Salurkan Zakat, Infaq, Shadaqah dan Wakaf anda ke ZISWAF al-Muhajirin

Panitia Renovasi Masjid Al-Muhajirin

renovasi Masjid Al-Muhajirin ke Bank Syariah Mandiri KCP Jatinangor an. Panitia Renovasi Al Muhajirin Nomor Rekening 1000-555-777

iklan

jazakamullah ahsanal jaza' semoga Allah SWT akan membalas kalian dengan balasan yang terbaik. aamiin yaa robbal 'alamiin...

Sabtu, 17 Agustus 2013

Adab-Adab dan Kriteria Imam Shalat Berjama’ah



Adab-Adab dan Kriteria Imam Shalat Berjama’ah
oleh :
Ust. Deden Iyan Rofiyanto


Bismillahirrahmaanirrahiim..

Tulisan ini adalah sebagai bentuk kita saling berwasiat diantara sesama Muslim, sekaligus sebagai bentuk motivasi khususnya bagi diri saya pribadi dan umumnya bagi para pembaca yang memerlukannya, dalam rangka kita bersama-sama senantiasa berusaha memperbaiki diri dalam urusan ibadah terutama shalat, dengan berupaya untuk bersungguh-sungguh dalam mengikuti sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat yang mengikutinya.

Para ulama dari waktu ke waktu telah mengingatkan kepada kita bahwa seorang muslim yang baik, akan senantiasa berusaha untuk menyempurnakan setiap amalnya karena hal itu menunjukkan bukti keimanannya. Dan amalan shalat adalah termasuk kedalam salah satu perkara yang harus menjadi perhatian utamanya. Salah satu bentuk perhatian seorang muslim terhadap shalatnya diantaranya tercermin dari sejauh mana dia berusaha dengan sungguh-sungguh agar shalatnya sesuai dengan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mengingat bahwa amalan seorang hamba yang pertama kali dihisab kelak di Yaumil Akhir adalah shalat, seperti yang disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :

Sesungguhnya amal hamba yang pertama kali akan dihisab pada hari kiamat adalah shalatnya. Apabila shalatnya baik, dia akan mendapatkan keberuntungan dan keselamatan. Apabila shalatnya rusak, dia akan menyesal dan merugi. Jika ada yang kurang dari shalat wajibnya, Allah Tabaroka wa Ta’ala  mengatakan,’Lihatlah apakah pada hamba tersebut memiliki amalan shalat sunnah?’ Maka shalat sunnah tersebut akan menyempurnakan shalat wajibnya yang kurang. Begitu juga amalan lainnya seperti itu.”  Dalam riwayat lainnya, ”Kemudian zakat akan (diperhitungkan) seperti itu. Kemudian amalan lainnya akan dihisab seperti itu pula.” [1]

Dalam Shalat berjamaah, ketika Imam memperhatikan adab-adab imam dan makmum pun memperhatkan adab-adab sebagai makmum, maka akan tercipta kondisi shalat yang sempurna, kita dapat membayangkan, bagaimana ketika imam bertakbir, terlihat para makmun bertakbir sambil mengangkat tangannya secara serempak; ketika imam mengucapkan amin terdengar keserasian dalam mengikutinya.

Tidak salah, jika ada yang mengatakan, bahwa persatuan dan kesatuan umat terlihat dari lurus dan rapat suatu shaf, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :

"Hendaklah kalian luruskan shaf kalian, atau Allah akan memecah belah persatuan kalian" [
2]

Terkait dengan tugas seorang Imam dalam shalat berjamaah, tidak diragukan lagi bahwa tugas imam merupakan tugas keagamaan yang mulia, yang telah diemban sendiri oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ; begitu juga dengan Khulafaur Rasyidin setelah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Banyak hadits yang menerangkan tentang fadhilah imam. Diantaranya sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, “Tiga golongan di atas unggukan misik pada hari kiamat,” kemudian beliau menyebutkan, diantara mereka, (ialah) seseorang yang menjadi imam untuk satu kaum sedangkan mereka (kaum tersebut) suka kepadanya. Pada hadits yang lain disebutkan, bahwa dia memperoleh pahala seperti pahala orang-orang yang shalat di belakangnya.[3]

