Salurkan Zakat, Infaq, Shadaqah dan Wakaf anda ke ZISWAF al-Muhajirin

Panitia Renovasi Masjid Al-Muhajirin

renovasi Masjid Al-Muhajirin ke Bank Syariah Mandiri KCP Jatinangor an. Panitia Renovasi Al Muhajirin Nomor Rekening 1000-555-777

iklan

jazakamullah ahsanal jaza' semoga Allah SWT akan membalas kalian dengan balasan yang terbaik. aamiin yaa robbal 'alamiin...

Jumat, 27 September 2013

MEMAKNAI IDUL QURBAN

MEMAKNAIIDUL QURBAN
oleh
Abdul Wahid
Idul adha atau idul qurban merupakan satu dari dua hari raya (selain idul fitri) dalam Islam yang memiliki nilai tinggi bagi spiritualitas umat Islam. Disebut idul qurban karena di dalamnya ada prosesi penyembelihan hewan qurban, sebagaimana yang diteladankan oleh Nabi Ibrahim a.s. beserta Ismail a.s, Selainteladan Ibrahim dan Ismail, perintah qurban juga merupakan teladan dari anak-anak Nabi Adam a.s. Dalamsyari’at Islam selanjutnyaqurbandijadikansebagaisalahsatuibadah yang sangatdianjurkanbagimereka yang memilikikemampuanuntukmelaksanakannya.
Dalamhalhukumqurban,  paraulamaterbagidalamduapendapat. Pertama, qurbanhukumnyawajibbagi orang yang berkelapangan.Diantaradalilnyaadalahhadits Abu Hurairah yang menyatakanbahwaRasulullahSAWbersabda, “Barangsiapa yang berkelapangan (harta) namuntidakmauberqurbanmakajangansekali-kali mendekatitempatshalat kami.”(HR. IbnuMajah)
Kedua, qurbanhukumnyasunnahmu’akkadah (sangatdianjurkan). Iniadalahpendapatmayoritasulama. Merekaberdalildenganriwayat dari Abu Mas’udr.a. bahwa Nabi bersabda; “Sesungguhnyaakusedangtidak akan berqurban, padahalakuadalah orang yang berkelapangan. Itukulakukankarenaakukhawatirkalau-kalauumatkumengiraqurbanituadalahwajibbagiku.” (HR. AbdurRazzaq dan Baihaqi).
Sebagaimana zakat, qurbanjugamemilikidimensisosial yang sangatkuat. Denganpenyembelihanhewanqurban, ada pemerataanekonomiumat dan interaksisosial. Fakir miskin dan kaumdhu’afalainnya yang jarangsekalimakandaging, bahkan  mungkintidakpernah, makadenganqurbaninimerekaikutmerasakannikmatnyamakandaging. Para peternakkeciljugaikutmerasakanuntung dari peristiwaidulqurbanini, karenaadanyapeningkatanpermintaanhewanternakuntukdijadikanhewanqurban.
Qurban sebagaimana dicontohkan oleh Nabin Ibrahim a.s. dan Ismail a.s. sesungguhnya bukanlah semata-mata proses menyembelih hewan semata. Di dalamnya seolah ingin diungkapkan bahwa kita harus menjadi umat yang memberi bukan umat yang meminta. Umat yang optimis dan berinisiatif, bukan yang pesismis dan lemah kreatifitas.
Ada nilai-nilai luhur yang sengaja Allah SWT. agendakan bagi umat manusia khususnya umat Islam untuk dijadikan sebagai acuan dalam  hidup yang terdapat dalam perintah qurbanini.
