereka masuk dan shalat sunnah kemudian shalat
fardlu. Lalu sebagian mereka mengucapkan salam atas sebagian yang lain setelah
shalat dan seterusnya. Hal ini adalah perkara yang jelek karena sesungguhnya
salam hanya disunnahkan tatkala bertemu sebagaimana telah ditetapkan dalam
riwayat-riwayat yang shahih, bukan tatkala telah duduk.
Kedua, mereka berjabat tangan setelah selesai shalat
Shubuh, Ashar, dan dua hari raya, serta shalat Jum’at. Padahal pensyariatan
jabat tangan juga hanya di saat awal bersua”.
[Lihat As-Si’ayah fil-Kasyf Amma fi Syarh Al-Wiqayah
(hal. 264)].
Dari perkataan beliau dapat dipahami bahwa
jabat tangan antara dua orang atau lebih yang belum berjumpa sebelumnya tidak
ada masalah. Muhaddits
Negeri Syam, Syaikh Al Albaniy -rahimahullah- berkata dalam As-Silsilah
As-Shahihah (1/1/53), “Adapun jabat tangan setelah
shalat adalah bid’ah yang tidak ada keraguan padanya, kecuali antara dua orang
yang belum berjumpa sebelumnya. Maka hal itu adalah sunnah sebagaimana Anda
telah ketahui”.
Larangan berjabat tangan setelah melaksanakan sholat
merupakan perkara yang dilarang oleh para ulama’. Oleh karena itu, sebuah
kesalah besar, jika di antara kaum muslimin yang membenci saudaranya jika tidak
melayaninya berjabatan tangan, dan menganggapnya pembawa aliran sesat. Padahal
mereka yang tak mau berjabatan tangan saat usai sholat memiliki sandaran dari
Al-Kitab dan Sunnah, serta ucapan para ulama’.
Al-Allamah Al-Luknawiy-rahimahullah- berkata, “Di
antara yang melarang perbuatan itu (jabat tangan setelah sholat), Ibnu Hajar
Al-Haitamiy As-Syafi’iy, Quthbuddin bin Ala’uddin Al-Makkiy Al-Hanafiy, dan
Al-Fadhil Ar-Rumiy dalam Majalis Al-Abrar menggolongkannya termasuk dari bid’ah
yang jelek ketika beliau berkata, “Berjabat tangan adalah baik saat bertemu.
Adapun selain saat bertemu misalnya keadaan setelah shalat Jum’at dan dua hari
raya sebagaimana kebiasaan di jaman kita adalah perbuatan tanpa landasan hadits
dan dalil! Padahal telah diuraikan pada tempatnya bahwa tidak ada dalil berarti
tertolak dan tidak boleh taklid padanya.” [Lihat As-Si’ayah fil Kasyf Amma fi
Syarh Al-Wiqayah (hal. 264), Ad-Dienul Al-Khalish (4/314), Al-Madkhal (2/84),
dan As-Sunan wa Al-Mubtada’at (hal. 72 dan 87)].
Beliau juga berkata, “Sesungguhnya ahli fiqih dari
kelompok Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Malikiyah menyatakan dengan tegas tentang
makruh dan bid’ahnya.” Beliau berkata dalam Al Multaqath ,“Makruh (tidak
disukai) jabat tangan setelah shalat dalam segala hal karena shahabat tidak
saling berjabat tangan setelah shalat dan bahwasanya perbuatan itu termasuk
kebiasaan-kebiasaan Rafidhah.” Ibnu Hajar, seorang ulama Syafi’iyah berkata,
“Apa yang dikerjakan oleh manusia berupa jabat tangan setelah shalat lima waktu
adalah perkara yang dibenci, tidak ada asalnya dalam syariat.” Alangkah
fasihnya perkataan beliau –rahimahullah Ta’ala- dari ijtihad dan ikhtiarnya.
Beliau berkata, “Pendapat saya, sesungguhnya mereka telah sepakat bahwa jabat
tangan (setelah shalat) ini tidak ada asalnya dari syariat. Kemudian mereka berselisih
tentang makruh atau mubah. Suatu masalah yang berputar antara makruh dan mubah
harus difatwakan untuk melarangnya, karena menolak mudlarat lebih utama
daripada menarik maslahah. Lalu kenapa dilakukan padahal tidak ada keutamaan
mengerjakan perkara yang mubah? Sementara orang-orang yang melakukannya di
jaman kita menganggapnya sebagai perkara yang baik, menjelek-jelekkan dengan
sangat orang yang melarangnya, dan mereka terus-menerus dalam perkara itu.