Hanya saja patut disayangkan bahwa di masa ini semangat kaum muslimin untuk mempelajari ilmu sudah semakin berkurang, padahal Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat yang mulia telah menunjukkan kepada kita contoh untuk kita ikuti khususnya dalam pelaksanaan ibadah shalat berjama’ah. Dan yang seharusnya diyakini oleh setiap orang yang mengaku dirinya Muslim adalah bahwa Risalah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang secara sempurna untuk seluruh umat manusia dan segenap bangsa jin, orang-orang Arab dan non Arab, cocok untuk setiap tempat dan waktu, setiap generasi dan kondisi. Tinggal kita mau melaksanakannya atau tidak.

Pada kesempatan yang baik ini, saya akan coba sampaikan terkait adab-adab dan kriteria Imam Shalat dalam ringkasan poin-poin berikut :

Yang Pertama : Menimbang Diri, Apakah Dirinya Layak Menjadi Imam Untuk Jama’ah, Atau Ada Yang Lebih Afdhal Darinya?

Penilaian ini tentu berdasarkan sudut pandang syari’at. Diantara yang harus menjadi penilaiannya ialah:

1.)    Jika seseorang sebagai tamu, maka yang berhak menjadi imam adalah tuan rumah, jika tuan rumah layak menjadi imam.
2.)    Penguasa lebih berhak menjadi imam, atau yang mewakilinya. Maka tidaklah boleh maju menjadi imam, kecuali atas izinnya.
3.)    Kefasihan dan kealiman dirinya. Maksudnya, jika ada yang lebih fasih dalam membawakan bacaan Al-Qur’an dan lebih ‘alim, sebaiknya dia mendahulukan orang tersebut. Hal ini ditegaskan oleh hadits yang diriwayatkan Abi Mas’ud Al Badri Radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

"Yang (berhak) menjadi imam (suatu) kaum, ialah yang paling pandai membaca Kitabullah (dalam riwayat lain : ‘yang paling banyak hafalannya’). Jika mereka dalam bacaan sama, maka yang lebih mengetahui tentang sunnah. Jika mereka dalam sunnah sama, maka yang lebih dahulu hijrah. Jika mereka dalam hijrah sama, maka yang lebih dahulu masuk Islam (dalam riwayat lain: umur). Dan janganlah seseorang menjadi imam terhadap yang lain di tempat kekuasaannya (dalam riwayat lain: di rumahnya). Dan janganlah duduk di tempat duduknya, kecuali seizinnya.”[4]

4.)    Seseorang tidak dianjurkan menjadi imam, apabila jama’ah tidak menyukainya. Dalam sebuah hadits disebutkan :
‘Tiga golongan yang tidak terangkat shalat mereka lebih satu jengkal dari kepala mereka: (Yaitu) seseorang menjadi imam suatu kaum yang membencinya” [5]
Sebagian ulama menjelaskan, bahwa kebencian yang dimaksud dalam hadits diatas adalah khusus mencakup kebencian dalam urusan agama (karena Allah), misalnya karena seseorang itu dinilai lalai dalam agamanya, fasik, atau pelaku maksiat.

Sementara sebagian ulama yang lain menyatakan bahwa dalil diatas tidak mengkhususkan kebencian itu didasarkan pada kebencian karena Allah (agama). Dan pada kenyataannya, kebencian semacam ini adalah kebencian yang sangat langka dijumpai di zaman ini. Kebencian yang banyak terjadi saat ini adalah kebencian yang berasal dari permasalahan dunia. Dan karena tidak ada dalil yang mengkhususkan kebencian tersebut, maka yang lebih utama bagi seseorang yang mengetahui, bahwa jika suatu kaum membencinya -tanpa sebab atau karena sebab agama- hendaknya ia tidak menjadi imam untuk mereka.

Lebih lanjut, para ulama juga telah menyebutkan bahwa yang dimaksud oleh Nabi dengan kebencian para makmum itu adalah pada tempatnya yang dibenarkan. Tetapi kalau mereka membencinya karena ia menjalankan sunnah, atau karena ia melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar, tidak ada tempat bagi mereka untuk membencinya. Kesimpulan ini diambil dari berbagai dalil syar’i.