Paling tidak ada  tiga nilai luhur yang dapat diambil dari peristiwa qurban ini. Pertama,taqarubilallah, yaitu merasa dekat dengan Allah SWT. Kesediaan seorang muslim untuk mengorbankan hartanya dalam bentuk hewan qurban akan semakin mendekatkan diri yang bersangkutan dengan Allah SWT., sebagaimana Nabi Ibrahim a.s, yang rela untuk menyembelih putra tercintanya, Ismail a.s.,  karena ingin mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Peristiwa ini Allah ungkapkan dalam Q.S. as-Shofaat (37) ayat 100-107, walaupun pada akhirnya Ismail digantikan dengan perintah untuk menyembelih seekor domba, sebagaimana  yang dilakukan umat Islam sekarang ini. Taqorrubilallah hanya bisa dicapai dengan menjalankan segala apa yang Allah perintahkan  dan meninggalkan seluruh larangan-Nya. Dengan cara demikian, komunikasi kita dengan al-Khalik semakin  dekat dan erat.
Orang yang sudah merasa dekat dengan seseorang maka ia akan rela untuk mengorbankan apa yang dimilikinya. Begitupun seorang hamba yang sudah merasa dekat dengan Tuhannya, maka apapun yang diperintahkan Tuhan akan ia laksanakan, termasuk ketika harus merelakan sebagian hartanya untuk diberikan kepada orang lain. Ia merasa bahwa harta dan pengorbanan yang ia keluarkan tidak ada nilainya sama sekali dengan kenikmatan perasaan dekat dengan Allah SWT.
Kedua, tho’atillah,ketaatan (loyalitas) kepada Allah.Ketika seorang hamba rela untuk mengorbankan hartanya karena perintah Tuhannya, maka sejatinya itu merupakan bentuk ketaatan yang paripurna. Secara matematis tentu hartanya akan berkurang, tetapi karena ketaatan kepada Tuhan, maka apapun ia lakukan. Inilah yang dicontohkan oleh Nabi Ibrahim a.s.
Menanti bepuluh-puluh tahun kedatangan seorang anak yang dicintai, tentu membutuhkan kesabaran yang luar biasa. Setelah lahir  anak laki-laki yang saleh, kemudian Allah justru menyuruh untuk menyembelihnya. Inilah cobaan yang sangat berat bagi seorang ayah, tetapi Ibrahim berhasil mengalahkan kecintaan-kecintaan yang bersifat dunia demi ketaatan dan kecintaannya kepada Allah SWT.
Akhirnya sejarah membuktikan, ternyata Allah hanya menguji Ibrahim, sejauhmana kecintaannya kepada dunia ini mengalahkan kecintaan dan ketaatan kepada Allah SWT., dan Ibrahim lulus sehingga mendapat predikat khalilullah (kekasih Allah).
Ketiga, nilai sosial kemanusiaan. Praktik membagi-bagikan daging qurban kepada fakir miskin dan kaum dhu’afa lainnya yang disyariatkan Islam merupakan bentuk kepedulian terhadap orang yang tidak mampu. Islam menegaskan bahwa ada hak kaum dhu’afa dalam harta yang kita miliki, sehingga harus dibayarkan, diantaranya adalah dengan menyembelih hewan qurban yang dagingnya  dibagikan kepada fakir,  miskin dan kaum dhuafa yang lainnya.
Nilai-nilai qurbantersebut sangat relevan sekarang ini, ketika bangsa ini tengah berada dalam kondisi sosial ekonomi yang kurang baik. Nilai qurban ini bukan hanya saat momentun idulqurban saja, akan tetapi sudah selayaknya untuk diaplikasikan dalam keseharian diluar idul adha.
Semoga dengan peristiwa idulqurban tahun ini kita mampu untuk mengambil hikmah didalamnya sehingga dapat lebih meningkatkan ibadah dan semangat sosial kemanusiaan kita di tengah suasana bangsa  yang sedang ditimpa banyak persoalan.