Padahal terus-menerus dalam perkara mandub (sunnah) jika berlebihan akan
menghantarkan pada batas makruh. Lalu bagaimana jika terus-menerus dalam bid’ah
yang tidak ada asalnya dalam syariat?!Berdasarkan atas hal ini, maka tidak
diragukan lagi makruhnya. Inilah maksud orang yang memfatwakan makruhnya. Di
samping itu pemakruhan hanyalah dinukil oleh orang yang menukilnya dari
pernyataan-pernyataan ulama terdahulu dan para ahli fatwa. Maka riwayat-riwayat
penulis Jam’ul Barakat, Siraj Al Munir, dan Mathalib Al Mu’minin, mampu
menandinginya, karena kelonggaran penulisnya dalam meneliti riwayat-riwayat
telah terbukti. Telah diketahui oleh Jumhur Ulama bahwa mereka mengumpulkan
segala yang basah dan kering (yang jelas dan yang samar). Yang lebih
mengherankan lagi ialah penulis Khazanah Ar Riwayah tatkala ia berkata dalam
Aqd Al-La’ali, [“Dia (Nabi) ‘Alaihis Salam berkata, “Jabat tanganlah kalian
setelah shalat Shubuh, niscaya Allah akan menetapkan bagi kalian sepuluh
(kebaikan)”.] Rasul Shallallahu ‘ Alaihi Wa Sallam bersabda, [“Berjabat
tanganlah kalian setelah shalat Ashar, niscaya kalian akan dibalas dengan
rahmah dan pengampunan”.] Sementara dia tidak memahami bahwa kedua hadits ini
dan yang semisalnya adalah palsu yang dibuat-buat oleh
orang-orang yang berjabat tangan itu. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un”.[Lihat
As-Si’ayah fil Kasyf Amma fi Syarh Al Wiqayah (hal. 265)]
Terakhir, kami perlu ingatkan bahwa tidak boleh bagi
seorang Muslim memutuskan tasbih (dzikir) saudaranya yang Muslim, kecuali
dengan sebab syar’i. Yang kami saksikan berupa adanya gangguan terhadap kaum
Muslimin ketika mereka melaksanakan dzikir-dzikir sunnah setelah shalat wajib.
Kemudian, tiba-tiba mereka mengulurkan tangan untuk berjabat tangan ke kanan
dan ke kiri dan seterusnya. Akhirnya, memaksa mereka tidak tenang dan
terganggu, bukan hanya karena jabat tangan, akan tetapi karena memutuskan
tasbih dan mengganggu mereka dari dzikir kepada Allah, karena jabat tangan ini,
padahal tidak ada sebab-sebab perjumpaan dan semisalnya.
Jika permasalahannya demikian, maka bukanlah termasuk
hikmah, jika Anda menarik tangan Anda dari tangan orang di samping Anda, dan
menolak tangan yang terulur pada Anda. Karena sesungguhnya ini adalah sikap
yang kasar yang tidak dikenal dalam Islam. Akan tetapi ambillah tangannya
dengan lemah lembut dan jelaskan kepadanya kebid’ahan jabat tangan ini yang
diada-adakan manusia.
Betapa banyak orang yang terpikat dengan nasihat dan
dia orang yang pantas dinasihati. Hanya saja ketidaktahuan telah
menjerumuskannya kepada perbuatan menyelisihi sunnah. Maka wajib atas ulama dan
penuntut ilmu menjelaskannya dengan baik. Bisa jadi seseorang atau penuntut
ilmu bermaksud mengingkari kemungkaran, tetapi tidak tepat memilih metode yang
selamat. Maka dia terjerumus dalam kemungkaran yang lebih besar daripada yang
diingkari sebelumnya. Maka lemah lembutlah wahai da’i-da’i Islam.
Buatlah manusia mencintai kalian dengan akhlak yang
baik, niscaya kalian akan menguasai hati mereka dan kalian mendapati telinga
yang mendengar dan hati yang penuh perhatian dari mereka. Karena tabiat manusia
adalah lari dari kekasaran dan kekerasan.
[Lihat Tamam Al-Kalam fi Bid’ah Al-Mushafahah ba’da
As-Salam (hal. 23), Al-Qaulul Mubin fi Akhtha’il-Mushallin (295)]
Sumber: Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 04 Tahun I.
Penerbit: Pustaka Ibnu Abbas. Alamat: Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto
Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP: 08124173512
(a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab: Ust. Abu Fa’izah
Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi: Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa.
Editor/Pengasuh: Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout: Abu
Muhammad Mulyadi. Untuk berlangganan hubungi alamat di atas. (infaq Rp.
200,-/exp)