Dan terkait dengan hal ini, berkata Ahmad dan Ishaq,“Jika yang membencinya satu, dua atau tiga, maka tidak mengapa ia shalat bersama mereka, hingga dibenci oleh kebanyakan kaum.” [6]

Yang Kedua : Seseorang Yang Menjadi Imam Harus Mengetahui Hukum-Hukum Yang Berkaitan Dengan Shalat, Dari Bacaan-Bacaan Shalat Yang Shahih, Hukum-Hukum Sujud Sahwi Dan Seterusnya.
 
Karena seringkali kita mendapatkan seorang imam memiliki bacaan yang salah, sehingga merubah makna ayat, sebagaimana yang pernah
dialami oleh al Ustadz Armen Halim dari sebagian imam sedang membawakan surat Al Lumazah, dia mengucapkan”Alladzi jaama`a maalaw wa `addadah”, dengan memanjangkan “Ja”, sehingga artinya berubah dari ‘mengumpulkan’ harta, menjadi ‘menyetubuhinya’. Na’udzubillah. [7]

Yang Ketiga : Mentakhfif Shalat.

Yaitu mempersingkat shalat demi menjaga keadaan jama’ah dan untuk memudahkannya. Batasan dalam hal ini, ialah mencukupkan shalat dengan hal-hal yang wajib dan yang sunat-sunat saja, atau hanya mencukupkan hal-hal yang penting dan tidak mengejar semua hal-hal yang dianjurkan
. [10]

Diantara nash yang menerangkan hal ini, ialah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu:

"Jika salah seorang kalian shalat bersama manusia, maka hendaklah (dia) mentakhfif, karena pada mereka ada yang sakit, lemah dan orang tua. (Akan tetapi), jika dia shalat sendiri, maka berlamalah sekeh
endaknya" [8]

Yang Keempat : Kewajiban Imam Untuk Meluruskan Dan Merapatkan Shaf.

Ketika shaf dilihatnya telah lurus dan rapat, barulah seorang imam bertakbir, sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakannya.

Dari Nu`man bin Basyir Radhiyallahu 'anhu berkata,”Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam meluruskan shaf kami. Seakan-akan beliau meluruskan anak panah. Sampai beliau melihat, bahwa kami telah memenuhi panggilan beliau. Kemudian, suatu hari beliau keluar (untuk shalat). Beliau berdiri, dan ketika hendak bertakbir, nampak seseorang kelihatan dadanya maju dari shaf. Beliaupun berkata:

"Hendaklah kalian luruskan shaf kalian, atau Allah akan memecah-belah persatuan kalian" [
9]

Adalah Umar bin Khattab Radhiyallahu 'anhu mewakilkan seseorang untuk meluruskan shaf. Beliau tidak akan bertakbir hingga dikabarkan, bahwa shaf telah lurus. Begitu juga Ali dan Utsman Radhiyallahu ‘anhum melakukannya juga. Ali sering berkata,”Maju, wahai fulan! Ke belakang, wahai fulan!” [10]

Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu berkata, “Adalah salah seorang kami menempelkan bahunya ke bahu kawannya, kakinya dengan kaki kawannya.” Dalam satu riwayat disebutkan,“Aku telah melihat salah seorang kami menempelkan bahunya ke bahu kawannya, kakinya dengan kaki temannya. Jika engkau lakukan pada zaman sekarang, niscaya mereka bagaikan keledai liar (tidak suka dengan hal itu, pen).”[11]

Oleh karenanya, Busyair bin Yasar Al Anshari berkata, dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, “Bahwa ketika beliau datang ke Madinah, dikatakan kepadanya, ‘Apa yang engkau ingkari pada mereka semenjak engkau mengenal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam?’ Beliau menjawab, ‘Tidak ada yang aku ingkari dari mereka kecuali mereka tidak merapatkan shaf’.” [12]

Yang kelima : Meletakkan Orang-orang Yang Telah Baligh Dan Berilmu.