Rabu, 25 September 2013

HADIS TTG KURBAN



HADIS TTG  KURBAN
Oleh :
Ust. Aam Aminudin, MAg
Ketua DKM Al-Muhajirin Griya Mitra


 عَنْ أَنَسِ بنِ مَالِكٍ  رضي الله عنه أَنَّ اَلنَّبِيَّ  صلى الله عليه وسلم  كَانَ يُضَحِّي بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ, أَقْرَنَيْنِ, وَيُسَمِّي, وَيُكَبِّرُ, وَيَضَعُ رِجْلَهُ عَلَى صِفَاحِهِمَا. وَفِي لَفْظٍ: ذَبَحَهُمَا بِيَدِهِ  مُتَّفَقٌ عَلَيْه. وَفِي لَفْظِ:  سَمِينَيْنِ   وَلِأَبِي عَوَانَةَ فِي "صَحِيحِهِ" :  ثَمِينَيْنِ  بِالْمُثَلَّثَةِ بَدَلَ اَلسِّين ِ
وَفِي لَفْظٍ لِمُسْلِمٍ, وَيَقُولُ:  بِسْمِ اَللَّهِ. وَاَللَّهُ أَكْبَرُ 
Dari Anas Ibnu Malik Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam biasanya berkurban dua ekor kambing kibas bertanduk. Beliau menyebut nama Allah dan bertakbir, dan beliau meletakkan kaki beliau di atas dahi binatang itu. Dalam suatu lafadz: Beliau menyembelihnya dengan tangan beliau sendiri. Dalam suatu lafadz: Dua ekor kambing gemuk. Menurut riwayat Abu Awanah dalam kitab Shahihnya: Dua ekor kambing mahal -dengan menggunakan huruf tsa' bukan sin- Dalam suatu lafadz riwayat Muslim: Beliau membaca bismillahi wallaahu akbar.
  وَلَهُ: مِنْ حَدِيثِ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا;  أَمَرَ بِكَبْشٍ أَقْرَنَ, يَطَأُ فِي سَوَادٍ, وَيَبْرُكُ فِي سَوَادٍ, وَيَنْظُرُ فِي سَوَادٍ; لِيُضَحِّيَ بِهِ, فَقَالَ: "اِشْحَذِي اَلْمُدْيَةَ" , ثُمَّ أَخَذَهَا, فَأَضْجَعَهُ, ثُمَّ ذَبَحَهُ, وَقَالَ: "بِسْمِ اَللَّهِ, اَللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ, وَمِنْ أُمّةِ مُحَمَّدٍ" 
Menurut riwayatnya dari hadits 'Aisyah Radliyallaahu 'anhu bahwa beliau pernah menyuruh dibawakan dua ekor kambing kibas bertanduk yang kaki, perut, dan sekitar matanya berwarna hitam. Maka dibawakanlah hewai itu kepada beliau. Beliau bersabda kepada 'Aisyah: "Wahai 'Aisyah, ambillah pisau." Kemudian bersabda lagi: "Asahlah dengan batu." 'Aisyah melaksanakannya. Setelah itu beliau mengambil pisau dan kambing, lalu membaringkannya, dan menyembelihnya seraya berdoa: "Dengan nama Allah. Ya Allah, terimalah (kurban ini) dari Muhammad, keluarganya, dan umatnya." Kemudian beliau berkurban dengannya.
  وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ  رضي الله عنه  قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ  صلى الله عليه وسلم "مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ, فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا"  رَوَاهُ أَحْمَدُ, وَابْنُ مَاجَه, وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِمُ, لَكِنْ رَجَّحَ اَلْأَئِمَّةُ غَيْرُهُ وَقْفَه ُ
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa mempunyai kemudahan untuk berkurban, namun ia belum berkurban, maka janganlah sekali-kali ia mendekati tempat sholat kami." Riwayat Ahmad dan Ibnu Majah. Hadits shahih menurut Hakim. Hadits mauquf menurut para imam hadits selainnya.
  وَعَنْ جُنْدُبِ بْنِ سُفْيَانَ  رضي الله عنه قَالَ: شَهِدْتُ اَلْأَضْحَى مَعَ رَسُولِ اَللَّهِ  صلى الله عليه وسلم فَلَمَّا قَضَى صَلَاتَهُ بِالنَّاسِ, نَظَرَ إِلَى غَنَمٍ قَدْ ذُبِحَتْ, فَقَالَ: "مَنْ ذَبَحَ قَبْلَ اَلصَّلَاةِ فَلْيَذْبَحْ شَاةً مَكَانَهَا, وَمَنْ لَمْ يَكُنْ ذَبَحَ فَلْيَذْبَحْ عَلَى اسْمِ اَللَّهِ"  مُتَّفَقٌ عَلَيْه ِ
Jundab Ibnu Sufyan Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku mengalami hari raya Adlha bersama Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam Setelah beliau selesai sholat bersama orang-orang, beliau melihat seekor kambing telah disembelih. Beliau bersabda: "Barangsiapa menyembelih sebelum sholat, hendaknya ia menyembelih seekor kambing lagi sebagai gantinya; dan barangsiapa belum menyembelih, hendaknya ia menyembelih dengan nama Allah." Muttafaq Alaihi.