Sebagaimana yang disabdakan oleh Rasullullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

"Hendaklah yang mengiringiku orang-orang yang telah baligh dan berakal, kemudian orang-orang setelah mereka, kemudian orang-orang setelah mereka, dan janganlah kalian berselisih, niscaya berselisih juga hati kalian, dan jauhilah oleh kalian suara riuh seperti di pasar" [13].

Yang Keenam : Menjadikan Sutrah (Pembatas) Ketika Hendak Shalat.

Hadits yang menerangkan hal ini sangat mas
yhur. Diantaranya hadits Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhu :

"Janganlah shalat, kecuali dengan menggunakan sutrah (pembatas). Dan jangan biarkan seseorang lewat di hadapanmu. Jika dia tidak mau, maka laranglah dia, sesungguhnya bersamanya jin." [
14]

Sedangkan dalam shalat berjama’ah, maka kewajiban mengambil sutrah ditanggung oleh imam. Tidak ada perselisihan di kalangan para ulama tentang hal ini. [15]

Kedelapan : Dianjurkan bagi imam, ketika dia ruku’ agar memanjangkan sedikit ruku’nya, manakala merasa ada yang masuk, sehingga (yang masuk itu) dapat memperoleh satu raka’at, selagi tidak memberatkan makmum, karena kehormatan orang-orang yang makmum lebih mulia dari kehormatan orang yang masuk tersebut.

Demikian diantara adab-adab dan kriteria imam shalat berjamaah yang dapat saya sampaikan. Seperti yang telah disampaikan sebelumnya bahwa sunnah-sunnah yang beliau contohkan kepada kita adalah mudah untuk kita laksanakan, sepanjang masing-masing dari diri setiap Muslim mempunyai semangat dan tekad untuk mengikuti sunnah Nabi kita tercinta Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Semoga tulisan ini bermanfaat khususnya bagi saya pribadi, dan umumnya bagi para pembaca yang memerlukannya, dan semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga datangnya hari kiamat..

Wallahu a’lam..

­­­­­­­­­­_____________
Catatan :

[1]. HR abu Daud, hadits ini shahih.
 [2]. HR Muslim no. 436.
[3]. Kitab Mulakhkhsul Fiqhi, Syaikh Shalih bin Fauzan, halaman 1/149.
[4]. HR Muslim 2/133. Lihat Irwa` Ghalil 2/256-257.
[5]. HR Ibnu Majah no. 971. Hadits ini juga diriwayatkan melalui jalan Thalhah, Abdullah bin Amr dan Abu Umamah Radhiyallahu ‘anhum.
[6]. Dha`if Sunan Tirmizi, halaman 39.
[7]. Risalah beliau dalam Majalah As-Sunnah edisi 07 Tahun VII/1424H/2003M.
[8]. HR Bukhari, Fathul Bari, 2/199, no. 703.
[9]. HR Muslim no. 436.
[10]. Lihat Jami` Tirmidzi, 1/439; Muwaththa`, 1/173 dan Al Umm, 1/233.
[11]. HR Abu Ya`la dalam Musnad, no. 3720 dan lain-lain.
[12]. HR Bukhari no. 724.
[13]. HR Muslim no. 432 dan Ibnu Khuzaimah dalam Shahih, no. 1572.
[14]. HR Muslim no. 260 dan yang lainnya.
[15]. Fathul Bari, 1/572

Rabu, 14 Agustus 2013

Kriteria Imam Shalat Berjama'ah?

Assalamu'alaikum Wr. Wb
kepada Yth. Bapak2 Ustadz yang biasa mengisi di Blog Al-Muhajirin ada yang ingin saya tanyakan terkait seseorang yang menjadi Imam Shalat.
1. Apa kriteria seseorang dijadikan Imam Shalat berjama'ah di masjid ?
2. Apakah boleh menunjuk seseorang untuk menjadi Imam Shalat berjama'ah padahal menurut pandangan kita masih ada orang yang secara keilmuan lebih baik dari yang menjadi imam ?
3. Apakah kita perlu mengangkat seorang Imam Shalat khusus, artinya orang yang kita anggap lebih menguasai baik dari segi makhroj huruf atau fashohahnya lebih baik dibanding dengan jamaa'ah yang lain? dan apakah di masjid Al-Muhajirin mempunyai Imam Shalat khusus atau mungkin dimasjid besar biasa disebut Imam Besar...
Demikian, mohon maaf dan terimakasih kepada admin yang telah memuat pertanyaan saya..
Wassalamu 'alaikum Wr. Wb
Jamaah Masjid Almuhajirin....  