وَعَنِ اَلْبَرَاءِ بنِ عَازِبٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَامَ فِينَا رَسُولُ اَللَّهِ  صلى الله عليه وسلم  فَقَالَ: "أَرْبَعٌ لَا تَجُوزُ فِي اَلضَّحَايَا: اَلْعَوْرَاءُ اَلْبَيِّنُ عَوَرُهَا, وَالْمَرِيضَةُ اَلْبَيِّنُ مَرَضُهَا, وَالْعَرْجَاءُ اَلْبَيِّنُ ظَلْعُهَ ا  وَالْكَسِيرَةُ اَلَّتِي لَا تُنْقِي"  رَوَاهُ اَلْخَمْسَة ُ  وَصَحَّحَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ, وَابْنُ حِبَّان َ
Al-Bara' Ibnu 'Azib Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam berdiri di tengah-tengah kami dan bersabda: "Empat macam hewan yang tidak boleh dijadikan kurban, yaitu: yang tampak jelas butanya, tampak jelas sakitnya, tampak jelas pincangnya, dan hewan tua yang tidak bersumsum." Riwayat Ahmad dan Imam Empat. Hadits shahih menurut Tirmidzi dna Ibnu Hibban.
 وَعَنْ جَابِرٍ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم  "لَا تَذْبَحُوا إِلَّا مُسِنَّةً, إِلَّا أَنْ يَعْسُرَ عَلَيْكُمْ فَتَذْبَحُوا جَذَعَةً مِنَ اَلضَّأْنِ"  رَوَاهُ مُسْلِم ٌ
Dari Jabir bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Jangan menyembelih kecuali hewan yang umurnya masuk tahun ketiga. Bila engkau sulit mendapatkannya, sembelihlah kambing yang umurnya masuk tahun kelima." Riwayat Muslim.
  وَعَنْ عَلِيٍّ رضي الله عنه قَالَ: أَمَرَنَا رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَنْ نَسْتَشْرِفَ اَلْعَيْنَ وَالْأُذُنَ, وَلَا نُضَحِّيَ بِعَوْرَاءَ, وَلَا مُقَابَلَةٍ, وَلَا مُدَابَرَةٍ, وَلَا خَرْمَاءَ, وَلَا ثَرْمَاءَ" أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ, وَالْأَرْبَعَة ُ  . وَصَحَّحَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ, وَابْنُ حِبَّانَ, وَالْحَاكِم 
Ali Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memerintahkan kami agar memeriksa mata dan telinga, dan agar kami tidak mengurbankan hewan yang buta, yang terpotong telinga bagian depannya atau belakangnya, yang robek telinganya, dan tidak pula yang ompong gigi depannya. Riwayat Ahmad dan Imam Empat. Hadits shahih menurut TIrmidzi, Ibnu Hibban dan Hakim.
  وَعَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ  رضي الله عنه  قَالَ: أَمَرَنِي اَلنَّبِيُّ  صلى الله عليه وسلم  أَنَّ أَقْوَمَ عَلَى بُدْنِهِ, وَأَنْ أُقَسِّمَ لُحُومَهَا وَجُلُودَهَا وَجِلَالَهَا عَلَى اَلْمَسَاكِينِ, وَلَا أُعْطِيَ فِي جِزَارَتِهَا مِنْهَا شَيْئاً  مُتَّفَقٌ عَلَيْه ِ
Ali Ibnu Abu Thalib Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memerintahkan kepadaku untuk mengurusi kurban-kurbannya; membagi-bagikan daging, kulit dan pakaiannya kepada orang-orang miskin, dan aku tidak diperbolehkan memberi suatu apapun dari kurban kepada penyembelihnya. Muttafaq Alaihi.
   وَعَنْ جَابِرِ بنِ عَبْدِ اَللَّهِ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ:  نَحَرْنَا مَعَ اَلنَّبِيِّ  صلى الله عليه وسلم  عَامَ اَلْحُدَيْبِيَةِ: اَلْبَدَنَةَ عَنْ سَبْعَةٍ, وَالْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ - رَوَاهُ مُسْلِم 
Jabir Ibnu Abdullah berkata: Kami pernah menyembelih bersama Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pada tahun Hudaibiyyah seekor unta untuk tujuh orang dan seekor sapi untuk tujuh orang. Riwayat Muslim.
Sumber :
Bulughul Maram: Ibnu Hajar Al-Asqolani



Senin, 23 September 2013

Shalat Sunnah di Rumah


Shalat Sunnah di Rumah
(Menghidupkan Sunnah)
oleh
Deden Iyan Rofiyanto
(Bendahara Pembangunan Masjid Al-Muhajirin)

Beberapa sabda dan perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam (yang terbanyak) menyebutkan tentang shalat sunnah yang utamanya dilakukan di dalam rumah, diantaranya :
1.    Hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim, dari Zaid bin Tsabit Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :

“Wahai manusia, kerjakanlah shalat di dalam rumah kalian; karena sesungguhnya sebaik-baik shalat seseorang adalah yang dikerjakan di dalam rumah, kecuali shalat fardhu (di masjid).” [1]

Imam An-Nawawi rahimahullah  berkata : “Hadits ini umum, berlaku untuk semua shalat baik yang rawatib sebelum ataupun setelah shalat fardhu maupun bukan, kecuali shalat sunnah yang merupakan syi’ar Agama Islam, seperti shalat Ied, shalat Gerhana, shalat Istisqa’, demikian juga shalat Tarawih, menurut pendapat yang paling shahih. Shalat-shalat tersebut disyariatkan agar dilaksanakan secara berjamaah di masjid, terkecuali shalat Istisqa’ yang dilaksanakan di lapangan luas.” Demikianlah pendapat beliau dalam kitab Syarh Muslim. [2]

Ibnu Hibban menjadikannya sebagai judul bab dalam kitabnya, yakni : “Dzikrul Bayaan bi anna Shalaatal Mar-i an-Nawaafila fii Baitihi Kaana A’zham li Ajrihi” (Menyebutkan Bahwa Shalat Sunnah Seseorang di Dalam Rumahnya Itu Pahalanya Amat Besar).” [3] 

2.    Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadits dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, belau bersabda :

“Jadikanlah sebagian dari shalat-shalat kalian di dalam rumah kalian dan jangan jadikan rumah kalian seperti kuburan.”

Dalam redaksi lain : “Shalatlah kalian di rumah-rumah kalian dan jangan jadikan rumah-rumah kalian seperti kuburan.” [4]

3.    Muslim meriwayatkan dari Jabir Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :

“Apabila diantara kalian telah mengerjakan shalat (fardhu) di dalam masjid, hendaklah dia menjadikan sebagian shalatnya di rumah, karena Allah Azza wa Jalla akan menjadikan rumahnya penuh kebaikan dari shalat itu.” [5]

Beliau Imam An-Nawawi menyebutkan dalam Syarh Muslim-nya :

“Dorongan agar mengerjakan shalat Sunnah di dalam rumah bertujuan agar seseorang lebih aman dan jauh dari sikap riya’, lebih terjaga dari hal-hal yang membatalkan, agar rumah diliputi dengan keberkahan, dilimpahi rahmat dan dikunjungi para Malaikat, serta dijauhi syaitan; sebagaimana yang disebutkan pada hadits yang lain. Demikianlah makna hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam : “Karena Allah Azza wa Jalla akan menjadikan rumahnya penuh kebaikan dari shalat itu.” [6]

Adalah Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam mengerjakan shalat-shalat sunnah dan tathawu’ yang tidak mempunyai sebab di rumahnya, terutama shalat sunnah maghrib, karena tidak pernah disampaikan keterangan darinya bahwa beliau pernah mengerjakannya di masjid sama sekali. Dalam riwayat Imam Hambal disebutkan, Imam Ahmad berkata, “Yang menjadi sunnah ialah agar seseorang mengerjakan shalat dua rakaat sesudah maghrib di rumahnya. Demikian diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam serta para sahabatnya. [7]

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh An-Nasa’i, Abu Dawud, dan At-Tirmidzi yang diterima dari Ka’ab bin Ujrah, dia bercerita, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam datang ke masjid Bani Al-Asyhal, lalu shalat maghrib di sana mengimami mereka. Ketika mereka selesai shalat, beliau melihat mereka mengerjakan shalat sunnah sesudah maghrib, lantas beliau bersabda, “Kerjakan shalat ini di rumah-rumah kalian.”

Sa’ib bin Yazid berkata, “Saya telah menyaksikan orang-orang di zaman Umar bin Al-Khattab, jika mereka usai melaksanakan shalat maghrib, mereka semuanya pergi hingga tak tersisa seorangpun di masjid, seolah-olah mereka tidak melaksanakan shalat sesudah maghrib hingga mereka kembali kepada keluarga mereka.” [8]

Dalam Shahih Muslim tertulis riwayat dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha bahwa ia berkata :

“Dulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mengerjakan shalat di rumahku empat rakaat sebelum zhuhur, kemudian keluar lalu mengerjakan shalat bersama orang banyak, kemudian masuk (ke rumah) lalu mengerjakan shalat dua rakaat. Beliau mengerjakan shalat maghrib bersama orang banyak, kemudian masuk ke rumah dan mengerjakan shalat dua rakaat. Mengerjakan shalat ‘Isya bersama orang banyak kemudian masuk ke rumahku, lalu mengerjakan shalat dua rakaat.” [9]

Begitu pula cerita yang diterima darinya tentang shalat sunnah sebelum subuh, bahwa beliau mengerjakannya di rumahnya, sebagaimana yang dikatakan Hafshah. [10]

Di dalam As-Shahihain terdapat hadits Ibnu Umar yang menceritakan bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam dulu mengerjakan shalat dua rakaat setelah Jum’at di rumahnya. [11]

Mengenai keutamaan shalat sunnah di rumah, Ibnu ‘Utsaimin menyebutkan dalam Fataawaa-nya:

 “Sungguh, mengerjakan shalat sunnah di rumah lebih utama daripada di masjid, walaupun tempat itu adalah Masjidil Haram. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam besabda: ‘Sebaik-baik shalat seseorang adalah yang dikerjakan di dalam rumahnya, kecuali shalat fardhu (di masjid).’ Beliau menyampaikan hadits ini sewaktu berada di Madinah, di dalam Masjid yang kebaikan (pahala) didalamnya lebih besar daripada 1.000 shalat di tempat lainnya, kecuali Masjidil Haram. Akan tetapi beliau sendiri mengerjakan shalat sunnah di rumahnya.

Sebagian orang mengira bahwa shalat sunnah di Masjid Nabawi atau Masjidil Haram lebih utama daripada di rumah, namun sebenarnya tidaklah demikian. Benar, jika kita tahu bahwa seseorang itu sangat sibuk dan khawatir apabila keluar dari masjid dia lupa mengerjakan shalat sunnah, maka kami fatwakan agar ia melakukan shalat sunnah di masjid karena itu lebih baik baginya. Demikian juga kalau di rumahnya terdapat banyak anak kecil dan khawatir akan terganggu, maka shalat sunnah di masjid baginya adalah lebih utama.

Shalat sunnah yang dikerjakan di rumah itu lebih baik, karena shalat di rumah lebih bisa terhindar dari riya’. Jadi, tidak ada yang mengetahuinya selain keluargamu, bahkan terkadang mereka tidak melihatmu sedang shalat. Adapun jika kamu mengerjakan shalat sunnah di masjid, semua orang akan melihatmu. Disamping itu, shalat di rumah bisa dijadikan metode dakwah agar anggota keluarga yang lainnya tebiasa mengerjakan shalat. Atas dasar itu, jika kamu memilki seorang anak kecil yang berusia 2 atau 3 tahun, dan dia melihamu sedang mengerjakan shalat, maka sudah tentu anak itu akan mengikuti gerakan shalatmu, padahal kamu tidak pernah menyuruhnya untuk mengerjakannya bersamamu. Hal ini menunjukkan betapa banyaknya faedah dalam hal mengerjakan shalat di rumah.

Shalat di dalam rumah juga menunjukkan bahwa kamu telah menghindarkan diri dari hal-hal yang dilarang oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dalam sabdanya: ‘Janganlah kamu jadikan rumahmu seperti kuburan.’ Maksudnya, janganlah kamu menjadikannya seperti kuburan, yakni sebuah tempat yang tidak ada orang yang shalat di dalamnya.” Sampai disini perkataan Ibnu ‘Utsaimin.

Demikian yang dapat saya sampaikan, semoga bermanfaat khususnya bagi diri saya pribadi, dan umumnya bagi para pembaca yang memerlukannya. Dan semoga shalawat serta salam senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, para keluarganya dan para sabahabatnya hingga akhir zaman.

Wallahu a’lam bishshawab

--------------------------
 [1] HR. Al-Bukhari (no. 731) dan Muslim (no. 781)
[2] III/328
[3] VI/238 no.2941
[4] HR. Al-Bukhari (no. 432)  dan Muslim (no. 777)
[5]HR. Muslim (no. 778)
[6] III/326-327
[7] Zaadul Ma’ad (I/278)
[8] Zaadul Ma’ad (I/278-279)
[9] HR. Ahmad, Muslim, dan Abu Dawud
[10] HR. Al-Bukhari dan Muslim
[11] HR. Al-Bukhari dan Muslim