Selasa, 13 Agustus 2013

MEMPERTAHANKAN SEMANGAT RAMADHAN


Ust. Aminudin, M.Ag

MEMPERTAHANKAN SEMANGAT RAMADHAN.
إِنّ الْحَمْدَ لِلّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ وَلِيًّا مُرْشِدًا، أَشُهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لَا نَبِيَّ بَعْدَهُ، اللّهُمّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا وَحَبِيْبِنَا وَشَفِيْعِنَا مُحَمَّدٍ أَشْرَفِ الْأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْن ,أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِالتَّقْوَى فَقَدْ فَازَ مَنِ اتَّقَى :( وَلَا تَكُوْنُوْا كَالّتِيْ نَقَضَتْ غَزْلَهَا مِنْ بَعْدِ قُوَّةٍ أَنْكَاثًا)  (سورة النحل: 92)
اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ, اللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ لِلّهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلًا
لَا إِلَهَ إِلّا اللهُ وَلَا نَعْبُدُ إِلّا إِيّاهُ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْن وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُوْن، وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُوْن، وَلَوْ كَرِهَ الْمُنَافِقُوْن. لَا إِلَهَ إِلّا اللهُ وَحْدَهُ صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَأَعَزّ جُنْدَهُ وَهَزَمَ الْأَحْزَابَ وَحْدَهُ
لَا إِلَهَ إِلّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَلِلّهِ الْحَمْد
                                                                                                             

Kamum Muslimin dan Muslimat Jamaah Idul Fitri Rahimakumullah 

Terasa sangat cepat Ramadhan berlalu, selamat bagi kita orang-orang yang telah beribadah dengan maksimal dan penuh keikhlasan, hadiah-hadiah yang begitu banyak telah dibagikan kepada para pemenang di bulan ini. Tapi cukupkah kita berhenti beramal dengan selesainya bulan Ramadhan?
Kaum Muslimin Rahimakumullah…, para ulama mengatakan di antara tanda-tanda diterimanya suatu ketaatan adalah dilanjutkannya melakukan ketaatan setelah itu. Demikian juga amal ibadah Ramadhan di antara diterimanya adalah ada kesinambungan aktivitas ibadah  yang telah yang telah dilakukan selama Ramadhan. Dengan demikian kita mohon kepada Allah mudah-mudahan sepanjang tahun dipenuhi dengan semangat Ramadhan.
اللهُ اَكْبَرْ (3×) وَ للهِ اْلحَمْدُ

Kaum Muslimin Rahimakumullah…, di antara semangat Ramadhan yang harus dipertahan, yaitu:
1.    Riqabah Dzatiyah (pengawasan terhadap diri sendiri)
Selama Ramadhan penguat komponen-komponen keimanan tertata kembali, yang paling utama yaitu Riqabah Dzatiyah (pengawasan terhadap diri sendiri), dimana kita yakin bahwa Allah Swt., senantiasa mengawasi kita sepanjang waktu dan di manapun kita berada. Saat seorang muslim berpuasa, tidak akan melakukan hal-hal yang membatalkan puasa meski tidak ada orang yg melihatnya, karena ia yakin bahwa Allah Swt., senantiasa melihatnya.
Diharapkan setelah berlalunya Ramadhan, Riqabah Dzatiyah ini senantiasa kita hidupkan, agar tetap istiqamah melakukan amal-amal kebaikan dan menjauhi perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Allah Swt., sehingga tidak ada waktu bebas melakukan kemaksiatan, meski Ramadhan telah berlalu, karena Allah Swt., senantiasa mengawasi kita kapanpun dan dimanapun sepanjang tahun, sebagaimana Allah berfirman dibanyak ayat, seperti firman-Nya:

      Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat[1]) dan apa yang tersembunyi dalam dada. (QS. Al Ghafir:19)

40-19
  
      Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa; kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia menge-tahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar dari dalamnya, apa yang turun dari langit dan apa yang naik ke sana.[2]) Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.

57-4
Maka, jiwa yang meyakini bahwa Allah senantiasa mengawasi dan mengetahui seluruh rahasia-rahasianya, akan selalu melakukan pengawasan terhadap dirinya sendiri, berpikir dahulu dalam setiap rencana dan aktivitas yang akan dilakukan, apakah sesuai tatanan Allah Swt. atau tidak. Kalau yakin rencana atau aktivitasnya dibenarkan oleh Allah, baru ia laksanakan, dengan harapan akan mendapat ridha dari Allah Swt.  

2.    ‘Ilaj qaswah al qulub wajafa’ alruh (menyirami hati dan jiwa yang kering)
Pada bulan Ramadhan, situasi sangat mendukung untuk menyirami hati dan jiwa yang kering, dengan motivasi yang beragam, seperti dilipatgandakan pahala amalan, amalan sunnah dinilai dengan pahala wajib, amalan wajib dilipatgandakan sampai 70 kali dari amalan di luar Ramadhan, di samping ada satu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Kebiasaan baik ini hendaknya berlanjut setelah Ramadhan berlalu, karena kita sangat membutuhkan penyiraman hati dan jiwa sepanjang tahun. Kalau pada bulan Ramadhan setiap hari melakukan shalat Tarawikh atau qiyamullail, maka setelah Ramadhan pun kita disunahkan untuk melakukan qiyamullail, mulai dari shalat Tahajud, Hajat,  istikharah, dan witir. Begitupun Tadarus kita dawamkan, tidak berhenti karena berakhirnya ibadah Ramadhan.  Masih banyak amalan lain setelah Ramadhan yang membantu kita dalam menyirami dan mengobati hati dan jiwayang keras seperti dengan berzikir, doa, I’tikaf dan membantu orang-orang lemah dengan sedekah dan bentuk lainnya . dengan demikian hati kita menjadi tenang.

3.    ‘Ilaj danaya al alkhlaq ( mengobati akhlak yang kurang terpuji)
Puasa merupakan obat yang mujarab bagi penyakit moral yg tidak terpuji. Sebab dengan puasa kita dilatih keluar dari kebiasaan berlebihan. Bahkan dengan berpuasa kita dilatih untu mengendalikan empat nafsu, yaitu nafsu perut, farji, amarah, dan berbicara. Sebagaimana Rasulallah Saw. bersabda :”Jaminlah kepadaku enam dari diri kalian, maka akan aku menjamin bagi kalian surga, penuhilah jika kalian berjanji, tunaikan jika diberi amanah, jujurlah jika bicara, jagalah pandangan kalian, jagalah farji kalian, dan jaga tangan kalian”. (HR Muslim)

Kalau ketika bulan Ramadhan kita menjaga moralitas dengan baik, pastinya kita dituntut untuk menjaganya setelah Ramadhan, agar kita menjadi menjadi hamba yang rabbani.

4.    Bina’ ruh al tadhiyah ( membangun jiwa berkorban)
Seorang yang berpuasa pada bulan Ramadhan, ia telah mengorbankan sesuatu yang sangat disukai oleh nafsu, makan, minum dan syahwat, sehingga puasa telah mengajarkan kepada kita untuk menjadi yang siap berkorban di jalan Allah Swt.
Nilai yang mulia ini, sangat kita perlukan dalam mensukseskan rencana-rencana kita, karena setiap perjuangan memerlukan pengorbanan. Untuk itu jiwa berkorban hendaklah tumbuhkembangkan dalam diri kita.

5.    Taqwiyah al wa’yi al ijtima (mengasah kepekaan social)
Setelah berbagai sarana kebaikan dihamparkan selama Ramadhan untuk membina kesalehan pribadi setiap muslim, ternyata Ramadhan pun mengasah kepekaan terhadap permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. Hal ini tercermin pada kewajiban zakat fitrah, zakat maal, infak dan shadaqah. Hal itu dimaksudkan sebagai bentuk solidaritas terhadap sesama Muslim. Dengan demikian Ramadhan tidak hanya mencetak orang shaleh pribadinya juga punya kepekaan social, mau memikirkan permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat dan umat. Itulah beberapa hal dari semangat Ramadhan yang harus kita senantiasa pertahankan.
     Kamum Muslimin dan Muslimat Jamaah Idul Fitri Rahimakumullah 
Di akhir khutbah ini khatib ingin mengajak kita bersama untuk mempertahankan kemenangan yang sudah dicapai selama Ramadhan, ibarat sebuah bangunan ia bagaikan sebuah istana megah yang mengagumkan maka janganlah diruntuhkan kembali, ibarat sebuah tenunan ia sudah menjadi pakaian yang sangat indah dipandang mata maka janganlah diurai kembali benang yang sudah ditenun itu ketika Ramadhan berlalu meninggalkan kita. Inilah makna dari ayat yang terdapat dalam surat An-Nahl ayat 92 di atas: “ janganlah kalian seperti seorang perempuan yang menenun pakaian di pagi hari lalu sorenya diurai kembali”  betapa sia sianya, betapa ruginya bahkan betapa celakanya kalau itu yang dilakukan.
Akhirnya marilah kita sambut hari kemenangan ini sebagai sandaran untuk memulai kehidupan baru dengan hati dan semangat yang baru, maafkanlah segala kesalahan lupakan segala kekhilafan agar semua kita mendapatkan ridha dan maghfirah dari Allah SWT, semoga kita semua diizinkan kembali untuk menikmati indahnya Ramdhan pada masa yang akan datang. Amin ya rabbal `alamin.

Ya Allah, ampunilah kami atas dosa dan kesalahan kami yang terdahulu, saat ini dan mendatng,  ampunilah atas dosa akibat pelanggaran baik yang kami rahasiakan maupun yang nampakan. 

“Ya Allah Yang Mendengar, yang tidak terganggu pendengaran-Nya dengan mendengar yang lain, yang tidak dikelirukan oleh banyaknya permohonan yang tidak kesal dengan desakan para pemohon, anugerahilah kami kesejukan ampunan-Mu,  anugerahilah kami rasa takut kepada-Mu yang dapat menghalangi antara kami dan kedurhakaan dan anugerahilah kami ketaatan yang mengantarkan kami ke surga-Mu, serta limpahkanlah kepada kami keyakinan yang dapat meringankan berbagai persoalan yang kami hadapi.

 “ Ya Allah peliharalah kami, dari depan dan belakang kami, dari kanan dan kiri kami, dari arah atas dan bawah kami. Kami berlindung dengan keagungan-Mu sehingga kami senantiasa terpelihara dari berbagai macam penyakit dan marabahaya.Ya Allah cukuplah Engkau pelindung kami, Engkau sebaik-baik wakil yang kami dambakan Engkau sebaik-baik penolong yang kami harapkan.”
Wahai Allah Yang Maha Hidup, Yang berdiri Sendiri, Tiada Tuhan selain Engkau. Dengan rahmat-Mu kami memohon pertolongan, dengan kekuatan-Mu kami mohon bantuan, dari azab-Mu kami mengharap perlindungan, luruskan dan perbaikilah semua keadaan kami, jangan Engkau biarkan kami sendirian dengan diri kami walau hanya sekejap, sertai kami ya Allah, bimbinganlah kami ya Allah dalam setiap waktu dan kesempatan, bimbinglah kami dalam menghadapi segala persoalan.

Ya Allah Engkaulah yang mengetahui rahasia-rahasia kami. Engkaulah Yang Mengetahui kebutuhan dan keinginan kami, maka penuhilah ya Allah kebutuhan dan keingan kami.
























































767) Pandangan kepada hal-hal yang terlarang, seperti memandang kepada perempuan yang bukan mahramnya.
830) Yang dimaksud dengan “yang naik” antara lain amal-amal dan doa-doa hamba-Nya.